Bayangkan sebuah ruangan remang-remang, didominasi oleh dinding video raksasa (video wall) yang menampilkan puluhan aliran kamera CCTV.1 Operator duduk di depan barisan monitor, memantau peta digital yang berkedip-kedip, data kecepatan, dan laporan insiden yang masuk. Tiba-tiba, sebuah alarm berbunyi: kecelakaan di jalan tol utama, tepat di jam sibuk pagi hari.
Di sinilah krisis kognitif dimulai. Laporan FHWA menjelaskan bahwa operator manusia, secanggih apa pun pelatihannya, adalah "pengambil keputusan" yang memiliki keterbatasan.1 Mereka menghadapi "faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan" termasuk "tekanan sosial, norma budaya, kelelahan, bias yang melekat, dan keterbatasan lainnya".1
Dalam hitungan detik, operator tersebut harus:
- Memonitor: Memverifikasi insiden. Apakah laporan itu nyata? Di mana lokasinya? Berapa lajur yang tertutup?
- Menghitung & Memprediksi: Seberapa parah dampaknya? Di mana ekor kemacetan akan berakhir dalam 15 menit?
- Mengusulkan: Apa respons terbaik? Apakah cukup menampilkan pesan di rambu elektronik (DMS)? Perlukah mengubah waktu lampu lalu lintas di jalan arteri terdekat? Haruskah patroli layanan jalan raya dikerahkan?
- Menerapkan: Mengeksekusi keputusan tersebut di berbagai sistem perangkat lunak yang mungkin tidak saling terhubung.
Masalahnya, operator yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda. Operator veteran dengan pengalaman 20 tahun mungkin memiliki "intuisi" 1 yang tajam, sementara operator baru mungkin akan kaku mengikuti prosedur—atau lebih buruk lagi, membeku karena banyaknya data. Hasilnya adalah "pengambilan keputusan yang tidak konsisten".1
Di sinilah letak pergeseran masalah yang fundamental. Dua dekade lalu, masalah TMC adalah kekurangan data. Mereka tidak tahu apa yang terjadi sampai seseorang melaporkannya. Sekarang, masalahnya adalah kelimpahan data.1 Tanpa alat bantu yang tepat, tsunami data ini justru menjadi "kebisingan" (noise) yang memperlambat respons, alih-alih menjadi sinyal yang mempercepatnya.
Laporan ini menyoroti sebuah ketegangan sentral dalam modernisasi TMC: bagaimana menyeimbangkan keahlian manusia yang bernuansa dengan kekuatan pemrosesan data mesin yang konsisten? Laporan tersebut secara jujur mengakui bahwa ketergantungan berlebih pada alat baru memiliki kelemahan, seperti "mengabaikan intuisi dan pengalaman".1 Namun, tidak melakukan apa-apa berarti membiarkan sistem transportasi kita tersandera oleh keterbatasan kognitif manusia.
Solusinya: Memperkenalkan 'Otak' Digital Baru di Pusat Kendali Lalu Lintas
Untuk menjembatani kesenjangan ini, laporan tersebut berfokus pada satu solusi teknologi: Decision-Support Tools (DST), atau Alat Pendukung Keputusan.
Ini bukanlah sekadar alarm atau peta lalu lintas yang lebih cantik. Laporan ini mendefinisikan DST sebagai "alat berbasis komputer yang dapat memproses data dalam jumlah besar, menangkap proses operasional organisasi, dan berpotensi meniru pengambilan keputusan real-time dari operator manusia".1
Secara sederhana, DST adalah "co-pilot" digital untuk operator TMC.
Laporan ini membuat perbedaan penting antara dua jenis DST, yang seringkali disalahpahami 1:
- DST Offline (Buku Prosedur Digital): Ini adalah alat bantu statis, non-komputer, atau berbasis komputer yang tidak terhubung secara real-time. Pikirkan ini seperti "buku contekan" canggih. Contohnya termasuk "rencana respons insiden" yang sudah dicetak, atau "pohon keputusan" (decision trees) yang dilaminasi dan ditempel di meja operator.1 Operator masih harus membacanya, menafsirkannya, dan menerapkannya secara manual.
- DST Online (Co-Pilot Aktif): Inilah fokus utama laporan. Ini adalah "alat berbasis komputer real-time" yang terintegrasi penuh ke dalam perangkat lunak Traffic Management System (TMS).1 Alat ini "hidup"—ia secara aktif menyerap data, menganalisisnya, dan secara otomatis menyarankan atau bahkan mengeksekusi respons.
Pergeseran dari DST offline ke online menceritakan sebuah evolusi. Ini adalah lompatan dari TMC 1.0, yang beroperasi berdasarkan prosedur tetap, ke TMC 2.0, yang mampu memberikan respons adaptif. Ini adalah transisi dari "mengikuti manual" menjadi "memiliki co-pilot cerdas yang berbisik di telinga Anda."
Tiga Tipe 'Kecerdasan' Digital: Si Ahli, Si Analis, dan Si Peramal
"Alat Pendukung Keputusan" bukanlah satu teknologi tunggal. Laporan FHWA dengan sangat baik mengkategorikan alat-alat ini ke dalam tiga pendekatan utama, yang pada dasarnya mewakili tiga tingkat kecanggihan yang berbeda.1
Memahami ketiga tipe ini sangat penting bagi para pembuat kebijakan untuk memutuskan jenis investasi apa yang tepat untuk kota mereka.
- Si Ahli (Knowledge-Driven / Berbasis Pengetahuan):
Ini adalah tipe DST yang paling dasar namun fundamental. Ia dirancang untuk meniru keahlian manusia. Sistem ini beroperasi berdasarkan "fakta, aturan, [dan] prosedur yang tersimpan".1 Ia tidak menemukan wawasan baru dari data, tetapi ia menerapkan pengetahuan ahli yang ada—seperti operator veteran paling berpengalaman di TMC—secara sempurna dan konsisten setiap saat. Contoh nyatanya adalah sistem CHART di Maryland, yang menggunakan "pohon keputusan" untuk merekomendasikan respons insiden.1 - Si Analis (Data-Driven / Berbasis Data):
Jika "Si Ahli" adalah seorang veteran, "Si Analis" adalah seorang ilmuwan data. Tipe DST ini "menggunakan data, biasanya dari database... untuk mengembangkan wawasan".1 Ia menggali triliunan data historis dan real-time untuk menemukan pola statistik yang mungkin tidak terlihat oleh manusia. Contohnya adalah sistem SCOUT di Kansas City, yang menganalisis data cuaca dan kondisi jalan untuk memprediksi di mana es akan terbentuk.1 - Si Peramal (Model-Driven / Berbasis Model):
Ini adalah tipe yang paling canggih dan futuristik. "Si Peramal" tidak hanya melihat data masa lalu; ia memprediksi masa depan. Ia menggunakan "model matematis" dan perangkat lunak simulasi untuk menjalankan skenario "what-if" secara real-time.1 Ia dapat menjawab pertanyaan seperti: "Jika kita menutup dua lajur di KM 10, apa yang akan terjadi pada waktu tempuh di rute arteri alternatif 30 menit dari sekarang?" Contoh utamanya adalah sistem Integrated Corridor Management (ICM) di San Diego.1
Sebuah pemahaman kritis yang muncul dari analisis laporan ini adalah bahwa ketiga tipe ini bukanlah menu pilihan yang setara, di mana sebuah kota bisa langsung "membeli" opsi terbaik. Sebaliknya, ketiganya mewakili sebuah tangga kedewasaan (maturity model).
Sebuah agensi tidak dapat mengimplementasikan "Si Peramal" (Model-Driven) yang canggih jika mereka bahkan belum memiliki data historis yang bersih dan terstruktur (Data-Driven). Dan mereka tidak dapat memiliki data yang bersih jika mereka belum mendigitalkan dan menstandardisasi aturan dan prosedur dasar mereka (Knowledge-Driven).
Hubungan sebab-akibatnya jelas: kualitas data dan kedewasaan operasional sebuah agensi menentukan tipe DST apa yang mungkin untuk diimplementasikan. Implikasinya bagi para pembuat kebijakan adalah: investasi harus dimulai dari hal-hal yang "membosankan" namun fundamental—yaitu pengumpulan data yang baik dan standarisasi prosedur—sebelum melompat untuk membeli perangkat lunak simulasi yang mahal.
