1. Pendahuluan: Ketika Limbah Tak Bisa Dijinakkan
Circular economy kerap dipromosikan sebagai jalan tengah yang rasional antara tuntutan keberlanjutan ekologis dan kebutuhan ekonomi modern. Ia tidak meminta penghentian pertumbuhan, tidak menantang fondasi kapitalisme secara langsung, dan tidak menuntut perubahan radikal dalam cara hidup manusia kontemporer. Sebaliknya, circular economy menjanjikan keberlanjutan melalui manajemen yang lebih cerdas: limbah dijadikan sumber daya, siklus ditutup, efisiensi ditingkatkan. Namun justru karena itulah circular economy jarang dipertanyakan secara mendasar. Ia terasa masuk akal, moderat, dan dapat diterima oleh hampir semua pihak.
Bab yang ditulis Lisa Doeland mengganggu rasa nyaman tersebut. Alih-alih merayakan circular economy sebagai solusi, Doeland memposisikannya sebagai gejala ideologis—sebuah upaya sistematis untuk mengelola krisis ekologis tanpa benar-benar mengakui batas ekologis itu sendiri. Kritik ini tidak diarahkan pada kegagalan teknis, melainkan pada fantasi konseptual yang menopang circular economy: keyakinan bahwa sistem ekonomi dapat terus berjalan seperti biasa selama kita cukup pandai “menutup lingkaran”.
Dalam pembacaan ini, circular economy tidak melampaui ekonomi linear, tetapi justru memperhalusnya. Jika ekonomi linear dikritik karena logika take–make–waste, circular economy mempertahankan struktur dasar yang sama sambil berupaya menghilangkan bagian yang paling mengganggu secara simbolik: limbah. Limbah tidak lagi diperlakukan sebagai sisa yang mengganggu, melainkan sebagai potensi yang belum dimanfaatkan. Dengan demikian, circular economy tidak hanya mengelola material, tetapi juga menjinakkan ketidaknyamanan ekologis yang ditimbulkan oleh konsumsi dan pertumbuhan tanpa henti.
Masalahnya, sebagaimana ditunjukkan Doeland, limbah bukan sekadar persoalan teknis atau ekonomi. Limbah adalah tanda dari sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya diintegrasikan ke dalam logika pertukaran dan perhitungan. Ia mengingatkan bahwa tidak semua hal dapat dikalkulasi, didaur ulang, atau dikembalikan ke dalam sistem tanpa sisa. Ketika circular economy berambisi menghapus limbah—melalui fantasi zero waste atau recycling without remainder—yang dihapus bukan hanya material, tetapi juga kesadaran akan batas.
Di titik ini, kritik Doeland bergeser dari kebijakan lingkungan ke ranah filsafat. Ia memperlihatkan bahwa circular economy bekerja dalam kerangka ideologi hijau yang lebih luas, di mana alam dipahami sebagai sistem harmonis yang dapat diseimbangkan kembali melalui intervensi manusia yang tepat. Ketidakseimbangan ekologis dipandang sebagai kesalahan pengelolaan, bukan sebagai konsekuensi inheren dari sistem ekonomi itu sendiri. Dengan cara ini, circular economy berfungsi sebagai mekanisme penyangkalan: krisis ekologis diakui, tetapi maknanya dinegasikan.
Pendahuluan ini dengan demikian menempatkan circular economy bukan sebagai solusi yang gagal, melainkan sebagai solusi yang terlalu aman. Ia tidak menuntut perubahan dalam cara kita memahami hubungan antara ekonomi dan ekologi, tetapi justru memperkuat pemisahan keduanya. Ekonomi tetap diposisikan sebagai pusat pengorganisasian kehidupan sosial, sementara ekologi direduksi menjadi faktor eksternal yang perlu dikelola agar tidak mengganggu stabilitas sistem.
