Ijazah vs. Pengalaman: Riset Ini Mengubah Cara Saya Memandang Karier

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

02 Oktober 2025, 14.27

Ijazah vs. Pengalaman: Riset Ini Mengubah Cara Saya Memandang Karier

I. Pengakuan Dosa Seorang Kolektor Ijazah

Izinkan saya memulai dengan sebuah pengakuan dosa. Selama bertahun-tahun, saya adalah seorang pemuja ijazah. Saya percaya dengan sepenuh hati bahwa jalan menuju kesuksesan dilapisi kertas-kertas berharga dengan logo universitas ternama di atasnya. Mentalitas saya sederhana: kumpulkan sebanyak mungkin "huruf-huruf di belakang nama," maka pintu-pintu emas akan terbuka dengan sendirinya. Saya sibuk berburu logo di atas kertas, meyakini bahwa kualifikasi formal adalah segalanya. Setiap sertifikat baru terasa seperti menabung satu keping emas untuk masa depan.

Namun, seiring waktu, sebuah kegelisahan mulai merayap. Di dunia nyata, saya melihat orang-orang dengan portofolio pengalaman yang kaya melesat lebih cepat daripada mereka yang hanya berbekal transkrip nilai cemerlang. Pertanyaan itu terus menghantui: apakah semua ijazah yang saya kumpulkan ini benar-benar sepenting yang saya kira?

Di tengah kegelisahan itulah saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Eddie Fisher dan Yorkys Santana González. Judulnya sederhana: “Qualifications and Certificates v Practical Knowledge and Experience: Is There a Winner?”. Paper ini seolah menjadi jawaban atas pertanyaan yang sudah lama saya pendam. Ia bukan sekadar opini, melainkan sebuah investigasi sistematis yang memberikan data dan kerangka untuk memahami perdebatan klasik ini.  

Para penulisnya membuka riset mereka dengan menghadapkan dua kutipan legendaris yang seolah saling bertentangan. Di satu sisi, ada Albert Einstein yang berkata, 'Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.' Di sisi lain, Benjamin Franklin menimpali, 'Investasi dalam pengetahuan membayar bunga terbaik'. Inilah konflik utamanya. Apakah kita berada di tim Einstein, yang mengagungkan pengalaman praktis? Ataukah kita pengikut setia Franklin, yang percaya pada kekuatan pengetahuan formal? Paper ini mengajak kita untuk tidak sekadar memilih tim, tetapi untuk memahami medan pertempuran yang sesungguhnya.  

II. Pertarungan Abadi: Apa Kata Riset Soal Ijazah vs. Pengalaman?

Saat Einstein dan Franklin Berdebat di Meja Kerjamu

Perdebatan antara ijazah dan pengalaman bukan lagi sekadar obrolan filosofis di warung kopi. Ini adalah masalah ekonomi yang sangat nyata bagi perusahaan, dan riset ini membuktikannya dengan angka yang gamblang. Bayangkan Anda seorang manajer. Setiap kali seorang karyawan mengundurkan diri, perusahaan Anda harus menanggung biaya rata-rata sebesar £31,000 untuk mencari penggantinya. Biaya ini mencakup hilangnya produktivitas selama masa transisi hingga biaya logistik rekrutmen.  

Angka yang lebih mengejutkan lagi adalah durasi adaptasi. Seorang karyawan yang pindah dari sektor industri yang sama butuh waktu sekitar 15 minggu untuk mencapai produktivitas optimal. Namun, seorang lulusan baru—fresh graduate dengan ijazah mengilap—membutuhkan waktu hingga 40 minggu, atau hampir setahun penuh, untuk mencapai level yang sama.  

Di sinilah letak inti masalahnya. "Pergeseran paradigma" dari kualifikasi ke pengalaman yang disorot dalam paper ini bukanlah sekadar tren atau mode sesaat. Ini adalah reaksi pasar yang logis, yang didorong oleh efisiensi dan biaya. Ketika model "rekrut berdasarkan ijazah" terbukti sangat mahal dan lambat, pasar secara alami akan mengoreksi dirinya sendiri. Perusahaan, yang pada dasarnya adalah entitas yang digerakkan oleh efisiensi, mulai memprioritaskan kandidat yang bisa "langsung tancap gas" dan meminimalkan biaya adaptasi selama 40 minggu tersebut. Jadi, ketika perusahaan lebih memilih kandidat berpengalaman, itu bukan karena mereka tidak menghargai pendidikan, melainkan karena mereka membuat keputusan bisnis yang rasional.  

Bukan Sekadar Kertas, Inilah Nilai Sebenarnya dari Gelarmu

Namun, menyimpulkan bahwa ijazah tidak lagi berharga adalah sebuah kesalahan fatal. Paper ini dengan adil menyajikan argumen yang kuat untuk mendukung pendidikan formal. Kualifikasi akademis bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan; ini adalah fondasi untuk pengembangan intelektual, personal, dan sosial.  

Saya suka menggunakan analogi ini: memiliki gelar itu seperti mempelajari denah dan fondasi sebuah bangunan. Anda mungkin belum pernah meletakkan satu bata pun, tetapi Anda memahami prinsip-prinsip fisika, material, dan desain yang membuat bangunan itu berdiri kokoh. Tanpa pengetahuan teoretis ini, pengalaman praktis hanya akan menjadi serangkaian tindakan coba-coba tanpa pemahaman yang mendalam. Seperti yang ditekankan dalam riset, aplikasi praktis sering kali didasarkan pada pengetahuan teoretis yang sudah ada sebelumnya. Teori memberi kita "peta," sementara praktik adalah perjalanannya. Tanpa peta, perjalanan bisa jadi tanpa arah.  

Tiga Tahun di "Universitas Kehidupan" yang Mengalahkan S1

Di sisi lain, argumen untuk pengalaman kerja juga tak kalah kuatnya. Riset ini mencatat bahwa seorang kandidat yang pada usia 21 tahun telah memiliki tiga tahun pengalaman kerja yang solid sering kali berada di posisi yang lebih menguntungkan daripada rekan sebayanya yang baru lulus S1. Mengapa? Karena pengalaman memberikan sesuatu yang tidak bisa ditawarkan oleh transkrip nilai: bukti nyata.  

Pengalaman kerja adalah portofolio hidup yang menunjukkan bahwa Anda bisa bekerja dalam tim, bertahan di bawah tekanan, disiplin, tepat waktu, dan mampu beradaptasi dalam lingkungan kerja yang dinamis. Ini adalah bukti bahwa Anda memahami bagaimana sebuah perusahaan benar-benar berfungsi—ritme rapat, politik kantor, cara berkomunikasi dengan atasan—hal-hal yang tidak akan pernah diajarkan di ruang kelas. Pengalaman mengubah pengetahuan abstrak menjadi kompetensi yang teruji.  

III. Pemenangnya Bukan yang Kamu Kira: Lahirnya Pendekatan Hibrida

Riset Ini Mengungkap Jawaban yang Mengejutkan (dan Melegakan)

Jadi, siapa pemenangnya? Einstein atau Franklin? Ijazah atau pengalaman? Di sinilah paper ini memberikan kesimpulan puncaknya yang brilian dan melegakan. Pemenangnya bukanlah salah satu dari keduanya. Jawabannya adalah pendekatan hibrida, tetapi dengan sebuah penekanan yang sangat penting. Pendekatan terbaik adalah fokus utama pada pengalaman praktis yang didukung oleh pengetahuan teoretis yang relevan, bukan sebaliknya.  

Ini adalah sebuah pembalikan dari cara berpikir tradisional. Selama ini kita diajarkan untuk belajar teori dulu di bangku kuliah, baru kemudian mencari pengalaman. Riset ini menyarankan sebaliknya: terjunlah, dapatkan pengalaman, dan gunakan teori untuk memperdalam, mengontekstualisasikan, dan mengoptimalkan pengalaman tersebut.

Mari kita ringkas temuan utamanya:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Pendekatan hibrida yang memprioritaskan pengalaman terbukti paling efektif untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

  • 🧠 Inovasinya: Urutannya penting. Bukan teori dulu baru praktik, tapi fokus pada praktik yang diperkuat oleh teori. Ini membalik cara pikir tradisional kita.

