Jalan Berlubang Bukan Cuma Soal Korupsi: Temuan Mengejutkan dari Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Melihat Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

14 Oktober 2025, 14.42

Jalan Berlubang Bukan Cuma Soal Korupsi: Temuan Mengejutkan dari Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Melihat Infrastruktur

Cerita di Balik Jalan Berlubang yang Kita Benci

Pernahkah kamu merasakan ini? Kamu sedang berkendara santai, menikmati lagu di radio, tiba-tiba... JEDUG! Guncangan keras membuatmu kaget. Kopi pagimu nyaris tumpah. Kamu baru saja menghantam lubang di jalan yang rasanya baru kemarin sore ditambal. Seketika, sumpah serapah meluncur pelan dari mulutmu. "Kenapa jalan di sini cepat sekali rusak?" tanyamu dalam hati, atau mungkin sambil berteriak frustrasi.

Kita semua pernah mengalaminya. Frustrasi kolektif terhadap infrastruktur yang buruk adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Asumsi kita biasanya langsung tertuju pada dua tersangka utama: kualitas aspal yang jelek atau, tentu saja, korupsi. Kita membayangkan kontraktor nakal yang mengurangi bahan atau pejabat yang menyunat anggaran. Dan sering kali, asumsi itu ada benarnya.

Tapi, bagaimana jika saya katakan ada alasan lain yang lebih dalam, lebih tersembunyi, dan mungkin jauh lebih mengkhawatirkan? Sebuah "penyakit" sistemik yang menggerogoti dari dalam, yang membuat proyek-proyek infrastruktur kita rapuh sejak dari perencanaan.

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah tesis magister karya Hasian Negara Dasopang dari Universitas Medan Area. Judulnya terdengar sangat akademis: Implementasi Kebijakan Sertifikasi Keahlian Teknik Jalan dan Jembatan Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2017... Tapi begitu saya mulai membacanya, saya sadar ini bukan sekadar tumpukan kertas akademis. Ini adalah sebuah kisah detektif birokrasi. Sebuah investigasi mendalam yang mengintip ke dalam "ruang mesin" pemerintahan dan menunjukkan mengapa sebuah aturan emas yang dirancang untuk menjamin kualitas, justru macet total di lapangan.  

Tesis ini tidak menyalahkan aspal atau anggaran. Ia menunjuk pada sesuatu yang jauh lebih fundamental: manusia dan sistem di sekelilingnya. Artikel ini adalah upaya saya untuk membedah temuan-temuan mengejutkan dari tesis tersebut, menerjemahkannya ke dalam bahasa kita sehari-hari, dan menunjukkan bagaimana masalah abstrak seperti "implementasi kebijakan" punya dampak yang sangat nyata pada guncangan yang kita rasakan di jalan raya.

Aturan Emas yang Terabaikan: Mengapa Setiap Insinyur Perlu 'SIM' Profesional

Bayangkan jika pilot yang menerbangkan pesawatmu tidak punya lisensi terbang. Atau dokter yang akan mengoperasimu tidak punya sertifikat medis. Mengerikan, bukan? Kita percaya pada lisensi dan sertifikasi karena itu adalah bukti bahwa seseorang telah diuji dan terbukti kompeten untuk melakukan pekerjaan berisiko tinggi.

Nah, pada tahun 2017, pemerintah Indonesia menerapkan logika yang sama untuk sektor konstruksi melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2017. Aturan ini pada dasarnya mengatakan: orang yang merancang, mengawasi, dan membangun jalan serta jembatan yang kita lewati setiap hari juga harus punya "SIM" profesional. SIM ini disebut Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).  

SKK bukan sekadar ijazah sarjana teknik. Ijazah membuktikan kamu pernah belajar teori di kampus. Sedangkan SKK, yang diperoleh melalui uji kompetensi oleh lembaga sertifikasi profesi, membuktikan bahwa kamu benar-benar bisa menerapkan ilmu itu di lapangan sesuai standar nasional atau bahkan internasional. Ini adalah jaminan mutu, keamanan, dan profesionalisme.  

Poin paling krusial dari UU ini adalah kewajibannya yang mengikat semua pihak. Bukan hanya perusahaan kontraktor swasta yang harus mempekerjakan tenaga ahli bersertifikat, tetapi juga instansi pemerintah yang bertindak sebagai pengguna jasa. Dalam studi kasus ini, yang menjadi sorotan adalah Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Sumatera Utara, lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan jalan serta jembatan di provinsi tersebut.  

Aturan ini seharusnya menjadi sebuah revolusi. Ia dirancang untuk menggeser paradigma lama dari "percaya pada gelar" menjadi "percaya pada kompetensi teruji". Namun, seperti yang akan kita lihat, aturan emas ini ternyata hanya menjadi hiasan di atas kertas.

Potret dari Lapangan: Ketika Rencana Tinggal Rencana di Sumatera Utara

Di sinilah temuan tesis Hasian Negara Dasopang mulai terasa seperti pukulan di ulu hati. Penelitian ini memberikan kita potret nyata dari apa yang terjadi di Dinas BMBK Provinsi Sumatera Utara, dan gambarnya sama sekali tidak indah.

Secara akademis, dinas ini diisi oleh orang-orang yang sangat terdidik. Berdasarkan data tahun 2021, dari total 148 pegawai, 77 orang adalah sarjana (S1) dan 19 orang lainnya bahkan sudah bergelar magister (S2).

Penelitian ini mengungkap sebuah fakta yang mengejutkan: hingga Agustus 2022, dari ratusan pegawai terdidik itu, hanya 15 orang yang memiliki sertifikat kompetensi keahlian yang diwajibkan oleh undang-undang.  

Mari kita cerna angka ini sejenak.

  • 🎓 Penuh Gelar, Minim Keahlian Teruji: Dinas ini memiliki 96 pegawai bergelar sarjana dan magister, tetapi hanya sekitar 15% dari kelompok terdidik ini (atau 10% dari total pegawai) yang kompetensinya terverifikasi secara profesional.

  • 📜 Aturan Hanya Jadi Saran? UU No. 2 Tahun 2017 sudah berlaku selama lima tahun saat data ini diambil, namun implementasinya masih sangat minim.

  • 🤯 Dampaknya? Tesis ini menyatakan dengan jelas bahwa akibatnya, banyak pegawai yang tidak memiliki sertifikat kompetensi ditempatkan di posisi-posisi krusial seperti perencana, pengawas, bahkan penanggung jawab teknik.  

Ini seperti menempatkan seseorang yang hanya membaca buku resep untuk menjadi kepala koki di restoran bintang lima. Atau meminta seseorang yang hanya lulus ujian teori SIM untuk mengemudikan bus antarprovinsi. Risikonya sangat besar, dan hasilnya adalah kualitas yang kita rasakan setiap hari di jalanan.

Membedah Kegagalan: Empat Dinding Runtuh yang Menghambat Kemajuan

Pertanyaan besarnya adalah: mengapa ini bisa terjadi? Mengapa sebuah aturan yang begitu logis dan penting gagal total diimplementasikan? Tesis ini menggunakan kerangka analisis kebijakan untuk membedah akar masalahnya, yang bisa kita ibaratkan sebagai empat dinding yang runtuh.

Dinding Pertama: Pesan Sudah Sampai, Tapi Tak Ada yang Bergerak (Komunikasi)

Ini bagian yang paling aneh dan membingungkan. Ternyata, masalahnya bukan karena para pegawai tidak tahu ada aturan baru. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dari segi komunikasi, implementasi kebijakan ini sebenarnya berjalan baik. Para pegawai paham tentang kebijakan sertifikasi (disebut SKTJJ), mereka mengerti pentingnya, dan prosedurnya pun dianggap tidak rumit.  

Ini seperti semua orang di dalam sebuah gedung mendengar alarm kebakaran berbunyi. Mereka tahu ada bahaya, mereka tahu di mana pintu keluar, tapi entah kenapa, tidak ada satu pun yang beranjak dari kursinya. Pengetahuan itu ada, tetapi tidak memicu tindakan. Ini menunjukkan masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar sosialisasi yang kurang.

