Di Balik Aspal Baru: Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal Ilmiah Tentang Nyawa yang Dipertaruhkan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

30 Oktober 2025, 12.29

Di Balik Aspal Baru: Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal Ilmiah Tentang Nyawa yang Dipertaruhkan

Pembuka: Cerita di Balik Jalan yang Kita Lewati Setiap Hari

Beberapa bulan lalu, ada proyek perbaikan jalan di dekat rumah saya. Setiap pagi, suara mesin diesel yang menderu menjadi alarm pengganti. Dari jendela, saya bisa melihat sebuah koreografi yang rumit dan kacau—eksavator menggaruk aspal lama, truk-truk hilir mudik, dan sekelompok pria berhelm kuning bergerak di tengah debu dan panas yang menyengat. Pemandangan itu terasa biasa, bagian dari denyut nadi sebuah kota yang terus bertumbuh.

Tapi suatu hari, saya berhenti sejenak dan benar-benar memperhatikan. Saya melihat seorang pekerja duduk di tepi trotoar, melepas sarung tangannya yang usang, dan menatap kosong ke kejauhan. Wajahnya lelah, berlumur debu dan keringat. Di tengah bisingnya mesin dan panasnya aspal, pernahkah kita benar-benar melihat orang-orang yang membangunnya? Apa cerita mereka? Apa yang mereka rasakan, apa yang mereka khawatirkan saat bekerja di salah satu lingkungan paling berbahaya di dunia?

Kita sering kali hanya melihat hasilnya: jalan mulus yang kita lewati setiap hari, gedung pencakar langit yang megah, jembatan yang menghubungkan kota. Kita menikmati kemajuan, tapi kita jarang sekali memikirkan biaya manusianya. Infrastruktur yang tampak kokoh itu dibangun di atas pundak orang-orang yang sering kali tak terlihat, yang risikonya sering kali tak terhitung. Pertanyaan ini terus menghantui saya, sampai akhirnya saya tidak sengaja menemukan sebuah jendela ke dunia mereka—sebuah jurnal ilmiah yang kering di permukaan, namun menyimpan cerita yang begitu kuat di dalamnya.

Sebuah Jurnal dari Nepal yang Mengubah Perspektif Saya

Secara kebetulan, saya menemukan sebuah paper penelitian berjudul “Assessment of Safety and Health Practices in Road Construction” oleh Prashant Baral dan Madhav Prasad Koirala. Judulnya terdengar sangat teknis, penuh dengan jargon akademis yang biasanya hanya menarik bagi para insinyur atau spesialis keselamatan kerja. Tapi rasa penasaran mendorong saya untuk membacanya. Dan saya bersyukur telah melakukannya.   

Paper ini bukanlah sekadar kumpulan data. Ia adalah sebuah cerita—cerita yang diceritakan melalui angka—tentang janji dan bahaya dari pembangunan di negara berkembang. Para peneliti ini melakukan sesuatu yang sederhana namun sangat penting. Mereka pergi ke beberapa lokasi proyek konstruksi jalan di kota Pokhara, Nepal, dan bertanya langsung kepada 103 pekerja dan pengawas di sana. Pertanyaannya pun lugas: Apakah praktik keselamatan dan kesehatan di tempat Anda bekerja sudah sesuai dengan standar minimum yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO)?.   

Bagi yang belum tahu, ILO adalah badan PBB yang menetapkan standar perburuhan global, termasuk hak-hak dasar seperti lingkungan kerja yang aman dan sehat. Jadi, penelitian ini pada dasarnya adalah sebuah audit realitas. Seberapa jauh kesenjangan antara standar ideal yang disepakati di atas kertas dengan kenyataan pahit yang dihadapi para pekerja di lapangan?   

Konteksnya pun sangat krusial. Seperti yang dijelaskan di awal paper, industri konstruksi adalah motor penggerak ekonomi, baik di negara maju maupun berkembang. Namun, industri ini juga memiliki sisi gelap. Tingkat kecelakaan fatal di negara berkembang bisa mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di negara seperti Nepal, di mana regulasi keselamatan masih dalam tahap awal, risikonya menjadi semakin besar. Para peneliti ingin memotret kondisi ini secara objektif. Apa yang mereka temukan jauh lebih meresahkan dari yang saya bayangkan.   

Data yang Berbicara: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Lapangan?

