1. Pendahuluan: Mengapa Ekonomi Sirkular di Daerah Berpendapatan Rendah Membutuhkan Pendekatan Berbeda
Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi sirkular semakin sering dipromosikan sebagai solusi atas krisis lingkungan dan keterbatasan sumber daya. Konsep ini menjanjikan efisiensi material, pengurangan limbah, dan pemanfaatan kembali nilai ekonomi yang selama ini terbuang. Namun di balik narasi optimistis tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang sering terlewat: apakah ekonomi sirkular dapat bekerja secara realistis di wilayah dengan kapasitas fiskal dan institusional yang terbatas?
Bagi banyak pemerintah daerah berpendapatan rendah, persoalan pengelolaan sampah bukan hanya soal teknologi atau target lingkungan. Ia berkelindan dengan keterbatasan anggaran, lemahnya layanan publik, dan ketergantungan pada praktik informal yang tumbuh secara organik. Dalam konteks seperti ini, pendekatan ekonomi sirkular yang diasumsikan netral dan universal justru berisiko tidak relevan, bahkan kontraproduktif.
Masalah utamanya terletak pada cara ekonomi sirkular sering dipahami: sebagai tujuan normatif yang harus dicapai, bukan sebagai alat bantu pengambilan keputusan kebijakan. Akibatnya, banyak inisiatif terjebak pada peniruan model negara maju—berbasis teknologi mahal dan struktur formal—tanpa mempertimbangkan realitas sosial dan ekonomi lokal. Ketika model tersebut gagal diterapkan, ekonomi sirkular kemudian dianggap tidak layak, padahal yang bermasalah adalah desain kebijakannya.
Artikel ini membahas pendekatan alternatif melalui analisis terhadap paper “A Dynamic Circular Economy Model for Waste Management Systems in Low-Income Municipalities (M-GRCT)”, yang mencoba menerjemahkan ekonomi sirkular ke dalam kerangka sistem dinamis yang lebih adaptif terhadap keterbatasan daerah berpendapatan rendah. Alih-alih menawarkan solusi instan, pendekatan ini menekankan pentingnya memahami interaksi jangka panjang antara aliran material, biaya publik, dan aktor lokal.
Dengan menempatkan pengelolaan sampah sebagai titik masuk strategis, pembahasan ini berupaya menunjukkan bahwa ekonomi sirkular dapat berfungsi bukan sebagai beban tambahan, melainkan sebagai strategi rasionalisasi kebijakan. Fokus utamanya bukan pada seberapa “hijau” sebuah sistem terlihat, tetapi pada sejauh mana sistem tersebut mampu bertahan, beradaptasi, dan memberikan manfaat nyata dalam kondisi keterbatasan.
2. M-GRCT sebagai Alat Bantu Keputusan: Melampaui Pendekatan Linear dan Statik
Kontribusi utama paper ini terletak pada pengembangan model M-GRCT sebagai alat bantu keputusan berbasis sistem dinamis. Berbeda dengan pendekatan konvensional yang cenderung statik dan sektoral, model ini memandang pengelolaan sampah sebagai sistem sirkular yang terdiri dari beberapa komponen saling terkait: pembangkitan dan pemilahan, pengumpulan, pengolahan sementara, serta reintegrasi material ke rantai produksi.
Yang penting, model ini tidak hanya menghitung aliran material, tetapi juga mengaitkannya dengan biaya ekonomi, dampak lingkungan, dan dinamika sosial. Pendekatan ini relevan bagi pemerintah daerah berpendapatan rendah yang harus membuat keputusan di bawah keterbatasan anggaran dan kapasitas. Alih-alih bertanya “teknologi apa yang paling canggih”, model ini membantu menjawab pertanyaan yang lebih praktis: intervensi mana yang paling masuk akal secara ekonomi dan sosial dalam jangka menengah.
Model M-GRCT juga secara eksplisit membandingkan pendekatan ekonomi sirkular dengan pendekatan linear. Perbandingan ini penting karena banyak pemerintah daerah masih terjebak dalam logika bahwa pembuangan akhir adalah satu-satunya pilihan realistis. Dengan mensimulasikan berbagai skenario, model ini menunjukkan bahwa sistem sirkular dapat menghasilkan hasil yang lebih baik bahkan ketika kapasitas fiskal terbatas.
Dimensi lain yang menonjol adalah pengakuan terhadap peran pelaku lokal, khususnya pemulung dan pengelola daur ulang skala kecil. Alih-alih diposisikan sebagai anomali, mereka dimasukkan sebagai bagian integral dari sistem. Pendekatan ini memperkuat argumen bahwa ekonomi sirkular di wilayah berpendapatan rendah harus dibangun berbasis realitas sosial, bukan dipaksakan dari atas.
