Harga minyak goreng tengah melonjak drastis. Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global. Lonjakan harga minyak goreng di Indonesia ini jadi ironi, mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah. Bahkan tercatat jadi negara penghasil CPO terbesar di dunia. Di beberapa daerah, harga minyak goreng menembus Rp 20.000 per liter. Padahal sebelum melonjak, harga minyak nabati ini berkisar Rp 11.000 hingga Rp 13.000 tergantung kemasannya. Setelah pemerintah menggelontorkan subsidi Rp 3,6 triliun melalui perusahaan minyak goreng, harganya mulai turun di level Rp 14.000 per liter sesuai ketetapan pemerintah.
Dengan dana subsidi sebesar itu, pemerintah melibatkan 70 industri minyak goreng. Di tahap awal, ada sekitar 5 industri yang akan menyiapkan minyak goreng kemasan sederhana. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, polemik mengenai mahalnya minyak goreng di Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi. "Dalam gejola minyak goreng di pasar ibarat ayam mati di lumbung padi. Mengapa, karena kita penghasil CPO yang terbesar tapi negara gagal memasok harga minyak yang rasional kepada masyarakat dengan harga yang tinggi bahkan kalah jauh dengan Malaysia. Ini malah sebaliknya, penghasil CPO terbesar tapi harganya malah yang termahal," ujarnya dikutip pada Minggu (30/1/2022). Tulus juga mengkritisi terkait program satu harga yang dimana semua minyak goreng dibanderol Rp 14.000 per liter. Dalam program ini, pemerintah menyiapkan 1,2 juta miliar liter minyak goreng untuk didistribusikan dengan harga yang sama.
Tulus menilai pemerintah dalam membuat program ini justru salah kaprah karena tidak mengetahui dan memahami psikologi konsumen. Bukan hanya itu, Tulus juga mengatakan, pemerintah gagal dalam mendalami dan memahami supply chain terhadap minyak goreng. "Saya simpulkan subsidi 1,2 juta miliar liter itu kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti kan programnya tidak efektif," ungkap Tulus.
Sawit ditanam di tanah milik negara
Sejatinya, perusahaan-perusahaan produsen minyak goreng besar menggarap perkebunan kelapa sawitnya di atas tanah negara yang diberikan pemerintah melalui skema pemberian hak guna usaha (HGU).
Bahkan beberapa HGU perkebunan sawit besar, berada di atas bekas lahan pelepasan hutan. Kendati begitu, pemerintah tak bisa memaksa produsen menurunkan harga minyak goreng yang masuk dalam kebutuhan pokok masyarakat. Saat ini, harga CPO global masih di atas 1.300 dollar AS per ton. Hingga akhir tahun nanti, harganya diperkirakan terkoreksi, tapi masih relatif tinggi.
Dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia ke-17 dan Tinjauan Harga 2022, Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan harga CPO dunia berkisar 1.000 dollar AS per ton-1.250 dollar AS per ton.
Tetapkan DMO dan DPO
Setelah jadi polemik berbulan-bulan, Kementerian Perdagangan baru-baru ini menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk produk minyak goreng kepada seluruh produsen minyak goreng dalam negeri yang melakukan ekspor untuk menjamin ketersediaan stok dan harga terjangkau produk tersebut. "Mempertimbangkan hasil evaluasi atas kebijakan minyak goreng satu harga yang telah kami jalankan, maka per hari ini kami akan menerapkan DMO dan DPO," kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat menggelar konferensi pers seperti dilansir dari Antara. Ia menjelaskan mekanisme DMO atau kewajiban pasokan ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor. Nantinya, seluruh eksportir minyak goreng wajib memasok produknya ke dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor mereka masing-masing pada 2022.
Menurut dia, kebutuhan minyak goreng tahun ini adalah 5,7 juta kiloliter (kl) yang terdiri atas kebutuhan rumah tangga dan industri. "Untuk kebutuhan rumah tangga tahun ini diperkirakan adalah sebesar 3,9 juta kl yang terdiri dari 1,2 juta kl kemasan premium, 231 ribu kl kemasan sederhana, dan 2,4 juta kl curah. Sedangkan kebutuhan industri diperkirakan 1,8 juta kl," ujar Lutfi. Seiring dengan penerapan kebijakan DMO tersebut, Kemendag juga akan menerapkan DPO, yakni sebesar Rp 9.300 per kilogram (kg) untuk CPO dan Rp 10.300 per kg untuk olein. Selain itu, per 1 Februari 2022, Kemendag juga akan memberlakukan penetapan harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng dengan rincian, minyak goreng curah Rp 11.500 per lt, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per lt, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per lt, dengan seluruh HET tersebut sudah termasuk PPN.
