Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
💫
I. Negara Ini Kerja di Hulu, Orang Lain Panen di Hilir
Selama puluhan tahun kita mengulang pola yang sama: rakyat bekerja di hulu, nilai tambah panen di hilir — bukan oleh mereka.
Komoditas berganti-ganti: dulu sawit, lalu batu bara, besok nikel, besok lagi data digital. Tapi skemanya tetap: kita produksi, mereka proses; kita keringat, mereka margin; kita dapat remah, mereka dapat dividen. Dan yang paling menyakitkan: kita seakan menerimanya sebagai “keniscayaan struktural”. Padahal pola ekstraktif semacam ini bukan takdir, tapi arsitektur ekonomi yang sengaja dibiarkan. Indonesia bukan negara miskin. Indonesia negara yang dipermiskin oleh struktur ekonomi yang salah arah.
🐜
II. Ekonomi Industri Kerakyatan (EIK): Inti Konsepnya Sederhana
Ini bukan teori langit. Ini cuma satu pertanyaan:
👉 Kenapa rakyat selalu ditempatkan di hulu, bukan di industri yang marginnya tunai?
Ekonomi Industri Kerakyatan (EIK) adalah upaya membalik posisi itu.
Intinya cuma dua:
1️⃣ Pemilikan rakyat di titik nilai tambah tertinggi, bukan hanya di kebun/sawah/laut.
2️⃣ Institusi yang memungkinkan rakyat masuk sebagai pemilik, bukan sekadar pemasok atau buruh.
Rakyat bukan minta subsidi.
Rakyat minta akses ke mesin nilai tambah, bukan hanya tempat duduk paling pojok di rantai pasok.
.
📌
III. Kenapa Pola Ekstraktif Ini Harus Didisrupsi Sekarang?
Karena bukti sejarahnya terlalu telanjang. Sawit pernah mencapai Rp 600 triliun total penerimaan untuk Indonesia (2011–2013).
Kini berkisar Rp 440–460 triliun.
Dan berapa yang masuk ke petani?
15–18% saja.
Sisanya pergi ke hilir — refinery, trading, ekspor — yang dikuasai sekitar 12 grup besar (PASPI 2025; World Bank 2025)[1][2].
Kita mau nunggu apa lagi?
Nikel? Ikan? Kopi? Data?
Semuanya sudah antre menjadi “sawit jilid berikutnya”.
📌
IV. Lupakan Denmark, Selandia Baru, Korea. Mari Bicara yang Paling Menyakitkan: Malaysia
Malaysia bukan negara kaya raya. Tapi mereka punya sesuatu yang kita tidak punya:
🐜 institusi kepemilikan industri yang benar-benar membela rakyat.
Contohnya:
▪️ Smallholders Malaysia punya 40–45% dari total luas kebun.
Yang lebih penting: mereka punya porsi besar kepemilikan refinery & downstream melalui Felda, RISDA, FGV Holdings, dan Tabung Haji.
Akibatnya?
Petani Malaysia dapat 34–38% nilai tambah keseluruhan sawit nasional.
Petani Indonesia? 15–18%.
Ini bukan soal teknis. Ini soal arsitektur kepemilikan. Kita kerja lebih berat, tapi mereka yang memetik margin. Kalau negara tetangga bisa, apa alasan kita tidak bisa?
📌
V. Roadmap Ekonomi Industri Kerakyatan (Versi Bahasa Lapangan, Bukan Rapat Dinas)
1️⃣ Tentukan titik paling gemuk di rantai nilai.
▪️ Sawit: refinery → oleofood → oleochemicals.
▪️ Ikan: cold storage → fillet beku.
▪️ Pertanian: milling → packaging → brand.
▪️ Data digital: micro-DC, content farm, aggregator.
2️⃣ Bangun konsorsium rakyat yang punya gigi — bukan koperasi abal-abal.
