Jalan Maut di Lumbung Pariwisata: Analisis Titik Rawan Kecelakaan dan Krisis Legalitas Pengemudi di Lombok Barat

Dipublikasikan oleh Hansel

30 Oktober 2025, 03.04

fllaj.ntbprov.go.id

Kabupaten Lombok Barat, sebuah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, telah lama dikenal sebagai salah satu etalase utama pariwisata nasional. Diberkahi dengan "pemandangan alam yang menarik", wilayah ini, khususnya di koridor seperti Senggigi, menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan internasional.1 Namun, di balik pesona alam tersebut, terdapat sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Peningkatan aktivitas ekonomi dan pariwisata secara langsung menyebabkan "ruas jalan tersebut sangat padat dilalui oleh kendaraan".1 Kepadatan ini, sayangnya, berbanding lurus dengan risiko keselamatan.

Data dari Polres Lombok Barat mengonfirmasi adanya "peningkatan jumlah peristiwa kecelakaan" pada tahun 2018, memicu urgensi untuk membedah akar masalah ini.1 Sebuah studi akademis komprehensif dari Universitas Mataram, berjudul "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan Pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (2019) oleh Tati Juliana, menyediakan diagnosis tajam atas krisis keselamatan ini.1 Analisis jurnalistik ini akan mengulas temuan-temuan kunci dari penelitian tersebut, yang memetakan titik-titik paling berbahaya di Lombok Barat dan mengungkap faktor utama di baliknya: sebuah krisis perilaku dan legalitas pengemudi yang sistemik.

 

Skala Krisis: Peringatan di Balik Data Resmi Kecelakaan

Untuk memahami besarnya masalah, penelitian ini mengandalkan data sekunder primer dari instansi resmi, yakni data kecelakaan lalu lintas selama tiga tahun (2016, 2017, dan 2018) yang bersumber dari Polres Lombok Barat.1 Data tersebut mencatat jumlah total peristiwa kecelakaan sebanyak 151 kejadian pada tahun 2016, yang kemudian menurun menjadi 74 kejadian pada tahun 2017, sebelum akhirnya melonjak kembali menjadi 145 kejadian pada tahun 2018.1

Meskipun fluktuasi tahunan terlihat, tren peningkatan di tahun terakhir penelitian (2018) menjadi fokus utama. Namun, temuan yang paling fundamental bukanlah pada angka itu sendiri, melainkan pada pengakuan kritis peneliti mengenai keterbatasan data tersebut. Studi ini dengan jujur menyatakan, "Angka kecelakaan tersebut adalah angka kecelakaan yang tercatat saja, kenyataannya bisa melebihi dari angka kecelakaan tersebut".1

Penyebab dari potensi kesenjangan data ini adalah fenomena under-reporting yang lazim terjadi. Menurut penelitian tersebut, hal ini terjadi "karena pada kenyataannya masyarakat kadang tidak melaporkan kejadian kecelakaan tersebut pada pihak yang berwenang".1 Pengakuan ini sangat penting. Ini menyiratkan bahwa data resmi yang digunakan untuk analisis—yang sudah cukup mengkhawatirkan untuk mengidentifikasi beberapa ruas jalan sebagai "rawan"—kemungkinan besar hanyalah puncak dari gunung es. Tingkat keparahan masalah yang sebenarnya di lapangan bisa jadi jauh lebih buruk. Oleh karena itu, semua temuan dalam studi ini harus dibaca sebagai baseline konservatif dari krisis keselamatan jalan yang sedang dihadapi Lombok Barat.

 

Memetakan 'Titik Hitam': Empat Koridor Maut di Lombok Barat

Penelitian ini tidak berhenti pada penghitungan jumlah kecelakaan. Tujuan utamanya adalah melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi "daerah rawan kecelakaan", yang lebih dikenal dengan istilah black spot.1 Dengan menggunakan kombinasi analisis statistik, seperti metode Z-Score, dan teknologi pemetaan geografis melalui software Arc GIS, studi ini berhasil menunjukkan di mana saja titik-titik bahaya paling terkonsentrasi.1

