1. Pendahuluan: EPR sebagai Instrumen Kunci Circular Economy Plastik
Dalam bab yang ditulis oleh Anurodh Sachdeva dan Arpit Srivastava, extended producer responsibility (EPR) diposisikan sebagai salah satu instrumen kebijakan paling strategis untuk mewujudkan circular economy plastik di Asia. Berbeda dengan pendekatan pengelolaan sampah konvensional yang menempatkan beban utama pada pemerintah daerah dan pembayar pajak, EPR berangkat dari prinsip polluter pays: produsen bertanggung jawab atas dampak produk mereka hingga tahap akhir siklus hidup.
Pendekatan ini menjadi semakin relevan di Asia, di mana pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan, dan ekspansi konsumsi telah mendorong lonjakan produksi limbah plastik. Penulis menekankan bahwa persoalan plastik di kawasan ini bukan sekadar isu volume, tetapi juga isu ketidakmampuan sistem linear menyerap dampak eksternal dari konsumsi massal. Ketika biaya lingkungan tidak tercermin dalam harga produk, plastik sekali pakai menjadi pilihan rasional secara ekonomi, meskipun merusak secara ekologis.
EPR kemudian dipahami bukan hanya sebagai mekanisme pembiayaan pengelolaan limbah, tetapi sebagai alat koreksi struktural. Dengan memindahkan sebagian tanggung jawab dan biaya ke produsen, EPR berpotensi mengubah desain produk, mendorong penggunaan material yang lebih mudah didaur ulang, serta mempercepat pembentukan pasar material sekunder. Dalam kerangka circular economy, EPR berfungsi sebagai jembatan antara fase desain, produksi, dan pascakonsumsi.
Namun, sejak awal bab ini juga bersikap realistis. Penulis menegaskan bahwa keberhasilan EPR tidak bersifat otomatis. Meskipun banyak negara telah mengadopsi atau mendiskusikan skema EPR, hasilnya sangat bervariasi. Perbedaan konteks kelembagaan, kapasitas administrasi, dan struktur pasar membuat EPR di Asia menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan negara maju. Pendahuluan ini menyiapkan argumen utama: EPR adalah instrumen yang kuat, tetapi hanya efektif jika dirancang dan diimplementasikan secara kontekstual.
2. Prinsip Dasar dan Model EPR: Pelajaran Awal bagi Asia
Untuk membangun fondasi analitis, bab ini menguraikan prinsip-prinsip dasar EPR yang telah berkembang secara internasional. Salah satu pembeda utama antar skema EPR adalah pembagian tanggung jawab finansial dan operasional antara produsen dan pemerintah. Dalam beberapa model, produsen hanya menanggung biaya (financial responsibility), sementara operasional pengelolaan limbah tetap dijalankan oleh pemerintah daerah. Dalam model lain, produsen—melalui organisasi khusus—juga mengambil alih sebagian atau seluruh operasi.
Di sinilah konsep producer responsibility organization (PRO) menjadi sentral. PRO berfungsi sebagai entitas kolektif yang mewakili produsen dalam memenuhi kewajiban EPR, mulai dari pengumpulan dana, koordinasi pengelolaan limbah, hingga pelaporan kepatuhan. Penulis menekankan bahwa keberadaan PRO bukan sekadar solusi administratif, melainkan mekanisme untuk mencapai skala ekonomi dan konsistensi sistem.
Bab ini juga menyoroti prinsip full cost coverage, yaitu bahwa kontribusi produsen seharusnya mencerminkan seluruh biaya pengelolaan limbah—termasuk pengumpulan, pemilahan, pengolahan, administrasi, data, dan edukasi publik—dikurangi nilai material yang dapat dipulihkan. Prinsip ini penting untuk mencegah skema EPR yang secara nominal ada, tetapi secara substantif tidak mampu mendanai sistem yang memadai.
Bagi konteks Asia, penulis mengingatkan bahwa adopsi model EPR dari Eropa tidak dapat dilakukan secara mentah. Banyak negara di Asia menghadapi tingkat pemilahan yang rendah, infrastruktur yang terbatas, dan peran sektor informal yang dominan. Dalam kondisi seperti ini, EPR yang hanya berfokus pada kepatuhan produsen berisiko gagal mencapai tujuan circular economy. Justru sebaliknya, EPR perlu dirancang sebagai mekanisme integratif yang mampu bekerja dengan sistem yang sudah ada, bukan menggantikannya secara abrupt.
Section ini menegaskan bahwa EPR bukan satu model tunggal, melainkan spektrum pendekatan. Tantangan utama bagi Asia bukan memilih “model terbaik” secara abstrak, tetapi menyelaraskan prinsip EPR dengan realitas ekonomi, sosial, dan kelembagaan di masing-masing negara. Dari titik inilah bab ini kemudian bergerak ke pertanyaan implementasi yang lebih konkret.
