1. Pendahuluan
Pertumbuhan kota-kota di Amerika Latin dan Karibia melahirkan dinamika timbulan sampah yang semakin kompleks. Urbanisasi, perubahan pola konsumsi, dan ekspansi aktivitas jasa menciptakan volume residu yang terus meningkat, sementara struktur layanan pengelolaan belum sepenuhnya mampu mengikuti laju perubahan tersebut. Di banyak wilayah, sistem pengelolaan masih bertumpu pada pola linier: sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke landfill, dengan ruang yang terbatas bagi praktik pemulihan material. Paper ini menghadirkan gambaran empiris mengenai timbulan, komposisi, dan konfigurasi layanan pengelolaan sampah di kawasan tersebut — bukan hanya sebagai data statistik, tetapi sebagai cerminan tantangan transisi menuju circular economy.
Melalui pemetaan data lintas kota dan negara, terlihat bahwa persoalan sampah tidak pernah berdiri sendiri. Ia terkait dengan struktur ekonomi, tingkat kesejahteraan, kualitas tata kelola, serta akses terhadap infrastruktur dasar. Di satu sisi, kota-kota besar menunjukkan peningkatan kapasitas teknis dan perluasan cakupan layanan; di sisi lain, wilayah kecil dan pinggiran masih bergelut dengan keterbatasan pembiayaan, ketidakmerataan layanan, dan ketergantungan tinggi pada pembuangan akhir. Dalam bentang yang timpang ini, circular economy hadir bukan sebagai slogan universal, melainkan sebagai proyek transisi yang sangat ditentukan oleh konteks lokal.
Pendekatan empiris yang disajikan paper memungkinkan pembacaan yang lebih realistis terhadap kondisi lapangan. Alih-alih membicarakan circular economy sebagai konsep normatif, analisis bergerak dari apa yang benar-benar terjadi: berapa banyak sampah yang dihasilkan, jenis material apa yang mendominasi, dan sejauh mana sistem pengelolaan mampu mengalirkan material keluar dari jalur pembuangan menuju jalur pemulihan nilai. Dari sini, terlihat bahwa tantangan utama bukan hanya pada volume sampah yang terus meningkat, tetapi pada kemampuan sistem untuk membangun konektivitas antara hulu, proses pengelolaan, dan peluang circularity di hilir.
2. Timbulan dan Komposisi Sampah: Cermin Aktivitas Perkotaan dan Pola Konsumsi
Data mengenai timbulan dan komposisi sampah di berbagai kota di Amerika Latin dan Karibia memperlihatkan pola yang berlapis. Variasi angka timbulan per kapita tidak hanya mencerminkan tingkat pendapatan, tetapi juga struktur ekonomi lokal, gaya hidup perkotaan, dan tingkat ketersediaan produk konsumsi dalam kemasan. Dengan membaca komposisi material, kita dapat melihat bagaimana pola produksi dan konsumsi terproyeksi ke dalam sistem pengelolaan sampah — sekaligus menentukan potensi pemulihan material dalam kerangka circular economy.
a. Dominasi fraksi organik dan implikasinya terhadap pilihan strategi pengelolaan
Sebagian besar kota di kawasan ini menunjukkan proporsi limbah organik yang tinggi dalam komposisi sampah, terutama yang berasal dari sisa makanan dan residu pasar. Kondisi ini memberi dua implikasi utama. Di satu sisi, fraksi organik yang besar mendorong peningkatan emisi dari landfill ketika tidak dikelola dengan baik. Di sisi lain, fraksi yang sama sebenarnya menyimpan peluang untuk dikonversi melalui komposting atau pengolahan biologis yang selaras dengan circular bioeconomy. Tantangannya terletak pada kesenjangan antara potensi teknis dan kesiapan kelembagaan untuk mengelola aliran organik secara terpisah.
b. Porsi material daur ulang yang signifikan namun belum sepenuhnya terserap sistem formal
Material seperti plastik, kertas, logam, dan kaca muncul sebagai fraksi penting dalam komposisi sampah perkotaan. Dari sudut pandang circular economy, keberadaan material bernilai ini seharusnya membuka peluang pemulihan yang luas. Namun kenyataannya, sebagian besar aliran pemulihan masih digerakkan oleh sektor informal, sementara sistem formal baru menjangkau sebagian kecil dari potensi yang ada. Ketidakterhubungan antara komposisi material dan kapasitas pemulihan memperlihatkan bahwa circularity tidak hanya soal ketersediaan material, tetapi juga soal struktur pasar dan kelembagaan yang menopangnya.
c. Variasi antarwilayah sebagai penanda bahwa strategi tidak dapat diseragamkan
Perbedaan timbulan dan komposisi antar kota dan negara menunjukkan bahwa transisi pengelolaan sampah tidak mungkin dibangun melalui satu model tunggal. Kota wisata, kawasan industri, dan wilayah permukiman padat menampilkan karakter komposisi yang berbeda — sehingga memerlukan pendekatan kebijakan dan teknologi yang disesuaikan. Circular economy, dalam konteks ini, lebih tepat dipahami sebagai kerangka adaptif: strategi pengelolaan harus lahir dari pembacaan atas profil material yang benar-benar dihasilkan oleh masyarakat, bukan dari asumsi umum yang tidak selalu relevan dengan kondisi setempat.