Saat saya mulai menyelami tabel-tabel data dalam paper tersebut, sebuah pola yang mengkhawatirkan mulai muncul. Para peneliti menggunakan skala 1 sampai 5 untuk mengukur tingkat kepuasan para pekerja terhadap berbagai aspek keselamatan, di mana 3 adalah "netral". Skor di bawah 3 mengindikasikan ketidakpuasan. Angka-angka ini, ketika dibaca dengan saksama, melukiskan gambaran sebuah sistem yang gagal melindungi manusianya.

Alarm Paling Keras: Kesehatan dan Pertolongan Pertama yang Nyaris Tak Ada

Dari semua data yang disajikan, ada satu kategori yang membuat saya terdiam. Kategori “Health Hazards, First Aid and Occupational Health Services” (Bahaya Kesehatan, Pertolongan Pertama, dan Layanan Kesehatan Kerja) mendapatkan skor rata-rata kepuasan yang sangat rendah: hanya 2.42 dari 5.   

Coba kita resapi angka itu. Skor 2.42 bukanlah sekadar statistik; itu adalah cerminan dari rasa was-was dan kerentanan yang dirasakan setiap hari oleh para pekerja. Bayangkan Anda bekerja dengan mesin berat, material berbahaya, dan risiko kecelakaan yang selalu mengintai, namun Anda tahu bahwa jika sesuatu terjadi, pertolongan mungkin tidak akan datang. Skor ini berarti para pekerja merasa tidak ada jaring pengaman.

Ketika saya melihat lebih dalam pada rinciannya, situasinya ternyata lebih buruk. Aspek dengan skor paling rendah di seluruh penelitian ada di kategori ini: “Noise and Vibration controls” (Pengendalian Kebisingan dan Getaran) hanya mendapat skor 1.97 dari 5. Ini bahkan tidak mencapai level "netral". Ini adalah suara ketidakpuasan yang aktif. Ini adalah para pekerja yang secara implisit berkata, “Pekerjaan ini merusak tubuh kami secara perlahan, dan tidak ada yang peduli.” Paparan kebisingan dan getaran terus-menerus dari mesin berat dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen dan gangguan muskuloskeletal, tapi data ini menunjukkan bahwa bahaya jangka panjang ini sama sekali diabaikan.   

Aspek-aspek lain dalam kategori ini juga sama mengkhawatirkannya. Perlindungan terhadap zat berbahaya hanya mendapat skor 2.62, dan tindakan pencegahan saat bekerja di atmosfer berbahaya (seperti di area yang penuh debu atau asap aspal) hanya 2.45. Ini menunjukkan sebuah pola yang jelas: bahaya yang tidak terlihat atau yang dampaknya tidak langsung adalah yang paling sering diabaikan. Luka gores atau patah tulang adalah risiko yang terlihat. Tapi kerusakan paru-paru akibat debu silika atau kehilangan pendengaran terjadi secara perlahan, tanpa drama, dan tampaknya, tanpa perhatian dari manajemen. Ini adalah budaya kerja yang reaktif, bukan proaktif. Masalah baru ditangani ketika sudah menjadi krisis, sementara "pembunuh senyap" dibiarkan terus menggerogoti kesehatan para pekerja.   

Fondasi Keselamatan yang Goyah: Dari Perancah hingga Pencegahan Jatuh

Jika kesehatan jangka panjang diabaikan, bagaimana dengan keselamatan dasar sehari-hari? Ternyata, kondisinya tidak jauh lebih baik. Kategori “Safety at Workplace” (Keselamatan di Tempat Kerja) secara keseluruhan hanya mendapat skor rata-rata 2.78, sementara “Scaffold and Ladders” (Perancah dan Tangga) lebih rendah lagi di angka 2.73. Keduanya berada di bawah ambang batas netral, menandakan ketidakpuasan yang signifikan.   

Membaca rinciannya membuat saya merinding. Aspek “Prevention of unauthorized entry” (Pencegahan masuknya pihak yang tidak berwenang) hanya mendapat skor 2.37. Ini berarti area konstruksi yang berbahaya sering kali tidak diamankan dengan baik, membuka risiko tidak hanya bagi pekerja tetapi juga bagi masyarakat umum. “Fire prevention and fire fighting” (Pencegahan dan pemadaman kebakaran) juga sangat rendah di angka 2.59.   