3. Tantangan Implementasi EPR di Asia: Kapasitas, Kepatuhan, dan Fragmentasi Pasar
Dalam pembahasan implementasi, Sachdeva dan Srivastava menekankan bahwa tantangan utama EPR di Asia bukan pada ketiadaan kerangka normatif, melainkan pada kapasitas dan kepatuhan. Banyak negara telah mengadopsi prinsip EPR, tetapi pelaksanaannya terhambat oleh lemahnya sistem registrasi produsen, keterbatasan data pasar, serta mekanisme penegakan yang belum konsisten. Tanpa basis data produsen yang andal, kewajiban EPR sulit ditegakkan secara adil.
Masalah kepatuhan semakin kompleks dalam struktur pasar Asia yang terfragmentasi. Sektor plastik didominasi oleh kombinasi perusahaan besar, usaha kecil-menengah, dan produsen informal. Skema EPR yang dirancang dengan asumsi struktur pasar formal cenderung mengabaikan aktor kecil dan informal, menciptakan free-rider problem. Akibatnya, beban biaya EPR jatuh tidak proporsional pada segmen tertentu, sementara bagian pasar lain luput dari kewajiban.
Tantangan berikutnya adalah koordinasi lintas tingkat pemerintahan. EPR sering kali dirumuskan di tingkat nasional, tetapi operasional pengelolaan limbah berada di tingkat lokal. Ketidaksinkronan tujuan, standar layanan, dan pembiayaan antara pusat dan daerah menghambat efektivitas EPR. Dalam praktik, kontribusi produsen tidak selalu diterjemahkan menjadi peningkatan layanan pengumpulan dan pemilahan di lapangan.
Bab ini juga menyoroti risiko kepatuhan administratif tanpa dampak sirkular. Dalam beberapa kasus, produsen memenuhi kewajiban pelaporan dan pembayaran, tetapi sistem pengelolaan limbah tidak mengalami perbaikan signifikan. Hal ini terjadi ketika target EPR terlalu fokus pada kuantitas pengumpulan tanpa mengaitkannya dengan kualitas material, desain produk, atau pencegahan limbah. EPR pun berpotensi menjadi mekanisme pembiayaan pasif, bukan pendorong circular economy.
Section ini menegaskan bahwa EPR di Asia harus dipahami sebagai reformasi kelembagaan, bukan sekadar instrumen regulasi. Tanpa penguatan kapasitas, basis data yang solid, dan penegakan yang konsisten, EPR akan sulit mencapai tujuan transformasionalnya.
4. Sektor Informal dan Desain PRO: Dari Ketegangan ke Integrasi Sistemik
Isu yang paling sensitif dalam implementasi EPR di Asia adalah peran sektor informal. Di banyak negara, pengumpulan dan pemulihan plastik sangat bergantung pada pemulung, pengepul kecil, dan jaringan informal yang telah beroperasi lama sebelum kebijakan EPR diperkenalkan. Sachdeva dan Srivastava menekankan bahwa mengabaikan aktor-aktor ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga kontraproduktif.
Pendekatan EPR yang berupaya menggantikan sektor informal dengan sistem formal secara cepat sering kali gagal. Selain mahal, pendekatan ini berisiko merusak mata pencaharian dan menurunkan tingkat pengumpulan material. Sebaliknya, bab ini mendorong integrasi bertahap, di mana sektor informal diakui, distandarkan secara minimum, dan dihubungkan dengan sistem EPR melalui insentif dan kontrak yang adil.
Dalam konteks ini, desain producer responsibility organization (PRO) menjadi sangat menentukan. PRO tidak hanya berfungsi sebagai pengumpul dana, tetapi juga sebagai koordinator ekosistem—menjembatani produsen, pemerintah daerah, operator formal, dan sektor informal. PRO yang dirancang dengan sensitivitas konteks dapat membantu meningkatkan kualitas material, transparansi aliran dana, dan akuntabilitas kinerja.
Bab ini menekankan pentingnya fleksibilitas desain PRO. Di negara dengan dominasi sektor informal, PRO perlu berinvestasi pada peningkatan kapasitas, keselamatan kerja, dan sistem insentif berbasis kinerja. Di negara dengan pasar yang lebih formal, fokus dapat diarahkan pada inovasi desain produk dan pengembangan pasar material sekunder. Pendekatan satu model untuk semua dipandang tidak sesuai dengan keragaman konteks Asia.
