Kekuatan Ekonomi Tersembunyi di Balik Aspal yang Mulus
Di tengah hiruk pikuk wacana pembangunan nasional, sorotan publik dan politik sering kali tertuju pada proyek-proyek infrastruktur raksasa: jalan tol baru yang membelah pulau, jembatan megah yang menghubungkan daratan, atau bandara internasional yang berkilauan. Namun, sebuah penelitian mendalam yang meneliti data selama hampir dua dekade di Indonesia mengungkapkan sebuah kebenaran yang lebih sunyi namun jauh lebih berdampak: kekuatan ekonomi terbesar mungkin tidak terletak pada pembangunan baru, melainkan pada tindakan yang sering dianggap remeh, yaitu pemeliharaan jalan yang sudah ada.1
Meskipun sebagian besar anggaran publik untuk jalan dialokasikan untuk rehabilitasi—memperbaiki, melapisi ulang, dan merawat—kita selama ini kekurangan bukti kuat tentang bagaimana investasi ini benar-benar memengaruhi kehidupan masyarakat, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh para ekonom dari University of California, Berkeley, Syracuse University, dan RAND Corporation ini mengisi kekosongan tersebut dengan temuan yang mengejutkan. Berdasarkan data komprehensif dari tahun 1990 hingga 2007 di tiga pulau terpadat Indonesia—Jawa, Sumatra, dan Sulawesi—studi ini membuktikan adanya hubungan sebab-akibat yang kuat antara kualitas jalan yang lebih baik dengan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan upah, dan lonjakan kesejahteraan rumah tangga secara keseluruhan.1
Ini bukanlah sekadar cerita tentang aspal dan alat berat. Ini adalah kisah transformasi manusia. Temuan inti dari penelitian ini melukiskan gambaran yang jelas: jalan yang lebih mulus membuka jalan bagi para pekerja untuk beralih dari sektor informal yang tidak menentu menuju pekerjaan formal di pabrik-pabrik dengan upah yang lebih tinggi dan stabilitas yang lebih besar. Ini bukan lagi soal mempersingkat waktu tempuh, melainkan mengubah secara fundamental lintasan ekonomi sebuah keluarga dari generasi ke generasi.1 Dengan kata lain, setiap rupiah yang diinvestasikan untuk meratakan jalan berlubang ternyata menjadi investasi langsung pada sumber daya manusia dan fondasi ekonomi lokal yang lebih kokoh.
Laboratorium Alami Indonesia: Cara Peneliti Mengungkap Kebenaran
Membuktikan bahwa jalan yang lebih baik benar-benar menyebabkan pertumbuhan ekonomi adalah tantangan besar. Para peneliti dihadapkan pada teka-teki klasik "ayam dan telur": apakah jalan yang bagus memicu kemakmuran, ataukah daerah yang sudah makmur yang cenderung mendapatkan alokasi dana lebih besar untuk perbaikan jalan? Jika pemerintah cenderung menargetkan perbaikan jalan ke daerah-daerah yang sudah menunjukkan potensi pertumbuhan, maka mengukur dampak sebenarnya dari jalan itu sendiri menjadi sangat sulit. Bias seleksi ini telah lama menjadi duri dalam studi pembangunan.1
Untuk memecahkan teka-teki ini, para peneliti memanfaatkan struktur birokrasi unik di Indonesia sebagai sebuah "laboratorium alami". Mereka merancang sebuah strategi cerdas yang berpusat pada proses penganggaran dua tahap untuk pendanaan jalan di Indonesia, yang secara efektif memungkinkan mereka untuk memisahkan keputusan politik dari dampak ekonomi murni.1
Prosesnya berjalan seperti ini:
- Tahap Pertama (Alokasi Pusat): Pemerintah pusat di Jakarta menetapkan total anggaran tahunan untuk pemeliharaan jalan. Dana ini kemudian dialokasikan ke setiap otoritas provinsi menggunakan formula yang ketat dan telah ditentukan sebelumnya. Formula ini didasarkan pada karakteristik objektif seperti panjang jalan, kondisi awal, dan kepadatan jalan, bukan lobi-lobi politik dari daerah tertentu.1 Alokasi pada tahap ini bersifat top-down dan, yang terpenting, tidak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi terkini di tingkat kabupaten.