3. Struktur Model M-GRCT: Membaca Pengelolaan Sampah sebagai Sistem yang Hidup
Model M-GRCT dibangun di atas asumsi bahwa pengelolaan sampah bukanlah sistem mekanis yang bergerak linier dari sumber ke tempat pembuangan akhir, melainkan sistem dinamis yang dipengaruhi oleh umpan balik sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pendekatan ini penting, terutama di wilayah berpendapatan rendah, di mana perubahan kecil pada satu komponen dapat menghasilkan dampak besar pada keseluruhan sistem.
Struktur model memetakan aliran material sejak tahap pembangkitan sampah, pemilahan, pengumpulan, hingga pengolahan dan pemanfaatan kembali. Namun yang membedakan adalah bagaimana setiap tahapan tersebut dihubungkan dengan variabel biaya, kapasitas institusi, dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, keputusan teknis—seperti peningkatan tingkat pemilahan atau investasi fasilitas—tidak berdiri sendiri, melainkan selalu memiliki konsekuensi ekonomi dan sosial.
Model ini juga menempatkan waktu sebagai faktor kunci. Banyak kebijakan terlihat efektif dalam jangka pendek, tetapi kehilangan dampaknya seiring waktu karena keterbatasan anggaran atau kejenuhan partisipasi masyarakat. Dengan pendekatan sistem dinamis, M-GRCT mampu menangkap fenomena tersebut melalui mekanisme feedback loop. Misalnya, peningkatan pemilahan di sumber dapat menurunkan biaya pengangkutan, yang kemudian membuka ruang fiskal untuk program edukasi lanjutan, menciptakan siklus perbaikan berkelanjutan.
Selain itu, model ini dirancang cukup fleksibel untuk menyesuaikan konteks lokal. Variabel seperti tingkat pendapatan, biaya operasional, dan komposisi sampah dapat diubah sesuai kondisi daerah. Fleksibilitas ini membuat M-GRCT lebih relevan sebagai alat bantu kebijakan dibandingkan model normatif yang mengasumsikan kondisi ideal.
4. Hasil Simulasi: Mengapa Pendekatan Sirkular Lebih Rasional daripada Sistem Linear
Hasil simulasi yang dihasilkan model M-GRCT memperlihatkan perbedaan yang tajam antara pendekatan linear dan sirkular. Dalam skenario linear, sistem pengelolaan sampah cenderung menunjukkan pola yang familiar: volume sampah meningkat, biaya operasional naik secara kumulatif, dan tekanan lingkungan terus membesar. Perbaikan yang dilakukan bersifat reaktif dan berbiaya tinggi.
Sebaliknya, skenario ekonomi sirkular menunjukkan dinamika yang lebih stabil. Ketika pemilahan dan pemanfaatan kembali meningkat, volume sampah yang harus ditangani di tahap akhir menurun. Dampaknya tidak hanya terlihat pada indikator lingkungan, tetapi juga pada struktur biaya. Dalam jangka menengah, sistem sirkular mulai menghasilkan penghematan relatif, meskipun memerlukan investasi awal yang terarah.
Temuan penting lainnya adalah dampak sosial dari pendekatan sirkular. Dengan memasukkan pelaku lokal—termasuk sektor informal—ke dalam sistem, model menunjukkan potensi peningkatan pendapatan dan stabilitas ekonomi kelompok rentan. Hal ini memperkuat argumen bahwa ekonomi sirkular bukan hanya strategi lingkungan, tetapi juga instrumen kebijakan sosial.
Namun paper ini juga tidak menutup mata terhadap keterbatasan. Transisi menuju sistem sirkular tidak bersifat instan. Pada fase awal, kebutuhan koordinasi meningkat dan risiko kegagalan kebijakan tetap ada. Yang membedakan adalah bahwa dalam sistem sirkular, kegagalan tidak selalu bersifat kumulatif. Dengan desain umpan balik yang tepat, sistem memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dan pulih.
Secara keseluruhan, hasil simulasi memperlihatkan bahwa bagi wilayah berpendapatan rendah, ekonomi sirkular bukan opsi idealistis, melainkan pilihan rasional ketika sumber daya fiskal dan lingkungan semakin terbatas.