Ini bukan lagi sekadar cerita tentang pekerja yang lupa memakai helm. Ini adalah gambaran sebuah lingkungan kerja yang secara fundamental tidak aman. Perancah yang mungkin tidak kokoh, area kerja yang terbuka dan tidak terlindungi, serta persiapan yang minim jika terjadi kebakaran. Setiap hari kerja adalah sebuah pertaruhan. Kita sering mengasosiasikan bahaya konstruksi dengan kecelakaan tunggal yang dramatis, seperti jatuhnya material dari ketinggian. Tapi data ini menunjukkan bahaya yang jauh lebih berbahaya: sebuah sistem di mana risiko telah menjadi norma, bukan pengecualian.

Secercah Harapan di Tengah Debu Proyek?

Di tengah semua data yang suram ini, ada satu anomali. Satu-satunya kategori yang mendapat skor di atas netral adalah “Transport, Earth-Moving and Materials-Handling Equipment” (Transportasi, Alat Berat Penggali, dan Peralatan Penanganan Material), dengan skor rata-rata 3.21 dari 5. Para pekerja merasa cukup puas dengan cara alat-alat berat seperti eksavator, buldoser, dan road roller dioperasikan dan dikelola.   

Awalnya, saya melihat ini sebagai berita baik. Tapi kemudian, sebuah pertanyaan sinis muncul di benak saya: mengapa justru area ini yang dinilai paling baik? Jawabannya mungkin terletak pada kalkulasi ekonomi. Sebuah eksavator atau buldoser adalah aset yang sangat mahal. Kesalahan dalam pengoperasiannya tidak hanya membahayakan operator, tetapi juga bisa menyebabkan kerusakan senilai ratusan juta rupiah dan menghentikan seluruh proyek. Konsekuensi kegagalannya bersifat langsung, mahal, dan sangat terlihat.

Ini adalah sebuah pengingat yang dingin bahwa terkadang, keselamatan dihargai bukan karena melindungi nyawa manusia, tetapi karena melindungi aset dan jadwal proyek. Keselamatan sebuah mesin yang mahal tampaknya menjadi prioritas yang lebih tinggi daripada kesehatan jangka panjang seorang pekerja yang (mungkin dianggap) bisa diganti. Data ini tidak hanya menunjukkan kelalaian; ia menyingkap sebuah sistem di mana keselamatan diperlakukan sebagai pos biaya yang dioptimalkan berdasarkan risiko finansial, bukan risiko kemanusiaan.

Paradoks Besar: Tahu Apa yang Benar, Tapi Gagal Melakukannya

Saat saya berpikir bahwa saya telah menemukan inti masalahnya—yaitu kelalaian dan kurangnya sumber daya—paper ini menyajikan satu lapisan lagi yang jauh lebih dalam dan, menurut saya, paling tragis. Para peneliti tidak hanya bertanya tentang praktik yang ada, mereka juga bertanya kepada para pekerja dan pengawas tentang pentingnya berbagai elemen keselamatan. Dan di sinilah paradoks itu terungkap.

Ketika ditanya seberapa penting perencanaan keselamatan, alokasi anggaran, dan pelatihan, jawabannya sangat positif.

  • Pentingnya Perencanaan (termasuk alokasi anggaran untuk keselamatan) dinilai tinggi dengan skor rata-rata 3.70.   

  • Pentingnya Pelatihan dan Kesadaran juga dinilai sangat penting dengan skor 3.62.   

  • Pentingnya Kesejahteraan dan Motivasi Pekerja (seperti penyediaan APD dan air minum) mendapat skor tertinggi, yaitu 3.71.   

Di sinilah letak tragedi yang sebenarnya. Coba sandingkan dua set data ini. Di satu sisi, para pekerja dan pengawas memberikan skor sangat rendah (2.42, 2.73, 2.78) untuk praktik keselamatan di lapangan. Di sisi lain, mereka memberikan skor sangat tinggi (3.70, 3.62, 3.71) untuk pentingnya hal-hal tersebut.

Ini bukan cerita tentang ketidaktahuan. Semua orang di lapangan—dari pekerja paling junior hingga pengawas paling senior—tahu persis apa yang seharusnya dilakukan. Mereka tahu bahwa anggaran keselamatan itu penting. Mereka tahu bahwa pelatihan itu krusial. Mereka tahu bahwa perancah harus aman. Tapi, entah bagaimana, pengetahuan itu tetap menjadi teori. Ada jurang menganga antara apa yang mereka tahu benar dan apa yang mereka lakukan (atau dipaksa lakukan) setiap hari.