- Tahap Kedua (Alokasi Provinsi): Setelah menerima dana dari pusat, otoritas jalan di tingkat provinsi memiliki keleluasaan untuk memutuskan ruas jalan spesifik mana di dalam wilayah mereka yang akan diperbaiki. Di sinilah potensi bias dan keputusan endogen muncul.1
Kunci dari metodologi penelitian ini terletak pada bagaimana mereka memanfaatkan struktur ini. Para peneliti menciptakan apa yang disebut "variabel instrumental" dengan cara yang sangat inovatif. Mereka mengamati bagaimana total anggaran provinsi (dari Tahap 1 yang formulatif) berinteraksi dengan karakteristik distrik-distrik lain di provinsi yang sama. Logikanya sederhana: karena total kue anggaran untuk satu provinsi sudah tetap, kebutuhan perbaikan jalan di satu kabupaten akan memengaruhi sisa dana yang tersedia untuk kabupaten tetangganya. Dengan mengisolasi bagian dari pendanaan jalan di suatu kabupaten yang dipengaruhi oleh kondisi tetangganya—faktor yang tidak berhubungan langsung dengan lintasan ekonomi kabupaten itu sendiri—para peneliti berhasil menyaring dampak kausal murni dari perbaikan jalan.1
Pendekatan brilian ini didukung oleh fondasi data yang luar biasa solid. Para peneliti menggabungkan data kualitas jalan yang sangat rinci dari tahun 1990 hingga 2007, yang diukur menggunakan International Roughness Index (IRI), dengan data ekonomi berkualitas tinggi dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS), Sensus Industri tahunan (SI), dan data sensus penduduk. Kombinasi metodologi yang cerdas dan data yang kaya inilah yang membuat temuan penelitian ini begitu kuat dan kredibel.1
Dari Sawah ke Pabrik: Transformasi Tenaga Kerja Indonesia
Dampak paling nyata dari jalan yang lebih mulus dirasakan langsung di tingkat rumah tangga, mengubah cara orang bekerja dan hidup. Penelitian ini menerjemahkan data statistik yang rumit menjadi sebuah narasi yang kuat tentang mobilitas ekonomi dan peningkatan kualitas hidup bagi jutaan orang Indonesia.
Hasilnya sangat signifikan: peningkatan kualitas jalan sebesar 10% secara langsung menyebabkan lonjakan belanja konsumsi per kapita rumah tangga sebesar 2,2%.1 Untuk memberikan gambaran, ini setara dengan sebuah keluarga mendapatkan tambahan pendapatan lebih dari satu bulan gaji setiap tahunnya, hanya karena jalan di luar rumah mereka menjadi lebih baik dan lebih rata. Ini adalah peningkatan daya beli yang nyata, yang memungkinkan keluarga untuk membeli lebih banyak makanan bergizi, membiayai pendidikan anak, atau menabung untuk masa depan.
Dari mana datangnya kemakmuran tambahan ini? Yang mengejutkan, bukan dari bekerja lebih keras. Studi ini tidak menemukan bukti bahwa perbaikan jalan membuat orang bekerja lebih lama atau meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Sebaliknya, sumber kemakmuran datang dari perolehan pekerjaan yang lebih baik. Pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan menunjukkan peningkatan elastisitas sebesar 0,19 terhadap kualitas jalan, angka yang hampir setara dengan peningkatan konsumsi.1
Mekanisme di baliknya adalah sebuah pergeseran struktural yang mendalam dalam ekonomi lokal:
- Eksodus dari Sektor Informal: Perbaikan jalan secara signifikan mengurangi probabilitas seseorang bekerja di sektor informal, seperti pertanian subsisten atau usaha kecil tanpa jaminan.
