Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
💫
Prolog:
Pidato di Parlemen, Sunyi di Gang Becek
Di sebuah sudut kota yang selalu basah oleh sisa hujan semalam, seorang bapak menyeduh kopi sachet sambil menghitung recehan. Bukan laba bulanan yang ia pikirkan — bahkan bukan omset mingguan — melainkan ... cukupkah uang kembalian hari ini untuk belikan beras malam nanti. Di radio kecil warungnya, sang penyiar memberitakan: “Pertumbuhan ekonomi kuartal ini melampaui lima persen.”
Kalimat itu mengambang indah di udara, menggelegar di podium-podium kebijakan, tapi gagal turun ke meja kusam si bapak penjual kopi. Ekonomi hari ini tampak gagah di podium, fasih memproduksi grafik, angka, dan jargon kebijakan. Namun ketika bertemu keseharian rakyat — di gang-gang becek, pasar, sawah, kapal nelayan, dan lapak UMKM — ia sering terlihat gagap: mendengar pun tidak, memahami apalagi.
.
📌
I. Ketika Ekonomi Berubah dari Ilmu Menjadi Mazhab
Di ruang kuliah dan forum birokrasi, ekonomi sering dipresentasikan sebagai kumpulan mazhab: Keynesianisme, Neoklasik, Monetarisme, Pasar Bebas, atau Intervensi Negara. Mahasiswa diajak memilih, menghafal proposisi, mengidentifikasi standar solusi — seolah dunia sosial hanya punya satu kunci pembuka.
Padahal, sejak awal para pemikir besar telah mengingatkan: ekonomi bukan agama doktrinal. John Maynard Keynes menyebut ekonomi sebagai “a moral science dealing with motives, expectations, and psychological uncertainties.” Ilmu tentang manusia, bukan mesin angka. Dani Rodrik — ekonom Harvard yang kini menjadi rujukan kritik metodologis global — menegaskan lebih keras:
“Economics is not a discipline with a single method or model; it is a collection of models, each of which illuminates a different aspect of reality." Ekonomi bukan satu benang emas kebenaran, melainkan kotak peralatan diagnostik. Setiap kasus sosial menuntut alat yang berbeda. Namun, pendidikan ekonomi modern — termasuk di Indonesia — justru menekankan hafalan formula dan ekuilibrium, bukan keterampilan bertanya dan mendiagnosis. Yang dilatih bukan curiosity, tetapi conformity to models.
Akibatnya, para analis muda lebih fasih membaca regresi ketimbang membaca manusia.
.
📌
II. Hilangnya Subjek: Dari Manusia Menjadi “Agen Rasional”
Masalah makin tajam ketika manusia dalam teori ekonomi dipipihkan menjadi “homo economicus”: makhluk yang selalu rasional, konsisten, dan memaksimalkan keuntungan. Teori ini telah lama runtuh.
Herbert Simon memperkenalkan konsep bounded rationality, bahwa manusia mengambil keputusan dalam keterbatasan informasi dan kapasitas kognitif.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky menunjukkan lewat riset Behavioral Economics bahwa manusia cenderung irasional, emosional, bias persepsi, dan sering salah memperkirakan risiko.
Ekonomi kompleks modern — yang berkembang lewat kompleksitas sistem dan neuroscience — semakin menegaskan bahwa pasar bukan sistem mekanik yang bisa dicetak oleh satu rumus universitas. Ia lebih mirip ekosistem sosial dinamis yang dipengaruhi oleh:
❇️ budaya,
❇️ psikologi,
❇️ kepercayaan,
❇️ ketimpangan kekuasaan,
❇️ sejarah,
❇️ dan kebijakan.
Namun, di banyak kebijakan publik Indonesia, paradigma rasionalisme sempit masih dominan.
Akibatnya:
▪️ Bantuan sosial salah sasaran,
▪️ UMKM sulit naik kelas karena kebijakan mengabaikan hambatan non-ekonomi,
▪️ Program subsidi tidak mempertimbangkan perilaku nyata masyarakat.
Manusia hanya muncul sebagai angka agregat — bukan subjek hidup.
.