Dengan mengajukan gagasan bahwa circular economy seharusnya “menuntut yang mustahil”, Doeland tidak mendorong utopianisme kosong. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk membalik cara berpikir yang dominan: yang mustahil bukanlah target ideal yang jauh, melainkan realitas ekologis yang selama ini disangkal. Limbah, dalam pengertian ini, bukan kegagalan sistem yang harus dihapus, tetapi tanda yang menuntut perhatian—bahkan gangguan yang perlu dipertahankan agar ekonomi tidak sepenuhnya melupakan ekologi.
Pendahuluan ini membuka ruang bagi pertanyaan yang lebih tidak nyaman namun krusial: apakah circular economy benar-benar berani menghadapi realitas ekologis, atau justru dibangun untuk menghindarinya secara sistematis? Pertanyaan inilah yang akan menjadi benang merah analisis pada bagian-bagian selanjutnya
2. Ideologi Hijau dan Penyangkalan Batas: Circular Economy sebagai Narasi Penghiburan
Untuk memahami kritik Doeland secara utuh, circular economy perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni sejarah panjang upaya ekonomi modern menghindari pengakuan atas batas. Sejak laporan The Limits to Growth pada awal 1970-an, argumen tentang keterbatasan ekologis planet telah berulang kali diajukan. Namun, alih-alih memicu perubahan mendasar dalam cara ekonomi diorganisasikan, peringatan tersebut justru melahirkan serangkaian konsep yang menjanjikan kesinambungan tanpa pengorbanan: pembangunan berkelanjutan, efisiensi ekologis, green growth, decoupling, hingga circular economy.
Dalam pembacaan Doeland, circular economy menempati posisi istimewa dalam deretan konsep tersebut. Ia tampil sebagai solusi yang tampak radikal, tetapi sesungguhnya sangat kompatibel dengan logika pertumbuhan. Dengan mengedepankan penutupan siklus material, circular economy menyiratkan bahwa masalah ekologis dapat diselesaikan tanpa menyentuh asumsi dasar ekonomi modern. Pertumbuhan tidak perlu dipertanyakan; yang perlu diperbaiki hanyalah cara kita mengelola sisa-sisanya.
Di sinilah circular economy berfungsi sebagai bagian dari ideologi hijau. Ideologi, dalam pengertian ini, bukan sekadar kumpulan gagasan keliru, melainkan kerangka makna yang memungkinkan sistem sosial tetap berjalan meskipun berhadapan dengan kontradiksi nyata. Circular economy mengakui krisis ekologis, tetapi sekaligus menetralkannya dengan narasi bahwa krisis tersebut dapat dikelola, dioptimalkan, dan akhirnya dinormalisasi. Dengan demikian, ketegangan antara ekonomi dan ekologi tidak diselesaikan, melainkan disamarkan.
Kunci dari ideologi hijau ini terletak pada konsepsi alam yang diidealkan. Alam dipahami sebagai sistem yang pada dasarnya seimbang, harmonis, dan dapat dipulihkan jika gangguan manusia dikoreksi secara tepat. Dalam kerangka ini, ketidakseimbangan ekologis dilihat sebagai deviasi sementara, bukan sebagai ekspresi batas struktural. Circular economy mengadopsi pandangan ini ketika ia membayangkan siklus alam sebagai sesuatu yang dapat ditiru secara teknis melalui daur ulang dan penutupan loop.
Doeland menunjukkan bahwa pandangan tersebut bermasalah karena mengabaikan apa yang ia sebut sebagai Real of nature. Realitas ekologis bukanlah sistem yang sepenuhnya dapat dimodelkan, dihitung, dan dikendalikan. Ia mencakup unsur ketidakpastian, residu, dan gangguan yang tidak dapat diserap ke dalam perhitungan ekonomi. Ketika circular economy berambisi meniadakan limbah, ia bukan hanya menargetkan efisiensi material, tetapi juga berupaya menghapus tanda-tanda dari Real itu sendiri.