Mengurai Kekacauan: Empat Langkah 'Otak' Digital Mengendalikan Kemacetan
Jadi, bagaimana "otak" digital ini sebenarnya berpikir? Laporan ini menyediakan kerangka kerja yang sangat jelas untuk memahami proses kognitif DST, yang terbagi menjadi empat tahap keputusan.1
Ini adalah narasi tentang bagaimana DST mengubah kekacauan data mentah menjadi tindakan yang teratur.
Langkah 1: Monitor (Memonitor Denyut Nadi Kota)
Pertama, sistem terus-menerus "membaca" denyut nadi jaringan transportasi. Ia menyerap data dari berbagai sumber: data jaringan transportasi (kecepatan, volume, okupansi), status perangkat (apakah rambu pesan berfungsi?), data cuaca dan kondisi jalan (apakah jalan basah? ber-es?), serta laporan insiden dan peristiwa.1 Pada tahap ini, ia hanya mengamati.
Langkah 2: Calculate and Predict (Menganalisis dan Memprediksi)
Di sinilah keajaiban dimulai. Ini adalah inti dari DST. Sistem "menerapkan pemrosesan data tingkat lanjut".1 Ia tidak hanya mengatakan, "Ada kemacetan di KM 10." Ia mengatakan, "Berdasarkan data historis jam sibuk hari Senin dan fakta bahwa hujan baru saja mulai, kemacetan ini akan bertambah parah 30% dan ekornya akan mencapai pintu keluar berikutnya dalam 15 menit".1 Sistem ini bahkan dapat memprediksi "peningkatan risiko peristiwa yang berdampak," seperti mengidentifikasi lokasi-lokasi di mana kemungkinan kecelakaan baru saja meningkat drastis.1
Langkah 3: Propose (Menyajikan 'Menu' Solusi)
Setelah memprediksi masalah, DST bertindak sebagai penasihat strategis. Ia "menghasilkan satu atau lebih rencana respons".1 Ia tidak hanya memberikan satu solusi, tetapi menyajikan sebuah "menu" pilihan kepada operator. Misalnya:
- Opsi A (Ringan): Tampilkan pesan peringatan di rambu DMS A, B, dan C.
- Opsi B (Sedang): Lakukan Opsi A, plus ubah waktu lampu lalu lintas di rute arteri alternatif.
- Opsi C (Agresif): Lakukan Opsi B, plus terapkan ramp metering (pengaturan akses masuk tol) dan kirim pesan ke aplikasi 511 untuk merekomendasikan penggunaan bus transit.
Langkah 4: Select and Implement (Memilih dan Mengeksekusi)
Pada tahap akhir, operator manusia (atau dalam sistem yang sangat otomatis, sistem itu sendiri) "memilih dan melaksanakan rencana respons yang dianggap paling mungkin untuk paling efektif".1 Sistem kemudian mengeksekusi perintah ini—mengirim pesan ke rambu, mengubah sinyal, dan menyebarkan informasi ke publik.1
Kerangka kerja empat langkah ini mengungkap pergeseran peran yang mendalam bagi operator TMC. Sebelum ada DST, operator menghabiskan 90% waktu mereka untuk berjuang di Langkah 1 (Monitor) dan Langkah 2 (mencoba menghitung-hitung dampak di kepala mereka). Dengan DST, Langkah 1, 2, dan 3 sebagian besar telah diotomatisasi.
Peran operator manusia kini bergeser secara drastis ke Langkah 4. Mereka beralih dari menjadi analis data yang stres menjadi manajer keputusan strategis yang diberdayakan. Mereka tidak lagi bertanya "Apa yang sedang terjadi?", tetapi "Dari tiga solusi yang disarankan, mana yang paling strategis untuk kita ambil saat ini?"
Bukti dari Lapangan: Tiga Kota yang Menggunakan 'Co-Pilot' Digital
Laporan ini bukan hanya sekadar teori. Ia menyajikan studi kasus nyata di mana berbagai jenis "otak" digital ini telah beroperasi dan memberikan dampak.
Studi Kasus 1: Maryland (CHART) – Si Ahli yang Konsisten
Sistem Coordinated Highways Action Response Team (CHART) di Maryland adalah contoh klasik dari DST "Si Ahli" (Knowledge-Driven).1 Tujuannya adalah konsistensi.
Ketika sebuah insiden terverifikasi, operator dapat meminta DST untuk merekomendasikan "elemen rencana respons"—seperti rambu DMS mana yang harus diaktifkan dan pesan apa yang harus ditampilkan.1
Namun, bagian paling menarik adalah bagaimana sistem ini menggunakan "pohon keputusan" (decision trees) untuk memprediksi durasi insiden, seperti yang dirinci dalam laporan.1 Alih-alih menyajikan tabel teknis, bayangkan prosesnya seperti ini: Operator memasukkan beberapa variabel kunci yang mereka ketahui tentang insiden tersebut—'Apakah ada truk trailer yang terlibat?', 'Apakah insiden terjadi di jalan I-495?', 'Berapa jumlah lajur utama yang terhalang?', 'Apakah terjadi pada jam sibuk pagi?'. Berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, yang didasarkan pada data historis kecelakaan sebelumnya, sistem CHART langsung memberikan kategori durasi yang terstandardisasi: 'Minor (kurang dari 30 menit)', 'Intermediate (30-120 menit)', atau 'Major (lebih dari 120 menit)'.1
Ini adalah lompatan besar. Ini menghilangkan tebak-tebakan operator, memberikan informasi waktu yang lebih konsisten kepada publik, dan menstandardisasi tingkat respons yang diperlukan.
Studi Kasus 2: Kansas City (SCOUT) – Si Analis yang Proaktif
Di Kansas City, musuh utamanya adalah cuaca musim dingin. Sistem SCOUT mereka 1 adalah contoh brilian dari DST "Si Analis" (Data-Driven) yang digabungkan dengan elemen "Si Peramal" (Model-Driven).
Sistem ini berfokus pada satu hal: perawatan jalan musim dingin. Ia menggabungkan "laporan kondisi trotoar dan cuaca real-time" dengan "model prakiraan dan probabilistik".1 Hasilnya adalah prediksi canggih tentang di mana dan kapan jalan akan membeku atau tertutup salju.
Bagi operator TMC, ini mengubah segalanya. Mereka tidak lagi reaktif—menunggu panggilan 911 tentang jalan licin. Sebaliknya, sistem memungkinkan mereka menjadi proaktif. Notifikasi seperti "heavy winter-precip" (curah salju musim dingin yang lebat) 1 memungkinkan mereka mengirimkan kru anti-icing dan bajak salju ke lokasi tertentu sebelum kondisi berbahaya terjadi.
Studi Kasus 3: San Diego (ICM) – Si Peramal Multimoda
Sistem Integrated Corridor Management (ICM) di San Diego adalah "bintang" dari laporan ini. Ini adalah contoh paling matang dari DST "Si Peramal" (Model-Driven).1
Tujuannya jauh melampaui jalan tol. Tujuannya adalah untuk mengelola seluruh koridor—termasuk jalan tol, jalan arteri permukaan, dan layanan bus transit—sebagai satu sistem yang holistik dan terintegrasi.1
Keajaiban sistem San Diego terletak pada kemampuannya menjalankan simulasi jaringan secara real-time untuk memprediksi kondisi 15 hingga 30 menit ke depan.1 Ketika sebuah peristiwa (seperti kemacetan parah) terdeteksi, DST akan mengevaluasi berbagai rencana respons.
Laporan 1 memberikan gambaran tentang bagaimana sistem ini "berpikir" secara strategis. Sistem ini memetakan respons berdasarkan dua sumbu: Tingkat Permintaan (Demand) dan Dampak Peristiwa (Event Impact). Sebagai contoh:
- Jika terjadi insiden 'High Impact' (dampak tinggi), seperti truk terbalik yang menutup banyak lajur, selama 'Heavy Demand' (permintaan padat, misal jam sibuk pagi), sistem akan merekomendasikan respons 'Aggressive' (Agresif).
- Sebaliknya, jika terjadi insiden 'Low Impact' (dampak rendah) selama 'Light Demand' (permintaan sepi, misal tengah malam), sistem mungkin hanya akan memicu respons 'Conservative' (Konservatif).1
Di sinilah letak perbedaannya. Respons "Agresif" di San Diego bukan sekadar pesan di rambu. Ini adalah serangkaian tindakan terkoordinasi di seluruh moda transportasi: mengubah tarif di lajur tol berbayar untuk mengatur permintaan, mengalihkan lalu lintas ke rute arteri yang telah ditentukan, secara dinamis mengubah waktu puluhan lampu lalu lintas di rute alternatif tersebut, dan bahkan memberi tahu sistem bus rapid transit untuk menambah frekuensi layanan.