Section ini memperjelas bahwa keberhasilan EPR sangat bergantung pada kemampuannya mengakomodasi realitas sosial-ekonomi. Integrasi sektor informal dan desain PRO yang kontekstual bukan kompromi terhadap prinsip EPR, melainkan syarat agar EPR benar-benar berfungsi sebagai pengungkit circular economy plastik.
5. Implikasi Kebijakan: Menjadikan EPR sebagai Pengungkit Circular Economy
Berdasarkan analisis Sachdeva dan Srivastava, implikasi kebijakan EPR di Asia perlu diarahkan pada perubahan struktur insentif, bukan sekadar kepatuhan administratif. EPR akan efektif hanya jika ia memengaruhi keputusan inti produsen—mulai dari desain produk, pilihan material, hingga strategi pasar. Karena itu, kebijakan EPR perlu mengaitkan kewajiban finansial dengan kinerja sirkular yang terukur, seperti kemudahan daur ulang, pengurangan resin bermasalah, dan peningkatan penggunaan material daur ulang.
Implikasi pertama adalah penajaman target EPR. Target berbasis kuantitas pengumpulan saja berisiko mendorong praktik bernilai rendah. Target perlu dilengkapi dengan indikator kualitas material dan pencegahan limbah. Dengan demikian, EPR tidak hanya membiayai pengelolaan sampah, tetapi juga mendorong perubahan desain di hulu.
Implikasi kedua adalah penguatan tata kelola dan transparansi. Sistem EPR memerlukan data yang andal tentang produsen, volume pasar, aliran material, dan kinerja pengelolaan limbah. Tanpa transparansi, EPR rawan free-rider dan sulit dievaluasi dampaknya. Penulis menekankan pentingnya pelaporan terstandar dan audit independen untuk menjaga kredibilitas sistem.
Implikasi ketiga menyangkut koordinasi pusat–daerah. Dana EPR harus terhubung secara jelas dengan peningkatan layanan di tingkat lokal—pengumpulan, pemilahan, dan keselamatan kerja. Tanpa mekanisme penyaluran yang efektif, EPR berisiko terputus dari kebutuhan lapangan dan kehilangan legitimasi publik.
Terakhir, kebijakan EPR perlu inklusif terhadap sektor informal. Integrasi bertahap melalui standar minimum, kontrak yang adil, dan insentif berbasis kinerja memungkinkan peningkatan kualitas material sekaligus menjaga mata pencaharian. Pendekatan ini menempatkan EPR sebagai instrumen transformasi yang sensitif terhadap konteks sosial-ekonomi Asia.
6. Kesimpulan: EPR sebagai Ujian Kedewasaan Circular Economy di Asia
Artikel ini menegaskan bahwa EPR merupakan salah satu instrumen paling potensial untuk mendorong circular economy plastik di Asia—namun juga salah satu yang paling menuntut dari sisi desain dan implementasi. Seperti ditunjukkan oleh Sachdeva dan Srivastava, EPR tidak akan bekerja jika diperlakukan sebagai kewajiban administratif semata. Ia menuntut reformasi kelembagaan, konsistensi penegakan, dan integrasi lintas aktor.
Pelajaran kunci dari pembahasan ini adalah bahwa konteks menentukan efektivitas. Keragaman struktur pasar, kapasitas institusional, dan peran sektor informal membuat pendekatan seragam tidak memadai. EPR harus dirancang fleksibel, bertahap, dan berorientasi hasil—dengan fokus pada kualitas sirkular, bukan sekadar volume.
Pada akhirnya, EPR adalah ujian kedewasaan kebijakan circular economy. Ia menguji kemampuan negara untuk menyelaraskan prinsip polluter pays dengan realitas ekonomi dan sosial. Keberhasilan EPR tidak diukur dari banyaknya regulasi yang diterbitkan, melainkan dari kemampuannya mengurangi kebocoran plastik, meningkatkan nilai material, dan mendorong perubahan desain yang berkelanjutan.
Jika EPR dirancang dan dijalankan dengan pendekatan integratif, ia dapat menjadi pengungkit utama transisi dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular plastik di Asia. Jika tidak, EPR berisiko menjadi lapisan kebijakan tambahan—ada secara formal, tetapi terbatas dampaknya secara sistemik.
Daftar Pustaka
Sachdeva, A., & Srivastava, A. (2022). Extended producer responsibility: Lessons for realizing and implementing a circular economy for plastics in Asia. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Ellen MacArthur Foundation. (2016). The new plastics economy: Rethinking the future of plastics. Cowes: EMF.
Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.
Hopewell, J., Dvorak, R., & Kosior, E. (2009). Plastics recycling: Challenges and opportunities. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 364(1526), 2115–2126.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.