- Gerbang Menuju Sektor Formal: Seiring dengan itu, probabilitas untuk bekerja di sektor formal, terutama di bidang manufaktur, meningkat secara signifikan. Jalan yang lebih baik memungkinkan pabrik-pabrik baru untuk berdiri di lokasi yang sebelumnya tidak terjangkau atau tidak efisien, membuka lowongan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, jam kerja yang teratur, dan potensi tunjangan.
Ini adalah kisah klasik "dari sawah ke pabrik" yang didorong oleh infrastruktur. Seorang anak petani yang sebelumnya hanya memiliki pilihan terbatas, kini dapat mengakses pekerjaan di pabrik yang baru didirikan di kotanya, membawa pulang gaji yang stabil dan mengubah nasib keluarganya. Lebih penting lagi, penelitian ini memastikan bahwa pertumbuhan ini adalah pembangunan yang otentik. Para peneliti secara khusus menguji dan menemukan bahwa kemunculan lapangan kerja baru ini bukanlah hasil dari pemindahan aktivitas ekonomi dari kabupaten tetangga. Ini adalah penciptaan nilai ekonomi yang murni dan baru, bukan sekadar pergeseran kue ekonomi yang ada.1
Lahirnya Industri Lokal: Bagaimana Jalan Mulus Memicu Kewirausahaan
Jika perbaikan jalan menciptakan gelombang pekerjaan formal baru, pertanyaan berikutnya adalah: dari mana semua pekerjaan ini berasal? Jawaban yang ditemukan oleh penelitian ini menyoroti peran infrastruktur sebagai katalisator kewirausahaan dan dinamisme industri lokal. Pertumbuhan tidak datang dari perusahaan-perusahaan raksasa yang sudah mapan, melainkan dari lahirnya para pemain baru.
Dengan menganalisis data Sensus Industri tahunan (SI) yang mencakup semua perusahaan manufaktur besar, para peneliti menemukan bahwa kualitas jalan yang lebih baik secara dramatis meningkatkan jumlah perusahaan manufaktur baru yang didirikan di suatu kabupaten. Elastisitas pembukaan perusahaan baru terhadap kualitas jalan mencapai angka 0,6 yang sangat besar, menunjukkan bahwa jalan yang lebih baik adalah pemicu kuat bagi investasi baru.1
Namun, temuan yang paling menarik muncul ketika para peneliti mengamati perusahaan-perusahaan yang sudah ada (petahana) sebelum jalan diperbaiki. Hasilnya nihil. Perbaikan jalan ternyata tidak memiliki dampak signifikan terhadap output, nilai tambah, atau jumlah karyawan di perusahaan-perusahaan lama.1
Kesimpulannya sangat jelas dan kuat: ledakan ekonomi yang teramati hampir seluruhnya didorong oleh penciptaan perusahaan-perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan ini sebelumnya tidak dapat atau tidak mau beroperasi di lokasi dengan infrastruktur yang buruk. Jalan yang rusak, waktu tempuh yang lama, dan biaya transportasi yang tinggi bertindak sebagai penghalang tak terlihat yang membuat model bisnis mereka tidak layak. Begitu penghalang ini dihilangkan dengan aspal yang mulus, para wirausahawan melihat peluang baru dan berani berinvestasi. Dengan kata lain, perbaikan jalan secara efektif menurunkan biaya masuk ke pasar, memicu gelombang kewirausahaan lokal.
Masuknya perusahaan-perusahaan baru ini pada akhirnya meningkatkan produktivitas seluruh kabupaten. Data menunjukkan bahwa nilai tambah dan output per pekerja di tingkat kabupaten keduanya meningkat secara signifikan setelah perbaikan jalan.1 Ini menunjukkan bahwa infrastruktur bukan hanya membantu pemain yang ada menjadi sedikit lebih baik; ia secara fundamental mengubah lanskap kompetitif, memungkinkan perusahaan baru yang mungkin lebih efisien untuk masuk dan berkembang, yang pada akhirnya menciptakan lebih banyak nilai bagi seluruh ekosistem ekonomi lokal.