Satu detail penting dalam studi kasus San Diego mengungkap sebuah revolusi filosofis. Sistem ini diukur kinerjanya bukan berdasarkan "vehicle-throughput" (jumlah kendaraan yang bergerak), tetapi berdasarkan "person-throughput" (jumlah orang yang bergerak).1
Ini adalah pergeseran paradigma. Teknologi DST yang canggih (Model-Driven) telah memungkinkan para perencana dan insinyur lalu lintas untuk beralih dari sekadar terobsesi memindahkan mobil, menjadi fokus pada tujuan yang sebenarnya: memindahkan orang seefisien mungkin, apa pun moda transportasi yang mereka pilih (mobil, bus, atau kereta). Ini adalah salah satu contoh integrasi nyata pertama antara manajemen jalan raya dan manajemen transportasi publik, yang didorong oleh kekuatan data.
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Jakarta, Surabaya, dan Kota Besar Lainnya?
Meskipun laporan ini berfokus pada praktik di AS, wawasan yang dihasilkannya bersifat universal dan sangat relevan bagi kota-kota padat di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan lainnya. Kota-kota ini menghadapi paradoks yang sama: peningkatan jumlah data (dari aplikasi navigasi, data seluler, CCTV) namun tetap menghadapi kemacetan kronis.
Temuan laporan ini memberikan cetak biru bagi otoritas transportasi di Indonesia. Laporan ini menunjukkan bahwa hanya memasang lebih banyak CCTV atau meluncurkan aplikasi lalu lintas baru tidak akan cukup. Kuncinya adalah apa yang terjadi di balik layar—kemampuan TMC untuk memahami dan bertindak berdasarkan data tersebut secara real-time dan prediktif.
Studi kasus Maryland menunjukkan nilai "memulai dari yang kecil" dengan menstandardisasi aturan respons (Knowledge-Driven). Studi kasus Kansas City menunjukkan kekuatan penggunaan data untuk operasi yang proaktif (Data-Driven). Dan studi kasus San Diego menunjukkan "cawan suci" dari manajemen koridor terpadu yang sebenarnya (Model-Driven), yang mengintegrasikan jalan tol, jalan arteri, dan angkutan umum.
Kritik Realistis: Ini Bukan 'Tombol Ajaib' Penghilang Macet
Akan tetapi, laporan FHWA ini bukanlah dokumen penjualan. Ini adalah panduan teknis yang jujur, dan sebagian besar isinya (terutama Bab 4, 5, dan 6) didedikasikan untuk membahas betapa rumitnya implementasi teknologi ini. Mengadopsi DST bukanlah solusi plug-and-play; ini bukan "tombol ajaib" penghilang macet.
Laporan ini menyoroti beberapa tantangan kritis yang harus dipertimbangkan oleh setiap pembuat kebijakan.
Tantangan 1: Ini Bukan Proyek IT, Ini Proyek Perencanaan Manusia.
Kegagalan dalam proyek DST kemungkinan besar bukan karena coding yang buruk, tetapi karena perencanaan yang buruk. Laporan 1 sangat menekankan pentingnya Systems Engineering. Bab 4 secara rinci membahas proses krusial "Penilaian Kebutuhan" (Needs Assessment) 1 dan "Analisis Kesenjangan" (Gap Analysis).1 Sebuah agensi mungkin tergoda untuk membeli sistem "Si Peramal" yang canggih seperti San Diego, padahal kebutuhan operasional mereka sehari-hari sebenarnya hanya sistem "Si Ahli" seperti Maryland. Laporan ini memperingatkan bahwa tanpa memahami "kebutuhan pemangku kepentingan" 1 dan mendefinisikan masalah dengan benar, proyek ini pasti akan gagal atau membengkak biayanya.
Tantangan 2: Kualitas Data adalah Segalanya (Sampah Masuk, Sampah Keluar).
Sebuah DST hanya secerdas data yang ia konsumsi. Laporan ini merinci kerumitan luar biasa dari Data Subsystem.1 Data dari berbagai sumber harus diekstraksi, ditransformasi ke format yang seragam, dan dimuat (proses ETL) ke dalam database 1—semua dalam hitungan detik.
