Di Balik Pagar Proyek: Mengapa Teknologi Penyelamat Nyawa Ini Diabaikan?

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

03 November 2025, 13.34

Di Balik Pagar Proyek: Mengapa Teknologi Penyelamat Nyawa Ini Diabaikan?

Setiap kali saya berjalan melewati lokasi konstruksi besar, saya selalu berhenti sejenak. Ada semacam orkestra yang kacau namun teratur. Suara mesin derek yang berderit, dentuman palu godam yang ritmis, dan teriakan para pekerja yang saling bersahutan. Di antara kerangka baja yang menjulang, saya melihat siluet-siluet kecil manusia bergerak dengan tujuan yang jelas, membangun sesuatu yang monumental dari ketiadaan. Ada rasa takjub yang luar biasa melihat skala usaha manusia ini.

Namun, di balik kekaguman itu, selalu ada rasa gentar yang tak terucapkan. Kita melihat gedung pencakar langit yang megah, jembatan yang kokoh, tapi kita jarang sekali membicarakan harga yang harus dibayar untuk membangunnya. Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Maheesha Silva, Chamari Allis, dan Chanuth De Silva yang membawa saya masuk ke balik pagar seng proyek itu, dan apa yang saya temukan di sana benar-benar membuka mata.   

Paper tersebut menegaskan sebuah fakta suram: industri konstruksi adalah salah satu "bidang pekerjaan paling berbahaya" di dunia. Statistik yang mereka paparkan bukanlah sekadar angka, melainkan gema dari tragedi nyata. Bayangkan ini:   

  • Secara global, jatuh dari ketinggian menyumbang 33.5% dari semua kematian di lokasi konstruksi.

  • Diikuti oleh tertimpa benda (11.1%), tersengat listrik (8.5%), dan terjepit di antara objek (5.5%).   

Angka-angka ini sudah cukup mengerikan, tetapi data dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) benar-benar membuat saya terdiam. ILO memperkirakan ada 2.3 juta kecelakaan terkait pekerjaan setiap tahun di seluruh dunia. Jika dirata-rata, itu berarti ada 6.000 kematian setiap hari. Di negara seperti Sri Lanka, lokasi studi paper ini, kerugian ekonomi akibat kecelakaan kerja diperkirakan mencapai 4% dari Produk Nasional Bruto (PNB). Itu adalah angka yang sangat besar, yang merepresentasikan tidak hanya kerugian finansial, tetapi juga penderitaan manusia, proyek yang tertunda, dan keluarga yang hancur.   

Saat merenungkan data ini, sebuah pertanyaan muncul di benak saya. Mengapa kita menerima tingkat risiko ini di industri konstruksi? Jika sebuah maskapai penerbangan memiliki tingkat kecelakaan yang bahkan sepersekian persen dari angka ini, industri tersebut akan lumpuh total oleh protes publik dan regulasi pemerintah. Namun, dalam konstruksi, risiko ekstrem ini seolah-olah telah dinormalisasi. Kita melihatnya sebagai "bagian tak terhindarkan dari pekerjaan". Penerimaan implisit inilah yang menciptakan kelembaman, sebuah keengganan untuk mengadopsi teknologi baru yang berpotensi merevolusi keselamatan. Masalahnya bukan hanya kecelakaan itu terjadi, tetapi kita secara kolektif telah menerima bahwa kecelakaan pasti akan terjadi. Paper ini menantang asumsi tersebut, dan mengajak kita untuk berpikir ulang.

Ketika PowerPoint Saja Tidak Cukup: Keterbatasan Pelatihan Cara Lama

Ingat pelatihan wajib terakhir yang kamu ikuti di kantor? Kemungkinan besar isinya adalah serangkaian slide PowerPoint yang membosankan dan beberapa video yang kualitasnya seperti dari tahun 90-an. Kamu duduk di sana, setengah mendengarkan, sambil berharap sesi ini cepat berakhir. Sekarang, bayangkan jika pemahamanmu terhadap isi slide ke-27 adalah satu-satunya hal yang memisahkanmu dari jatuh dari ketinggian 10 meter. Tiba-tiba, metode pelatihan itu terasa sangat tidak memadai, bukan?

Inilah gambaran brutal dari kondisi pelatihan keselamatan di banyak tempat, seperti yang diungkapkan dalam studi kasus di Sri Lanka ini. Para peneliti mewawancarai enam ahli dari berbagai akademi dan pusat pelatihan keselamatan. Hasilnya? Sebuah potret yang suram tentang bagaimana kita mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi lingkungan paling berbahaya.

  • 100% dari lembaga yang diwakili oleh para responden masih mengandalkan metode "ceramah" dan "foto/video/presentasi" sebagai tulang punggung pelatihan mereka.   

  • Sementara itu, metode yang lebih interaktif dan modern seperti pelatihan berbasis game digital atau simulasi Virtual Reality (VR) sama sekali tidak digunakan. Angkanya nol besar: 0%.   

Salah satu ahli yang diwawancarai memberikan alasan yang sangat jujur dan relevan: "di negara seperti Sri Lanka, teknik tradisional masih populer karena tidak tersedianya pengalaman langsung (hands-on)". Pernyataan ini, tanpa disadari, menunjuk langsung ke jantung masalahnya. Mereka tahu ada kekurangan dalam "pengalaman langsung", tetapi mereka belum memiliki alat untuk menjembatani kesenjangan itu.   

Di sinilah letak kelemahan fundamental dari pelatihan cara lama. Metode seperti PowerPoint dan video sangat baik dalam mentransfer pengetahuan teoretis. Kamu mungkin bisa menghafal semua prosedur keselamatan dan lulus ujian tertulis dengan nilai sempurna. Tapi, kecelakaan di dunia nyata tidak memberimu waktu untuk membuka buku catatan atau mengingat-ingat isi slide. Sebuah struktur yang mulai runtuh, kabel listrik yang terkelupas, atau alat berat yang kehilangan kendali menuntut reaksi insting dalam sepersekian detik.

Pelatihan tradisional melatih bagian kognitif otak kita—kemampuan untuk mengingat dan memahami. Namun, ia gagal total dalam membangun bagian prosedural dan refleksif—memori otot dan reaksi otomatis yang terlatih. Ada jurang pemisah yang sangat besar antara mengetahui apa yang harus dilakukan dan secara naluriah melakukannya di bawah tekanan ekstrem. Sistem pelatihan saat ini, pada dasarnya, tidak cocok dengan sifat risiko yang dihadapi para pekerja. Ini mempersiapkan mereka untuk ujian, bukan untuk keadaan darurat yang sesungguhnya. Dan itu bukan hanya tidak efektif, itu adalah sebuah kerentanan sistemik yang berbahaya.

Masuk ke Dunia Virtual, Selamat di Dunia Nyata: Sebuah Revolusi Pelatihan Bernama VR

Sekarang, mari kita ubah skenarionya. Bayangkan jika kamu adalah seorang operator crane pemula. Sebelum kamu bahkan diizinkan menyentuh tuas kontrol di kabin asli, kamu sudah menghabiskan 20 jam di dalam sebuah simulator VR yang sangat realistis. Di dunia virtual itu, kamu sudah merasakan bagaimana rasanya saat beban berayun tak terkendali karena angin kencang. Kamu sudah berlatih merespons saat alarm kelebihan beban berbunyi nyaring. Kamu sudah puluhan kali gagal dan belajar dari kesalahanmu, mendaratkan material berat dengan presisi di tengah kondisi yang menantang. Semua itu kamu lakukan tanpa risiko sedikit pun merusak properti senilai miliaran rupiah atau, yang jauh lebih penting, mencelakai satu orang pun.

Inilah janji dari Virtual Reality (VR) dalam pelatihan keselamatan. Paper ini menggambarkannya sebagai pendekatan inovatif yang menyediakan simulasi skenario konstruksi yang imersif dan realistis. Tujuannya sederhana namun kuat: untuk meningkatkan kemampuan pekerja mengenali bahaya dan merespons keadaan darurat secara efektif. Manfaat utamanya, seperti yang dikutip dalam penelitian, adalah mengurangi paparan terhadap bahaya di dunia nyata, meningkatkan efisiensi pelatihan, dan yang terpenting, membangun kepercayaan diri pekerja.   

Meskipun terdengar seperti teknologi dari masa depan, konsep di balik VR sebenarnya sudah sangat tua. Para peneliti dengan menarik menelusuri akarnya kembali ke lukisan panorama abad ke-19—mural 360 derajat yang dirancang untuk menciptakan ilusi bahwa penonton berada di tempat lain. Head-mounted display (HMD) pertama bahkan sudah ada sejak tahun 1968. Apa yang baru adalah aksesibilitas dan realisme teknologi saat ini, yang memungkinkannya menjadi alat pelatihan yang transformatif.   

Namun, potensi sejati VR jauh melampaui sekadar "pelatihan yang lebih baik". VR adalah "demokratisasi pengalaman". Dalam model pelatihan tradisional, pengalaman didapat secara perlahan dan sering kali berbahaya. Seorang pekerja mungkin tidak akan pernah menghadapi skenario parit yang runtuh sepanjang kariernya—sampai suatu hari mereka mengalaminya, dan itu bisa menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir mereka. VR mengubah paradigma ini sepenuhnya. Sebuah perusahaan dapat memadatkan potensi "pengalaman buruk" selama puluhan tahun ke dalam modul pelatihan yang aman, dapat diulang, dan dapat diakses oleh semua orang.

Ini secara fundamental mengubah kurva pembelajaran. Pelatihan keselamatan tidak lagi bersifat reaktif (belajar dari kecelakaan yang sudah terjadi), melainkan menjadi proaktif (belajar dari kegagalan yang disimulasikan tanpa konsekuensi). VR memastikan bahwa setiap pekerja, dari yang paling junior hingga senior, memiliki tingkat "pengalaman" dasar dalam menghadapi peristiwa langka namun mematikan. Ini bukan lagi soal keberuntungan atau kebetulan, melainkan soal persiapan yang sistematis.

Panggilan Bangun dari Sri Lanka: Temuan yang Paling Mengejutkan Saya

Jujur saja, saat mulai membaca paper ini, saya mengira isinya akan penuh dengan grafik canggih, analisis statistik yang rumit, dan jargon teknis. Saya siap untuk itu. Tapi ternyata, bagian yang paling mengejutkan, yang paling membuat saya termenung, bukanlah data kuantitatifnya. Melainkan cerita tentang manusia—enam orang ahli keselamatan di Sri Lanka yang pendapatnya melukiskan gambaran yang kompleks, membingungkan, dan sangat manusiawi tentang adopsi inovasi.

Inilah temuan-temuan dari wawancara mereka yang benar-benar mengubah perspektif saya:

  • 🧠 Fakta Paling Mencengangkan: Jurang Kesadaran. Ini adalah data yang paling mengejutkan saya. Setengah dari para ahli yang diwawancarai—50% dari mereka—sama sekali tidak sadar akan keberadaan teknologi VR untuk pelatihan keselamatan. Ini bukan sekadar kesenjangan pengetahuan; ini adalah sebuah jurang yang menganga. Mereka adalah para profesional di garda terdepan keselamatan, namun sebuah teknologi yang berpotensi menyelamatkan nyawa bahkan tidak ada dalam radar mereka.   

  • 🚧 Rintangan Terbesar: Persepsi vs. Realita. Bagi separuh lainnya yang tahu tentang VR, rintangan utamanya bukanlah masalah teknis, melainkan persepsi. Tiga kekhawatiran utama muncul, masing-masing disebutkan oleh 33.3% dari mereka yang sadar:

    1. VR dianggap sebagai "metode pelatihan yang mahal".   

    2. Ada kekhawatiran bahwa VR dapat "merusak interaksi siswa dan komunikasi manusia secara keseluruhan".   

    3. Ada yang menolaknya hanya karena "itu berbasis perangkat lunak".   

  • 🚀 Potensi Luar Biasa: Harapan di Tengah Keraguan. Nah, di sinilah letak paradoksnya. Meskipun ada ketidaktahuan dan keraguan, para ahli yang memahami konsep VR justru sangat positif tentang potensinya. Gabungan 100% responden setuju (66.7%) atau sangat setuju (33.3%) bahwa pelatihan VR dapat secara signifikan meningkatkan keterampilan keselamatan. Lebih lanjut, 83.4% dari mereka juga setuju atau sangat setuju tentang pentingnya "pelatihan yang terasa nyata" bagi para pekerja baru.   

Ketika saya menyandingkan data-data ini, sebuah gambaran yang mengejutkan muncul. Masalah utamanya bukanlah penolakan terhadap teknologi. Masalahnya adalah keheningan. Ada paradoks kritis dalam adopsi inovasi di sini: orang-orang yang paling diuntungkan oleh teknologi ini, dan yang paling yakin akan keefektifannya begitu mereka memahaminya, justru adalah orang-orang yang paling terisolasi dari informasi tentang keberadaannya.

Kekhawatiran tentang biaya dan "dehumanisasi" adalah keberatan klasik tingkat pertama terhadap teknologi baru apa pun. Kekhawatiran ini relatif mudah diatasi. Seseorang dapat dengan mudah menunjukkan bahwa biaya beberapa headset VR jauh lebih murah daripada kerugian 4% PNB akibat kecelakaan. Seseorang juga bisa mendemonstrasikan bagaimana VR justru melengkapi, bukan menggantikan, interaksi manusia. Namun, Anda tidak bisa membantah keberatan seseorang jika mereka bahkan tidak tahu ada sesuatu untuk diperdebatkan.

Ini menyiratkan bahwa titik kritis untuk adopsi VR di industri ini bukanlah terobosan teknologi berikutnya, melainkan terobosan informasi. Momen ketika kesadaran menjadi meluas, keyakinan inheren akan potensinya (seperti yang ditunjukkan oleh separuh responden yang "sadar") kemungkinan besar akan mendorong adopsi yang cepat. Masalah terbesarnya, ternyata, hanyalah memulai percakapan.

Opini Jujur Saya: Antara Harapan Besar dan Realita Pahit

Membaca paper ini membuat saya merasakan dua emosi yang kontradiktif secara bersamaan. Di satu sisi, ada harapan besar yang membuncah. Harapan akan masa depan di mana teknologi canggih seperti VR dapat secara drastis mengurangi angka kecelakaan kerja dan menyelamatkan nyawa. Di sisi lain, ada realita pahit tentang betapa lambatnya sebuah inovasi yang brilian meresap ke tempat-tempat yang paling membutuhkannya.

Kekuatan terbesar dari studi ini adalah perspektifnya yang membumi. Penelitian ini begitu berharga karena tidak membahas VR di laboratorium mewah Silicon Valley atau di ruang konferensi perusahaan teknologi. Sebaliknya, ia membawanya ke dunia nyata industri konstruksi di negara berkembang, yaitu Sri Lanka. Ini menjadikannya studi kasus yang langka dan otentik tentang tantangan nyata dalam adopsi teknologi. Ini adalah suara dari lapangan, bukan teori dari menara gading.   

Namun, kita juga harus jujur tentang skalanya. Meski temuannya luar biasa, studi ini didasarkan pada wawancara mendalam dengan enam orang ahli. Ini menjadikannya sebuah potret kualitatif yang kaya dan mendalam, bukan survei kuantitatif yang definitif yang dapat digeneralisasi ke seluruh populasi. Temuan-temuan ini harus dilihat sebagai pembuka percakapan yang brilian, sebuah hipotesis yang kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Namun, ini bukanlah kata akhir. Ini adalah sebuah pertanyaan besar, bukan sebuah jawaban final.   

Dan di sinilah letak keindahan tersembunyinya. Justru karena keterbatasannya (sampel yang kecil), studi ini berhasil melakukan sesuatu yang mungkin akan dilewatkan oleh survei berskala besar. Survei besar mungkin akan bertanya, "Pada skala 1-5, seberapa besar kemungkinan Anda mengadopsi VR?" dan mungkin akan menunjukkan angka adopsi yang rendah, tetapi tidak akan pernah bisa menjelaskan mengapa. Dengan berbicara secara mendalam kepada enam orang, para peneliti berhasil menggali lebih dalam dan menemukan fakta yang tak terduga: 50% dari mereka bahkan belum pernah mendengarnya.   

Pendekatan kualitatif ini mengungkap bahwa masalahnya bukanlah kurangnya minat, melainkan kurangnya informasi. Ini adalah wawasan yang jauh lebih bisa ditindaklanjuti. Ini menunjukkan bahwa terkadang, data yang paling berharga datang bukan dari sampel ribuan orang, tetapi dari percakapan yang jujur dengan segelintir orang yang tepat. Studi ini adalah pengingat akan kekuatan "data kecil" untuk mengungkap hambatan yang bernuansa dan berpusat pada manusia.

Langkah Anda Selanjutnya: Dari Pembaca Menjadi Pelaku

Setelah membaca sejauh ini, pertanyaan besarnya adalah: lalu bagaimana? Kita mungkin tidak bisa keluar dan membangun program pelatihan VR untuk perusahaan konstruksi besok pagi. Tapi kita bisa memulai dengan hal yang paling mendasar dan, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian ini, yang paling penting: menyebarkan kesadaran.

Pesan inti dari perjalanan saya membaca paper ini adalah: rintangan terbesar antara kita dan masa depan kerja yang lebih aman bukanlah kerumitan teknologi, melainkan kesederhanaan kesadaran. Kisah VR di Sri Lanka adalah pengingat yang kuat bahwa inovasi tidak hanya membutuhkan penemu, tetapi juga para juara, pendidik, dan pengadopsi awal yang berani menyebarkan berita.

Jadi, inilah yang bisa kita lakukan:

  1. Selami Lebih Dalam. Jika Anda adalah tipe orang yang penasaran dengan metodologi, data mentah, dan nuansa percakapan dengan para ahli, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah jendela yang jernih ke dalam tantangan dan peluang nyata di lapangan, yang ditulis tanpa filter. (https://doi.org/10.31705/WCS.2024.67)

  2. Tingkatkan Keterampilan Praktis. Jika tulisan ini memicu keinginan untuk tidak hanya tahu, tetapi juga bisa melakukan, maka meningkatkan keterampilan praktis Anda sendiri adalah langkah berikutnya yang logis. Baik itu di bidang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) atau bidang profesional lainnya, berinvestasi pada diri sendiri adalah cara terbaik untuk menjadi bagian dari solusi. Menjelajahi platform pembelajaran seperti(https://diklatkerja.com/) bisa menjadi titik awal yang bagus untuk mengubah wawasan menjadi tindakan nyata.

Pada akhirnya, setiap helm proyek yang kita lihat, setiap pekerja yang berada di ketinggian, adalah pengingat akan tanggung jawab kolektif kita. Teknologi untuk membuat pekerjaan mereka lebih aman sudah ada. Sekarang, tugas kita adalah memastikan ceritanya sampai ke telinga orang-orang yang paling membutuhkannya.