Harga Sebuah Kemajuan: Biaya Hidup di Era Pembangunan
Tentu saja, tidak ada kemajuan tanpa konsekuensi. Pembangunan ekonomi adalah pedang bermata dua, dan penelitian ini dengan jujur memaparkan sisi lain dari medali kemakmuran. Sementara jalan yang lebih baik membawa banyak manfaat, ia juga mengubah struktur biaya hidup, menciptakan dinamika pemenang dan pecundang di tingkat lokal.
Kabar baiknya bagi konsumen sangat jelas. Jalan yang lebih mulus berarti biaya transportasi yang lebih rendah, terutama untuk barang-barang yang sensitif terhadap waktu. Studi ini menemukan hubungan negatif yang signifikan antara kualitas jalan dan harga makanan yang mudah rusak, seperti daging, ikan, dan sayuran. Peningkatan kualitas jalan sebesar 1% terbukti menurunkan harga barang-barang ini sebesar 0,6%.1 Ini adalah suntikan langsung ke daya beli rumah tangga, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah yang mengalokasikan sebagian besar anggarannya untuk makanan.
Namun, ada pertukaran yang tak terhindarkan. Ketika suatu daerah menjadi lebih menarik bagi perusahaan untuk berinvestasi dan bagi pekerja untuk mencari nafkah, permintaan akan lahan dan perumahan secara alami meningkat. Penelitian ini mengonfirmasi fenomena ini dengan data yang kuat:
- Nilai Lahan Melonjak: Kualitas jalan yang lebih baik menyebabkan kenaikan nilai lahan yang sangat tinggi, dengan elastisitas mencapai 0,79.
- Sewa Rumah Meningkat: Demikian pula, harga sewa tempat tinggal juga naik, dengan elastisitas sebesar 0,2.1
Dinamika ini menciptakan divergensi hasil. Bagi pemilik properti, ini adalah anugerah karena nilai aset mereka meningkat drastis. Namun, bagi para penyewa, keluarga muda yang ingin membeli rumah pertama, atau bahkan perusahaan baru yang membutuhkan lahan, kenaikan biaya ini menjadi beban baru. Ini adalah nuansa kritis yang menunjukkan bahwa manfaat pembangunan tidak selalu terdistribusi secara merata.
Meskipun demikian, penelitian ini juga mencatat bahwa kenaikan harga ini tampaknya lebih didorong oleh peningkatan permintaan lokal—dari para pekerja yang baru mendapatkan pekerjaan formal dan perusahaan-perusahaan baru—daripada oleh gelombang besar migrasi dari daerah lain. Efek migrasi yang teramati ternyata tidak terlalu besar secara ekonomi.1 Hal ini menyiratkan bahwa kebijakan infrastruktur idealnya perlu diiringi dengan kebijakan pendukung lainnya, seperti perencanaan tata ruang yang baik dan penyediaan perumahan yang terjangkau, untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak secara ironis mengusir penduduk lokal yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Kalkulasi Investasi: Mengurai Rasio Manfaat-Biaya Pembangunan
Pada akhirnya, bagi para pembuat kebijakan, pertanyaan terpenting adalah: apakah investasi ini sepadan? Penelitian ini memberikan jawaban yang tegas dan didukung oleh data kuantitatif yang solid. Dengan melakukan analisis manfaat-biaya yang komprehensif, studi ini menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan bukan hanya program pekerjaan umum, melainkan salah satu investasi publik dengan tingkat pengembalian tertinggi yang bisa dibayangkan.
Setelah memperhitungkan semua dampak—kenaikan upah, keuntungan bisnis, penurunan harga makanan, dan kenaikan biaya perumahan—para peneliti menghitung dampak bersihnya terhadap kesejahteraan. Hasilnya, peningkatan kualitas jalan sebesar 10% secara konsisten meningkatkan kesejahteraan rumah tangga secara keseluruhan sebesar 1,6%.1 Ini adalah ukuran komprehensif dari manfaat bersih yang dirasakan oleh keluarga rata-rata.