3. Ketimpangan Layanan Pengelolaan Sampah dan Konsekuensinya terhadap Jalur Circularity
Ketika data layanan pengelolaan sampah dibandingkan antarwilayah, terlihat bahwa perbedaan akses terhadap pengumpulan, pengangkutan, dan fasilitas pengolahan menciptakan lapisan ketidaksetaraan yang nyata. Kota-kota besar dengan kapasitas fiskal lebih kuat umumnya memiliki layanan rutin dan infrastruktur yang relatif stabil, sementara kawasan pinggiran dan kota berukuran menengah masih menghadapi keterbatasan armada, cakupan layanan, dan keandalan sistem. Dalam kondisi seperti ini, peluang circularity tidak menyebar secara merata — ia cenderung terkonsentrasi di wilayah dengan infrastruktur yang sudah mapan.
a. Cakupan layanan yang tidak merata sebagai sumber risiko lingkungan dan sosial
Di kawasan yang belum sepenuhnya terlayani, sampah sering kali berakhir di lokasi pembuangan informal, badan air, atau lahan terbuka. Selain menimbulkan dampak lingkungan langsung, kondisi tersebut memperbesar risiko kesehatan masyarakat dan memperkuat ketimpangan spasial: kelompok berpendapatan rendah justru menerima beban lingkungan yang lebih besar. Dari sudut pandang circular economy, situasi ini memperlihatkan bahwa prasyarat dasar transisi bukan hanya teknologi pengolahan, melainkan jaminan layanan minimum yang setara bagi seluruh kawasan perkotaan.
b. Sistem formal yang berfokus pada pengangkutan, bukan pada pemulihan material
Banyak pemerintah kota masih menempatkan keberhasilan pengelolaan pada indikator pengumpulan dan pembuangan akhir. Orientasi ini membuat investasi lebih banyak mengalir ke armada transportasi dan landfill dibanding ke fasilitas pemilahan atau pengolahan material. Akibatnya, meskipun rantai logistik pengangkutan berfungsi, aliran material tetap berakhir pada jalur linier. Circularity kehilangan momentum karena ruang pemulihan material di hilir belum memperoleh dukungan sistemik yang memadai.
c. Circular economy yang tumbuh secara parsial di kantong-kantong layanan maju
Ketika fasilitas pengolahan atau inisiatif pemulihan material hadir, ia cenderung berkembang di wilayah dengan kepadatan ekonomi tinggi dan akses transportasi yang baik. Hal ini menciptakan “pulau-pulau circularity” di tengah hamparan sistem pengelolaan yang masih bersifat linier. Fenomena tersebut menegaskan bahwa tantangan utama bukan hanya membangun fasilitas baru, tetapi menyambungkan wilayah yang tertinggal agar peluang circularity dapat menyebar secara lebih inklusif.
4. Interaksi Aktor Formal dan Informal dalam Pengelolaan Material: Antara Ketergantungan dan Ketidakterhubungan Sistem
Di banyak kota di Amerika Latin dan Karibia, realitas pengelolaan material tidak bisa dipisahkan dari peran sektor informal. Pemulung, pengepul kecil, dan jaringan daur ulang berbasis komunitas memainkan peran signifikan dalam mengalirkan material bernilai keluar dari jalur pembuangan. Namun, kontribusi ini sering hadir di luar kerangka kebijakan resmi — berjalan sejajar dengan sistem formal tanpa hubungan kelembagaan yang kuat.
a. Sektor informal sebagai motor tersembunyi sirkulasi material
Data komposisi menunjukkan bahwa sebagian material bernilai tidak pernah masuk ke landfill karena sudah terserap oleh jaringan pemulung sebelum tahap pembuangan. Dari perspektif circular economy, ini merupakan kontribusi nyata terhadap pemulihan material. Namun, kontribusi tersebut berlangsung tanpa perlindungan kerja, kepastian harga, atau dukungan kelembagaan. Sistem formal, pada saat yang sama, masih beroperasi seolah-olah rantai pemulihan tersebut tidak eksis.