Lebih penting lagi, DST adalah sistem yang "hidup" dan "lapar". Ia perlu terus-menerus diberi makan data yang akurat dan terkini. Studi kasus Dallas ICM 1 memberikan contoh nyata: data statis seperti jaringan jalan baru, batas kecepatan yang berubah, dan perubahan rute transit perlu diperbarui setiap triwulan. Jika sebuah agensi tidak memiliki anggaran atau staf yang didedikasikan untuk pemeliharaan data yang konstan ini, DST akan cepat menjadi usang. Ia akan memberikan rekomendasi otoritatif berdasarkan data yang salah, yang berpotensi memperburuk kemacetan, bukan mengurainya.
Tantangan 3: Ketergantungan Berlebih dan Atrofi Keterampilan.
Laporan ini secara terbuka dan jujur mencatat "potensi kerugian dari ketergantungan berlebih pada DST, seperti mengabaikan intuisi dan pengalaman".1 Ini adalah kekhawatiran yang sangat manusiawi. Apa yang terjadi jika operator menjadi terlalu percaya pada sistem? Apa yang terjadi jika sistem tiba-tiba offline karena pembaruan perangkat keras 1 atau serangan siber, dan "generasi baru" operator tidak pernah belajar bagaimana mengelola krisis besar secara manual? Laporan ini menyiratkan perlunya keseimbangan yang hati-hati antara otomatisasi dan keahlian manusia yang tidak tergantikan.
Tantangan 4: Kita Belum Tahu Cara Mengukurnya dengan Baik.
Ini mungkin temuan yang paling mengejutkan dan penting bagi para manajer. Laporan ini 1 secara eksplisit menyatakan bahwa "informasi yang tersedia sangat sedikit tentang pemantauan dan evaluasi kinerja operasional atau pengambilan keputusan dari sebuah DST."
Dengan kata lain, agensi tahu cara mengukur uptime server dan ketersediaan sistem, tetapi mereka tidak benar-benar tahu cara mengukur secara kuantitatif apakah DST membuat keputusan yang "lebih baik" daripada manusia.1 Apakah "produktivitas DST" diukur dari jumlah respons yang dihasilkan? Atau "kepuasan operator"?.1 Tanpa metrik kinerja yang jelas, sangat sulit untuk membenarkan biaya implementasi dan pemeliharaan yang mahal, atau untuk membuktikan Return on Investment (ROI) yang nyata kepada pembuat kebijakan dan pembayar pajak.
Dampak Nyata: Masa Depan Pengelolaan Lalu Lintas Adalah Kolaborasi Manusia-Mesin
Laporan "Decision Support for Traffic Management Systems" ini adalah sebuah dokumen penting yang menandai titik balik dalam cara kita mengelola arteri perkotaan kita. Laporan ini menegaskan bahwa masa depan manajemen lalu lintas bukanlah pertarungan antara manusia melawan mesin, melainkan sebuah kolaborasi erat antara manusia dan mesin.
Teknologi DST bukanlah tentang menggantikan operator manusia. Ini tentang meningkatkan kemampuan mereka. Ini tentang membebaskan mereka dari tugas-tugas analisis data yang melelahkan dan rentan kesalahan, dan mengangkat mereka ke peran baru sebagai pengambil keputusan strategis yang diberdayakan—sebagai manajer, bukan hanya monitor.
Pergeseran dari manajemen lalu lintas yang reaktif ("Oh, ada kecelakaan") menjadi manajemen yang prediktif ("Akan ada kemacetan dalam 15 menit, ini tiga cara untuk mengatasinya") bukan lagi fiksi ilmiah. Laporan ini memberikan cetak biru teknis dan organisasi untuk mencapainya.
Jika diterapkan—dengan perencanaan yang matang, komitmen jangka panjang pada kualitas data, dan pemahaman yang realistis tentang tantangannya—temuan dalam laporan ini menunjukkan potensi yang sangat besar. Sistem ini dapat mengurangi waktu respons insiden secara signifikan, meningkatkan prediktabilitas dan keandalan waktu tempuh, dan pada akhirnya, menghemat miliaran rupiah kerugian ekonomi akibat waktu yang terbuang dalam kemacetan dalam satu dekade ke depan.
Sumber Artikel: