1. Pendahuluan
Estimasi biaya proyek PLTA adalah proses multidisipliner yang membutuhkan ketelitian teknis dan pemahaman lapangan. Pada PLTA berskala 10 MW, struktur biaya didominasi pekerjaan galian, timbunan, beton massa, terowongan, penstock, dan fasilitas hidromekanikal. Karena itu, penyusunan Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) menjadi fondasi penting untuk memastikan estimasi biaya akurat, tidak bias, dan mampu mencerminkan kondisi proyek secara nyata.
Jika pada Tahap-1 evaluasi fokus pada prinsip dasar AHSP, maka Tahap-2 memperdalam cara menghitung koefisien dari nol, memvalidasi produktivitas alat, menghitung kebutuhan material berdasarkan pendekatan BCM–LCM–CCM, hingga menentukan biaya produksi alat berat secara akurat. Pendalaman ini penting karena banyak kegagalan estimasi terjadi akibat penggunaan angka koefisien yang tidak realistis atau diambil mentah dari referensi yang tidak sesuai kondisi lapangan PLTA.
Kursus menekankan bahwa estimasi AHSP untuk proyek PLTA harus bersandar pada metodologi teknis yang sistematik: mulai dari analisis medan, perhitungan kapasitas alat, evaluasi waktu siklus (cycle time), hingga perhitungan kebutuhan bahan per satuan volume pekerjaan. Artikel ini membahas secara analitis fondasi teknis yang menjadi basis penyusunan AHSP PLTA Tahap-2 dan mengapa pendekatan yang lebih rinci sangat diperlukan dalam proyek hidropower.
2. Landasan Teknis Penyusunan AHSP PLTA Tahap-2
Tahap-2 dari penyusunan AHSP menuntut pemahaman lebih dalam mengenai bagaimana koefisien tenaga kerja, bahan, dan peralatan diperoleh. Berbeda dengan AHSP konstruksi umum, proyek PLTA membutuhkan pendekatan khusus karena kondisi geoteknik, topografi, dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi produktivitas.
2.1. Perbedaan AHSP PLTA dan AHSP Proyek Umum
Kursus menekankan bahwa AHSP PLTA berbeda dengan AHSP proyek Cipta Karya atau jalan raya, antara lain karena:
-
pekerjaan PLTA membutuhkan volume besar dan jenis pekerjaan massif,
-
alat berat bekerja pada medan pegunungan dengan keterbatasan akses,
-
pekerjaan hidrolik seperti intake, spillway, dan tailrace memiliki kebutuhan material khusus,
-
faktor geoteknik sangat dominan,
-
produktivitas alat tidak bisa disamakan dengan kondisi normal di area datar.
Sebagai contoh, excavator di daerah PLTA sering mengalami penurunan kapasitas hingga 20–40% dibanding produktivitas standar karena kemiringan lahan dan jarak disposal yang panjang.
2.2. Konsep Koefisien Upah, Bahan, dan Peralatan: Pondasi AHSP
Koefisien adalah “angka kebutuhan” yang menggambarkan berapa tenaga kerja, material, atau jam alat yang diperlukan untuk menyelesaikan 1 satuan pekerjaan. Pada proyek PLTA, keakuratan koefisien menjadi hal paling kritis.
Koefisien dihitung melalui:
-
produktivitas tenaga kerja yang disesuaikan kondisi lapangan,
-
volume material riil berdasarkan BCM–LCM–CCM,
-
waktu pakai alat berdasarkan cycle time aktual,
-
efisiensi operator dan alat berat,
-
lokasi sumber material (quarry) dan jarak angkut.
Dengan menghitung koefisien sendiri, estimator tidak bergantung pada data referensi yang mungkin tidak sesuai kondisi lapangan PLTA.
2.3. Konsep BCM–LCM–CCM dalam Perhitungan Material
Materi Tahap-2 menekankan metode penghitungan material berbasis tiga jenis volume:
a. BCM (Bank Cubic Meter)
Volume asli material sebelum digali. Volume ini dipakai untuk perhitungan pekerjaan galian.
b. LCM (Loose Cubic Meter)
Volume material setelah digali dan dalam kondisi lepas. Biasanya lebih besar dari BCM karena adanya swell factor.
c. CCM (Compacted Cubic Meter)
Volume material setelah dipadatkan. Digunakan pada pekerjaan timbunan.
Korelasi ketiganya sangat penting, terutama untuk:
-
menentukan volume hauling dump truck,
-
menghitung kebutuhan alat,
-
menetapkan koefisien timbunan dan disposal,
-
menentukan tonase material (LCM sebagai dasar kebutuhan trip).
Kesalahan memahami hubungan BCM–LCM–CCM sering menjadi penyebab deviasi biaya besar pada proyek PLTA.
2.4. Perhitungan Bahan Berdasarkan Rasio Material
Ketika membahas AHSP beton, Tahap-2 kursus menunjukkan cara menghitung bahan per m³ beton berdasarkan:
-
mix design (komposisi semen, pasir, kerikil, air),
-
koreksi kadar air agregat,
-
efisiensi batching plant,
-
waste factor di lapangan.
Misalnya, untuk beton massa PLTA, kebutuhan semen jauh lebih rendah daripada beton struktural, sehingga koefisiennya tidak bisa disamakan. Selain itu, sistem pengecoran untuk volume besar menuntut:
-
concrete pump berkapasitas besar,
-
truck mixer dengan turnaround time optimum,
-
temperatur beton terkontrol.
Semua variabel ini memengaruhi koefisien bahan dalam AHSP.
2.5. Perhitungan Produksi Alat Berat: Cycle Time sebagai Komponen Utama
Pada Tahap-2, kursus memberikan penekanan khusus pada cycle time, yang merupakan waktu satu siklus penuh alat berat dalam menyelesaikan tugasnya. Contoh siklus excavator:
-
gali →
-
angkat →
-
swing →
-
buang →
-
kembali ke posisi awal.
Perhitungan cycle time bergantung pada:
-
jenis material (tanah keras, batuan),
-
kapasitas bucket,
-
radius kerja,
-
kondisi medan (elevasi, kemiringan),
-
jarak disposal untuk dump truck,
-
hambatan operasional.
Produksi alat dihitung menggunakan formula umum:
Produksi (m3/jam)=Kapasitas Bucket × Efisiensi ×60
----------------------------------------------
Cycle Time
Efisiensi alat (umumnya 50–75% pada konteks PLTA) turut menjadi koreksi penting karena kondisi lapangan kurang ideal.
2.6. Unit Cost Peralatan: Bagaimana Biaya Alat Dihitung
Tahap-2 juga membahas bahwa biaya alat berat tidak hanya harga sewa atau operasional sederhana. Unit cost alat mencakup:
-
depresiasi,
-
bunga modal,
-
maintenance,
-
bahan bakar dan pelumas,
-
operator,
-
biaya standby.
Perhitungan ini membuat estimator dapat mengevaluasi apakah sewa atau kepemilikan alat lebih ekonomis berdasarkan durasi proyek.
. Penerapan AHSP Tahap-2 pada Pekerjaan Utama Proyek PLTA 10 MW
Tahap-2 berfokus pada bagaimana menghitung sendiri koefisien AHSP untuk pekerjaan-pekerjaan utama PLTA. Pendekatan ini berbeda dari tahap awal karena seluruh komponen biaya — tenaga kerja, bahan, alat — dihitung dari prinsip produktivitas dan parameter teknis, bukan sekadar mengambil angka referensi.
3.1. Pekerjaan Galian dengan Pendekatan Cycle Time dan BCM
Pekerjaan galian pada PLTA sangat dominan, terutama untuk:
-
powerhouse,
-
intake,
-
tailrace,
-
spillway,
-
anchor block penstock.
AHSP Tahap-2 mengharuskan estimator menghitung koefisien berbasis:
a. Volume BCM sebagai dasar pekerjaan galian
BCM menentukan kebutuhan energi excavator dan kebutuhan cycle time per m³.
b. Cycle time excavator
Dengan mempertimbangkan:
-
radius kerja,
-
jenis material,
-
kondisi medan,
-
kapasitas bucket.
c. Jumlah trip dump truck berdasarkan LCM
Karena material galian berubah volume setelah digali, perhitungan LCM menentukan jumlah trip hauling.
d. Efisiensi alat di lapangan
Biasanya turun 25–40% dibanding angka teoretis.
Contoh perhitungan sederhana:
Jika excavator menghasilkan 80 m³/jam pada kondisi ideal, maka pada proyek PLTA bisa turun menjadi 50–60 m³/jam karena:
-
akses curam,
-
manuver sulit,
-
adanya delay antar siklus.
Koefisien alat dihitung dari waktu total alat untuk menyelesaikan 1 m³ galian.
3.2. Pekerjaan Timbunan: Transisi LCM → CCM dan Koefisien Pemadatan
Timbunan pada proyek PLTA mencakup:
-
timbunan jalan akses,
-
timbunan embankment,
-
timbunan area powerhouse.
Tahap-2 menjelaskan perhitungan:
-
perbandingan volume LCM sebelum dipadatkan,
-
volume CCM setelah pemadatan,
-
kebutuhan alat compactor dan water truck,
-
jumlah lintasan pemadatan (pass count).
Koefisien timbunan dipengaruhi oleh kepadatan yang disyaratkan (misal 95% Proctor). Semakin ketat spesifikasi, semakin besar waktu alat dan tenaga kerja.
3.3. Pekerjaan Beton: Koefisien Bahan dan Waktu Produksi Beton
Beton proyek PLTA melibatkan volume besar sehingga Tahap-2 menekankan:
a. Rasio Material untuk Beton Massif
Menggunakan mix design untuk menghitung kebutuhan:
-
semen,
-
agregat halus & kasar,
-
air,
-
admixture.
Kebutuhan semen jauh lebih rendah dari beton struktural karena beton massa membutuhkan kontrol panas hidrasi.
b. Koefisien peralatan pengecoran
Termasuk:
-
batching plant,
-
mixer truck,
-
concrete pump.
Waktu tempuh mixer truck dapat mengurangi produktivitas secara signifikan.
c. Koefisien tenaga kerja
Formwork dan pembesian memiliki produktivitas berbeda dari pekerjaan gedung biasa karena skala pekerjaan lebih besar dan akses lebih terbatas.
3.4. Pekerjaan Saluran dan Terowongan: Perhitungan Khusus Rock Support
AHSP untuk tunnel PLTA memerlukan komponen tambahan:
-
rock bolt (panjang, jumlah),
-
shotcrete (tebal, volume per m²),
-
wire mesh,
-
drilling equipment.
Koefisien galian tunnel tidak dapat disamakan dengan galian terbuka karena:
-
kondisi geologi sangat bervariasi,
-
kebutuhan support berubah setiap section,
-
cycle time alat berbeda,
-
pekerjaan memerlukan ventilasi dan penerangan tambahan.
Perhitungan produktivitas sering dilakukan per advance meter.
3.5. Pekerjaan Hidromekanikal: Koefisien Instalasi Berbasis Berat dan Dimensi
PLTA membutuhkan pekerjaan hidromekanikal seperti:
-
pemasangan penstock,
-
gate intake,
-
trashrack,
-
valve dan sistem kontrol air.
Koefisien dihitung berdasarkan:
-
berat komponen,
-
jarak lifting,
-
jenis crane yang digunakan,
-
durasi orientasi dan alignment.
Perhitungan yang tidak realistis dapat menyebabkan durasi pemasangan meleset jauh dari jadwal.
3.6. Mobilisasi dan Demobilisasi Alat: Penentuan Cost Recovery
Tahap-2 menekankan bahwa mobilisasi alat berat harus dihitung melalui:
-
biaya transport alat besar,
-
waktu bongkar-pasang (assembly/disassembly),
-
biaya mekanik,
-
biaya standby,
-
alokasi umur pakai alat dalam proyek.
Mobilisasi alat di daerah pegunungan PLTA biasanya memakan 5–12% dari total biaya alat, sehingga perhitungan koefisiennya harus presisi.
4. Integrasi AHSP Tahap-2 dengan Perencanaan Proyek, Risiko, dan Kelayakan
Tahap-2 tidak berhenti pada kalkulasi teknis; koefisien yang diperoleh harus selaras dengan manajemen proyek secara keseluruhan.
4.1. Integrasi dengan Penjadwalan (Scheduling)
Koefisien alat = durasi pekerjaan.
Koefisien tenaga kerja = kebutuhan jam kerja.
Koefisien material = kebutuhan logistik harian.
Artinya, perubahan kecil pada koefisien AHSP akan mengubah:
-
network diagram,
-
critical path,
-
pembagian sumber daya.
Pada proyek PLTA, pekerjaan seperti tunnel dan powerhouse sangat sensitif terhadap koefisien.
4.2. AHSP dan Cash Flow: Dampaknya pada Pembiayaan Proyek
Cash flow PLTA dipengaruhi oleh:
-
kebutuhan material dalam jumlah besar,
-
mobilisasi alat di awal proyek,
-
pekerjaan beton yang memerlukan batch besar,
-
pembayaran termin kontraktor/subkontraktor.
AHSP Tahap-2 memberikan dasar untuk:
-
kurva S,
-
estimasi monthly expenditure,
-
kebutuhan modal kerja (working capital).
4.3. Evaluasi Risiko Estimasi dengan Sensitivity Analysis
Estimasi PLTA sangat peka terhadap:
-
perubahan harga bahan bakar,
-
jarak hauling material,
-
penurunan produktivitas alat karena cuaca,
-
kondisi batuan tidak terduga.
Dengan sensitivity analysis terhadap koefisien waktu alat, koefisien material, dan efisiensi tenaga kerja, estimator dapat melihat potensi overrun sejak awal.
4.4. AHSP dan Penilaian Kelayakan Investasi PLTA
Sebagai proyek energi, kelayakan PLTA bergantung pada:
-
CAPEX (yang dihitung melalui AHSP),
-
OPEX,
-
potensi energi (head × debit),
-
harga jual listrik,
-
parameter ekonomi seperti NPV dan IRR.
Kesalahan dalam AHSP Tahap-2 langsung memengaruhi hasil perhitungan:
-
LCOE,
-
payback period,
-
valuasi proyek.
4.5. Penggunaan Teknologi untuk Validasi AHSP
Kursus juga menekankan bahwa estimator modern sebaiknya menggunakan:
-
drone mapping untuk volume earthwork,
-
GPS alat berat untuk cycle time,
-
software simulasi produksi alat,
-
BIM 4D/5D untuk integrasi biaya–waktu.
Teknologi membuat koefisien AHSP lebih presisi dan dapat dipertanggungjawabkan.
4.6. Peran AHSP Tahap-2 dalam Pengendalian Proyek
AHSP Tahap-2 bukan hanya pranata estimasi awal tetapi:
-
baseline kontrol biaya,
-
acuan monitoring deviasi,
-
alat penilaian produktivitas,
-
basis perhitungan variation order,
-
referensi audit teknis.
Koefisien yang akurat membantu manajer proyek mendeteksi penyimpangan lebih cepat.