Fantasi decoupling menjadi contoh paling jelas. Gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipisahkan dari dampak ekologis mengandaikan bahwa batas alam bersifat relatif dan dapat dinegosiasikan melalui inovasi teknologi. Namun, sebagaimana dikritik dalam bab ini, fantasi tersebut tidak menghadapi kenyataan bahwa setiap aktivitas ekonomi tetap berakar pada materialitas, energi, dan ekosistem yang terbatas. Circular economy, dalam konteks ini, tidak membatalkan fantasi decoupling, melainkan memperhalusnya dengan bahasa siklus dan efisiensi.
Dengan cara yang sama, konsep zero waste berfungsi sebagai janji simbolik yang kuat tetapi problematik. Limbah dibingkai sebagai kegagalan sementara yang akan hilang seiring dengan penyempurnaan sistem. Yang luput dari perhatian adalah fakta bahwa limbah bukan anomali, melainkan konsekuensi inheren dari aktivitas produksi dan konsumsi. Dengan menolak mengakui hal ini, circular economy mengubah limbah dari peringatan ekologis menjadi objek manajemen semata.
Section ini memperjelas bahwa kritik Doeland tidak ditujukan pada praktik daur ulang atau efisiensi per se, melainkan pada kerangka makna yang membuat praktik tersebut tampak cukup. Circular economy, ketika dipahami sebagai ideologi hijau, berfungsi untuk menenangkan kecemasan ekologis tanpa mengganggu struktur ekonomi yang menghasilkan kecemasan tersebut. Ia menawarkan perbaikan tanpa transformasi, pengelolaan tanpa pengakuan batas.
Dengan demikian, circular economy tidak gagal karena tidak cukup efektif, tetapi karena terlalu efektif dalam menjaga ilusi bahwa batas ekologis dapat ditunda. Di sinilah panggilan Doeland untuk “menuntut yang mustahil” memperoleh maknanya: bukan sebagai ajakan untuk mengejar utopia, melainkan sebagai desakan untuk berhenti menutupi realitas ekologis yang terus menuntut pengakuan
3. Limbah sebagai Gangguan: Mengapa “Menutup Lingkaran” Selalu Menyisakan Sisa
Dalam diskursus circular economy, limbah hampir selalu diposisikan sebagai masalah yang dapat—dan harus—diselesaikan. Ia dianggap sebagai kesalahan desain, kegagalan manajemen, atau ketidaksempurnaan sistem yang suatu hari dapat dieliminasi. Gagasan zero waste lahir dari asumsi ini: jika seluruh aliran material dapat dirancang ulang, maka limbah pada akhirnya akan lenyap. Bagi Doeland, justru di sinilah letak masalah paling mendasar circular economy.
Limbah, dalam pembacaan ini, bukan sekadar residu material, melainkan gangguan simbolik. Ia menandai batas dari apa yang dapat dihitung, dipertukarkan, dan dimasukkan kembali ke dalam logika ekonomi. Ketika limbah didefinisikan ulang sebagai “sumber daya yang belum dimanfaatkan”, circular economy melakukan lebih dari sekadar inovasi konseptual; ia berupaya menetralisasi gangguan tersebut. Limbah kehilangan statusnya sebagai tanda batas dan berubah menjadi objek optimasi.
Doeland menunjukkan bahwa transformasi limbah menjadi sumber daya bukanlah proses netral. Ia mengandaikan bahwa segala sesuatu dapat direduksi menjadi nilai guna ekonomi. Dalam kerangka ini, tidak ada lagi ruang bagi yang tak terpakai, tak bernilai, atau tak terintegrasikan. Namun justru di situlah limbah memperoleh maknanya: ia mengingatkan bahwa tidak semua hasil aktivitas manusia dapat diserap kembali tanpa sisa. Upaya untuk meniadakan limbah sepenuhnya berarti menolak keberadaan residu—baik material maupun ekologis.
Kritik ini menjadi semakin tajam ketika dikaitkan dengan metafora “lingkaran”. Circular economy memanfaatkan citra siklus alam untuk melegitimasi proyek penutupan loop. Alam dipahami sebagai sistem sirkular yang seimbang, sehingga ekonomi dianggap dapat menirunya melalui desain yang tepat. Doeland menolak analogi ini. Siklus alam tidak pernah benar-benar tertutup; ia selalu melibatkan kehilangan, gangguan, dan transformasi yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau dikendalikan. Dengan kata lain, alam bukan mesin sirkular yang efisien, melainkan sistem yang terus menghasilkan sisa.
