Insinyur Membangun Dunia, Tapi Siapa yang Membangun Insinyur? Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Berpikir

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

02 Oktober 2025, 14.05

Insinyur Membangun Dunia, Tapi Siapa yang Membangun Insinyur? Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Berpikir

Saya selalu punya gambaran spesifik tentang seorang insinyur. Mungkin Anda juga. Sosok jenius yang sedikit canggung secara sosial, menyendiri di sudut ruangan, dikelilingi oleh tumpukan cetak biru, layar monitor yang menampilkan barisan kode, dan papan tulis penuh kalkulasi rumit. Mereka adalah para pemecah masalah, arsitek diam-diam dari dunia modern kita. Mereka berbicara dalam bahasa matematika dan fisika, bahasa universal yang membangun jembatan, gedung pencakar langit, dan jaringan internet yang menopang peradaban kita.

Namun, dalam imajinasi saya, mereka selalu terasa sedikit... terpisah dari dunia yang mereka bangun. Mereka merancang jembatan, tetapi tidak selalu merenungkan komunitas yang akan terhubung—atau terpecah—olehnya. Mereka menulis kode untuk sebuah aplikasi, tetapi tidak selalu memikirkan masyarakat yang akan dibentuk—atau dirusak—olehnya. Mereka adalah ahli dalam "bagaimana," tetapi pertanyaan tentang "mengapa" dan "untuk siapa" seolah-olah menjadi urusan orang lain.

Lalu, saya membaca sebuah tesis. Bukan sembarang tesis. Ini adalah disertasi doktoral karya Dr. Diana Adela Martin dari Technological University Dublin, sebuah dokumen akademis setebal 300 halaman lebih yang, terus terang, mengubah cara saya memandang setiap jembatan, aplikasi, dan perangkat medis di sekitar saya. Tesis ini bukan sekadar kumpulan data yang kering; ia adalah sebuah pencerahan, sebuah investigasi kritis yang berani mengajukan pertanyaan yang sangat mengganggu: Bagaimana jika cara kita melatih para pembangun dunia kita secara fundamental cacat? Bagaimana jika kita, secara sistematis dan tanpa sadar, melatih mereka untuk mengabaikan separuh dari pekerjaan mereka?  

Ini bukan sekadar perdebatan akademis yang terkurung di menara gading. Ini adalah pertanyaan yang memiliki konsekuensi nyata dan sering kali berbahaya. Ini tentang mobil self-driving yang harus membuat pilihan antara menabrak satu orang atau lima orang. Ini tentang algoritma perbankan yang secara sistematis menolak pinjaman untuk kelompok masyarakat tertentu. Ini tentang perangkat medis canggih yang ternyata hanya cocok untuk satu jenis tubuh, mengabaikan separuh populasi lainnya. Ini tentang menemukan jiwa di dalam mesin, dan tesis Dr. Martin menunjukkan dengan gamblang bahwa kita mungkin telah lupa untuk menaruhnya di sana sejak awal.  

Hantu di dalam Kurikulum: Membongkar "Dua Budaya" dalam Dunia Teknik

Masalah inti yang dibongkar oleh Dr. Martin dalam penelitiannya di Irlandia adalah eksistensi "dua budaya" yang saling bertentangan di dalam jantung pendidikan teknik. Di satu sisi, ada budaya  teknis—dunia "mur dan baut" (nuts and bolts) yang diagung-agungkan. Ini adalah dunia perhitungan, efisiensi, dan solusi terukur. Ini adalah inti dari apa yang dianggap sebagai "teknik sejati." Di sisi lain, ada budaya sosial—dunia etika, dampak kemanusiaan, dan tanggung jawab lingkungan. Budaya ini, menurut temuan tesis, diperlakukan sebagai warga kelas dua: dianggap "lunak," tidak penting, dan sering kali hanya menjadi tambahan yang merepotkan.

Bayangkan melatih seorang ahli bedah. Anda mengajarkan mereka semua tentang anatomi, fisiologi, teknik bedah yang paling rumit, dan cara menggunakan peralatan canggih. Namun, Anda menganggap etika medis, cara berkomunikasi dengan pasien, dan empati sebagai "keterampilan lunak" yang bisa dipelajari sambil lalu, mungkin hanya dalam satu seminar singkat di akhir masa studi. Ahli bedah itu mungkin akan menjadi seorang teknisi tubuh manusia yang brilian, tetapi ia akan menjadi praktisi yang sangat berbahaya. Inilah, menurut tesis Dr. Martin, yang secara efektif kita lakukan terhadap para insinyur.