5. Tantangan Teknis, Studi Kasus, dan Strategi Optimasi AHSP untuk Proyek PLTA
Tahap-2 menekankan bahwa meskipun perhitungan AHSP dapat dilakukan dengan metodologi standar, tantangan lapangan PLTA sering kali membuat koefisien menjadi deviatif jika tidak dipantau dan dikalibrasi. Bagian ini mengulas tantangan utama, studi kasus relevan, dan strategi optimasi yang disarankan.
5.1. Tantangan Teknis dalam Penyusunan AHSP Proyek PLTA
a. Variabilitas Geologi yang Tinggi
PLTA biasanya dibangun di perbukitan, sehingga kualitas tanah dan batuan sangat fluktuatif. Dampaknya:
-
cycle time excavator meningkat,
-
kebutuhan rock support bertambah,
-
konsumsi bahan beton berubah,
-
ventilasi tunnel perlu tambahan.
Koefisien yang dihitung dari data ideal sering tidak tahan terhadap kondisi lapangan yang penuh kejutan geoteknik.
b. Akses Medan yang Terbatas
Akses menuju bangunan PLTA — intake, powerhouse, tailrace — biasanya sempit, curam, dan berkelok. Akibatnya:
-
dump truck tidak dapat mencapai kecepatan normal,
-
excavator sulit bermanuver,
-
hauling time meningkat hingga 25–50%.
Hal ini mengubah koefisien alat secara signifikan.
c. Cuaca Ekstrem
Curah hujan tinggi dapat menghentikan:
-
galian tanah,
-
pengecoran beton,
-
mobilisasi material.
Koefisien tenaga kerja harus mempertimbangkan idle time akibat cuaca.
d. Perubahan Desain Selama Pelaksanaan
Desain PLTA sering mengalami penyesuaian akibat geoteknik atau optimasi hidraulik, yang dapat:
-
mengubah volume galian,
-
meningkatkan kebutuhan beton,
-
mengubah jalur penstock.
Koefisien perlu dicek ulang ketika desain berubah.
5.2. Studi Kasus 1: Kenaikan Biaya Galian karena Kesalahan Perhitungan Swell Factor
Sebuah proyek PLTA 10 MW memperkirakan swell factor tanah hanya 15%, padahal lapangan menunjukkan 30–40%. Akibatnya:
-
volume LCM meningkat drastis,
-
dump truck kekurangan kapasitas,
-
jumlah trip meningkat,
-
biaya hauling melonjak 25%.
Kesalahan swell factor menyebabkan AHSP awal tidak akurat dan kontraktor harus menambah alat untuk mengejar jadwal.
5.3. Studi Kasus 2: Efisiensi Pekerjaan Beton Membaik setelah Perbaikan Layout
Pada bagian powerhouse, batching plant awalnya ditempatkan terlalu jauh dari area pengecoran. Setelah dipindahkan lebih dekat:
-
waktu tempuh mixer turun 40%,
-
delay di concrete pump berkurang,
-
produktivitas pengecoran meningkat 20–25%.
Koefisien produksi alat dan tenaga kerja berubah signifikan setelah layout lapangan dioptimalkan.
5.4. Studi Kasus 3: Overrun Pekerjaan Tunnel karena Kelas Batuan Tidak Sesuai Prediksi
AHSP awal mengasumsikan mayoritas batuan class III. Namun saat eksekusi:
-
ditemukan class IV–V,
-
support berganda dibutuhkan (shotcrete lebih tebal, bolt lebih panjang),
-
advance per hari menurun drastis.
Dampaknya:
-
biaya meningkat 35%,
-
jadwal molor 3–4 bulan,
-
unit cost per meter tunnel hampir dua kali lipat.
Kasus ini menegaskan pentingnya contingency dalam koefisien AHSP.