Fantasi recycling without remainder—daur ulang tanpa residu—menjadi contoh paling jelas dari penyangkalan ini. Dalam fantasi tersebut, setiap limbah memiliki tempat dan fungsi baru, sehingga tidak ada yang benar-benar tersisa. Namun, seperti ditunjukkan Doeland, daur ulang selalu melibatkan degradasi material, konsumsi energi tambahan, dan produksi residu baru. Sisa tersebut kemudian dipindahkan, disembunyikan, atau dinormalisasi, tetapi tidak pernah benar-benar dihapus.
Di sinilah circular economy memperlihatkan dimensi ideologisnya. Dengan menjanjikan penutupan total, ia menciptakan ilusi kontrol atas materialitas dunia. Limbah diperlakukan seolah-olah dapat sepenuhnya “dikembalikan ke rumahnya”, padahal justru limbah menandai bahwa rumah tersebut—oikos—selalu retak. Upaya untuk menutup lingkaran bukanlah pengakuan atas kompleksitas ekologis, melainkan usaha untuk menghapus jejak gangguan yang ditimbulkan oleh ekonomi itu sendiri.
Doeland mendorong pembacaan alternatif: alih-alih memandang limbah sebagai musuh yang harus dieliminasi, limbah perlu dipahami sebagai pengingat yang tidak nyaman. Ia menuntut perhatian, membongkar ilusi efisiensi total, dan memaksa refleksi atas skala serta intensitas konsumsi. Dalam pengertian ini, keberadaan limbah bukan kegagalan circular economy, melainkan tanda bahwa ekonomi telah melampaui kapasitas ekologisnya.
Section ini menegaskan bahwa problem circular economy bukan terletak pada kurangnya teknologi atau inovasi, melainkan pada ambisi untuk menghapus sisa. Selama circular economy tetap berpegang pada fantasi penutupan total, ia akan terus menghindari pertanyaan yang lebih mendasar: berapa banyak yang sebenarnya bisa kita konsumsi tanpa menghasilkan gangguan yang tak terkelola? Pertanyaan inilah yang sengaja dihindari oleh narasi zero waste, tetapi justru menjadi inti kritik Doeland terhadap circular economy.
4. Menuntut yang Mustahil: Derrida, Haunting, dan Ekonomi yang Tak Pernah Tuntas
Seruan Doeland agar circular economy “menuntut yang mustahil” mudah disalahpahami sebagai ajakan utopis. Namun, dalam kerangka filsafat Jacques Derrida—yang menjadi rujukan utama bab ini—the impossible justru bukan cita-cita ideal yang jauh, melainkan sesuatu yang paling nyata dan paling mendesak. Yang mustahil, dalam pengertian Derrida, bukanlah apa yang tidak mungkin terjadi, tetapi apa yang tidak dapat sepenuhnya dihadirkan, dikuasai, atau ditutup oleh sistem makna yang ada.
Circular economy, sebagaimana dikritik Doeland, bekerja sebaliknya. Ia berusaha menjadikan segala sesuatu hadir sepenuhnya: limbah harus menjadi sumber daya, siklus harus tertutup, dan ekonomi harus kembali seimbang. Ambisi ini berakar pada apa yang oleh Derrida disebut sebagai metafisika kehadiran—hasrat untuk membuat dunia sepenuhnya transparan, terkelola, dan bebas dari sisa. Dalam konteks ekonomi sirkular, metafisika ini tampil dalam bentuk keyakinan bahwa dengan desain dan manajemen yang tepat, tidak ada lagi yang tersisa di luar sistem.
