Faktor Kritis Keberhasilan Pelatihan Keselamatan di Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Raihan

14 Oktober 2025, 17.31

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Tezel et al. (2021) berkontribusi signifikan dalam memahami pelatihan keselamatan kerja (K3) di industri konstruksi yang lebih efektif. Industri konstruksi selama ini menghadapi tingginya angka kecelakaan, dan pelatihan K3 dianggap sebagai salah satu upaya preventif utama. Namun, merancang pelatihan yang benar-benar efektif bukan hal mudah karena perbedaan gaya belajar pekerja, motivasi yang rendah, serta kendala bahasa di proyek. Studi ini memberikan analisis empiris terstruktur mengenai faktor-faktor apa saja yang paling menentukan keberhasilan sebuah sesi pelatihan keselamatan. Melalui tinjauan pustaka mendalam dan wawancara dengan pakar K3, peneliti awalnya mengidentifikasi 41 variabel kandidat. Setelah penyaringan dan penggabungan variabel yang mirip, diperoleh 25 variabel kunci yang dianggap memengaruhi sukses tidaknya pelatihan keselamatan (misalnya: durasi proyek, ukuran proyek, frekuensi pelatihan, penggunaan APD, dll.).

Selanjutnya, tim peneliti menyebarkan kuesioner kepada perusahaan dalam ENR Top 400 Contractors (400 kontraktor konstruksi terbesar). Dari survei ini terkumpul 93 respons (tingkat respons ~23%), mayoritas dari profesional konstruksi berpengalaman (lebih dari 20 tahun). Analisis data menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA) berhasil mereduksi 25 variabel tersebut ke dalam enam kelompok faktor utama yang disebut Critical Success Factors pelatihan K3. Keenam kelompok faktor kunci keberhasilan itu adalah: (1) Faktor Proyek dan Perusahaan, (2) Faktor Demografis, (3) Faktor Praktik Lapangan, (4) Faktor Motivasional, (5) Faktor Organisasional, dan (6) Faktor Manusia & Perilaku. Model enam faktor ini secara bersama mampu menjelaskan sekitar 77% variasi kesuksesan pelatihan – suatu cakupan yang kuat dan menyeluruh.

Temuan kuantitatif penting dari studi ini menunjukkan bahwa Faktor Proyek dan Perusahaan merupakan penentu terbesar keberhasilan pelatihan, menjelaskan ~39% dari total variasi. Variabel-variabel seperti jenis proyek, ukuran proyek, durasi proyek, hingga ukuran perusahaan memiliki nilai loading faktor sangat tinggi (≈0,92) dalam kelompok ini, menandakan hubungan yang sangat kuat dengan keberhasilan pelatihan. Artinya, konteks proyek dan kapasitas perusahaan (misalnya proyek besar dan berdurasi panjang pada perusahaan besar) cenderung menentukan seberapa efektif pelatihan K3 dilaksanakan. Di sisi lain, Faktor Demografis (misalnya usia, jenis kelamin, asal negara pekerja) walaupun berpengaruh, tercatat hanya menyumbang ~13% variasi dengan nilai mean penting yang lebih rendah (sekitar 3,3 dari skala 5). Ini mengindikasikan bahwa karakteristik demografi pekerja tidak sepenting faktor-faktor konteks proyek dalam menentukan efektivitas pelatihan, walaupun tetap perlu diperhatikan (contoh: perbedaan bahasa dan budaya pekerja migran yang dapat menghambat pelatihan).

Studi ini juga menegaskan pentingnya aspek praktis dan manusiawi dalam pelatihan. Faktor Praktik Lapangan (≈10% variasi) menyoroti betapa krusialnya pelatihan langsung (hands-on) dan persepsi positif terhadap pelatihan. Hands-on training memiliki mean 4,69 dengan loading faktor 0,84, menandakan bahwa pelibatan peserta secara aktif melalui simulasi atau praktik di lapangan sangat meningkatkan keberhasilan pelatihan. Demikian pula, persepsi peserta bahwa pelatihan itu bermanfaat mendorong mereka lebih patuh terhadap prosedur K3. Faktor Organisasional dan Motivasional secara total menyumbang sekitar 10%–11% variasi. Di dalamnya termasuk hal-hal seperti efektivitas penyampaian materi, mekanisme umpan balik, koordinasi, dukungan manajemen, insentif keselamatan, bahasa pengantar pelatihan, frekuensi pelatihan, dan kepuasan peserta terhadap pelatihan. Sebagai contoh, training frequency (frekuensi pelatihan) memiliki loading ~0,72, dan studi ini mencatat bahwa peningkatan frekuensi pelatihan berkorelasi dengan perubahan sikap pekerja ke arah perilaku lebih aman. Temuan tersebut menunjukkan hubungan kuat antara intensitas pelatihan dan peningkatan kesadaran risiko — koefisien 0,72 ini mengindikasikan potensi besar bagi pendekatan pelatihan rutin sebagai fokus penelitian dan praktik baru. Sementara itu, Faktor Manusia & Perilaku (≈4% variasi) mencakup penggunaan APD dan kualitas kepemimpinan. Menariknya, dua variabel ini justru memiliki skor rata-rata tertinggi di antara 25 variabel (mean ~4,9) meskipun persentase variasi totalnya kecil. Hal ini berarti hampir semua responden sepakat bahwa penggunaan APD yang konsisten dan kepemimpinan yang kuat di lapangan adalah elemen vital untuk suksesnya pelatihan K3. Kedua hal ini bersifat fundamental: penggunaan APD sering disebut sebagai variabel paling kritis untuk meningkatkan kesadaran keselamatan, dan kepemimpinan yang baik akan menciptakan budaya keselamatan yang kuat dalam jangka panjang.

