Hak Asasi Manusia atas Alam: Sebuah Studi Perbandingan tentang Hak Hukum yang Muncul bagi Sungai dan Danau di Amerika Serikat dan Meksiko

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

24 Juni 2025, 09.30

pixabay.com

Hak Alam dalam Era Krisis Ekologi

Di tengah krisis lingkungan, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, muncul gerakan global yang mendorong pengakuan hak-hak hukum bagi alam—khususnya sungai dan danau. Paper karya Elizabeth Macpherson ini membedah secara komparatif bagaimana Amerika Serikat dan Meksiko merespons tuntutan tersebut melalui inovasi hukum, studi kasus, dan dinamika sosial-politik. Dengan menyoroti kasus Colorado River dan Lake Erie di AS serta eksperimen konstitusional di beberapa negara bagian Meksiko, Macpherson mengajak kita berpikir ulang: apakah pengakuan hak hukum bagi alam benar-benar mampu melindungi ekosistem vital, atau justru menambah kompleksitas baru dalam tata kelola lingkungan?

Latar Belakang: Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme

Sistem hukum modern, khususnya di Barat, selama ini menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengelola alam. Alam dipandang sebagai objek yang dapat dieksploitasi demi kemajuan ekonomi. Namun, sejak 1970-an, muncul kritik terhadap paradigma ini. Christopher Stone, melalui esainya “Should Trees Have Standing?”, menantang asumsi dasar hukum: mengapa hanya manusia (atau korporasi) yang bisa menjadi subjek hukum, sementara sungai, hutan, dan spesies lain tidak?

Gerakan hak-hak alam berkembang pesat di Amerika Latin, dipengaruhi kosmologi adat seperti buen vivir (Ekuador) dan sumak kawsay (Bolivia). Negara-negara ini mengadopsi konstitusi yang mengakui hak alam secara eksplisit. Di Selandia Baru, pengakuan status hukum Whanganui River menjadi preseden global, menginspirasi putusan serupa di Kolombia (Atrato River), India (Ganges dan Yamuna), dan kini merambah Amerika Serikat dan Meksiko.

Studi Kasus Amerika Serikat: Antara Inovasi Hukum dan Resistensi Konstitusional

1. Gerakan Hak Alam di AS: Dari Tamaqua ke Lake Erie

AS dikenal dengan tradisi hukum yang kuat, namun juga sangat antroposentris. Meski demikian, sejak 2006, sejumlah kota kecil mulai menerapkan “ordinance” yang mengakui hak hukum ekosistem. Tamaqua Borough di Pennsylvania menjadi pionir dengan melarang pembuangan limbah tambang ke ekosistem lokal, mengakui hak ekosistem untuk “eksis dan berkembang”. Hingga 2020, lebih dari 36 kota dan 100 distrik di Pennsylvania menerapkan ordinansi serupa.

Di Pittsburgh, ordinansi tahun 2010 melarang fracking dan mengakui hak komunitas alami untuk bebas dari polusi. Santa Monica, California, bahkan memasukkan hak alam dalam Sustainable City Plan, menegaskan hak warga atas air bersih, udara bersih, dan lingkungan yang sehat.

2. Kasus Colorado River: Hak Hukum vs. Realitas Politik

Colorado River adalah urat nadi ekonomi dan sosial AS bagian barat, memasok air ke lebih dari 40 juta orang dan bernilai ekonomi US$1,4 triliun. Namun, sungai ini mengalami degradasi parah akibat over-eksploitasi, polusi, dan perubahan iklim. Pada 2017, kelompok Deep Green Resistance mengajukan gugatan ke pengadilan Colorado agar Colorado River diakui sebagai subjek hukum dengan hak untuk “eksis, berkembang, dan beregenerasi”.

Argumen utama: hukum lingkungan yang ada gagal melindungi sungai, sehingga perlu pendekatan baru yang mengakui hak sungai secara langsung. Namun, negara bagian Colorado menolak keras, menuding penggugat tidak memiliki standing (legal standing), dan menegaskan bahwa sungai bukan subjek hukum. Gugatan akhirnya ditarik setelah ancaman sanksi hukum, menandai betapa kuatnya resistensi institusional dan politik terhadap inovasi hukum berbasis hak alam.

3. Lake Erie Bill of Rights: Demokrasi Radikal vs. Kepentingan Industri

Lake Erie, danau terbesar ke-11 di dunia, menopang 12 juta orang dan 17 kota metropolitan di AS dan Kanada. Namun, sejak 1960-an, danau ini mengalami eutrofikasi parah, “dead zones”, dan polusi akibat limbah pertanian dan industri. Pada 2019, warga Toledo, Ohio, menginisiasi “Lake Erie Bill of Rights” (LEBOR), mengakui hak danau untuk eksis dan berkembang, serta memberi hak warga untuk menggugat atas nama danau.

LEBOR disahkan lewat referendum dengan 61% suara. Namun, keesokan harinya, petani lokal menggugat LEBOR, menudingnya inkonstitusional dan mengancam kelangsungan usaha tani. Negara bagian Ohio dan pelaku industri juga melawan, dan akhirnya pengadilan federal membatalkan LEBOR, menyatakan hak hukum danau bertentangan dengan hak konstitusional manusia dan korporasi.

Studi Kasus Meksiko: Eksperimen Konstitusional dan Tantangan Implementasi

1. Konteks Sosial dan Hukum

Meksiko adalah negara federal dengan 120 juta penduduk, namun 43,6% hidup dalam kemiskinan dan akses air bersih masih rendah menurut standar internasional. Sistem air diatur secara kompleks: pemerintah federal, negara bagian, dan kota berbagi kewenangan, sementara hak atas air diakui sebagai hak asasi manusia dalam Konstitusi (Pasal 4).

Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Data menunjukkan pengambilan air di Meksiko mencapai 1,8 kali tingkat pembaruan alami, sementara polusi dan over-eksploitasi merajalela. Wilayah adat (ejido) sering terpinggirkan, padahal hampir 13% penduduk Meksiko adalah masyarakat adat.

2. Hak Alam dalam Konstitusi Negara Bagian

  • Guerrero (2014): Menjadi negara bagian pertama yang mengadopsi prinsip hak alam dalam konstitusi, meski tanpa elaborasi dalam undang-undang turunan.
  • Mexico City (2018): Konstitusi baru mengakui hak alam sebagai subjek hukum kolektif, hasil konsultasi publik besar-besaran. Namun, hingga kini belum ada undang-undang pelaksana yang mengatur detail perlindungan hak alam.
  • Colima (2019): Mengadopsi model Ekuador, menegaskan alam sebagai subjek hukum yang berhak atas eksistensi, restorasi, dan regenerasi siklus alaminya. Namun, seperti di negara bagian lain, implementasi masih minim.

3. Tantangan Implementasi

Di Meksiko, pengakuan hak alam seringkali bersifat deklaratif. Undang-undang pelaksana belum tersedia, dan institusi pelaksana belum terbentuk. Kompleksitas yurisdiksi antara federal, negara bagian, dan kota memperburuk koordinasi. Di wilayah adat, hak atas air dan tanah sering diabaikan atau direduksi oleh kepentingan privat dan negara.

Analisis Kritis: Kekuatan, Tantangan, dan Pelajaran Global

Kekuatan Paper

  • Komparatif dan kontekstual: Membandingkan dua negara dengan tradisi hukum berbeda, menyoroti variasi model dan tantangan.
  • Studi kasus konkret: Colorado River dan Lake Erie di AS, serta eksperimen konstitusional di Meksiko, memberi gambaran nyata dinamika hukum dan politik.
  • Koneksi global: Menunjukkan bagaimana preseden di Selandia Baru, Kolombia, dan Ekuador mempengaruhi perkembangan hukum di AS dan Meksiko.

Tantangan dan Kritik

  • Resistensi sistemik: Upaya pengakuan hak alam sering berbenturan dengan hak konstitusional manusia dan korporasi, serta kepentingan ekonomi.
  • Implementasi lemah: Banyak pengakuan hak alam tidak diikuti institusi, mekanisme pengawasan, atau pendanaan yang memadai.
  • Ambiguitas hukum: Tanpa definisi operasional dan standar implementasi, hak alam rawan menjadi simbolis, bukan protektif.
  • Potensi backlash: Kasus LEBOR menunjukkan bahwa pengakuan hak alam bisa memicu reaksi balik politik dan hukum yang justru memperlemah perlindungan lingkungan.

Studi Komparatif: Pelajaran dari Global South dan Indigenous Law

Macpherson menyoroti bahwa gerakan hak alam sering dipengaruhi kosmologi adat, yang memandang manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasa. Model Selandia Baru (Whanganui River) dan Kolombia (Atrato River) menempatkan komunitas adat sebagai penjaga dan representasi hukum sungai, dengan mekanisme kolaboratif antara negara dan masyarakat lokal.

Di Amerika Latin, pengakuan hak alam di Ekuador dan Bolivia didorong oleh gerakan sosial dan adat, namun implementasi sering terhambat oleh konflik kepentingan dan lemahnya institusi. Di AS, pengakuan hak alam lebih didorong oleh inisiatif lokal dan frustrasi terhadap kegagalan hukum lingkungan konvensional.

Opini dan Rekomendasi

  1. Perlu Integrasi Multilevel: Pengakuan hak alam harus diikuti dengan pembentukan institusi pelaksana, mekanisme pengawasan, dan pendanaan yang jelas di semua level pemerintahan.
  2. Kolaborasi dengan Komunitas Adat: Model guardian atau co-governance seperti di Selandia Baru dan Kolombia dapat meningkatkan efektivitas perlindungan sungai dan danau.
  3. Harmonisasi dengan Hak Manusia: Perlu dialog hukum untuk menghindari konflik antara hak alam dan hak konstitusional manusia/korporasi.
  4. Edukasi dan Partisipasi Publik: Pengakuan hak alam harus dibarengi edukasi publik dan pelibatan warga dalam pengawasan dan advokasi lingkungan.
  5. Reformasi Hukum Lingkungan: Hak alam bisa menjadi katalis untuk mereformasi hukum lingkungan yang selama ini terlalu permisif terhadap eksploitasi.

Relevansi Industri dan Kebijakan Global

  • SDGs dan ESG: Pengakuan hak alam relevan dengan SDG 6, 14, 15, dan tren ESG (Environmental, Social, Governance) dalam investasi global.
  • Industri ekstraktif dan agribisnis: Perlu memperhatikan hak alam dalam perencanaan bisnis, mitigasi risiko hukum, dan tanggung jawab sosial.
  • Kebijakan publik: Negara harus memastikan bahwa pengakuan hak alam tidak hanya deklaratif, tapi juga operasional dalam tata kelola sumber daya.

Hak Alam—Antara Harapan dan Realitas

Paper ini menunjukkan bahwa pengakuan hak hukum bagi sungai dan danau adalah inovasi hukum yang penting di era krisis ekologi. Namun, tanpa institusi pelaksana, mekanisme penegakan, dan harmonisasi dengan hak manusia, hak alam rawan menjadi simbolis. Studi kasus di AS dan Meksiko mengajarkan bahwa perubahan hukum harus diikuti perubahan politik, sosial, dan budaya. Masa depan hak alam akan sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat dan negara untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi di tengah kompleksitas tantangan lingkungan.

Sumber Artikel Asli

Elizabeth Macpherson, "The (Human) Rights of Nature: A Comparative Study of Emerging Legal Rights for Rivers and Lakes in the United States of America and Mexico," Duke Environmental Law & Policy Forum, Vol. XXXI:327, Spring 2021.