Ini bukan sekadar perasaan atau anekdot. Tesis ini menyajikan bukti kuantitatif yang dingin dan keras, yang saya temukan benar-benar mengejutkan. Dalam sistem akreditasi, setiap program studi menilai seberapa besar kontribusi setiap mata kuliah terhadap berbagai "Hasil Pembelajaran" (Programme Outcomes). Dr. Martin menganalisis data penilaian mandiri ini dari 23 program teknik di seluruh Irlandia dan menemukan sebuah pola yang tidak bisa disangkal.  

  • 🤯 Skor yang Jomplang: Rata-rata, mata kuliah teknik dinilai memberikan kontribusi sebesar 3.18 dari skala 4 untuk pengetahuan teknis (Hasil Pembelajaran A). Namun, untuk etika dan tanggung jawab profesi (Hasil Pembelajaran E), skor rata-ratanya anjlok menjadi hanya 1.56. Ini bukan sekadar perbedaan kecil; ini adalah jurang pemisah yang menunjukkan prioritas sistem yang timpang.  

  • 👻 Mata Kuliah Hantu: Di beberapa universitas, lebih dari separuh (hingga 58%) dari semua mata kuliah wajib dinilai memiliki NOL kontribusi terhadap pendidikan etika. Etika secara harfiah adalah hantu di dalam kurikulum—keberadaannya diakui secara formal, tetapi sering kali tidak terlihat dalam praktik sehari-hari.  

  • 📉 Prioritas Terbawah: Yang lebih menyedihkan, etika tidak hanya kalah dari mata kuliah teknis. Ia juga secara konsisten berada di peringkat paling bawah dibandingkan dengan keterampilan non-teknis lainnya seperti kerja tim dan komunikasi. Dari tujuh hasil pembelajaran yang diwajibkan, etika hampir selalu menjadi juru kunci.  

Data ini menjadi lebih hidup ketika dipadukan dengan bukti kualitatif. Tesis ini mendokumentasikan bagaimana para dosen dan administrator—orang-orang di dalam sistem itu sendiri—secara terbuka menggambarkan etika sebagai "soft skill," "tambahan" (add-on), atau "pelengkap" (complementary), bukan sebagai kompetensi inti. Seorang dosen bahkan khawatir bahwa menambahkan lebih banyak konten etika akan "mendangkalkan" (  dumbing down) konten teknik yang sebenarnya. Angka-angka dalam tabel bukan sekadar statistik; mereka adalah cerminan dari pola pikir yang mendarah daging.

Akar Masalahnya: Budaya yang Menjadi "Mekanisme Generatif"

Di sinilah tesis Dr. Martin bergerak dari sekadar deskripsi masalah yang brilian ke diagnosis yang menusuk jantung. Ia tidak hanya menunjukkan apa yang salah, tetapi juga menggali lebih dalam untuk menemukan mengapa hal itu terus terjadi. Menggunakan kerangka filosofis yang disebut Realisme Kritis, ia mengidentifikasi apa yang disebutnya sebagai "mekanisme generatif"—akar penyebab yang tersembunyi dan sering kali tidak terlihat, yang secara aktif menghasilkan pola-pola yang kita lihat di permukaan.  

Saya akan coba jelaskan dengan sebuah analogi. Bayangkan sebuah perusahaan teknologi yang terus-menerus gagal meluncurkan produk inovatif. Anda bisa menyalahkan proyek-proyek individu yang gagal, atau manajer produk yang tidak kompeten. Itu adalah gejala di permukaan. Tetapi seorang analis yang lebih dalam mungkin menemukan "mekanisme generatif"-nya: sebuah budaya perusahaan yang secara tidak sadar sangat takut akan kegagalan dan secara sistematis menghukum siapa pun yang mencoba mengambil risiko. Budaya tak terlihat inilah yang menghasilkan kegagalan inovasi secara berulang kali, tidak peduli seberapa sering Anda mengganti manajer atau proyek.