b. Ketegangan antara upaya formalisasi dan keberlanjutan praktik lapangan
Ketika pemerintah mencoba membangun skema formal seperti pusat pemilahan atau fasilitas MRF, muncul potensi benturan dengan jaringan yang telah lebih dulu berjalan. Tanpa mekanisme integrasi yang sensitif terhadap realitas sosial, reformasi justru berisiko melemahkan ekosistem daur ulang yang selama ini menopang circularity secara de facto. Tantangannya bukan mengganti sektor informal, tetapi menemukan cara agar ia dapat terhubung, diakui, dan diperkuat dalam kerangka sistem formal.
c. Circular economy sebagai proyek penggabungan sistem, bukan penggantian sepihak
Pengalaman kota-kota di kawasan ini memperlihatkan bahwa masa depan circular economy bergantung pada kemampuan menghubungkan dua dunia: dunia layanan publik yang diatur secara administratif dan dunia pemulihan material yang beroperasi melalui jaringan sosial-ekonomi informal. Integrasi keduanya berpotensi menciptakan sistem yang lebih inklusif, sekaligus memperluas kapasitas circularity tanpa menghapus peran aktor yang selama ini menjadi tulang punggung praktik daur ulang di lapangan.
5. Refleksi Strategis: Membaca Transisi Pengelolaan Sampah sebagai Proses Sosial–Institusional, Bukan Semata Teknis
Gambaran empiris mengenai timbulan, komposisi, ketimpangan layanan, dan interaksi aktor memperlihatkan bahwa transisi menuju circular economy di Amerika Latin dan Karibia tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan peningkatan teknologi pengolahan. Perubahan justru bergerak melalui proses sosial–institusional yang berlangsung bertahap, penuh kompromi, dan sangat bergantung pada kapasitas koordinasi antaraktor dalam sistem.
a. Circular economy sebagai proses membangun keterhubungan antar komponen sistem
Banyak kota telah memiliki elemen-elemen circularity: rantai daur ulang informal, inisiatif pemilahan komunitas, fasilitas pengolahan skala terbatas, serta jaringan pengepul material. Namun, elemen-elemen tersebut sering berjalan sendiri-sendiri tanpa koneksi yang memadai. Tantangan utama bukan menciptakan struktur baru dari nol, tetapi menyatukan bagian yang telah ada agar membentuk sistem yang bekerja secara utuh dan berkesinambungan.
b. Pentingnya legitimasi sosial sebagai fondasi perubahan perilaku dan kelembagaan
Keberhasilan pengurangan residu dan peningkatan pemulihan material sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem. Ketika warga melihat bahwa material terpilah benar-benar diproses dan memberikan manfaat nyata, partisipasi akan meningkat secara organik. Sebaliknya, ketidakkonsistenan di hilir dapat melemahkan komitmen warga, sekaligus menghambat lahirnya norma baru dalam praktik pengelolaan sampah.
c. Transisi yang bersifat bertahap dan adaptif, bukan reformasi yang berlangsung serentak
Data yang dipaparkan paper menunjukkan bahwa setiap wilayah bergerak pada titik awal yang berbeda, dengan kapasitas dan kebutuhan yang tidak sama. Circular economy dalam konteks ini lebih menyerupai proses evolusi: sistem belajar, menyesuaikan, lalu memperluas cakupan intervensi secara bertahap. Pendekatan adaptif menjadi kunci agar reformasi tidak berhenti pada proyek jangka pendek, melainkan berkembang sebagai perubahan struktural yang lebih mendalam.
6. Implikasi Kebijakan dan Arah Penguatan Sistem Pengelolaan Sampah Menuju Circular Economy yang Lebih Inklusif
Dari pembacaan empiris tersebut, muncul sejumlah implikasi kebijakan yang penting bagi kota-kota di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Circular economy perlu dirancang tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi material, tetapi juga untuk memperkuat keadilan layanan, stabilitas ekonomi sistem, dan pengakuan terhadap aktor yang selama ini menopang praktik pemulihan material.
a. Memperluas cakupan layanan dasar sebagai prasyarat transisi sirkular
Sebelum berbicara mengenai teknologi canggih atau skema ekonomi material, pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh kawasan perkotaan memperoleh akses layanan minimal yang setara. Tanpa fondasi tersebut, circular economy akan berkembang secara elitis — maju di pusat kota, tetapi tertinggal di wilayah marginal yang justru menanggung beban lingkungan terbesar.
b. Mengintegrasikan sektor informal sebagai mitra strategis dalam sirkulasi material
Alih-alih menggantikan peran pemulung dan jaringan daur ulang berbasis komunitas, kebijakan perlu mengarah pada pengakuan, perlindungan, dan integrasi kelembagaan. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat keadilan sosial, tetapi juga meningkatkan stabilitas rantai pasok material sekunder yang selama ini menjadi tulang punggung circularity di kawasan tersebut.
c. Menjadikan data dan pembacaan empiris sebagai dasar perencanaan transisi
Profil timbulan, komposisi material, dan variasi spasial layanan memberi panduan konkret bagi perancangan strategi yang lebih kontekstual. Kebijakan menjadi lebih efektif ketika dibangun dari pemahaman atas kondisi nyata sistem — bukan dari model normatif yang diasumsikan berlaku seragam di semua kota.