Konsep haunting menjadi alat kritik utama terhadap ambisi tersebut. Derrida menunjukkan bahwa setiap sistem yang mengklaim koherensi dan kelengkapan selalu dihantui oleh apa yang dikecualikannya. Tidak ada rumah yang sepenuhnya “rapi”; selalu ada ruang tersembunyi, retakan, dan bayangan. Doeland menggunakan metafora rumah—oikos—untuk menggambarkan hubungan antara ekonomi dan ekologi. Ekonomi berusaha mengatur rumah, sementara ekologi hadir sebagai sesuatu yang mengganggu keteraturan itu. Upaya untuk menyingkirkan gangguan justru membuatnya kembali dengan cara yang lebih mengancam.
Dalam kerangka ini, limbah dipahami sebagai spektre. Ia tidak pernah sepenuhnya pergi, meskipun berulang kali “dikelola”. Limbah dapat dipindahkan, diubah statusnya, atau disamarkan sebagai sumber daya, tetapi ia tetap menghantui sistem yang berusaha meniadakannya. Setiap klaim zero waste justru memperkuat kehadiran spektral limbah, karena menuntut penghapusan sesuatu yang secara struktural tidak dapat dihapus.
Derrida juga mengaitkan the impossible dengan gagasan gift—pemberian yang sejati hanya ada jika tidak masuk dalam logika pertukaran. Pemberian yang dibalas, dicatat, atau dihitung bukan lagi pemberian, melainkan transaksi. Doeland memanfaatkan analogi ini untuk membaca circular economy: selama limbah sepenuhnya dimasukkan kembali ke dalam siklus pertukaran ekonomi, ia kehilangan fungsinya sebagai gangguan. Limbah yang “diresourcifikasi” berhenti menjadi pengingat batas dan berubah menjadi elemen yang mengukuhkan ekonomi itu sendiri.
Dengan demikian, the impossible bukan sesuatu yang harus dieliminasi, melainkan sesuatu yang harus diberi ruang. Menuntut yang mustahil berarti menolak fantasi penutupan total dan menerima bahwa selalu ada sesuatu yang tidak dapat diserap oleh sistem ekonomi. Dalam konteks ekologi, yang mustahil itu adalah kenyataan bahwa alam tidak sepenuhnya dapat diprediksi, dikalkulasi, atau dipulihkan sesuai kehendak manusia.
Doeland membalik logika dominan circular economy: masalahnya bukan bahwa circular economy menuntut yang mustahil, tetapi bahwa ia gagal menuntutnya. Dengan berupaya menjadikan segalanya mungkin—melalui efisiensi, teknologi, dan desain—circular economy justru menyangkal realitas ekologis yang paling mendesak. Yang mustahil, dalam pengertian Derrida, adalah titik di mana sistem harus berhenti berpura-pura utuh dan mulai mengakui keterbatasannya sendiri.
Section ini memperdalam kritik bahwa circular economy bukan sekadar proyek teknis atau kebijakan, melainkan proyek ontologis: ia mengklaim mampu menata dunia tanpa sisa. Dengan menghidupkan kembali konsep haunting dan the impossible, Doeland menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak lahir dari penutupan lingkaran, tetapi dari kesediaan untuk hidup bersama gangguan yang tidak dapat disingkirkan. Limbah, dalam pengertian ini, bukan musuh yang harus dikalahkan, melainkan pengingat yang harus terus didengarkan
5. Lacan dan the Real: Krisis Ekologis sebagai Yang Terjadi Justru Karena Tak Bisa Dikelola
Jika Derrida membantu Doeland membongkar fantasi penutupan sistem melalui konsep haunting dan the impossible, maka Jacques Lacan memberikan perangkat konseptual untuk memahami mengapa krisis ekologis terus “muncul” meskipun telah dikelola, diukur, dan diantisipasi. Kunci analisis ini terletak pada konsep Lacanian tentang the Real—sesuatu yang tidak dapat disimbolkan secara utuh, tidak dapat dipahami sepenuhnya, dan selalu mengganggu tatanan yang telah dibangun.