Secara keseluruhan, kontribusi utama penelitian ini adalah peta jalan ilmiah bagi peningkatan program pelatihan K3 di industri konstruksi. Penelitian ini untuk pertama kalinya mengelompokkan berbagai faktor penentu keberhasilan pelatihan keselamatan ke dalam kerangka enam faktor yang teruji secara statistik. Hasilnya memberikan evidence-based guidance bagi praktisi dan manajer proyek: misalnya, menitikberatkan investasi pada aspek konteks proyek (jenis, ukuran, durasi) dan penguatan budaya keselamatan perusahaan, sembari tidak melupakan desain pelatihan yang interaktif, pemberian umpan balik, insentif, serta kepemimpinan yang proaktif. Bagi komunitas akademik, temuan ini menutup celah pengetahuan dengan mengidentifikasi variabel-variabel mana saja yang paling berdampak pada efektivitas pelatihan, sehingga riset selanjutnya dapat lebih terarah pada variabel kunci tersebut. Singkatnya, studi Tezel et al. memberikan landasan solid untuk merancang pelatihan keselamatan kerja yang lebih tepat sasaran, meningkatkan kinerja keselamatan, dan pada akhirnya menurunkan angka kecelakaan di industri konstruksi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menawarkan temuan penting, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, data dan hasil yang diperoleh berbasis persepsi responden (self-reported outcomes) dari perusahaan-perusahaan besar konstruksi di Amerika Serikat. Dengan kata lain, studi ini mengandalkan pengalaman dan penilaian subjektif para manajer/profesional K3 di perusahaan top tersebut. Hal ini membuka pertanyaan: apakah faktor-faktor keberhasilan yang teridentifikasi akan sama kuatnya apabila diukur dengan data objektif (misalnya penurunan tingkat kecelakaan sebenarnya) di lapangan? Kedua, cakupan geografis dan jenis organisasi dalam survei cukup terbatas. Responden terkonsentrasi pada kontraktor besar AS; hasil bisa berbeda jika studi serupa dilakukan di wilayah lain atau pada kontraktor yang lebih kecil. Budaya keselamatan dan regulasi di negara lain mungkin menekankan faktor berbeda. Misalnya, faktor bahasa mungkin lebih krusial di negara dengan banyak tenaga kerja asing, atau faktor insentif mungkin kurang berdampak di budaya tertentu. Keterbatasan ini menimbulkan pertanyaan terbuka untuk riset lanjutan mengenai generalizability temuan: seberapa universal enam kelompok faktor ini berlaku di konteks berbeda?

Ketiga, ukuran sampel relatif kecil jika dibandingkan populasi industri konstruksi secara luas. Meskipun para responden berasal dari perusahaan papan atas (industry leaders) dengan program K3 yang sudah maju, hanya 93 responden yang terlibat. Ini dapat menimbulkan bias karena kelompok responden yang terbatas mungkin tidak mewakili seluruh spektrum praktik pelatihan di industri. Penulis menyadari bahwa pengalaman dan persepsi kelompok elit ini cenderung positif (terbukti 90% lebih responden puas dengan pelatihan yang pernah mereka ikuti, dan merasa kesadaran keselamatannya meningkat). Kelompok ini bisa jadi memiliki budaya keselamatan lebih baik daripada rata-rata industri, sehingga faktor-faktor yang muncul penting di sini mungkin berbeda bobotnya bila survei mencakup perusahaan dengan rekam jejak K3 yang kurang.

Terakhir, studi ini belum membahas hubungan kausal secara mendalam. Hasilnya menunjukkan faktor mana yang terkait dengan keberhasilan pelatihan, namun belum terjawab bagaimana interaksi antar faktor terjadi atau mekanisme penyebabnya. Misalnya, apakah faktor proyek besar meningkatkan keberhasilan pelatihan karena perusahaan besar memiliki sumber daya lebih untuk pelatihan? Atau apakah frekuensi pelatihan tinggi menyebabkan perubahan perilaku, atau justru perusahaan dengan budaya baik cenderung memberi pelatihan lebih sering? Pertanyaan-pertanyaan ini masih terbuka.

Singkatnya, pertanyaan penelitian yang masih terbuka antara lain: (1) Apakah temuan faktor kunci ini berlaku di luar konteks kontraktor besar AS? (2) Bagaimana menerjemahkan faktor-faktor kunci ini menjadi indikator kinerja yang dapat diukur (misal pengurangan insiden) untuk benar-benar membuktikan efektivitasnya? (3) Apakah ada faktor lain yang luput karena fokus pada persepsi manajer (misalnya faktor ekonomi atau regulasi eksternal) yang sebaiknya turut dipertimbangkan? Mengakui keterbatasan-keterbatasan ini penting sebagai landasan dalam merancang penelitian lanjutan dan menguji keandalan temuan saat diaplikasikan lebih luas.

Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan di atas, berikut adalah 5 rekomendasi arah riset selanjutnya yang dapat dilakukan, lengkap dengan usulan metode, konteks, atau variabel baru serta justifikasi ilmiahnya:

  1. Studi Lintas Wilayah atau Negara: Melakukan riset serupa di negara lain atau konteks budaya berbeda untuk membandingkan faktor keberhasilan pelatihan. Metodologi bisa berupa survei dan analisis faktor di Asia Tenggara, Eropa, atau wilayah lain. Justifikasi: Penelitian Tezel et al. menunjukkan hasil yang spesifik pada kontraktor besar di AS; studi lanjutan dapat menguji apakah enam faktor kunci tersebut bersifat universal. Perbedaan regulasi K3, budaya kerja, dan profil tenaga kerja antar negara berpotensi memunculkan variasi faktor atau perbedaan bobot kepentingan. Hasil perbandingan lintas wilayah akan memperkuat validitas eksternal temuan dan membantu penyesuaian strategi pelatihan sesuai konteks lokal.
  2. Fokus pada Beragam Skala Perusahaan dan Tipe Proyek: Meluaskan penelitian ke perusahaan konstruksi skala kecil-menengah dan berbagai tipe proyek (misal proyek infrastruktur vs. perumahan). Metode yang diusulkan adalah studi komparatif: membandingkan apakah kontraktor kecil menempatkan penekanan berbeda pada faktor-faktor pelatihan dibanding kontraktor besar. Justifikasi: Faktor “ukuran perusahaan” dan “jenis proyek” muncul signifikan dalam studi ini sebagai penentu keberhasilan pelatihan. Namun, perusahaan kecil mungkin menghadapi keterbatasan sumber daya pelatihan, dan tipe proyek berbeda memiliki risiko K3 berbeda pula. Riset lanjutan di level UKM konstruksi atau proyek skala kecil akan mengisi celah pengetahuan dan memberikan rekomendasi spesifik bagi segmen industri yang lebih luas, sehingga hasil penelitian lebih inklusif.
  3. Evaluasi dari Perspektif Pelatih vs. Peserta: Melakukan penelitian evaluatif yang mendalam terhadap sesi pelatihan aktual dengan mengumpulkan data dari dua sisi: instruktur/pelatih dan pekerja peserta. Misalnya, studi kualitatif atau mixed-method yang mengamati sesi pelatihan, mewawancarai pelatih dan peserta, serta mengukur perubahan pengetahuan/perilaku sebelum-sesudah pelatihan. Justifikasi: Tezel et al. mengusulkan pentingnya menilai kinerja pelatihan dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini survei berfokus pada persepsi manajemen atau peserta saja. Dengan membandingkan perspektif pelatih dan peserta, riset ini dapat mengungkap gap antara apa yang diajarkan vs. apa yang dipahami/dilaksanakan. Temuan semacam ini akan membantu meningkatkan metode penyampaian materi dan menyesuaikan konten pelatihan agar lebih efektif.
  4. Mengukur Dampak Penerapan Faktor Kunci terhadap Kinerja Keselamatan: Melakukan studi longitudinal atau eksperimental di mana perusahaan menerapkan rekomendasi faktor kunci dari penelitian ini dan kemudian mengukur dampaknya terhadap indikator keselamatan (seperti penurunan angka kecelakaan atau unsafe acts). Contoh desain penelitian: memilih sekelompok proyek/perusahaan yang meningkatkan fokus pada faktor-faktor utama (misal lebih banyak pelatihan hands-on, program insentif, peningkatan dukungan manajemen) lalu membandingkan tren kecelakaan atau near-miss dengan kelompok kontrol yang konvensional. Justifikasi: Studi asli mengidentifikasi faktor sukses secara korelasional, namun pembuktian kausal akan memperkuat argumen bahwa investasi pada faktor-faktor tersebut benar-benar meningkatkan keselamatan. Penelitian lanjutan ini juga akan menjawab pertanyaan terbuka apakah perusahaan yang secara proaktif mengadopsi keenam kelompok faktor kunci akan performanya lebih baik dalam hal keselamatan kerja dibanding yang tidak.
  5. Inovasi Metode Pelatihan (Teknologi dan Pendekatan Baru): Menjelajahi metode pelatihan K3 inovatif – misalnya pemanfaatan Virtual Reality (VR) atau Augmented Reality (AR) untuk simulasi bahaya, modul pelatihan gamification, atau pendekatan micro-learning melalui aplikasi mobile – dan menguji pengaruhnya terhadap efektivitas pelatihan. Riset dapat berupa eksperimen terkontrol: satu grup pekerja dilatih dengan metode konvensional, satu grup dengan teknologi inovatif, kemudian dibandingkan hasil peningkatan pengetahuan dan perilaku aman mereka. Justifikasi: Dalam diskusi penelitian, disinggung bahwa variasi metode dan materi pelatihan dapat meningkatkan daya serap dan minat peserta. Studi sebelumnya yang dikutip penulis juga menganjurkan lingkungan pelatihan yang realistis dan immersif untuk hasil lebih baik. Oleh karena itu, mengembangkan dan menguji metode baru ini sejalan dengan temuan bahwa hands-on training dan keterlibatan peserta sangat penting. Riset ini berpotensi membuka objek penelitian baru di persimpangan konstruksi dan teknologi pendidikan, serta memberikan rekomendasi praktis bagi industri tentang metode pelatihan tercanggih yang paling efektif meningkatkan keselamatan.

Implikasi Jangka Panjang bagi Industri dan Akademisi

Temuan saat ini memiliki implikasi jangka panjang yang penting, baik di sektor industri maupun bagi komunitas akademik. Bagi industri konstruksi, pemahaman mendalam tentang faktor-faktor kunci keberhasilan pelatihan K3 berarti perusahaan dapat menyusun strategi keselamatan jangka panjang yang lebih tepat sasaran. Sebagai contoh, menyadari bahwa faktor konteks proyek (ukuran, durasi, kompleksitas) sangat memengaruhi efektivitas pelatihan, manajemen dapat merencanakan sesi pelatihan khusus yang disesuaikan dengan karakter proyek sejak tahap awal. Investasi pada budaya keselamatan organisasi – seperti membangun kepemimpinan keselamatan di setiap level, menyediakan insentif berkelanjutan untuk perilaku aman, dan melibatkan pekerja dalam umpan balik – akan membawa dampak berkelanjutan berupa menurunnya angka kecelakaan dan meningkatnya kepercayaan pekerja terhadap program K3. Dalam jangka panjang, implementasi temuan penelitian ini dapat mendorong transformasi kultural: pelatihan keselamatan tidak lagi dipandang sebagai formalitas, melainkan sebagai bagian integral dari peningkatan produktivitas dan kualitas proyek. Perusahaan yang berhasil mengintegrasikan faktor-faktor kunci ini berpeluang menjadi pionir industri dengan standar keselamatan kerja yang lebih tinggi, sekaligus mengurangi beban biaya akibat insiden kecelakaan.

Bagi akademisi dan peneliti, hasil studi ini membuka arah penelitian baru yang kaya. Kerangka enam faktor yang diusulkan dapat dijadikan landasan teori untuk studi-studi selanjutnya, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Akademisi dapat menggunakan temuan ini untuk mengembangkan model konseptual tentang efektivitas pelatihan yang menghubungkan karakteristik organisasi, desain pelatihan, karakteristik peserta, dan outcome keselamatan. Selain itu, penelitian ini mendorong kolaborasi lintas disiplin: misalnya, pakar pendidikan orang dewasa (andragogi) dapat bekerja sama dengan insinyur keselamatan untuk merancang kurikulum pelatihan berbasis temuan empiris; ahli teknologi dapat terlibat untuk menciptakan simulasi VR sesuai faktor kunci; pakar psikologi industri dapat meneliti motivasi dan perilaku pekerja sehubungan dengan faktor-faktor tersebut. Potensi jangka panjang di bidang akademik juga mencakup pembentukan database global tentang praktik terbaik pelatihan K3, di mana temuan dari berbagai negara dibandingkan dan disintesis. Hal ini akan memperkaya literatur K3 serta memberikan masukan berbasis bukti bagi regulator dalam merumuskan kebijakan. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, pelaku industri konstruksi, dan otoritas pemerintah terkait K3 untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca artikel aslinya di sini https://doi.org/10.3390/buildings11040139