Ini menunjukkan bahwa masalah utamanya bukanlah kurangnya informasi, melainkan kegagalan sistemik pada budaya, kepemimpinan, dan akuntabilitas. Informasi tentang keselamatan mungkin sudah disosialisasikan, tetapi tidak ada sistem yang menegakkannya. Mungkin ada tekanan untuk menyelesaikan proyek lebih cepat dari jadwal, pemotongan anggaran di area yang dianggap "tidak produktif" seperti K3, atau sekadar budaya di mana mengambil jalan pintas yang berisiko dianggap sebagai hal yang wajar. Jurang antara pengetahuan dan tindakan ini adalah bukti dari budaya kerja yang rusak.

Pelajaran yang Bisa Saya Petik (dan Mungkin Anda Juga)

Membaca paper dari Nepal ini memberikan saya perspektif baru yang melampaui industri konstruksi. Ini adalah sebuah studi kasus yang kuat tentang disfungsi organisasi dan bahaya dari "knowing-doing gap"—kesenjangan antara mengetahui hal yang benar dan benar-benar melakukannya. Pelajaran ini relevan bagi siapa pun yang bekerja dalam sebuah tim atau organisasi.

Berikut adalah beberapa poin utama yang saya bawa pulang:

  • 🚀 Realitas yang Pahit: Kesenjangan antara standar keselamatan internasional (ILO) dan praktik di lapangan sangat besar, menunjukkan adanya masalah sistemik yang mendalam. Ini bukan hanya tentang beberapa individu yang lalai, tetapi tentang sistem yang memungkinkan kelalaian itu terjadi.

  • 🧠 Paradoks Pengetahuan: Masalahnya bukan pada kurangnya pengetahuan tentang keselamatan, melainkan pada kegagalan eksekusi dan budaya kerja yang tidak mendukung. Semua orang tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak ada yang memastikan itu benar-benar dilakukan.

  • 💡 Pelajaran Universal: Data ini adalah cermin bagi organisasi manapun. Apakah kita hanya bicara tentang nilai-nilai (seperti keselamatan, inovasi, atau integritas), atau kita benar-benar mengalokasikan sumber daya, membangun sistem, dan menuntut akuntabilitas untuk mewujudkannya?

Melihat data ini, saya sadar bahwa menciptakan budaya keselamatan yang kuat bukanlah sekadar soal membuat aturan, tapi tentang membangun kompetensi manajerial untuk menegakkannya. Ini bukan tugas yang bisa diselesaikan dengan memo atau poster di dinding. Diperlukan pemahaman mendalam dan terstruktur, seperti yang diajarkan dalam program (https://www.diklatkerja.com/course/category/sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-smkk/), di mana para pemimpin belajar cara mengubah teori keselamatan menjadi praktik sehari-hari yang hidup di lapangan. Kesenjangan antara tahu dan melakukan hanya bisa dijembatani oleh kepemimpinan yang kompeten dan sistem yang dirancang dengan sengaja.   

Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Peduli, Bukan Sekadar Membangun

Saya kembali teringat pada pekerja yang saya lihat dari jendela rumah saya. Membaca paper ini telah mengubah cara saya memandangnya secara permanen. Sekarang, setiap kali saya melewati sebuah proyek pembangunan, saya tidak hanya melihat baja dan beton. Saya melihat data dari paper Baral dan Koirala. Saya melihat skor 2.42 untuk layanan kesehatan. Saya melihat skor 1.97 untuk perlindungan dari kebisingan. Saya melihat paradoks dari para pekerja yang tahu apa yang seharusnya terjadi, tapi terjebak dalam sistem yang mengecewakan mereka.

Meskipun temuan dari Baral dan Koirala ini sangat kuat dan membuka mata, metodologinya yang mengandalkan survei kepuasan mungkin tidak menangkap keseluruhan cerita. Data kuantitatif ini akan lebih dahsyat jika dipasangkan dengan wawancara kualitatif mendalam untuk mendengar langsung suara dan dilema para pekerja. Namun, sebagai sebuah potret, paper ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah peringatan keras bagi kita semua.

Pembangunan adalah sebuah keniscayaan. Kita membutuhkan jalan, jembatan, dan gedung baru. Tapi kita harus mulai bertanya pada diri sendiri: dengan biaya berapa? Paper ini adalah sebuah panggilan untuk tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun budaya kepedulian, akuntabilitas, dan martabat bagi setiap orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk kemajuan kita bersama.

Ini hanyalah interpretasi saya. Data mentah di baliknya jauh lebih kaya dan detail. Jika Anda tertarik untuk mendalami metodologi dan melihat angka-angkanya secara langsung, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.4236/ojsst.2022.124008)