Bentuknya boleh koperasi, BUMDes konsorsial, BLUD, atau model “holding desa”. Yang penting: punya saham di industri hilir, bukan cuma panen TBS.
3️⃣ Modalnya dari mana? Dari lembaga yang uangnya memang untuk rakyat.
BPDPKS harus dialihkan 30–40% untuk EKUITAS rakyat di refinery. Bukan sekadar replanting yang tidak mengubah struktur kepemilikan.
4️⃣ Lindungi ruang industri rakyat.
Bukan proteksi harga. Tapi kuota wajib serap bagi pabrik besar kepada konsorsium rakyat. Kita sudah proteksi smelter nikel, masa refinery rakyat tidak boleh?
5️⃣ Manajemennya profesional.
Tidak boleh dipegang kepala desa, camat, atau politisi. Ambil manajer dari industri — biar profesionalisme menggantikan upacara Kalau lima langkah ini dilakukan, rakyat punya mesin uang. Kalau tidak, kita akan melanjutkan tradisi 70 tahun: kerja keras → nilai tambah lari.
📌
VI. Indonesia Tidak Kekurangan Kerja Keras. Kita Kekurangan Kepemilikan.
Ini akar masalah kita selama ini.
Kita mau industrialisasi, tapi rakyat tidak dilibatkan sebagai pemilik.
Kita mau inovasi, tapi modal akumulatif tidak pernah sampai ke bawah.
Kita mau ekosistem startup, tapi modal dasarnya tidak ada.
EIK bukan utopia.
EIK adalah tangga pertama supaya rakyat naik kelas.
Tanpa tangga pertama ini, kita cuma disuruh lompat dari tanah ke lantai 10.
Sudah cukup lama rakyat bekerja tanpa mesin.
Sudah waktunya rakyat punya mesin itu.
Ekonomi Industri Kerakyatan bukan janji politik.
Ini operasi struktural.
Kalau kita gagal membangunnya sekarang, kita akan mengulang tragedi sawit di semua komoditas.
✍️
VII. Penutup
Negara ini tidak miskin. Yang miskin adalah siapa yang boleh masuk hilir. EIK adalah upaya sederhana untuk mengutak-atik pintu itu — agar rakyat bukan lagi buruh dalam ekonomi orang lain, tapi pemilik dalam ekonomi sendiri. Jika negara ini ingin maju bersama, bukan sekadar maju di PowerPoint, maka EIK bukan pilihan. Ini syarat minimum. Dan kalau kita tidak memulainya sekarang, kapan lagi?
📥
Endnotes
[1] PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute), Palm Oil Value Distribution Update 2025, November 2025.
[2] World Bank, Indonesia Economic Prospects — The Ownership Gap, July 2025.
[3] Khazanah Research Institute, Who Owns Malaysia’s Palm Oil Refineries?, 2024.
[4] OECD, Indonesia Economic Review 2025: Downstreaming and New Oligopoly Risks, June 2025.
[5] Grain.org, Indonesia: The Great Refinery Grab, 2025.
📖
GLOSARIUM
Ekonomi Industri Kerakyatan (EIK)
Kerangka pembangunan yang menempatkan kepemilikan industri dasar—refinery, pabrik pakan, cold storage, processing facility, data center mini—di tangan konsorsium rakyat banyak.
Nilai Tambah (Value Added):
Selisih antara harga produk mentah dan harga produk olahan.
Pola Ekstraktif:
Model ekonomi di mana rakyat bekerja di hulu, tapi keuntungan lari ke hilir.
Refinery Gap:
Ketimpangan antara porsi produksi hulu rakyat dan kepemilikan pabrik hilir.
Koperasi/Konsorsium Bertulang Baja:
Koperasi yang benar-benar berkapasitas industri.
Ekuitas Rakyat:
Porsi saham industri yang dimiliki rakyat secara kolektif.
Downstreaming Partisipatif:
Hilirisasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik industri.
.
🚧 soerabaja, 6-12-2025
heruprabowo99@gmail.com