Dalam tesis ini, mekanisme generatif yang ditemukan adalah budaya pendidikan teknik itu sendiri. Sebuah budaya yang begitu mengakar yang mengagungkan solusi teknis yang "keras," terukur, dan objektif, sambil secara bersamaan meremehkan—bahkan mencurigai—pertimbangan sosial dan etis yang dianggap "lunak," subjektif, dan berantakan. Budaya ini adalah "sistem operasi" tak terlihat yang berjalan di latar belakang setiap ruang kelas, laboratorium, dan rapat komite kurikulum. Sistem operasi inilah yang memastikan bahwa etika akan selalu menjadi warga kelas dua.  

Penemuan ini memiliki implikasi yang sangat besar. Ini menjelaskan mengapa upaya-upaya reformasi di masa lalu sering kali gagal. Ketika badan akreditasi—seperti Engineers Ireland dalam studi ini—mewajibkan adanya pendidikan etika, mereka memberikan tekanan dari luar. Namun, mekanisme generatif—budaya internal—yang menghargai kehebatan teknis di atas segalanya, akan melawan.  

Ketika sebuah persyaratan eksternal bertentangan dengan budaya internal yang mendarah daging, respons alami sistem adalah mencari jalan termudah untuk mematuhi aturan tanpa harus mengubah nilai-nilai intinya. Dalam konteks ini, jalan termudah adalah "centang kotak" (box-ticking). Universitas menciptakan satu modul etika yang berdiri sendiri, memberinya bobot kredit yang rendah, dan mungkin diajarkan dengan setengah hati. Dengan cara ini, mereka secara formal telah memenuhi persyaratan akreditasi, tetapi budaya inti mereka tetap tidak tersentuh.

Jadi, pendekatan "tambalan" atau "tempelan" terhadap etika yang kita lihat di banyak kurikulum bukanlah sebuah kegagalan implementasi. Sebaliknya, itu adalah mekanisme pertahanan yang berhasil dari budaya dominan untuk menolak elemen asing yang dianggap mengancam. Ini menjelaskan mengapa solusi sederhana seperti "mari kita tambahkan lebih banyak mata kuliah etika" ditakdirkan untuk gagal. Anda tidak bisa memperbaiki budaya yang takut risiko dengan hanya mengadakan satu lokakarya inovasi. Anda harus mengubah budaya itu sendiri.

Melampaui "Tambalan": Cetak Biru Radikal untuk Insinyur Jenis Baru

Setelah mendiagnosis masalah hingga ke akarnya, tesis Dr. Martin tidak berhenti di situ. Ia mengajukan sebuah cetak biru untuk perubahan—bukan sekadar "tambalan," melainkan sebuah perombakan total terhadap fondasi pendidikan teknik itu sendiri. Ada dua ide besar yang saling terkait di sini: "rekonfigurasi sosioteknikal" dan pendidikan "untuk" etika.  

Rekonfigurasi Sosioteknikal: Mendefinisikan Ulang Apa Itu "Teknik"

Gagasan pertama adalah yang paling fundamental: kita harus berhenti melihat teknik sebagai disiplin "mur dan baut" dan mulai melihatnya sebagai disiplin sosioteknikal. Artinya, kita harus mengakui bahwa tidak ada keputusan teknis yang murni teknis. Setiap keputusan teknis secara inheren adalah keputusan sosial.

Memilih material A daripada material B untuk sebuah jembatan bukan hanya keputusan tentang kekuatan tarik dan biaya; itu juga keputusan sosial tentang daya tahan jangka panjang, dampak lingkungan dari penambangan material tersebut, dan biaya perawatan yang akan ditanggung oleh masyarakat di masa depan. Merancang antarmuka pengguna sebuah aplikasi bukan hanya keputusan teknis tentang tata letak tombol; itu juga keputusan sosial tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, inklusivitas bagi pengguna dari berbagai latar belakang budaya, dan potensi kecanduan yang bisa ditimbulkannya.

Ini mirip dengan pergeseran paradigma dalam dunia kedokteran dari model biomedis murni ke model "biopsikososial". Dokter yang baik tidak bisa lagi hanya merawat tubuh sebagai mesin biologis; mereka harus memahami bagaimana kondisi psikologis dan lingkungan sosial pasien memengaruhi kesehatan mereka. Demikian pula, insinyur yang baik tidak bisa lagi hanya membangun "mesin" tanpa memahami konteks sosial di mana mesin itu akan beroperasi.

Pendidikan "untuk" Etika: Dari Topik Menjadi Lensa

Jika kita menerima bahwa teknik adalah disiplin sosioteknikal, maka konsekuensi logisnya adalah kita harus merombak total cara kita mendidiknya. Di sinilah gagasan kedua muncul: beralih dari pendidikan dengan etika menjadi pendidikan "untuk" etika (for ethics).  

Perbedaannya sangat mendasar, dan saya akan coba jelaskan dengan analogi lain:

  • Pendidikan dengan Etika (Model Saat Ini): Ini seperti merancang dan membangun sebuah mobil dengan fokus penuh pada mesin, aerodinamika, dan kecepatan. Lalu, setelah mobilnya jadi, Anda menempelkan stiker di dasbor yang bertuliskan "Mengemudilah dengan Aman" dan menambahkan satu bab di buku manual tentang etika berlalu lintas. Etika adalah sebuah topik tambahan.

  • Pendidikan untuk Etika (Model yang Diusulkan): Ini seperti menjadikan "keselamatan" sebagai prinsip desain utama sejak goresan pertama di papan gambar. Setiap keputusan—mulai dari desain sasis untuk menyerap benturan, pemilihan sistem pengereman, penempatan airbag, hingga pengembangan sensor anti-tabrakan—dilihat melalui lensa keselamatan. Keselamatan bukan lagi sebuah topik; ia adalah kerangka kerja, sebuah cara pandang yang menjiwai seluruh proses desain dan rekayasa.

Inilah yang dimaksud dengan pendidikan "untuk" etika. Etika tidak lagi diajarkan dalam satu modul terisolasi. Sebaliknya, pertanyaan etis diintegrasikan ke dalam setiap mata kuliah inti. Dalam kelas termodinamika, mahasiswa tidak hanya menghitung efisiensi pembangkit listrik, tetapi juga mendiskusikan keadilan distributif dalam akses energi. Dalam kelas desain perangkat lunak, mereka tidak hanya belajar algoritma, tetapi juga menganalisis potensi bias dalam data pelatihan. Etika menjadi lensa yang digunakan untuk melihat seluruh bidang teknik.

Transformasi pola pikir ini—dari teknisi murni menjadi pemikir sosioteknikal—bukan hanya untuk mahasiswa. Para profesional yang sudah berkecimpung di dunia kerja juga perlu terus mengasah kemampuan ini. Sumber daya seperti(https://diklatkerja.com/) dapat menjadi jembatan penting untuk mempelajari cara mengintegrasikan pertimbangan etis dan strategis ke dalam praktik teknis sehari-hari. Ini adalah tentang pembelajaran seumur hidup untuk menjadi insinyur yang lebih utuh.

Namun, usulan ini sangat disruptif. Ini bukan sekadar meminta para dosen untuk menambahkan beberapa slide baru ke presentasi mereka. Ini meminta seorang ahli termodinamika, yang telah menghabiskan seluruh karirnya menguasai persamaan dan siklus energi, untuk juga menjadi fasilitator diskusi tentang keadilan sosial. Ini menantang identitas dan keahlian inti dari seluruh generasi pendidik teknik. Ini meminta mereka untuk mengubah bukan hanya apa yang mereka ajarkan, tetapi juga siapa mereka sebagai seorang pendidik. Ini adalah tantangan yang sangat besar, dan mungkin merupakan rintangan terbesar bagi reformasi sejati.

Refleksi Pribadi: Di Mana Penelitian Ini Bersinar dan Di Mana Ia Membuat Saya Bertanya-tanya

Sebagai seorang penulis yang sering bergelut dengan penelitian akademis, saya jarang menemukan karya yang begitu jelas, berani, dan relevan seperti tesis Dr. Martin. Diagnosisnya tentang "dua budaya" dan "mekanisme generatif" terasa begitu tepat dan kuat. Ini adalah jenis penelitian yang tidak hanya mendeskripsikan dunia, tetapi juga memberi kita alat untuk memahaminya secara lebih mendalam dan, semoga, mengubahnya.

