Di era digital, data manusia menjadi aset paling berharga sekaligus paling rentan. Perusahaan, lembaga, hingga pemerintah kini berlomba mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data dalam skala besar demi efisiensi dan inovasi.
Namun, seiring meningkatnya kapasitas teknologi, muncul pula persoalan mendasar: bagaimana menjaga etika dan kepercayaan dalam pengelolaan data pribadi?
Michael Segalla dan Dominique Rouziès dalam Harvard Business Review (2023) mengingatkan bahwa banyak organisasi telah melampaui batas “mengelola data” menuju “mengendalikan perilaku” melalui data. Sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) kini mampu memprediksi keputusan manusia — dari preferensi belanja hingga risiko kredit — menciptakan ketegangan antara kemajuan teknologi dan privasi individu. Artikel ini menyoroti prinsip-prinsip etika yang perlu dipegang oleh organisasi agar penggunaan data tetap berpihak pada manusia.
Lima Prinsip Etika dalam Pengelolaan Data
Penelitian Segalla dan Rouziès mengidentifikasi lima prinsip utama yang seharusnya menjadi pedoman bagi organisasi dalam mengelola data karyawan, pelanggan, maupun publik secara umum.
1. Transparansi
Transparansi berarti setiap individu berhak mengetahui data apa yang dikumpulkan, bagaimana cara penggunaannya, dan siapa yang memiliki akses terhadapnya.
Perusahaan yang gagal bersikap terbuka berisiko kehilangan kepercayaan publik, bahkan ketika tidak melanggar hukum.
Transparansi bukan hanya soal kepatuhan, tetapi tentang memberikan kendali kembali kepada individu atas datanya sendiri.
2. Keadilan dan Non-diskriminasi
Algoritma yang melatih diri berdasarkan data historis sering kali memperkuat bias sosial yang sudah ada.
Sistem rekrutmen berbasis AI, misalnya, dapat menilai kandidat secara tidak adil karena pola data masa lalu yang bias gender atau ras.
Keadilan berarti memastikan bahwa AI tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga etis secara sosial.
3. Tujuan yang Sah dan Proporsional
Data harus dikumpulkan dan digunakan hanya untuk tujuan yang jelas, relevan, dan proporsional terhadap kebutuhan organisasi.
Ketika perusahaan mengumpulkan data secara berlebihan — misalnya, melacak aktivitas karyawan di luar jam kerja — mereka melewati batas etika dan mengikis rasa hormat terhadap privasi.
4. Akuntabilitas
Setiap keputusan berbasis data harus memiliki pihak yang bertanggung jawab.
Akuntabilitas menegaskan bahwa “kesalahan algoritma” bukan alasan untuk melepaskan tanggung jawab moral maupun hukum.
Organisasi perlu memiliki mekanisme audit internal untuk menilai dampak sosial dari keputusan berbasis data.
5. Keamanan dan Perlindungan
Perlindungan data bukan hanya soal pencegahan kebocoran, tetapi juga tentang menjaga konteks dan integritas data. Serangan siber, kebocoran informasi medis, hingga pencurian identitas digital menunjukkan bahwa keamanan data tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan publik. Maka, setiap inovasi teknologi harus berjalan seiring dengan peningkatan sistem perlindungan informasi.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Menerapkan prinsip etika data bukan hal mudah, terutama bagi organisasi besar yang bergantung pada algoritma kompleks dan sistem lintas negara. Banyak perusahaan masih menempatkan etika sebagai “urusan hukum” atau tanggung jawab departemen kepatuhan semata. Padahal, sebagaimana diingatkan Segalla, etika data seharusnya menjadi bagian dari strategi bisnis, bukan sekadar mitigasi risiko.
Salah satu tantangan utama adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara pengumpul data dan pemilik data. Perusahaan memiliki kemampuan teknis dan ekonomi untuk menafsirkan data secara besar-besaran, sementara individu hanya tahu sedikit tentang bagaimana datanya digunakan. Tanpa pengawasan publik dan regulasi yang kuat, potensi penyalahgunaan data sangat besar — mulai dari manipulasi opini hingga diskriminasi digital.
Namun, perusahaan yang menerapkan etika data dengan konsisten justru memperoleh advantage kompetitif. Kepercayaan publik kini menjadi faktor ekonomi nyata. Studi menunjukkan bahwa konsumen lebih loyal kepada merek yang memperlakukan data mereka secara bertanggung jawab, bahkan bersedia membayar lebih untuk layanan yang menghargai privasi.
Etika Data dan Kepemimpinan Digital
Kepemimpinan digital memainkan peran kunci dalam membentuk budaya etika data. Pemimpin yang visioner memahami bahwa tanggung jawab terhadap data sama pentingnya dengan inovasi teknologi itu sendiri. Mereka tidak hanya menanyakan “apa yang bisa kita lakukan dengan data ini?”, tetapi juga “apa yang seharusnya tidak kita lakukan?”.
Kepemimpinan semacam ini berorientasi pada trust-based management, bukan surveillance-based management.
Alih-alih menggunakan data untuk mengawasi, pemimpin etis menggunakan data untuk memahami dan memperkuat potensi manusia.
Transformasi digital yang berkelanjutan hanya dapat terjadi ketika teknologi digunakan untuk memperluas kepercayaan, bukan mengikisnya.
Kesimpulan
Etika data bukan penghambat inovasi, tetapi fondasi bagi inovasi yang berkelanjutan. Dalam dunia di mana setiap keputusan semakin bergantung pada analisis algoritmik, etika adalah elemen yang menjaga agar kemajuan tetap berpihak pada manusia.
Organisasi yang ingin membangun masa depan digital yang tangguh harus menginternalisasi lima prinsip etika — transparansi, keadilan, tujuan yang sah, akuntabilitas, dan keamanan — dalam seluruh proses pengelolaan datanya. Hanya dengan demikian, teknologi dapat menjadi kekuatan yang memanusiakan, bukan mengendalikan.
Daftar Pustaka
Segalla, M., & Rouziès, D. (2023). The ethics of managing people’s data. Harvard Business Review, 101(6), 180–202.
Davenport, T. H., & Iansiti, M. (2024). The new rules of AI leadership. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.
OECD. (2023). AI, data, and ethics: Building trust in algorithmic systems. Paris: OECD Publishing.
World Economic Forum. (2024). Responsible data governance for the AI era. Geneva: WEF.
UNESCO. (2021). Recommendation on the ethics of artificial intelligence. Paris: UNESCO Publishing.