Metode Z-Score digunakan untuk membakukan data angka kecelakaan, mengidentifikasi lokasi-lokasi di mana frekuensi atau pertumbuhan kecelakaan secara statistik signifikan berada di atas nilai rata-rata.1 Hasilnya adalah identifikasi yang jelas terhadap empat ruas jalan utama di Kabupaten Lombok Barat yang memiliki "angka pertumbuhan kecelakaan tertinggi di atas rata-rata".1

Keempat ruas jalan yang diidentifikasi sebagai black spot atau koridor maut tersebut adalah 1:

  1. Jalan Raya Senggigi
  2. Jalan Raya Bypass BIL (The International Airport Bypass Street)
  3. Jalan TGH Ibrahim Al-Khalidy
  4. Jalan Raya Yos Sudarso

Daftar ini sangat mengungkap. Kecelakaan tidak terjadi secara acak di jalan-jalan pedesaan yang terisolasi. Sebaliknya, dua dari empat black spot utama adalah arteri vital ekonomi dan pariwisata. Jalan Raya Senggigi adalah tulang punggung kawasan wisata pantai paling terkenal di Lombok Barat, sementara Jalan Raya Bypass BIL adalah koridor utama yang menghubungkan wisatawan dari Bandara Internasional Lombok (BIL) ke berbagai destinasi.1

Korelasi ini menunjukkan adanya risiko ganda. Tingginya angka kecelakaan di rute-rute ini tidak hanya mengancam keselamatan publik warga lokal dan wisatawan, tetapi juga berpotensi merusak citra pariwisata yang menjadi andalan ekonomi regional. Setiap insiden di koridor Senggigi atau Bypass BIL adalah potensi berita negatif yang dapat berdampak langsung pada kepercayaan wisatawan.

 

Faktor Manusia: 82 Persen Kecelakaan Dimulai dari Kesalahan Pengemudi

Setelah memetakan di mana kecelakaan terjadi, pertanyaan jurnalistik paling penting adalah mengapa kecelakaan itu terjadi. Analisis studi ini terhadap faktor penyebab kecelakaan memberikan jawaban yang tegas dan menunjuk pada satu akar masalah yang dominan.

Penelitian ini mengelompokkan faktor penyebab ke dalam lima kategori: Pengemudi (manusia), Pejalan Kaki, Kendaraan, Jalan Rusak, dan Lingkungan (cuaca, dll.).1 Berdasarkan data yang diolah dari Polres Lombok Barat selama periode 2016-2018, hasilnya sangat tidak proporsional. Faktor "Pengemudi" teridentifikasi sebagai penyebab dari 82,91 persen total kecelakaan.1

Angka ini menjadikan faktor-faktor lain terlihat kerdil. Faktor "Pejalan kaki" berada di urutan kedua dengan porsi 15,05 persen.1 Yang lebih mengejutkan adalah betapa kecilnya kontribusi dari faktor-faktor yang sering dijadikan kambing hitam dalam narasi publik.

Studi ini secara empiris membantah mitos bahwa kecelakaan di Lombok Barat sering disebabkan oleh infrastruktur yang buruk atau kendaraan yang tidak layak. Data menunjukkan faktor "Jalan rusak" hanya menyumbang 1,53 persen dari total penyebab kecelakaan.1 Demikian pula, faktor "Kendaraan"—yang mencakup masalah teknis kritis seperti "Rem tidak berfungsi" atau "Ban kurang baik"—secara total hanya menyumbang 0,51 persen dari seluruh insiden.1

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan keselamatan yang semata-mata berfokus pada perbaikan jalan, penambahan penerangan, atau pengetatan uji KIR kendaraan akan gagal mengatasi masalah. Kebijakan semacam itu hanya akan menyentuh kurang dari 3 persen dari total penyebab kecelakaan. Data dengan jelas membuktikan bahwa krisis keselamatan di Lombok Barat bukanlah krisis infrastruktur atau mekanis, melainkan krisis perilaku manusia.

