Dari Papan Tulis ke Dinding Rumah: Sebuah Kisah tentang Material yang Terlupakan
Saya ingat dulu waktu kecil, saat melihat guru menulis di papan tulis putih. Serbuk kapurnya beterbangan, dan kadang patah jika terbentur. Ternyata, material yang sama—gypsum—adalah bahan utama dari papan dinding (plasterboard) di rumah-rumah kita hari ini. Uniknya, gypsum punya siklus hidup seperti Phoenix: ia bisa ‘dilahirkan kembali’ dengan proses dehidrasi dan rehidrasi. Dalam teori, ia 100% bisa didaur ulang.
Tapi realitanya? Hanya 4% material plasterboard baru yang berasal dari plasterboard bekas. Sisanya? Tambang baru, energi baru, dan emisi karbon yang terus menumpuk.
Paper yang ditulis oleh S. Kitayama dan O. Iuorio dari University of Leeds ini seperti membuka mata saya: Kenapa kita tidak mencoba untuk memakai ulang plasterboard saja, alih-alih berharap pada daur ulang yang ternyata sangat sulit dilakukan?
Mari kita telusuri bersama.
Siklus Hidup Plasterboard: Lebih Panjang dari yang Kita Kira
๐๏ธ Dari Tambang ke Dinding: Jejak Karbon yang Terlupakan
Plasterboard terbuat dari 94,8% gypsum, 3,6% kertas pelapis, dan 1,6% bahan tambahan. Dari gypsum itu, hanya 4% yang berasal dari plasterboard daur ulang. Sebagian besar masih dari tambang baru atau limbah PLTU. Ini mirip dengan kita yang lebih memilih beli baju baru daripada memakai secondhand—padahal kualitasnya masih bagus.
Yang menarik, plasterboard sebenarnya punya umur pakai 50-60 tahun. Tapi dalam praktiknya, dinding infill (dinding pengisi di antara struktur utama) sering diganti setiap 30 tahun saat renovasi. Artinya, kita membuang material yang masih punya sisa usia 20-30 tahun! Itu seperti membuang smartphone yang masih lancir hanya karena modelnya sudah ketinggalan.
๐๏ธ Akhir yang Menyedihkan: Dari Landfill ke Gas Beracun
83% plasterboard bekas berakhir di landfill atau dipakai untuk keperluan non-konstruksi (misal pertanian). Sisanya, 17%, didaur ulang. Landfilling plasterboard bisa menghasilkan hidrogen sulfida—gas beracun dan bau menyengat. Sedangkan pembakarannya melepaskan sulfur pemicu hujan asam.
Bayangkan: kita mengganti dinding demi efisiensi energi, tapi proses pembuangannya justru merusak lingkungan. Ironis, bukan?
Lalu, Bisakah Kita Memakai Ulang Plasterboard?
Inilah inti dari paper ini. Penulis tidak hanya bertanya, tapi juga menjawab dengan data dan analisis yang meyakinkan.
๐ฉ Masalah Sekrup dan Solusi yang Sudah Ada
Plasterboard dipasang ke rangka baja dengan sekrup. Nah, untuk melepasnya, kita harus membuka sekrup itu. Masalahnya, bekas lubang sekrup bisa melemahkan cengkeraman jika dipasang lagi. Tapi ternyata, produsen seperti Siniat sudah punya panduan perbaikan untuk kerusakan kecil hingga sedang:
-
Kerusakan kecil (<15x15mm): bisa ditambal dengan sealant atau tape.
-
Kerusakan sedang (<300x300mm): bisa diisi dengan compound tahan air.
-
Kerusakan besar: ganti papan.
Artinya, technology already exists. Kita tidak perlu menunggu inovasi revolusioner. Yang kita butuhkan adalah cara berpikir yang baru.
๐งช Data Eksperimen: Masih Elastis, Masih Bisa Dipakai
Banyak penelitian telah menguji kekuatan dan elastisitas plasterboard dan sambungannya. Hasilnya menunjukkan bahwa selama deformasi masih dalam batas elastis (biasanya di bawah 40% dari kekuatan maksimal), material masih bisa dipakai lagi tanpa penurunan performa.
Ini seperti karet gelang: selama tidak ditarik sampai putus, ia masih bisa kembali ke bentuk semula. Plasterboard pun demikian.
๐ญ Prefabrikasi: Kunci Menuju Reuse yang Efisien
Ini bagian yang paling membuat saya optimis: dinding infill yang diprefabrikasi (dibuat di pabrik, lalu dipasang utuh di lokasi) punya potensi reuse yang sangat besar. Alih-alih melepas plasterboard dari rangka, kita bisa membongkar seluruh panel dinding dan memindahkannya ke bangunan lain.
Panel prefab ini biasanya sudah dilengkapi dengan jendela, insulasi, dan cladding. Tinggal angkat dan pasang. Mirip seperti mainan Lego yang bisa dibongkar-pasang.
Apa yang Bikin Saya Terkejut
-
Umur pakai plasterboard jauh lebih panjang dari yang kita kira. Kita selama ini mengganti dinding bukan karena rusak, tapi karena alasan desain atau regulasi.
-
Teknologi untuk reuse sudah ada. Kita tidak perlu menunggu 10 tahun lagi. Yang diperlukan adalah kemauan untuk mengubah praktik konstruksi dan demolisinya.
-
Prefabrikasi bukan cuma hemat waktu, tapi juga jalan menuju ekonomi sirkular. Ini win-win solution yang sayangnya masih kurang dimanfaatkan.
Dampak Nyata yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini
-
๐ Kurangi sampah konstruksi hingga 80% dengan reuse plasterboard dan panel infill.
-
๐ง Gunakan prefabrikasi untuk memudahkan disassembly di masa depan.
-
๐ก Lobi regulator untuk memasukkan kriteria design for disassembly dalam standar bangunan hijau.
Kritik Halus dan Catatan Pribadi
Meski paper ini sangat informatif dan membuka wawasan, saya merasa analisis ekonomi dari reuse plasterboard masih kurang. Berapa biaya yang bisa dihemat? Apakah lebih murah daripada membuat yang baru? Ini penting untuk meyakinkan kontraktor dan developer yang sangat sensitif dengan anggaran.
Selain itu, meski teknologi sudah ada, tantangan terbesar adalah mindset dan rantai pasokan. Siapa yang akan bertanggung jawab mengelola plasterboard bekas? Bagaimana sistem inspeksi dan sertifikasinya? Ini perlu diatur dalam ekosistem yang lebih besar.
Penutup: Mari Mulai dari Hal Kecil
Paper ini bukan hanya untuk akademisi atau insinyur, tapi untuk semua yang peduli dengan masa depan bumi. Kita bisa mulai dari hal kecil: memilih material yang bisa dipakai ulang, mendukung praktik konstruksi yang lebih bertanggung jawab, dan menyuarakan pentingnya ekonomi sirkular di industri bangunan.
Kalau kamu tertarik dengan detail lengkapnya, silakan baca paper aslinya di link berikut:
Mari bersama-sama membangun masa depan yang lebih hijau, satu papan dinding pada satu waktu.
Ingin mempelajari lebih lanjut tentang konstruksi berkelanjutan? Ikuti Kursus Online Konstruksi Hijau dari Diklatkerja untuk pemahaman yang lebih mendalam dan aplikatif.