Data sebagai Produk: Strategi Baru bagi Organisasi Indonesia dalam Menciptakan Nilai Digital

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

08 November 2025, 20.51

Banyak organisasi di Indonesia telah berinvestasi besar dalam sistem data—mulai dari data lake, sensor IoT, hingga analitik berbasis AI. Namun, hasilnya sering kali belum sepadan dengan besarnya investasi. Seperti diuraikan oleh Veeral Desai dan koleganya dalam Harvard Business Review, permasalahan utama bukan terletak pada kurangnya data, melainkan pada cara organisasi memperlakukannya. Alih-alih menjadikan data sebagai aset yang siap digunakan, banyak organisasi masih memperlakukannya sebagai “produk sampingan” dari operasional.

Dalam praktik terbaik dunia, pendekatan baru muncul: memperlakukan data sebagai produk (data as a product). Konsep ini memandang data sebagai entitas bernilai yang memiliki siklus hidup, pengguna, dan ukuran kinerja tersendiri. Pendekatan ini membantu organisasi menghasilkan nilai jangka pendek sekaligus membangun fondasi pemanfaatan data berkelanjutan.

 

Data sebagai Produk: Mengubah Paradigma Lama

Pendekatan tradisional sering terjebak dalam dua ekstrem: proyek besar terpusat yang lambat (big bang approach) atau proyek kecil yang terfragmentasi antar tim. Keduanya gagal menciptakan nilai yang konsisten. Sebaliknya, memperlakukan data sebagai produk berarti mengembangkan set data yang siap pakai, terstandar, dan dapat digunakan lintas aplikasi—mirip dengan produk komersial yang memiliki pengguna dan pembaruan berkala.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa diadaptasi oleh BUMN dan lembaga publik yang mengelola data lintas sektor.
Misalnya, data pelanggan di sektor energi atau transportasi dapat dikemas menjadi data product yang dapat digunakan oleh divisi pemasaran, perencanaan, dan layanan pelanggan tanpa perlu membangun ulang sistem data masing-masing.
Hal ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mempercepat inovasi internal.

 

Lima Pola Konsumsi Data dalam Organisasi

Desai dan koleganya mengidentifikasi lima pola utama (consumption archetypes) yang menjelaskan bagaimana data digunakan di dalam organisasi:

  1. Aplikasi Digital – memerlukan data real-time untuk mendukung operasi, misalnya sistem pelacakan logistik atau aplikasi pelanggan.

  2. Analitik Lanjutan (AI/ML) – membutuhkan data yang bersih dan terstruktur agar algoritma dapat berjalan efektif.

  3. Pelaporan dan Kepatuhan – memerlukan data yang diaudit, lengkap, dan akurat untuk laporan internal maupun regulator.

  4. Sandbox Penemuan – area eksperimen bagi tim data untuk menjajaki pola baru dan peluang inovasi.

  5. Berbagi Data Eksternal – berbasis kolaborasi antar organisasi, seperti berbagi data fraud antar bank atau rantai pasok antara produsen dan pemasok.

Kelima pola ini dapat ditemukan di banyak organisasi Indonesia, dari perbankan hingga manufaktur. Tantangannya adalah menyatukan arsitektur data agar mendukung semua pola tersebut secara efisien dan aman.

 

Mengelola Data Produk dan Pusat Keunggulan

Untuk menjalankan konsep ini, setiap data product harus dikelola oleh manajer produk data (data product manager)—peran baru yang memadukan keahlian teknis dan pemahaman bisnis. Mereka bertanggung jawab memastikan data memiliki kualitas, konsistensi, dan kemudahan akses. Selain itu, organisasi perlu memiliki pusat keunggulan data (data excellence center) yang berfungsi menetapkan standar, desain arsitektur, serta praktik terbaik dalam dokumentasi, audit, dan tata kelola.

Contoh sukses dapat dilihat dari sebuah perusahaan telekomunikasi global yang menerapkan sistem ini. Dengan mengelola data jaringan sebagai produk, perusahaan mampu mendukung lebih dari 150 kasus penggunaan dalam tiga tahun, menghasilkan miliaran dolar efisiensi dan pendapatan baru.
Pendekatan serupa bisa diterapkan di sektor telekomunikasi Indonesia untuk mempercepat transformasi digital yang berkelanjutan.

 

Tantangan dan Arah Implementasi di Indonesia

Implementasi data as a product di Indonesia menghadapi sejumlah kendala khas:

  • Kualitas dan fragmentasi data akibat sistem lama yang belum terintegrasi.

  • Kurangnya tenaga ahli data engineering dan product ownership.

  • Budaya organisasi yang belum terbiasa dengan pendekatan lintas fungsi.

  • Ketidakjelasan metrik nilai data, yang membuat proyek data sulit diukur dampaknya.

Untuk mengatasinya, organisasi perlu mengadopsi pendekatan bertahap:

  1. Mulai dari unit bisnis dengan kesiapan data tinggi.

  2. Pilih kasus penggunaan dengan potensi nilai cepat (misalnya penghematan biaya operasional).

  3. Bentuk tim lintas fungsi dengan peran teknis dan bisnis yang seimbang.

  4. Ukur dampak setiap data product agar dapat menjustifikasi pengembangan berikutnya.

 

Penutup

Mengelola data seperti produk adalah langkah penting untuk menjadikan data sebagai motor pertumbuhan dan inovasi. Dengan pendekatan ini, organisasi tidak hanya menghemat biaya pengelolaan data hingga 30%, tetapi juga mempercepat waktu penerapan hingga 90%.

Bagi Indonesia, terutama bagi BUMN dan sektor publik, ini berarti membangun tata kelola data yang tangguh, memperkuat kepercayaan terhadap data nasional, dan mempercepat visi transformasi digital yang berkelanjutan.
Data bukan lagi sekadar aset teknis — ia adalah produk strategis yang menentukan keunggulan kompetitif masa depan.

 

Daftar Pustaka

Desai, V., Fountaine, T., & Rowshankish, K. (2022). A better way to put your data to work. Harvard Business Review, 100(4), 239–255.

World Bank. (2023). Data governance for development: Unlocking public value through responsible data use. Washington, DC: World Bank.

OECD. (2022). Data-driven public sector: Enabling the digital transformation of government. Paris: OECD Publishing.

Kementerian Kominfo RI. (2023). Panduan tata kelola data sektor publik dan interoperabilitas nasional. Jakarta: Kominfo.