Secara pribadi, membaca tesis ini secara permanen mengubah cara saya berinteraksi dengan dunia buatan di sekitar saya. Saya tidak lagi melihat jembatan hanya sebagai struktur baja dan beton; saya melihatnya sebagai artefak dari serangkaian keputusan—keputusan tentang prioritas, nilai, dan siapa yang penting. Saya tidak lagi menggunakan sebuah aplikasi hanya sebagai alat; saya bertanya, "Siapa yang membangun ini, dan apa yang mungkin mereka tidak pikirkan saat membuatnya?" Tesis ini memberi saya bahasa untuk memahami kegelisahan yang sering saya rasakan tentang teknologi: bahwa sering kali ada sesuatu yang hilang, sebuah dimensi kemanusiaan yang terabaikan.

Namun, di sinilah letak kritik halus saya, atau lebih tepatnya, pertanyaan saya yang paling mendalam. Solusi yang diusulkan—rekonfigurasi sosioteknikal dan pendidikan "untuk" etika—sangatlah indah dan secara intelektual memuaskan. Tetapi, apakah itu bisa diterapkan?

Bagaimana Anda mengubah budaya sebuah profesi global yang telah mengakar kuat selama lebih dari satu abad? Siapa yang akan melatih para pelatih? Bagaimana Anda meyakinkan sebuah departemen teknik yang terobsesi dengan "kekerasan" (hardness) teknis untuk merangkul "kelembutan" (softness) etika, terutama ketika, seperti yang ditemukan tesis ini, mereka cenderung melihatnya sebagai "pendangkalan" kurikulum?.  

Tesis ini dengan cemerlang menunjukkan kepada kita seperti apa puncak gunung itu seharusnya terlihat, tetapi jalan setapak untuk mendakinya masih terasa curam, berkabut, dan penuh dengan rintangan budaya yang mengakar. Dr. Martin telah memberi kita diagnosis yang brilian dan visi untuk penyembuhan. Namun, perjalanan menuju penyembuhan itu sendiri masih merupakan sebuah pertanyaan terbuka yang monumental.

Kesimpulan: Membangun Para Pembangun yang Lebih Baik

Pada akhirnya, tesis Dr. Diana Adela Martin jauh lebih besar dari sekadar kritik terhadap kurikulum teknik di Irlandia. Ini adalah sebuah manifesto tentang masa depan yang sedang kita bangun, detik demi detik, oleh para insinyur di seluruh dunia. Pesan utamanya sederhana namun mendalam: kualitas jembatan kita tidak hanya bergantung pada perhitungan tegangan dan kekuatan material, tetapi juga pada budaya, nilai, dan kesadaran para insinyurnya. Keamanan dan keadilan kecerdasan buatan kita tidak hanya bergantung pada kecanggihan algoritma, tetapi juga pada kedalaman empati dan kearifan para pemrogramnya.

Kita tidak bisa lagi menerima pemisahan antara "teknis" dan "etis." Di abad ke-21, setiap tindakan rekayasa adalah tindakan etis. Membangun dunia adalah tanggung jawab yang sangat besar, dan kita berutang pada diri kita sendiri untuk memastikan bahwa para pembangunnya dilengkapi tidak hanya dengan alat yang tepat, tetapi juga dengan kompas moral yang terkalibrasi dengan baik.

Jika percakapan ini memicu sesuatu dalam diri Anda, saya ingin meninggalkan Anda dengan beberapa pertanyaan untuk direnungkan:

  • Untuk Anda yang bekerja di bidang teknik dan teknologi: Apa "budaya" di tim dan perusahaan Anda? Apakah etika dan dampak sosial hanyalah sebuah kotak yang harus dicentang untuk bagian legal, atau sebuah lensa yang benar-benar Anda gunakan untuk membuat keputusan setiap hari?

  • Untuk Anda yang seorang pendidik: Beranikah kita membongkar kurikulum kita yang sudah nyaman dan membangunnya kembali dari awal, "untuk" etika? Apa yang menghalangi kita?

  • Untuk kita semua, sebagai pengguna teknologi: Lain kali Anda menggunakan sebuah aplikasi, melintasi sebuah jembatan, atau mengandalkan sebuah perangkat, berhentilah sejenak. Tanyakan: jiwa macam apa yang ada di dalam mesin ini?

Jika percakapan ini memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat merekomendasikan untuk membaca karya aslinya. Ini adalah bacaan yang menantang namun sangat berharga, sebuah peta jalan untuk mulai membangun para pembangun yang lebih baik, demi dunia yang lebih baik.

(https://doi.org/10.21427/7M6V-CC71)