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam perlombaan mengumpulkan ijazah. Mulailah membangun portofolio pengalaman, dan gunakan pengetahuan teoretis untuk membuatnya lebih bermakna.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Bukan Cuma Skill, Tapi "Mindset"

Saat saya menggali lebih dalam, saya menemukan lapisan wawasan yang lebih mengejutkan. Ternyata, di atas kualifikasi dan pengalaman, ada lapisan ketiga yang sering kali menjadi penentu utama: atribut dan kualitas pribadi.

Paper ini mengutip argumen dari Williams yang menyatakan bahwa faktor-faktor seperti kontribusi, kesesuaian budaya (cultural fit), motivasi, dan keterlibatan sering kali lebih berbobot daripada kualifikasi atau pengalaman itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh data dari Chartered Management Institute (CMI) yang menempatkan "Sikap dan ambisi" serta "Presentasi pribadi" di urutan teratas dalam faktor-faktor yang memengaruhi keputusan rekrutmen, bahkan di atas kualifikasi akademis.  

Ini membawa kita pada konsep kunci yang disebut “Employability”. Employability bukanlah sekadar gabungan dari ijazah dan pengalaman. Ini adalah sebuah "meta-skill" yang berpusat pada mindset—kemampuan untuk terus belajar, beradaptasi, dan yang terpenting, merefleksikan pengalaman. Paper ini mendefinisikannya sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Model Karier dari Sewell dan Dacre Pool bahkan melangkah lebih jauh dengan memasukkan elemen-elemen psikologis seperti  

self-esteem (harga diri), self-efficacy (keyakinan pada kemampuan diri), dan self-confidence (kepercayaan diri) sebagai komponen inti dari employability.  

Ijazah dan pengalaman hanyalah bukti atau proksi dari employability, bukan employability itu sendiri. Tujuan akhirnya bukanlah mengumpulkan kertas atau jabatan, melainkan mengembangkan mindset seorang pembelajar yang adaptif. Dalam konteks ini, pengalaman kerja, magang, dan bahkan proyek sukarela adalah "gym" terbaik untuk melatih otot employability ini.

IV. Cara Menerapkannya Hari Ini (Bahkan Jika Kamu Masih Mahasiswa)

Meretas Sistem: Cara Membangun "Portofolio Karier" Sejak Dini

Lalu, bagaimana cara menerapkan wawasan ini dalam kehidupan nyata? Jawabannya adalah dengan mengadopsi konsep "portofolio karier" (career portfolios) yang disebutkan dalam paper. Berhentilah berpikir seperti "mahasiswa" atau "karyawan junior," dan mulailah berpikir seperti "profesional dalam pelatihan." Ini berarti secara proaktif mencari setiap kesempatan—sekecil apa pun—untuk membangun bukti nyata dari kemampuan Anda. Setiap proyek kelas, kegiatan organisasi, pekerjaan paruh waktu, atau bahkan hobi bisa menjadi bagian dari portofolio Anda jika Anda bisa menceritakan apa yang Anda pelajari dari sana.  

Jadilah "Pembelajar Aktif", Bukan Kolektor Pasif

Kunci untuk membangun portofolio yang kuat adalah dengan menjadi pembelajar aktif, dan di sinilah Siklus Belajar Kolb (Kolb's Learning Cycle) yang dijelaskan dalam paper menjadi sangat relevan. Bayangkan belajar memasak. Anda tidak bisa hanya membaca buku resep (teori). Anda harus masuk ke dapur dan mencoba (  

Concrete Experience). Mungkin masakan pertama Anda gosong. Anda lalu berpikir, 'Apa yang salah? Oh, apinya terlalu besar' (Reflection & Observation). Dari sana, Anda menyimpulkan sebuah prinsip baru, 'Untuk resep ini, api sedang adalah yang terbaik' (Abstraction & Conceptualisation). Keesokan harinya, Anda mencoba lagi dengan api yang lebih kecil (Active Experimentation).