Angka yang paling menonjol bagi para perencana pembangunan adalah rasio manfaat-biaya. Para peneliti melakukan simulasi di mana semua jalan nasional dan provinsi di sebuah kabupaten ditingkatkan ke standar kualitas jalan beraspal yang baik. Hasilnya luar biasa:
- Setiap satu rupiah yang dihabiskan untuk pemeliharaan jalan menghasilkan manfaat ekonomi senilai 2,8 rupiah. Ini adalah tingkat pengembalian investasi yang sangat tinggi, yang sulit ditandingi oleh banyak program publik lainnya.1
Jika diukur dari sisi nilai ekonomi total yang diciptakan, program peningkatan jalan untuk kabupaten rata-rata akan menghasilkan Net Present Value (NPV) atau nilai sekarang bersih sekitar 6,2% dari seluruh Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan kabupaten tersebut.1 Ini bukan sekadar stimulus kecil, melainkan injeksi ekonomi yang masif dan berdampak luas.
Namun, manfaat ini memiliki batas waktu. Jalan, secara alami, akan kembali rusak seiring waktu dan penggunaan. Studi ini memperkirakan bahwa efek stimulus positif dari sebuah proyek perbaikan jalan akan bertahan selama rata-rata enam tahun sebelum kualitasnya kembali ke tingkat awal.1 Temuan ini membawa implikasi kebijakan yang sangat penting: pemeliharaan jalan bukanlah proyek satu kali, melainkan sebuah siklus investasi yang berkelanjutan. Mengabaikan pemeliharaan berarti membiarkan aset publik yang sangat produktif ini kehilangan nilainya, dan bersamaan dengan itu, mematikan mesin pertumbuhan ekonomi lokal yang telah terbukti sangat efektif.
Cetak Biru Baru untuk Kemakmuran Nasional
Perjalanan panjang melalui data dan analisis yang cermat ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang kuat dan jelas. Dalam upaya Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya untuk mencapai kemakmuran yang berkelanjutan dan merata, jalan ke depan mungkin tidak selalu harus dibangun dari nol. Terkadang, lompatan terbesar justru dimulai dengan merawat dan memperbaiki jalan yang sudah ada di bawah kaki kita.
Penelitian ini secara komprehensif menunjukkan sebuah rantai sebab-akibat yang transformatif: pemeliharaan jalan yang baik memicu lahirnya perusahaan-perusahaan manufaktur baru. Perusahaan-perusahaan ini, pada gilirannya, menyerap tenaga kerja dari sektor informal ke dalam pekerjaan formal yang lebih produktif dan bergaji lebih tinggi. Hasilnya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga yang signifikan, sebuah fondasi yang kokoh untuk pembangunan ekonomi lokal.
Dengan rasio manfaat-biaya yang mencapai 2,8, bukti ini mengirimkan sinyal yang tidak bisa diabaikan kepada para pembuat kebijakan: anggaran pemeliharaan jalan bukanlah pos biaya, melainkan pusat laba bagi perekonomian nasional. Ini adalah investasi strategis dalam modal manusia, diversifikasi ekonomi, dan ketahanan nasional. Lebih jauh lagi, manfaat ini terbukti lebih dari sekadar mempermudah perdagangan antar-daerah. Perbaikan jalan terbukti memiliki dampak independen dalam meningkatkan produktivitas di dalam ekonomi lokal itu sendiri, membuatnya berfungsi lebih efisien dari dalam.1
Pada akhirnya, studi ini menawarkan sebuah cetak biru baru, sebuah pergeseran paradigma dari model pembangunan "bangun dan mereka akan datang" menjadi pendekatan yang lebih berkelanjutan: "rawat dan mereka akan berkembang". Di tengah keterbatasan fiskal dan kebutuhan mendesak untuk pertumbuhan inklusif, memprioritaskan pemeliharaan infrastruktur yang ada mungkin merupakan strategi paling cerdas, paling cepat, dan paling efektif untuk membuka potensi ekonomi yang selama ini tersembunyi di balik jalan-jalan yang rusak dan berlubang.
Sumber Artikel:
Gertler, P. J., Gonzalez-Navarro, M., Rothenberg, A. D., & Gračner, T. (2022). Road Maintenance and Local Economic Development: Evidence from Indonesia's Highways. University of California, Berkeley.