Dengan arah kebijakan semacam ini, circular economy tidak hanya tampil sebagai proyek teknologi, tetapi sebagai upaya membangun sistem pengelolaan sumber daya yang lebih adil, terhubung, dan responsif terhadap realitas sosial-ekonomi kawasan.
7. Nilai Tambah Analitis: Circular Economy sebagai Cermin Ketimpangan dan Potensi Transformasi Perkotaan
Pembacaan atas timbulan, komposisi, ketimpangan layanan, dan interaksi aktor memperlihatkan bahwa circular economy di Amerika Latin dan Karibia tidak hanya berbicara tentang efisiensi material, tetapi juga tentang struktur sosial perkotaan. Sistem pengelolaan sampah sekaligus menjadi arena tempat ketimpangan, daya adaptasi, dan peluang transformasi bertemu dalam satu ruang praktik.
a. Circular economy sebagai refleksi atas distribusi beban dan manfaat lingkungan
Wilayah yang kurang terlayani sering kali menanggung dampak lingkungan terbesar, sementara wilayah dengan infrastruktur lebih baik menikmati manfaat pengurangan risiko dan peluang ekonomi dari pemulihan material. Kondisi ini menunjukkan bahwa circular economy tidak otomatis menghasilkan keadilan lingkungan; tanpa desain kebijakan yang inklusif, ia justru berpotensi mereproduksi ketimpangan yang sudah ada.
b. Potensi transformasi yang lahir dari pengakuan terhadap dinamika lokal
Data empiris menggarisbawahi bahwa peluang circularity muncul ketika kebijakan mampu membaca dinamika lokal secara jernih — termasuk peran sektor informal, karakter komposisi material, serta praktik pengelolaan yang telah berjalan lama di tingkat komunitas. Dengan memahami kenyataan tersebut, reformasi dapat bergerak bukan melalui penghapusan pola lama, tetapi melalui proses transformasi yang menyambungkan praktik lokal dengan struktur kebijakan yang lebih sistemik.
c. Circular economy sebagai ruang kolaborasi lintas skala
Transisi menuju circular economy menuntut kolaborasi antara pemerintah kota, komunitas lokal, sektor informal, pelaku industri, dan lembaga nasional. Setiap aktor memegang bagian tertentu dalam rantai pengelolaan material. Ketika koneksi antar skala ini mulai terbangun, sistem bukan hanya menjadi lebih efisien secara material, tetapi juga lebih tangguh secara sosial dan kelembagaan.
8. Kesimpulan
Gambaran empiris yang disajikan dalam paper menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah di Amerika Latin dan Karibia berada dalam persimpangan antara kebutuhan modernisasi dan tantangan ketimpangan struktural. Timbulan yang terus meningkat, dominasi fraksi organik, dan keterbatasan layanan di sejumlah wilayah menggambarkan betapa transisi menuju circular economy tidak dapat berjalan otomatis hanya dengan menambah fasilitas atau memperkenalkan teknologi baru.
Keberhasilan transisi bergantung pada kemampuan sistem untuk memperluas layanan dasar, mengintegrasikan sektor informal, serta membangun konektivitas antara hulu, proses pengelolaan, dan jalur pemulihan material di hilir. Circular economy, dalam konteks ini, bukanlah model ideal yang berdiri di atas realitas, melainkan proses pembelajaran sosial–institusional yang berangkat dari kondisi aktual sistem.
Melalui pemahaman tersebut, kawasan Amerika Latin dan Karibia memiliki peluang untuk membangun model circular economy yang lebih kontekstual, inklusif, dan responsif terhadap tantangan urbanisasi. Bukan dengan meniru pola dari tempat lain, tetapi dengan merangkai kekuatan lokal, membenahi kelemahan struktural, dan secara bertahap memperluas kapasitas sistem menuju pengelolaan sumber daya yang lebih sirkular dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
García, M., & Ghosh, S. K. (2023). Urban Waste Generation, Composition, and Management Patterns in Latin America and the Caribbean: Implications for Circular Economy Transitions. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore.
UN-Habitat. (2020). Waste Wise Cities: Global Practice in Urban Waste Management.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Circular Economy in Cities.
World Bank. (2018). What a Waste 2.0: A Global Snapshot of Solid Waste Management.