Dinding Kedua: Jalan Buntu Menuju Sertifikasi (Sumber Daya)

Dinding kedua ini benar-benar runtuh. Salah satu temuan utama tesis ini adalah Dinas BMBK tidak menjalin kerja sama dengan lembaga sertifikasi profesi (LSP). Akibatnya, mereka tidak bisa memfasilitasi para pegawainya untuk mengikuti ujian sertifikasi. Lebih parah lagi, program pelatihan internal yang ada tidak dirancang spesifik untuk membantu pegawai lulus ujian kompetensi.  

Bayangkan pemerintah mewajibkan semua orang punya SIM, tapi tidak ada kantor polisi yang membuka layanan ujian SIM, dan kursus mengemudi yang tersedia hanya mengajarkan teori rambu lalu lintas tanpa pernah menyentuh setir mobil. Itulah yang terjadi di sini. Aturannya ada, tapi infrastruktur pendukung untuk memenuhinya tidak dibangun oleh institusi itu sendiri. Para pegawai seolah dibiarkan mencari jalan sendiri di tengah hutan, dan tentu saja, banyak yang akhirnya menyerah atau tidak pernah memulai sama sekali.

Dinding Ketiga: 'Nanti Saja'-isme dan Krisis Komitmen (Disposisi)

Di sinilah kita menyentuh inti masalah yang paling manusiawi dan paling sensitif: kemauan. Tesis ini secara lugas menyoroti adanya "kurangnya komitmen pegawai untuk mewujudkan kebijakan SKTJJ". Disposisi, atau sikap para pelaksana, menjadi penghalang utama.  

Ini adalah penyakit "nanti saja"-isme yang kronis, yang mungkin kita semua kenal baik. Mungkin para pegawai merasa, "Toh selama ini baik-baik saja tanpa sertifikat," atau "Itu hanya menambah beban kerja tanpa keuntungan langsung," atau "Tidak ada yang memaksa, jadi kenapa harus buru-buru?"

Ketika sebuah kebijakan baru sangat bergantung pada inisiatif dan komitmen pribadi tanpa ada dorongan eksternal atau konsekuensi yang jelas, ia akan selalu kalah oleh kekuatan gravitasi status quo. Api semangat untuk berubah padam sebelum sempat membesar karena tidak ada yang meniupnya.

Dinding Keempat: Sistem yang Tak Menghargai Keahlian (Struktur Birokrasi)

Ini adalah paku terakhir di peti mati implementasi kebijakan. Tesis ini menemukan bahwa "pembagian tugas yang masih kurang didasarkan pada syarat SKTJJ". Artinya, tidak ada perbedaan perlakuan, keuntungan, atau status yang nyata antara pegawai yang bersertifikat dan yang tidak.  

Logikanya sederhana: jika tidak ada hadiah untuk melakukan hal yang benar, dan tidak ada sanksi untuk tidak melakukannya, mengapa harus repot? Struktur birokrasi di dinas ini tidak menciptakan insentif. Memiliki sertifikat tidak menjamin promosi, kenaikan tunjangan, atau akses ke proyek yang lebih bergengsi. Sebaliknya, tidak memilikinya pun tidak menghalangi karier seseorang untuk terus berjalan seperti biasa.

Sistem ini, secara tidak sengaja, mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada para pegawainya: "Sertifikat itu bagus di atas kertas, tapi di dunia nyata, itu tidak terlalu penting. Lanjutkan saja pekerjaanmu." Ini menciptakan sebuah lingkaran setan: sistem yang buruk melahirkan pegawai yang tidak termotivasi, dan pegawai yang tidak termotivasi tidak akan pernah mendorong perbaikan sistem.

Opini Pribadi: Apa yang Membuat Saya Mengernyitkan Dahi?

Membaca tesis ini memberikan saya semacam pencerahan yang getir. Saya salut dengan keberanian penelitinya yang tidak hanya berhenti pada angka dan data, tetapi berani menyoroti masalah "lunak" seperti komitmen dan budaya kerja—sesuatu yang sering dihindari dalam analisis teknis. Temuan ini terasa begitu nyata dan relevan, tidak hanya untuk Sumatera Utara, tapi mungkin juga untuk banyak instansi lain di seluruh Indonesia.

Ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam reformasi birokrasi kita: kita bisa membuat aturan terbaik di dunia, tetapi jika tidak didukung oleh perubahan sumber daya, insentif, dan yang terpenting, mindset, aturan itu hanya akan menjadi macan kertas.

Meski temuannya hebat dan analisisnya tajam, harus saya akui, kerangka teori kebijakan publik yang digunakan (Model Edward III) terkadang terasa agak kaku dan abstrak untuk pembaca awam. Tesis ini adalah sebuah harta karun, tetapi kita perlu sedikit menggali dan membersihkan lumpurnya untuk menemukan emasnya. Itulah mengapa saya merasa perlu menulis artikel ini untuk Anda—untuk menerjemahkan temuan penting ini menjadi cerita yang bisa kita pahami bersama.  

Tiga Langkah Sederhana (Tapi Sulit) untuk Membangun Jembatan Menuju Kualitas

Lalu, apa solusinya? Tesis ini tidak hanya berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menawarkan resep perbaikan. Saya menerjemahkan tiga saran utamanya menjadi langkah-langkah yang lebih naratif.  

  1. Bangun Jalannya, Bukan Hanya Menunjuk Arahnya. Ini adalah terjemahan dari saran untuk "menjalin kerjasama dengan lembaga sertifikasi profesi". Artinya, pimpinan tidak bisa hanya menyuruh, "Sana, cari sertifikat!" Mereka harus aktif memfasilitasi. Sediakan "bus" menuju tempat ujian, jangan suruh pegawai jalan kaki. Buat program pelatihan yang relevan, anggarkan biayanya, dan jadikan prosesnya semudah mungkin.

  2. Ciptakan 'Game' yang Layak Dimenangkan. Ini adalah terjemahan dari saran agar "pembagian tugas didasarkan pada kepemilikan sertifikat". Harus ada insentif yang jelas dan nyata. Jadikan sertifikat keahlian sebagai "kunci" untuk membuka level karier baru, proyek yang lebih menantang, atau tunjangan kinerja yang lebih tinggi. Sebaliknya, jadikan ketiadaan sertifikat sebagai penghalang untuk posisi-posisi teknis yang krusial. Buat aturan main yang jelas: keahlian teruji akan dihargai.

  3. Mulai dari Cermin. Ini adalah terjemahan dari saran agar "pegawai sebaiknya menunjukkan komitmen yang tinggi". Pada akhirnya, semua kembali pada individu. Profesionalisme adalah pilihan. Ini adalah panggilan untuk tanggung jawab pribadi bagi setiap aparatur sipil negara dan tenaga profesional. Membangun komitmen dan keahlian tim adalah fondasi utama. Bagi para pimpinan atau calon manajer yang ingin memperkuat timnya, mengikuti pelatihan manajemen di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi langkah strategis untuk belajar bagaimana menerapkan perubahan budaya dan memotivasi tim secara efektif.

Ini Bukan Cuma Soal Aspal dan Beton

Setelah membaca semua ini, kita kembali ke pertanyaan awal: mengapa jalanan kita cepat rusak? Jawabannya, ternyata, jauh lebih kompleks dari sekadar aspal yang tipis. Kualitas jalan dan jembatan yang kita gunakan setiap hari adalah cerminan langsung dari kualitas sistem, budaya, dan komitmen orang-orang yang merancang dan mengawasinya.

Sebuah lubang di jalan mungkin bukan hanya disebabkan oleh hujan atau beban kendaraan yang berlebih. Ia bisa jadi merupakan gejala dari kurangnya fasilitas sertifikasi, rendahnya komitmen pegawai, dan struktur birokrasi yang tidak menghargai keahlian.

Jadi, lain kali Anda merasakan guncangan JEDUG! di jalan, mungkin selain marah pada kontraktornya, kita bisa mulai mengajukan pertanyaan yang lebih cerdas: "Apakah para perencana dan pengawas di dinas terkait sudah tersertifikasi? Apakah sistem di sana sudah mendorong profesionalisme sejati?"

Memahami akar masalah ini adalah langkah pertama bagi kita sebagai warga negara untuk menuntut perbaikan yang lebih substantif, bukan sekadar tambal sulam yang akan rusak lagi minggu depan.

Diskusi ini baru permukaannya saja. Kalau kamu tertarik untuk menyelam lebih dalam ke data dan analisisnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca karya aslinya.

(https://doi.org/10.34007/jehss.v5i3.1545)