Itulah cara belajar yang sebenarnya, dan siklus ini berlaku untuk karier juga. Setiap tugas, setiap kegagalan, setiap keberhasilan adalah kesempatan untuk melalui keempat tahap ini. Orang yang memiliki employability tinggi adalah mereka yang secara sadar dan terus-menerus memutar siklus belajar ini.

Magang, Proyek Sukarela, dan "Sandwich Course" Adalah Senjata Rahasiamu

Cara paling langsung untuk menerapkan pendekatan hibrida dan memutar Siklus Belajar Kolb adalah melalui pengalaman terstruktur. Paper ini menyoroti pentingnya magang, penempatan kerja (sandwich placements), dan bahkan pekerjaan sukarela. Sebuah data menarik menyebutkan bahwa 73% perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman sukarela, dan 58% percaya bahwa pengalaman sukarela bisa lebih berharga daripada pekerjaan berbayar.  

Ini adalah senjata rahasia Anda. Jika Anda ingin meningkatkan skill praktis sambil tetap belajar teori, program seperti yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi jembatan yang sempurna antara dunia kampus dan dunia kerja, membantumu menerapkan siklus belajar Kolb dalam konteks profesional.

Opini Pribadi: Di Mana Letak Kelemahan Riset Ini?

Tentu saja, tidak ada riset yang sempurna. Meskipun temuan dari paper ini sangat berharga, penting untuk melihatnya dengan kacamata kritis. Metodologi penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu diakui. Wawancara tatap muka yang menjadi dasar analisis kualitatifnya hanya melibatkan 21 mahasiswa psikologi sarjana di Angola. Ini berarti, meskipun wawasannya kuat secara konseptual, generalisasinya ke industri lain (misalnya, hukum atau kedokteran yang sangat bergantung pada kualifikasi formal) atau ke budaya kerja yang berbeda mungkin memerlukan kehati-hatian.  

Keterbatasan ini juga menyoroti bahaya lain yang disinggung dalam paper: fenomena “over-education” atau kelebihan kualifikasi, seperti yang terjadi di Spanyol. Di pasar kerja yang sangat kompetitif, ada kecenderungan bagi individu untuk terus menumpuk kualifikasi sebagai cara untuk "menandai" kemampuan mereka, berharap bisa menonjol dari keramaian.  

Di sinilah letak sebuah kontradiksi yang tragis. Di satu sisi, individu merasa cemas dan merespons dengan mengumpulkan lebih banyak ijazah. Di sisi lain, paper yang sama menunjukkan bahwa perusahaan semakin tidak peduli dengan sinyal tersebut dan lebih menghargai bukti pengalaman praktis. Ini adalah sebuah feedback loop negatif. Individu berinvestasi besar-besaran pada strategi yang nilainya semakin menurun di mata pasar. Peringatan bagi kita semua adalah: jangan jatuh ke dalam perangkap ini. Sadari perubahan aturan main dan jangan hanya mengikuti jalur tradisional secara membabi buta.

V. Kesimpulan: Berhenti Mengejar Gelar, Mulai Bangun Pengalaman

Kembali ke pengakuan dosa saya di awal. Setelah membaca dan merenungkan riset ini, saya menyadari bahwa saya bukanlah seorang "pemuja ijazah" lagi. Saya telah bertobat. Saya sekarang adalah seorang "pembangun portofolio."

Pesan utama dari riset ini bukanlah untuk memilih antara ijazah atau pengalaman. Pesannya jauh lebih dalam: kita harus beralih dari mentalitas "kolektor pasif" yang hanya mengumpulkan sertifikat, menjadi "pembangun aktif" yang secara sengaja menciptakan dan merefleksikan pengalaman. Kunci sukses di dunia kerja modern bukanlah ijazah atau pengalaman, melainkan integrasi cerdas antara keduanya, yang dijalankan oleh mindset seorang pembelajar seumur hidup.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah riset yang kaya. Kalau kamu tertarik untuk menyelami datanya lebih dalam dan melihat sendiri bagaimana para peneliti sampai pada kesimpulan ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.5296/ber.v10i2.16520)