"Selama masa transisi, yakni sejak hari ini sampai 1 Februari 2022, maka kebijakan minyak goreng satu harga yakni Rp 14.000 per lt tetap berlaku. Dengan mempertimbangkan waktu kepada produsen dan pedagang untuk melakukan penyesuaian," kata Lutfi.
Pada kesempatan tersebut, dia menginstruksikan kepada produsen untuk segera mempercepat penyaluran minyak goreng dan memastikan tidak terjadi kekosongan stok di tingkat pedagang maupun pengecer. Selain itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar bijaksana dalam membeli produk minyak goreng, karena pemerintah menjamin ketersediaan dan harga minyak goreng yang terjangkau. Dugaan kartel Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan masih menyelidiki dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng secara drastis. Terlebih, minyak goreng merupakan salah kebutuhan pokok masyarakat. Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, kartel tersebut terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng. Para produsen minyak selama ini berdalih kenaikan harga akibat lonjakan harga CPO dunia. Menurut pengusaha minyak goreng, mereka harus membeli CPO dengan harga pasar internasional sebelum mengolahnya menjadi minyak goreng. Baca juga: Pengusaha Bantah Ada Kartel Harga Minyak Goreng Alasan tersebut, menurut Ukay, kurang masuk akal. Ini lantaran perusahaan minyak goreng besar di Indonesia juga memiliki perkebunan kelapa sawit milik sendiri yang berada di atas tanah milik negara yang didapat melalui HGU. "Ini dinaikan juga relatif kompak, baik di pasar tradisional, di ritel modern, di pabrik perusahaan menaikkan bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri-sendiri," terang Ukay. "Perilaku ini bisa dimaknai sebagai sinyal apakah ini terjadi kartel karena harga, tapi ini secara hukum harus dibuktikan," ujar Ukay lagi. Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan. Menurut Ukay, dugaan kartel ini berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Dia menjelaskan, jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama.
"Tadi sudah dijelaskan produsen CPO mana yang tidak memiliki pabrik minyak goreng, mereka kan awalnya produsen CPO. Masing-masing memiliki kebun kelapa sawit sendiri, supply ke pabrik minyak gorengnya," kata Ukay. Selain itu Ukay juga mengatakan, pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli. KPPU mencatat dalam data consentration ratio (CR) yang dihimpun pada 2019, ada empat industri besar tampak menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia.Beberapa pemain besar industri minyak goreng yang juga memiliki perkebunan kelapa sawit antara lain Wilmar, Grup Salim, Grup Sinarmas, Musim Mas, hingga Royal Golden Eagle Internasional milik taipan Sukanto Tanoto.
Uang negara untuk subsidi Menteri
Keuangan Sri Mulyani menyatakan keputusan pemerintah untuk menggelontorkan dana triliunan rupiah ke perusahaan-perusahaan produsen minyak goreng dinilai sudah sangat tepat.Sementara di sisi lain, pemerintak tidak menyubsidi minyak goreng tanpa kemasan alias minyak goreng curah. Padahal, minyak goreng kemasan selama ini dikuasai banyak perusahaan-perusahaan besar. Berdasarkan data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pasar minyak goreng di Indonesia selama ini dikuasai oleh empat perusahaan besar. Menurut Sri Mulyani, pemberian subsidi kepada minyak goreng kemasan dilandasi dari sisi akuntabilitas. Lantaran APBN tetap akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya. "(Pemberian subsidi) ini kemudian akan menimbulkan persepsi, biasanya ada politisi yang mengatakan, oh kita (pemerintah) lebih berpihak kepada kelompok yang pabrikan. Padahal enggak," kata Sri Mulyani dalam keterangannya. Pemerintah menilai, minyak goreng kemasan yang notabene diproduksi oleh pabrikan besar, lebih siap memberikan perhitungan dan laporan keuangan jika bekerja sama dengan pemerintah menyalurkan minyak goreng bersubsidi. "Kalau minyak goreng curah instrumen APBN itu akan sulit banget masuk ke sananya, lebih mudah minyak goreng kemasan karena dia ada pabrikannya, karena itu dari sisi efektivitas dan akuntabilitasnya lebih mudah, lebih bisa dipertanggungjawabkan," kata Sri Mulyani.
Sumber:
Kompas.com