Tinjauan Analitis Integrasi Administrasi Pertanahan dan Manajemen Risiko Bencana di Indonesia
Perjalanan Logis Temuan: Dekonstruksi Kesenjangan Sistemik
Penelitian ini secara metodis bergerak dari penetapan masalah teoretis menuju evaluasi empiris, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara administrasi pertanahan (AP) dan manajemen risiko bencana (MRB).1 Premis awalnya adalah bahwa integrasi antara komponen AP (Tata Ruang Penggunaan Lahan/LUP dan Kadaster) dan komponen MRB (Penilaian Risiko, Pencegahan, dan Mitigasi) sangat penting, namun di lapangan, hubungan ini sering kali "lemah atau tidak ada".1
Sebagai alat analitis, sebuah kerangka penilaian dikembangkan berdasarkan lima elemen kunci: Kebijakan, Pengaturan Organisasi, Data dan Berbagi Data, Keterlibatan Agen Eksternal, dan Dampak pada Lahan.1 Kerangka ini kemudian diterapkan pada dua studi kasus kontras di Indonesia: Padang, yang menghadapi ancaman gempa dan tsunami yang konstan; dan Banda Aceh, yang telah mengalami bencana dahsyat.1
Penerapan kerangka kerja ini secara konsisten menyimpulkan bahwa MRB dan AP belum terintegrasi sepenuhnya di kedua lokasi.1 Kesenjangan yang teridentifikasi berulang kali meliputi ketiadaan atau ketidaksesuaian regulasi, lemahnya mekanisme berbagi data antar lembaga, dan minimnya partisipasi efektif dari masyarakat.1 Secara keseluruhan, dampak dari integrasi parsial ini ditemukan tidak signifikan jika dibandingkan dengan dampak langsung yang ditimbulkan oleh bencana alam itu sendiri.1 Temuan ini mengarahkan ke pertanyaan terbuka tentang adanya "fenomena berbeda" dalam respons komunitas di kedua wilayah pasca-bencana, yang membutuhkan penyelidikan mendalam di masa depan.1
Sorotan Kuantitatif Deskriptif: Bukti Empiris Disartikulasi Risiko-Lahan
Temuan kuantitatif menunjukkan bagaimana bencana alam dan kebijakan berbasis risiko mengubah dinamika lahan dan nilai properti:
- Padang dan Keengganan Pasar: Di Padang, di mana ancaman tsunami mengintai, terjadi disartikulasi antara sinyal risiko pasar dan sistem regulasi properti. Data menunjukkan bahwa harga tanah di area aman (jauh dari pantai) telah meningkat 50% hingga 100% setelah gempa bumi tahun 2009.1 Peningkatan ini didorong oleh respons rasional masyarakat, di mana sekitar 29% responden di zona risiko tinggi memilih untuk menjual atau meninggalkan properti mereka untuk berinvestasi kembali di area yang lebih aman.1 Namun, kerentanan yang ada tetap masif, ditunjukkan dengan adanya 105.435 bidang tanah, atau sekitar 52% dari seluruh bidang tanah di kota, yang berada di dalam zona risiko tinggi.1
- Banda Aceh dan Siklus Kembali ke Risiko: Di Banda Aceh, meskipun kota ini hancur total pada tahun 2004, terjadi fenomena "Kembali ke Risiko" pasca-rekonstruksi. Meskipun program relokasi dilaksanakan, 31.5% dari 1.514 keluarga yang direlokasi dilaporkan kembali ke tempat asal mereka di High Hazard Zone.1 Fenomena ini terjadi bahkan ketika Rencana Tata Ruang Berbasis Risiko menetapkan bahwa sekitar 35% (sekitar 25.000 bidang tanah) dari lahan yang terkena dampak langsung harus diubah menjadi zona terbuka atau hutan bakau.1 Secara paradoks, harga tanah di zona aman melonjak hingga 300%-400% pada tahun 2010.1 Data ini menunjukkan bahwa investasi rekonstruksi, kebutuhan mata pencaharian, dan intervensi bantuan eksternal mengalahkan sinyal risiko, memicu kenaikan nilai bahkan di area yang rentan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah identifikasi empiris terhadap Kesenjangan Implementasi Kritis, yang berakar pada kegagalan hukum untuk menghubungkan perencanaan tata ruang dengan administrasi kadaster.1 Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) yang ditetapkan oleh zonasi risiko (melalui LUP) gagal dicatat secara hukum pada sertifikat tanah individual.1 Kegagalan hukum ini membuat rencana mitigasi berbasis risiko tidak dapat ditegakkan di tingkat bidang tanah, suatu temuan yang esensial bagi reformasi kebijakan lahan. Selain itu, penelitian ini memberikan landasan untuk studi komparatif dengan mengidentifikasi adanya "fenomena yang berbeda" dalam respons komunitas antara Padang dan Banda Aceh, yang menyoroti bahwa tanggapan manusia terhadap risiko sangat dipengaruhi oleh konteks (seperti intervensi pasca-bencana dan keterikatan mata pencaharian).1
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Analisis empiris ini mengungkap keterbatasan sistemik yang perlu diatasi melalui penelitian lanjutan 1:
- Kesenjangan Regulasi dan Rantai Hukum yang Putus: Tidak adanya peraturan yang secara hukum mewajibkan peta bahaya digunakan sebagai dasar wajib untuk Rencana Tata Ruang (LUP).1 Selain itu, informasi RRR (Pembatasan/Tanggung Jawab) dari LUP tidak diintegrasikan atau dicatat dalam sertifikat tanah atau database Kadaster, sehingga memutus rantai penegakan hukum.1
- Kesenjangan Berbagi Data: Lemahnya mekanisme dan regulasi untuk berbagi data secara efisien antara lembaga LUP dan Kadaster (untuk penilaian properti dan batasan) menghambat proses integrasi.1
- Peran Kadaster yang Terbatas dalam DRM: Data kadaster yang kaya, seperti nilai properti dan kepemilikan, tidak digunakan secara optimal oleh lembaga Manajemen Risiko Bencana (DRM) dalam menghitung kerentanan dan potensi kerugian ekonomi.1
- Pertanyaan Terbuka Utama: Diperlukan studi lanjutan yang berfokus pada mengapa terjadi fenomena berbeda dalam respons komunitas di Padang (menjauhi risiko) dan Banda Aceh (kembali ke risiko), suatu temuan yang muncul sebagai anomali yang perlu diselidiki secara mendalam.1
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan kesenjangan yang ditemukan, berikut adalah lima arah penelitian berkelanjutan yang direkomendasikan 1:
- Rekomendasi Riset: Studi Lanjutan Fenomena Respons Komunitas Terhadap Risiko Jangka Panjang.
- Justifikasi Ilmiah: Tesis mengidentifikasi fenomena berbeda (Padang versus Banda Aceh) sebagai temuan penting yang harus diatasi.1 Penelitian harus menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif campuran untuk mengisolasi variabel-variabel yang memengaruhi keputusan komunitas (misalnya, bantuan, ikatan mata pencaharian berbasis lokasi, dan trauma) untuk memastikan program mitigasi di masa depan bersifat people-centered dan berkelanjutan.
- Rekomendasi Riset: Pengembangan dan Uji Coba Prototipe Kadaster Sadar-Risiko (Risk-Aware Cadastre).
- Justifikasi Ilmiah: Secara langsung mengatasi kesenjangan implementasi kritis di mana Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) dari LUP berbasis risiko gagal dicatat.1 Penelitian harus merancang dan menguji prototipe teknis-hukum yang mengintegrasikan RRR bencana sebagai atribut hukum pada catatan bidang tanah, menjadikan informasi risiko dapat ditegakkan secara hukum dan tersedia untuk publik.
- Rekomendasi Riset: Reformasi Regulasi Kebijakan Berbagi Data Kadaster untuk Penilaian Risiko.
- Justifikasi Ilmiah: Lemahnya berbagi data adalah hambatan utama bagi integrasi.1 Penelitian harus merancang regulasi baru yang memungkinkan data kadaster yang penting (misalnya, lokasi, luas, nilai properti) untuk dibagikan secara efisien dan cepat kepada lembaga DRM untuk melakukan penilaian kerentanan ekonomi yang terperinci, tanpa mengorbankan privasi pemilik lahan.
- Rekomendasi Riset: Model Penilaian Properti Fiskal Berbasis Risiko.
- Justifikasi Ilmiah: Penelitian menunjukkan adanya disartikulasi antara nilai pasar yang turun dan nilai pajak (NJOP) yang justru naik di zona risiko tinggi.1 Studi ini harus mengembangkan model penilaian properti baru (misalnya, Model Penilaian Massa) yang memasukkan risiko bencana sebagai variabel negatif untuk menyelaraskan sistem pajak dengan realitas risiko, sehingga menciptakan insentif fiskal bagi pemilik lahan untuk mitigasi.
- Rekomendasi Riset: Modernisasi Sistem Kadaster dan Interoperabilitas Data Spasial Nasional.
- Justifikasi Ilmiah: Kadaster harus dimodernisasi ke sistem digital yang lebih andal untuk secara efektif mendukung DRM dan LUP sebagai dasar informasi.1 Penelitian harus fokus pada standarisasi sistem proyeksi dan format data spasial antara BPN, BAPPEDA, dan BNPB (misalnya, dari TM3° Kadaster ke UTM LUP) untuk mengatasi inefisiensi teknis dalam overlay data.1
Keterhubungan Temuan dan Potensi Jangka Panjang
Keterhubungan antara temuan-temuan saat ini dan potensi jangka panjang mengarah pada risiko mendalam yang dapat disebut Siklus Penciptaan Kembali Kerentanan. Kegagalan sistemik untuk mencatat Pembatasan dan Tanggung Jawab (RRR) dari Rencana Tata Ruang ke dalam Kadaster secara efektif membuat upaya mitigasi tingkat kota tidak berdaya di tingkat bidang tanah individual.1
Siklus ini bekerja sebagai berikut: Setelah bencana, zona risiko tinggi ditetapkan sebagai area terlarang (LUP). Namun, karena tidak adanya pencatatan RRR ini pada sertifikat tanah, program pemulihan pasca-bencana memulihkan sertifikat tanah sebelum bencana.1 Akibatnya, komunitas kembali ke zona bahaya dengan dokumen legal yang secara hukum mengizinkan pembangunan kembali. Potensi jangka panjangnya adalah bahwa investasi besar dalam rekonstruksi dan bantuan justru digunakan untuk membangun kembali kerentanan yang sama.1 Tesis ini menunjukkan bahwa selama rantai hukum ini tetap terputus, setiap bencana di masa depan akan terjadi dengan kerentanan yang sama, yang kini didukung oleh legitimasi hukum yang cacat dari sertifikat tanah yang baru dipulihkan.
Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa menjembatani kesenjangan implementasi yang kritis ini membutuhkan upaya yang terkoordinasi dan multi-lembaga.1 Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, didukung oleh wawasan akademik dari institusi seperti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan partisipasi lapangan dari organisasi seperti KOGAMI.1
https://webapps.itc.utwente.nl/library/papers_2011/msc/la/syahid.pdf