5.5. Strategi Optimasi Penyusunan dan Validasi AHSP PLTA Tahap-2
a. Pengujian Cycle Time Langsung di Lapangan
Melakukan time study alat berat memberikan koefisien yang jauh lebih valid dibanding referensi umum.
b. Optimasi Logistik dan Layout Proyek
Perubahan kecil dalam lokasi batching plant, disposal area, atau jalur hauling dapat menurunkan biaya total secara signifikan.
c. Integrasi AHSP dengan Sistem Informasi Proyek
Pemanfaatan:
-
BIM 5D (biaya + waktu),
-
drone mapping,
-
GPS alat berat,
-
software simulasi produksi,
membantu menyusun koefisien yang adaptif terhadap dinamika lapangan.
d. Peningkatan Kualitas Investigasi Geoteknik
Semakin akurat data geologi, semakin presisi koefisien galian dan tunnel.
e. Analisis Sensitivitas Koefisien
Digunakan untuk melihat item pekerjaan mana yang paling sensitif terhadap perubahan produktivitas atau harga material.
5.6. Dampak Strategis AHSP Tahap-2 terhadap Pengendalian Proyek
Dengan AHSP yang dihitung secara rinci dan tervalidasi:
-
baseline biaya lebih robust,
-
potensi overrun dapat diprediksi lebih awal,
-
subcontracting dapat dinegosiasikan lebih akurat,
-
risiko finansial proyek lebih terkendali,
-
keputusan desain dapat dioptimalkan untuk menekan biaya.
Tahap-2 AHSP membuat estimator lebih mampu menyesuaikan estimasi dengan kenyataan lapangan yang dinamis.
6. Kesimpulan
Tahap-2 dalam penyusunan AHSP untuk proyek PLTA 10 MW memberikan pendekatan teknis yang lebih mendalam dibanding tahap sebelumnya. Dengan memahami konsep koefisien secara rinci, volume material berbasis BCM–LCM–CCM, produksi alat berdasarkan cycle time, dan komponen unit cost alat berat, estimator dapat menghasilkan harga satuan yang jauh lebih akurat dan realistis.
Pendekatan analitis Tahap-2 juga memungkinkan integrasi AHSP dengan sistem perencanaan proyek, analisis risiko, dan penilaian kelayakan investasi. Studi kasus menunjukkan bahwa ketidakakuratan kecil dalam koefisien dapat menimbulkan deviasi biaya besar, terutama pada pekerjaan galian, tunnel, dan beton. Oleh karena itu, validasi lapangan, optimasi logistik, dan penggunaan teknologi pengukuran modern merupakan kunci keberhasilan penyusunan AHSP PLTA.
Dengan metodologi yang sistematik dan pemahaman teknis mendalam, AHSP Tahap-2 mampu menjadi alat strategis bagi pengembang, kontraktor, maupun pemilik proyek untuk memastikan proyek PLTA berjalan lebih efisien, terkendali, dan layak secara finansial.
Daftar Pustaka
-
Diklatkerja. Estimasi AHSP (Analisis Harga Satuan Pekerjaan) Proyek PLTA Tahap-2.
-
Direktorat Jenderal Bina Konstruksi. (2016). Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang Pekerjaan Umum.
-
USBR. (1987). Design of Small Dams. U.S. Bureau of Reclamation.
-
Singh, B., & Goel, R. (1999). Rock Mass Classification for Tunnel Engineering.
-
Tam, V. (2011). Tunnel construction productivity and geotechnical considerations. International Journal of Civil Engineering.
-
Ahuja, H. N., Dozzi, S. P., & AbouRizk, S. (1994). Project Management for Construction and Heavy Civil Works.
-
Erviti, E. (2019). Cost modeling and risk management in hydropower projects. Hydropower Engineering Review.
-
EPRI. (2018). Hydropower Construction Practices and Cost Benchmarks.
-
Schuitema, P., & Blanchard, S. (2017). Estimating heavy equipment productivity in challenging terrain. Journal of Construction Economics.
-
ASCE. (2020). Guidelines for Construction Cost Estimation.