Bukan Sekadar Lengah: Budaya 'Tidak Tertib' sebagai Pembunuh Utama

Menggali lebih dalam kategori 82,91 persen "Faktor Pengemudi", penelitian ini mengungkap rincian perilaku apa yang paling sering memicu kecelakaan. Analisis deskriptif terhadap data kepolisian (Tabel 4.4 dalam studi) memecah human error menjadi beberapa sub-faktor.1

Berlawanan dengan asumsi umum bahwa kelelahan adalah musuh utama di jalan, data menunjukkan penyebab nomor satu dari kesalahan pengemudi adalah "Tidak tertib".1 Perilaku yang dapat dikategorikan sebagai ketidakpatuhan atau pelanggaran aturan yang disengaja ini tercatat sebagai penyebab dalam 175 kejadian selama periode studi.1

Penyebab kedua adalah gabungan dari "Lengah, mengantuk dan lelah", yang menyumbang 88 kejadian.1 Faktor-faktor lain yang sering disorot, seperti "Berkendara dengan kecepatan tinggi" (55 kejadian) dan "Pengaruh alkohol" (7 kejadian), juga berkontribusi tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan perilaku "Tidak tertib".1

Fakta bahwa "Tidak tertib" adalah kontributor utama, melampaui "Lengah" atau "Lelah" dengan perbandingan hampir 2 banding 1, adalah temuan krusial. "Lengah" bisa jadi adalah kelalaian sesaat, sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Namun, "Tidak tertib" menyiratkan sebuah pilihan sadar untuk mengabaikan aturan lalu lintas. Ini bukanlah masalah keterampilan (skill) atau kewaspadaan (alertness), melainkan masalah budaya (culture) dan kepatuhan (compliance). Ini adalah indikasi awal dari adanya sikap abai yang lebih luas terhadap hukum di jalan raya, yang diperkuat oleh temuan demografis dan legalitas.

 

Potret Demografis di Balik Kemudi: Siapa Pelaku dan Korban?

Jika masalah utamanya adalah perilaku "tidak tertib" oleh pengemudi, lantas siapakah profil pengemudi ini? Studi ini memberikan potret demografis yang sangat spesifik dari pelaku dan korban kecelakaan di Lombok Barat, berdasarkan analisis usia dan tingkat pendidikan.

Pertama, dari segi usia. Data (Tabel 4.5 dalam studi) menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas bukanlah masalah yang tersebar merata di semua kelompok umur. Terdapat satu kelompok yang sangat dominan: usia produktif muda. Kelompok usia 16-30 tahun tercatat sebagai yang paling banyak terlibat, mencakup 46,48 persen dari total individu (pelaku dan korban).1

Dominasi kelompok usia ini sangat signifikan jika dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Sebagai perbandingan, kelompok usia 31-40 tahun hanya mencakup 14,73 persen, usia 41-50 tahun sebesar 15,38 persen, dan usia 51 tahun ke atas sebesar 13,08 persen.1 Peneliti sendiri mengaitkan temuan ini dengan faktor psikologis, di mana rentang usia 16-30 tahun "masih dipengaruhi labilnya emosi seseorang dalam berkendaraan" dan "masih dalam fase pematangan kedewasaan".1

Kedua, dari segi pendidikan. Data dari (Tabel 4.6 dalam studi) menunjukkan gambaran yang lebih tajam dan bahkan lebih timpang. Latar belakang pendidikan individu yang terlibat kecelakaan sangat didominasi oleh satu tingkat. Sebanyak 80,85 persen dari pelaku dan korban memiliki latar belakang pendidikan SLTA (SMA Sederajat).1

Angka ini membuat tingkat pendidikan lainnya menjadi kerdil secara statistik. Lulusan SLTP hanya 8,13 persen, SD sebesar 6,24 persen, dan ironisnya, mereka dengan pendidikan Perguruan Tinggi adalah yang paling sedikit terlibat, hanya 2,78 persen.1

Ketika dua data ini digabungkan—hampir setengahnya berusia 16-30 tahun dan lebih dari 80 persen berlatar belakang SLTA—profilnya menjadi jelas. Masalah ini secara spesifik terkonsentrasi pada demografi pengendara muda, yang berada di usia atau baru saja lulus dari bangku SMA. Ini adalah usia yang krusial di mana seseorang seharusnya belajar mengemudi dan mendapatkan lisensi resmi. Dominasi masif 80,85 persen ini menunjukkan adanya kemungkinan kegagalan sistemik dalam edukasi keselamatan lalu lintas yang efektif di tingkat pendidikan menengah, tepat pada saat calon-calon pengemudi ini pertama kali memegang kemudi.

 

TEMUAN KUNCI: Krisis Legalitas dan Impunitas di Jalan Raya

Analisis terhadap faktor perilaku ("tidak tertib") dan demografi (muda, lulusan SLTA) mengarah pada temuan paling inti dan paling mengkhawatirkan dari keseluruhan penelitian ini: status legalitas para pengemudi. Bagian ini menghubungkan semua titik dan mengungkap akar masalah yang sebenarnya.

Studi ini membedah data kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM) baik untuk pelaku maupun korban kecelakaan. Temuannya sangat mengejutkan dan menunjukkan adanya krisis penegakan hukum dan budaya impunitas yang mengakar.

Berdasarkan analisis data (Tabel 4.7 dalam studi), mayoritas besar pelaku kecelakaan di Lombok Barat adalah pengemudi ilegal. Sebanyak 65,14 persen pelaku kecelakaan teridentifikasi "Tanpa SIM".1 Hanya sebagian kecil, 16,97 persen, yang memiliki SIM C (untuk sepeda motor), 9,63 persen memiliki SIM A, dan 8,26 persen memiliki SIM B.1 Artinya, dua dari setiap tiga orang yang menyebabkan kecelakaan seharusnya tidak berada di jalan raya sejak awal.

Masalah ini, bagaimanapun, bukanlah pertarungan sederhana antara "pengemudi ilegal" versus "warga taat hukum". Data (Tabel 4.8 dalam studi) menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan diterima secara sosial. Ketika menganalisis data korban, angkanya justru lebih tinggi: sebanyak 74,23 persen dari korban kecelakaan juga teridentifikasi "Tanpa SIM".1

Ini adalah sintesis krisis yang sesungguhnya. Mari kita hubungkan data-datanya:

  1. Penyebab kecelakaan tertinggi adalah "Faktor Pengemudi" (82,91 persen).1
  2. Perilaku pengemudi yang dominan adalah "Tidak tertib" (175 kasus).1
  3. Status legalitas dominan adalah "Tanpa SIM" (65,14 persen pelaku dan 74,23 persen korban).1

Hubungan sebab-akibatnya menjadi sangat jelas. Perilaku "tidak tertib" bukanlah sekadar kelalaian sesaat seperti tidak menyalakan lampu sein. Perilaku "tidak tertib" yang paling fundamental adalah keputusan sadar untuk mengemudikan kendaraan bermotor tanpa memiliki kualifikasi legal (SIM).

Fakta bahwa dua pertiga pelaku kecelakaan sudah beroperasi secara ilegal sebelum insiden terjadi menunjukkan bahwa penegakan hukum di jalan raya—seperti razia SIM atau checkpoints—tidak berjalan efektif untuk menciptakan efek jera. Ada budaya impunitas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa tiga perempat korban juga tidak memiliki SIM menunjukkan bahwa ini telah menjadi norma sosial. Ini adalah masalah di mana mengemudi dianggap sebagai hak umum, bukan sebagai hak istimewa yang diatur oleh lisensi dan menuntut tanggung jawab.

 

Rekomendasi Kebijakan: Solusi Fisik dan Sosial dari Temuan Studi

Sebagai sebuah karya ilmiah terapan, penelitian ini ditutup dengan serangkaian rekomendasi yang ditujukan kepada pihak berwenang. Berdasarkan diagnosis yang telah dibuat, studi ini mengusulkan dua "Saran" utama.1

Rekomendasi pertama adalah intervensi fisik (Engineering). Studi ini menyarankan "untuk daerah rawan kecelakaan perlu dipasang rambu peringatan daerah berbahaya".1 Rambu ini harus ditempatkan "sekurang-kurangnya 50 meter sebelum memasuki ruas jalan yang dianggap berbahaya", dengan mempertimbangkan kondisi lalu lintas dan geometri jalan yang ada.1 Ini adalah solusi rekayasa lalu lintas standar yang ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan pengemudi di empat black spot yang telah diidentifikasi.

Rekomendasi kedua adalah intervensi sosial (Education). Peneliti menyatakan, "Perlu dilakukan penyuluhan dan sosialisasi keselamatan dalam berlalu lintas, baik melalui sekolah-sekolah maupun langsung kepada masyarakat".1 Rekomendasi ini secara khusus menyebut "sekolah-sekolah", yang sangat relevan mengingat temuan data bahwa 80,85 persen pelaku dan korban berlatar belakang pendidikan SLTA.1 Alasan diberikannya saran ini, menurut peneliti, adalah "karena kecelakaan lalu lintas ini didominasi oleh faktor manusia".1

Namun, jika dilihat secara kritis, ada kesenjangan yang signifikan antara diagnosis data dan resep yang ditawarkan. Data dalam studi ini tidak hanya menunjukkan "faktor manusia"; data tersebut meneriakkan "faktor ilegalitas", "impunitas", dan "ketidakpatuhan yang disengaja". Diagnosisnya adalah krisis penegakan hukum.

Sementara rekomendasi untuk rambu (Engineering) dan penyuluhan (Education) tentu bermanfaat, keduanya tidak secara langsung mengatasi akar masalah yang diungkap oleh data. Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah rambu peringatan akan efektif menghentikan pengemudi yang secara sadar memilih untuk "tidak tertib" dan sudah berani berkendara "tanpa SIM"? Apakah penyuluhan akan didengar oleh demografi yang sama, yang 65 persen di antaranya sudah beroperasi di luar kerangka hukum?

Rekomendasi studi ini menyentuh dua dari tiga pilar keselamatan jalan (Engineering dan Education), tetapi pilar ketiga, yang justru paling diimplikasikan oleh data, tidak disebutkan secara eksplisit: Enforcement (Penegakan Hukum).

 

Kesimpulan: Peta Jalan untuk Keselamatan di Destinasi Pariwisata

Studi "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan Pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (2019) ini adalah sebuah dokumen diagnostik yang sangat penting bagi para pemangku kepentingan di Lombok Barat. Nilai terbesarnya terletak pada kemampuannya mengupas lapisan masalah keselamatan jalan, dari yang paling terlihat hingga ke akarnya.

Penelitian ini memetakan di mana bahaya itu berada (empat black spot, termasuk arteri pariwisata Senggigi dan Bypass BIL).1 Ia mengidentifikasi mengapa kecelakaan terjadi (82,91 persen faktor manusia).1 Ia merinci bagaimana perilaku itu bermanifestasi (dominasi "tidak tertib" di atas kelalaian).1 Ia memprofilkan siapa pelakunya (usia 16-30 tahun, berlatar belakang SLTA).1 Dan yang terpenting, ia mengungkap akar masalah sistemiknya: krisis legalitas di mana mayoritas pelaku (65,14 persen) dan korban (74,23 persen) tidak memiliki kualifikasi dasar untuk mengemudi (SIM).1

Bagi Polres Lombok Barat, Dinas Perhubungan, dan Pemerintah Daerah, laporan ini adalah peta jalan yang jelas. Ia membuktikan bahwa solusi parsial yang berfokus pada perbaikan jalan tidak akan membuahkan hasil. Sebaliknya, strategi yang efektif harus menyeimbangkan tiga pilar:

  1. Engineering: Memasang rambu peringatan di lokasi rawan, seperti yang disarankan studi.1
  2. Education: Melakukan sosialisasi yang ditargetkan secara tajam, khususnya menyasar "sekolah-sekolah" (SLTA), seperti yang juga direkomendasikan.1
  3. Enforcement: Ini adalah elemen yang hilang dari rekomendasi tetapi paling dituntut oleh data. Harus ada kemauan politik untuk menerapkan penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu terhadap pelanggaran fundamental—berkendara tanpa SIM—untuk memutus budaya impunitas.

Pada akhirnya, Lombok Barat tidak dapat secara berkelanjutan memproyeksikan citranya sebagai destinasi wisata kelas dunia jika jalan-jalan arteri yang mengantarkan wisatawan ke destinasi tersebut tetap menjadi zona rawan kecelakaan yang didominasi oleh pengemudi yang tidak disiplin dan tidak berlisensi. Studi ini telah menyediakan data dan menyalakan lampu peringatan; tindak lanjutnya kini berada di tangan para pembuat kebijakan.

 

Sumber Artikel:

Artikel Ilmiah "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (Tati Juliana, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Mataram, 2019).