Dalam kerangka Lacan, manusia hidup dalam apa yang disebut sebagai reality, yaitu dunia yang telah dimediasi oleh bahasa, simbol, dan makna. Realitas ini memungkinkan kita berfungsi secara sosial dan ekonomi, tetapi sekaligus menyembunyikan sesuatu yang tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem simbolik tersebut. The Real adalah apa yang lolos dari simbolisasi—apa yang “tidak bekerja” dalam tatanan yang tampak bekerja dengan baik.
Doeland membaca circular economy sebagai proyek yang sepenuhnya beroperasi di tingkat reality. Ia membangun narasi yang konsisten, optimistik, dan rasional tentang bagaimana ekonomi dan ekologi dapat diselaraskan. Limbah diberi makna baru, krisis diubah menjadi peluang, dan batas alam diterjemahkan ke dalam indikator yang dapat dikelola. Namun, justru karena itu circular economy terus diganggu oleh apa yang tidak dapat ia tangkap: the Real of nature.
Krisis ekologis—banjir ekstrem, kebakaran hutan, kekeringan, polusi yang tak terkendali—tidak muncul sebagai kegagalan kebijakan semata, tetapi sebagai peristiwa yang tidak cocok dengan narasi keberlanjutan. Ia hadir pada waktu yang “salah”, di tempat yang “tidak seharusnya”, dan dalam skala yang melampaui perhitungan. Dalam istilah Lacan, krisis ini bukan penyimpangan dari realitas, melainkan momen ketika the Real menerobos realitas yang dibangun secara ideologis.
Doeland menekankan bahwa circular economy berupaya “menjahit” celah antara realitas dan Real melalui fantasi. Fantasi, dalam pengertian Lacanian, bukan kebohongan sederhana, melainkan kerangka yang membuat dunia terasa koheren dan dapat ditoleransi. Fantasi zero waste, decoupling, dan carbon neutrality memungkinkan masyarakat modern terus beroperasi seolah-olah batas ekologis dapat dinegosiasikan. Fantasi ini tidak menghapus Real, tetapi menundanya—sampai Real itu kembali dalam bentuk krisis yang lebih intens.
Dalam konteks ini, limbah kembali memainkan peran sentral. Limbah bukan sekadar residu material, tetapi penanda dari Real yang tak terserap. Ia menunjukkan bahwa selalu ada sesuatu yang tidak dapat dikelola, tidak dapat dihitung, dan tidak dapat diintegrasikan ke dalam logika efisiensi. Setiap upaya untuk sepenuhnya “menormalisasi” limbah—dengan menjadikannya sumber daya—adalah upaya untuk menutup celah yang justru menjadi tempat munculnya Real.
Doeland mengingatkan bahwa the Real tidak menunggu kesiapan manusia. Ia tidak hadir ketika sistem sudah siap menghadapinya, tetapi justru ketika sistem merasa paling yakin telah menguasai situasi. Inilah mengapa krisis ekologis sering datang sebagai kejutan, meskipun telah diprediksi secara ilmiah. Prediksi, model, dan skenario tetap beroperasi di ranah simbolik; Real selalu melampaui apa yang dapat dimodelkan.
Menuntut yang mustahil, dalam pembacaan Lacanian ini, berarti berhenti mencoba mengasimilasi Real sepenuhnya ke dalam realitas ekonomi. Ia menuntut pengakuan bahwa ada dimensi ekologis yang tidak dapat dijinakkan oleh kebijakan, teknologi, atau pasar. Pengakuan ini bukan panggilan untuk pasrah, tetapi untuk merombak ekspektasi: keberlanjutan bukanlah kondisi stabil yang dapat dicapai dan dipertahankan, melainkan proses rapuh yang selalu berada di bawah ancaman gangguan.
Section ini menegaskan bahwa krisis ekologis bukan bukti kegagalan circular economy untuk bekerja lebih baik, tetapi bukti bahwa circular economy beroperasi pada tingkat realitas yang terlalu sempit. Selama proyek keberlanjutan terus berupaya meniadakan yang mustahil—alih-alih memberinya ruang—krisis akan terus “terjadi” sebagai interupsi yang tak terhindarkan. Di sinilah Doeland mengajak pembaca untuk menerima satu gagasan yang paling sulit: bahwa keberlanjutan tidak mungkin tanpa pengakuan terhadap apa yang tidak dapat dikelola.
