Engineers and Accountability — Tantangan Akuntabilitas dalam Profesi Teknik dan Relevansinya untuk Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

02 Oktober 2025, 10.50

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Makalah Engineers and Accountability karya Kenneth Van Treuren (2022) membahas aspek fundamental dari profesi teknik: akuntabilitas — bahwa insinyur tidak hanya bertanggung jawab pada aspek teknis, tetapi juga moral, sosial, dan legal dari setiap keputusan mereka. Di dalamnya ditekankan bahwa standar akreditasi pendidikan, sertifikasi profesional, dan mekanisme pertanggungjawaban (audit, regulasi, sanksi) harus berjalan sinergis agar kepercayaan publik terhadap profesi teknik tetap lestari.

Dalam konteks Indonesia, makalah ini sangat relevan. Dengan tingginya ekspektasi publik terhadap hasil proyek infrastruktur, setiap kegagalan teknis, kecelakaan, atau kerusakan bangunan menjadi sorotan serius. Tanpa akar akuntabilitas yang kokoh, reputasi profesi teknik akan mudah rusak. Link ke artikel “Professional Engineer & Etika Profesi (Insinyur)” dari DiklatKerja menunjukkan bahwa profesionalisme insinyur mencakup tanggung jawab moral dan sosial, bukan hanya keterampilan teknis:
Professional Engineer & Etika Profesi (Insinyur)

Makalah ini juga menegaskan bahwa regulasi akuntabilitas tidak boleh dipisahkan dari etika profesi dan pengawasan eksternal. Tanpa itu, sertifikasi bisa menjadi formalitas tanpa makna.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  1. Kepercayaan Publik Naik
    Ketika masyarakat tahu bahwa insinyur terikat akuntabilitas profesional, mereka lebih percaya bahwa infrastruktur dibangun aman dan andal.

  2. Standar Mutu Proyek Meningkat
    Insinyur yang jam terbangnya diawasi dan disertifikasi terus-menerus cenderung menjaga kualitas proyek agar sesuai desain dan regulasi.

  3. Profesionalisme Profesi Tambah Kokoh
    Akuntabilitas memperkuat posisi profesi teknik sebagai profesi sejati (bukan hanya teknis), selaras dengan prinsip-prinsip profesi seperti dokter atau arsitek.

Hambatan

  1. Ketidaksiapan Institusi Pendidikan & Industri
    Banyak institusi teknik belum memasukkan kurikulum etika dan praktik akuntabilitas secara mendalam.

  2. Biaya dan Proses Sertifikasi
    Sertifikasi profesional dan audit eksternal memerlukan biaya signifikan, yang bisa membebani peserta baru atau praktisi di daerah terpencil.

  3. Kesenjangan Penegakan & Pengawasan
    Tanpa lembaga yang mandiri dan berwenang menjalankan audit dan sanksi, regulasi akuntabilitas bisa lemah dalam praktik.

  4. Tekanan Komersial dan Konflik Kepentingan
    Kadang insinyur berada di bawah tekanan manajemen atau pemilik proyek untuk mengejar target biaya/waktu, yang bisa memicu kompromi teknis dan etika.

Peluang

  1. Digitalisasi Sistem Audit & Pelaporan
    Dengan sistem daring, audit integritas, pelaporan pelanggaran, dan verifikasi sertifikasi dapat dilakukan lebih efisien dan transparan.

  2. Kolaborasi Perguruan Tinggi, Profesi, dan Regulator
    Institusi pendidikan, organisasi profesi (misalnya PII), dan pemerintah bisa bekerja sama menyusun standar akuntabilitas yang berkelanjutan.

  3. Integrasi Etika & Soft Skills dalam Kurikulum Teknik
    Pendidikan teknik perlu lebih menekankan etika profesional, pengambilan keputusan moral, dan tanggung jawab terhadap publik.

  4. Pemberian Insentif bagi Insinyur yang Memiliki Rekam Integritas
    Misalnya prioritas proyek pemerintah, tarif administratif lebih rendah, atau pengakuan profesional.

Relevansi untuk Indonesia

Di Indonesia, isu akuntabilitas insinyur sudah muncul nyata di berbagai kasus kegagalan bangunan, keruntuhan struktur, dan penyimpangan teknis. Makalah tentang “Kajian Etika Profesi Keinsinyuran Sipil” dari DiklatKerja menyoroti bagaimana kode etik insinyur sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan keselamatan proyek teknik sipil:
Kajian Etika Profesi Keinsinyuran Sipil

Selain itu, artikel “Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L” menekankan bahwa banyak keputusan teknik berdampak langsung pada keselamatan kerja dan lingkungan, sehingga insinyur harus mengambil keputusan yang tidak hanya “teknis benar” tetapi juga etis:
Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L 

Di Indonesia, regulasi UU No. 11/2014 tentang Keinsinyuran memberi landasan legal untuk sertifikasi dan pengaturan profesi insinyur. Namun, praktik akuntabilitas masih lemah karena kurangnya penegakan kode etik, audit eksternal, dan transparansi data insinyur. Van Treuren menunjukkan bahwa akuntabilitas harus menjadi pondasi regulasi profesi agar insinyur tidak hanya terampil, tetapi juga bertanggung jawab kepada masyarakat.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Standar Akuntabilitas Nasional
    Buat regulasi yang menetapkan standar akuntabilitas insinyur — mencakup sertifikasi, audit, pelaporan, dan sanksi.

  2. Integrasi Program Profesi Insinyur (PSPPI) dan Etika Profesi
    Program profesi insinyur (seperti PSPPI UMI) perlu memperkuat kurikulum etika, audit, dan integritas.
    Contoh: DiklatKerja menulis tentang PSPPI UMI sebagai model kolaborasi akademik, industri, dan sertifikasi ASEAN Engineer: Program Profesi Insinyur – PSPPI UMI

  3. Pelatihan dan Workshop Etika & Akuntabilitas
    Pemerintah, PII, dan lembaga pendidikan harus menyelenggarakan pelatihan profesional secara berkala untuk memperkuat pemahaman akuntabilitas.

  4. Platform Digital Terbuka
    Sistem online untuk verifikasi status insinyur, laporan pelanggaran, audit, dan statistik akuntabilitas agar publik dapat mengakses informasi.

  5. Audit Independen dan Mekanisme Sanksi
    Bentuk lembaga audit independen yang dapat menegakkan kode etik insinyur dan memberikan sanksi bila terjadi penyimpangan teknis maupun etika.

  6. Insentif bagi Insinyur Integritas
    Berikan prioritas dalam tender publik kepada insinyur yang memiliki rekam jejak akuntabilitas baik atau sertifikasi keunggulan etika.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

  • Bila regulasi akuntabilitas hanya formalitas tanpa penegakan, sistem menjadi lemah dan kehilangan kepercayaan publik.

  • Biaya tinggi dan birokrasi panjang dapat membuat banyak insinyur enggan ikut sertifikasi atau audit.

  • Jika institusi pendidikan atau industri belum siap (fasilitas, kurikulum, SDM), maka upaya ini bisa gagal di tahap implementasi.

  • Potensi konflik kepentingan jika lembaga audit atau regulator tidak independen—akuntabilitas tidak efektif jika regulator turut berkepentingan.

Penutup

Van Treuren (2022) menyampaikan pesan penting bahwa akuntabilitas bukanlah tambahan dalam profesi teknik, tetapi inti dari apa artinya menjadi insinyur profesional: kompeten, bertanggung jawab, etis, dan transparan. Bagi Indonesia, memperkuat akuntabilitas insinyur melalui regulasi, pendidikan, audit, dan budaya profesional bukan hanya langkah teknis, tetapi langkah strategis untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur benar-benar melayani masyarakat dengan aman dan berkelanjutan.

Sumber

Van Treuren, Kenneth W. (2022). Engineers and Accountability.