5. Implikasi Kebijakan bagi Pemerintah Daerah Berpendapatan Rendah
Salah satu kekuatan utama model M-GRCT adalah relevansinya terhadap realitas pengambilan keputusan di pemerintah daerah berpendapatan rendah. Dalam konteks ini, kebijakan jarang dibuat dalam kondisi ideal. Keterbatasan anggaran, tekanan politik jangka pendek, dan kapasitas institusional yang terbatas sering memaksa pemerintah memilih solusi yang paling cepat terlihat, bukan yang paling berkelanjutan.
Temuan model ini menantang logika tersebut. Ekonomi sirkular, ketika dirancang secara bertahap dan kontekstual, justru menawarkan jalan keluar dari jebakan biaya jangka panjang. Dengan memprioritaskan intervensi di hulu—pemilahan di sumber, penguatan aktor lokal, dan pemanfaatan kembali material—pemerintah daerah dapat menurunkan beban sistem hilir yang selama ini menyedot anggaran terbesar.
Implikasi penting lainnya adalah perubahan peran pemerintah. Dalam model sirkular, pemerintah tidak lagi bertindak sebagai operator tunggal pengelolaan sampah, melainkan sebagai pengatur ekosistem. Peran ini mencakup penetapan aturan main, penyediaan insentif, serta fasilitasi kolaborasi antara masyarakat, sektor informal, dan pelaku usaha lokal. Pendekatan ini lebih realistis dibandingkan upaya sentralisasi penuh yang sering gagal karena keterbatasan kapasitas.
Model ini juga memberikan peringatan implisit terkait kebijakan “copy-paste”. Mengadopsi teknologi mahal atau standar tinggi tanpa mempertimbangkan dinamika sosial lokal berisiko menghasilkan sistem yang tidak berfungsi. Sebaliknya, kebijakan yang memanfaatkan praktik eksisting—seperti jaringan pengumpulan informal—dapat menghasilkan dampak yang lebih cepat dan berkelanjutan dengan biaya yang lebih rendah.
Dengan demikian, ekonomi sirkular dalam kerangka M-GRCT bukan agenda tambahan, melainkan strategi rasionalisasi kebijakan publik. Ia membantu pemerintah daerah memprioritaskan intervensi yang memberikan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi secara simultan, tanpa melampaui kapasitas fiskal yang ada.
6. Kesimpulan Kritis: Relevansi dan Batasan Model M-GRCT
Paper ini menegaskan bahwa ekonomi sirkular di wilayah berpendapatan rendah membutuhkan pendekatan yang berbeda dari narasi global yang dominan. Model M-GRCT menunjukkan bahwa dengan desain sistem dinamis, ekonomi sirkular dapat diterjemahkan menjadi alat bantu kebijakan yang realistis, adaptif, dan sensitif terhadap konteks lokal.
Keunggulan utama model ini terletak pada kemampuannya mengintegrasikan berbagai dimensi—material, biaya, dan sosial—dalam satu kerangka analitis. Hal ini memungkinkan pembuat kebijakan melihat konsekuensi jangka menengah dan panjang dari setiap intervensi, bukan sekadar dampak langsung yang sering menyesatkan. Dalam konteks pengelolaan sampah, kemampuan ini sangat krusial.
Namun demikian, model ini juga memiliki batasan. Seperti semua model sistem, M-GRCT bergantung pada asumsi dan kualitas data awal. Dalam wilayah dengan data terbatas atau tidak konsisten, hasil simulasi perlu dibaca sebagai indikasi arah, bukan prediksi presisi. Selain itu, model tidak sepenuhnya menangkap faktor politik dan konflik kepentingan yang sering memengaruhi implementasi kebijakan di lapangan.
Meski demikian, nilai utama paper ini bukan pada ketepatan angka semata, melainkan pada pergeseran cara berpikir. Ekonomi sirkular tidak lagi diposisikan sebagai tujuan normatif yang jauh dari realitas, tetapi sebagai proses transisi yang dapat dikelola secara bertahap. Bagi pemerintah daerah berpendapatan rendah, pendekatan ini menawarkan harapan yang lebih realistis dibandingkan janji solusi instan.
Pada akhirnya, paper ini menggarisbawahi bahwa keberhasilan ekonomi sirkular tidak ditentukan oleh kecanggihan teknologi, melainkan oleh kecermatan desain sistem dan keberanian kebijakan untuk bekerja dengan realitas sosial yang ada. Dalam kerangka ini, M-GRCT berfungsi bukan hanya sebagai model teknis, tetapi sebagai alat refleksi kebijakan.
Daftar Pustaka
Kwak, M., Lee, J., & Kim, S. (2022). A dynamic circular economy model for waste management systems in low-income municipalities (M-GRCT). International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(5), 1–21.