6. Implikasi Praktis: Apa Arti “Menuntut yang Mustahil” bagi Kebijakan dan Praktik Circular Economy
Setelah membongkar fondasi ideologis circular economy melalui lensa Derrida dan Lacan, muncul pertanyaan yang tak terelakkan: apa arti kritik ini bagi praktik nyata? Jika circular economy dipahami sebagai proyek yang secara struktural berupaya meniadakan sisa, bagaimana kebijakan, industri, dan masyarakat seharusnya bertindak tanpa terjebak dalam fatalisme atau utopianisme kosong?
Menuntut yang mustahil, dalam pengertian Doeland, bukanlah instruksi teknis, melainkan pergeseran orientasi normatif. Ia menuntut agar circular economy berhenti menjanjikan penutupan total dan mulai mengakui batas sebagai bagian dari desain. Dalam konteks kebijakan, ini berarti bahwa target-target seperti zero waste atau full circularity perlu dipahami sebagai horizon kritis, bukan tujuan operasional yang diasumsikan dapat dicapai sepenuhnya. Ketika target tersebut diperlakukan sebagai janji, kegagalan menjadi tak terhindarkan dan kepercayaan publik tergerus.
Bagi perancang kebijakan, implikasi pertama adalah perlunya kejujuran epistemik. Kebijakan circular economy seharusnya secara eksplisit mengakui bahwa tidak semua aliran material dapat ditutup dan bahwa setiap intervensi membawa konsekuensi baru. Pengakuan ini bukan tanda kelemahan, melainkan syarat untuk perumusan kebijakan yang adaptif. Alih-alih menyembunyikan residu melalui indikator agregat, kebijakan dapat memfokuskan perhatian pada di mana dan mengapa sisa muncul, serta siapa yang menanggung dampaknya.
Dalam konteks industri, menuntut yang mustahil berarti menggeser fokus dari optimasi berkelanjutan menuju pembatasan yang disadari. Banyak strategi circular economy korporat menekankan efisiensi dan inovasi tanpa mempertanyakan volume produksi atau model konsumsi. Kritik Doeland menunjukkan bahwa tanpa refleksi terhadap skala, circular economy berisiko menjadi alat legitimasi pertumbuhan berkelanjutan secara retoris. Praktik industri yang lebih konsisten dengan pengakuan batas akan berani mempertanyakan lini produk, intensitas material, dan bahkan kebutuhan pasar itu sendiri.
Bagi praktik daur ulang dan pengelolaan limbah, implikasinya bersifat lebih konkret. Limbah tidak lagi diperlakukan semata-mata sebagai bahan baku alternatif, tetapi sebagai indikator tekanan sistemik. Di mana limbah meningkat, di situlah sistem produksi dan konsumsi perlu dievaluasi ulang. Pendekatan ini menempatkan pengelolaan limbah bukan di ujung rantai, tetapi sebagai bagian dari refleksi hulu yang terus-menerus.
Lebih luas lagi, menuntut yang mustahil mengharuskan perubahan cara berkomunikasi tentang keberlanjutan. Narasi yang menjanjikan harmoni total antara ekonomi dan ekologi cenderung menciptakan ekspektasi palsu. Sebaliknya, narasi yang mengakui konflik, ketegangan, dan keterbatasan dapat membangun ketahanan sosial terhadap kekecewaan dan krisis. Masyarakat yang disiapkan untuk hidup dengan ketidakpastian ekologis lebih mungkin merespons krisis secara kolektif daripada mencari solusi teknis instan.