📌
III. Ketika Data Makro Membungkam Realitas Mikro
Data pertumbuhan ekonomi nasional sering tampak sehat. Tetapi statistik makro kerap gagal menangkap:
☑️ utang mikro rumah tangga yang meningkat,
☑️ kerja informal tanpa perlindungan,
☑️ ketidakpastian pangan,
☑️ dan stagnasi pendapatan riil.
Joseph Stiglitz dan tim OECD mengkritik obsesi negara terhadap GDP sebagai ukuran tunggal keberhasilan:
GDP measures market production but not social wellbeing.
Amartya Sen mengatakan lebih tegas: pembangunan seharusnya diukur dari perluasan kebebasan manusia, bukan sekadar ekspansi output
.
Namun, mimbar kebijakan masih memuja angka agregat — sementara narasi penderitaan lokal berubah jadi noise statistik.
Inilah saat ketika ekonomi fasih berbicara pada elite, tapi bisu terhadap rakyat.
.
📌
IV. Indonesia: Pendidikan Tanpa Diagnostik
Masalah kita bukan sekadar pada kebijakan, tapi pada cara mendidik ekonom.
Kurikulum terlalu fokus:
▪️ teori model ideal,
▪️ metodologi kuantitatif steril konteks,
▪️ hafalan paradigma mazhab.
Yang kurang:
✅ pendekatan etnografi ekonomi,
✅ observasi lapangan,
✅ perilaku pasar lokal,
✅ pendekatan psikologi sosial.
Ekonom lahir sebagai teknisi angka, bukan dokter sosial.
Padahal, pembangunan Indonesia — dengan keragaman geografis, budaya, dan struktur ekonomi — membutuhkan economic general practitioner, bukan spesialis menara gading.
.
📌
V. Rekonstruksi: Mengembalikan Ekonomi kepada Manusianya
Ekonomi mesti pulang ke rumah asalnya: memahami manusia.
Rekonstruksi paradigma memerlukan:
1. Problem-based economics
Berangkat dari masalah riil masyarakat — bukan dari dogma teori.
2. Mixed-method approach
Mengkombinasikan data statistik dengan observasi lapangan dan studi perilaku.
3. Policy experimentation
Kebijakan kecil diuji, dievaluasi, diperbaiki — bukan langsung berskala nasional atas dasar teori tunggal.
4. Participatory diagnosis
Rakyat bukan objek data, tetapi mitra pembuat solusi.
✍️
Epilog:
Dari Mimbar ke Warung Kopi Jika ekonomi terus bicara tinggi di podium namun menolak menunduk mendengar suara warung-warung rakyat, ia akan terus kehilangan wajah manusianya. Ilmu tanpa empati adalah teknologi kekuasaan. Teori tanpa manusia hanyalah bahasa elite. Mengembalikan ekonomi kepada misinya bukan berarti menolak sains. Justru sebaliknya:
Ia menuntut ekonomi yang lebih ilmiah — lebih rendah hati terhadap kompleksitas kehidupan —dan lebih setia kepada kenyataan manusia.
📥
Endnotes
Glosarium
Homo economicus
Model manusia rasional sempurna yang selalu mengoptimalkan keputusan ekonomi. Kini dianggap tidak realistis.
Bounded Rationality
Konsep bahwa rasionalitas manusia terbatas oleh informasi, waktu, dan kapasitas kognitif.
Behavioral Economics
Cabang ekonomi yang mempelajari bias psikologis dan perilaku manusia dalam pengambilan keputusan.
Problem-Based Economics
Pendekatan belajar ekonomi yang berangkat dari masalah nyata masyarakat, bukan doktrin teoritik.
Mixed-Methods
Gabungan pendekatan kuantitatif (statistik) dan kualitatif (wawancara, observasi).
Participatory Policy Design
Perancangan kebijakan dengan melibatkan masyarakat terdampak sebagai mitra aktif.
.
📚
Pustaka Baca
Rodrik, Dani. Economics Rules. Harvard University Press.
Sen, Amartya. Development as Freedom. Oxford University Press.
Stiglitz, Joseph et al. Mismeasuring Our Lives. The New Press.
Kahneman, Daniel. Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
Polanyi, Karl. The Great Transformation. Beacon Press.
Simon, Herbert. Administrative Behavior. Free Press.
.
🚧
soerabaja, 11-12-2025
heruprabowo.el83@gmail.com