Section ini menegaskan bahwa kritik filosofis terhadap circular economy tidak berujung pada penolakan praktik, melainkan pada pendewasaan praktik. Circular economy yang menuntut yang mustahil tidak lagi menjanjikan dunia tanpa sisa, tetapi menawarkan kerangka untuk hidup dengan sisa secara bertanggung jawab. Dalam kerangka ini, keberlanjutan bukan kondisi ideal yang dapat dicapai dan dikunci, melainkan proses reflektif yang terus diganggu—dan justru karena itu tetap relevan
7. Kesimpulan: Circular Economy setelah Ilusi Penutupan
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy tidak bermasalah karena gagal cukup efisien atau kurang inovatif, melainkan karena terlalu percaya pada kemungkinan penutupan. Dengan menjanjikan penghapusan limbah, penutupan siklus, dan kesinambungan pertumbuhan, circular economy membangun narasi yang menenangkan, tetapi sekaligus menyingkirkan aspek paling mendesak dari krisis ekologis: keberadaan batas yang tidak dapat dinegosiasikan sepenuhnya.
Melalui pembacaan kritis Lisa Doeland, circular economy muncul bukan sebagai solusi radikal, melainkan sebagai proyek ideologis yang menunda konfrontasi dengan realitas ekologis. Limbah diredefinisi sebagai sumber daya, krisis diperlakukan sebagai tantangan manajerial, dan alam direduksi menjadi sistem yang dapat ditiru secara teknis. Dalam proses ini, yang hilang bukan hanya sisa material, tetapi kesadaran bahwa ekonomi modern selalu menghasilkan gangguan yang tidak dapat sepenuhnya diserap kembali.
Dengan memanfaatkan pemikiran Derrida tentang the impossible dan Lacan tentang the Real, artikel ini menegaskan bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai melalui penyangkalan terhadap apa yang tidak dapat dikelola. Justru sebaliknya, keberlanjutan menuntut pengakuan terhadap gangguan, residu, dan ketidakpastian sebagai bagian inheren dari hubungan manusia dengan alam. Limbah, dalam pengertian ini, bukan kegagalan yang harus dihapus, tetapi tanda yang terus menginterupsi fantasi penguasaan total.
Menuntut yang mustahil, sebagaimana diajukan Doeland, bukan ajakan untuk mengejar utopia ekologis, melainkan undangan untuk berhenti menyederhanakan krisis. Ia menggeser fokus dari solusi akhir menuju sikap reflektif yang sadar batas. Circular economy yang dewasa bukanlah ekonomi tanpa sisa, tetapi ekonomi yang bersedia hidup dengan sisa tanpa menutupinya dengan narasi harmoni palsu.
Implikasi dari pembacaan ini bersifat menantang sekaligus membebaskan. Ia membebaskan circular economy dari beban janji yang tidak realistis, tetapi juga menantangnya untuk bersikap lebih jujur terhadap konsekuensi dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Keberlanjutan, dalam kerangka ini, bukan proyek teknokratis yang dapat diselesaikan, melainkan tanggung jawab etis yang tidak pernah tuntas.
Dengan demikian, circular economy hanya dapat menjadi relevan jika ia berhenti menjanjikan dunia yang sepenuhnya tertutup dan mulai mengakui bahwa krisis ekologis bukan anomali yang bisa dihilangkan, melainkan kondisi yang harus terus dihadapi. Bukan dengan optimisme tanpa sisa, tetapi dengan kesediaan untuk mendengar gangguan yang tidak dapat dijinakkan.
Daftar Pustaka
Doeland, L. (2022). The circular economy should finally demand the impossible. Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Derrida, J. (1994). Specters of Marx: The state of the debt, the work of mourning and the new international. New York: Routledge.
Derrida, J. (1992). Given time: I. Counterfeit money. Chicago: University of Chicago Press.
Lacan, J. (1977). Écrits: A selection. London: Tavistock.
Lacan, J. (1988). The seminar of Jacques Lacan, Book XI: The four fundamental concepts of psychoanalysis. New York: W. W. Norton.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York: Universe Books.
Stahel, W. R. (2019). The circular economy: A user’s guide. London: Routledge.
Webster, K. (2017). The circular economy: A wealth of flows. Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation.