Resensi Riset: Investigasi Dampak Behavior-Based Safety terhadap Budaya Keselamatan Organisasi
Penelitian yang diangkat dalam tesis ini merupakan investigasi krusial yang menguji transisi paradigma dalam manajemen keselamatan dari pendekatan tradisional ke pendekatan berbasis perilaku. Penelitian ini secara sistematis bertujuan untuk mengukur dampak implementasi Behavior-Based Safety (BBS) terhadap level kematangan Budaya Keselamatan Organisasi. Secara historis, studi keselamatan dimulai dengan fokus pada perilaku individu sebagai penyebab utama kecelakaan (domino theory). Konsep ini kemudian berkembang menjadi fokus pada Budaya Keselamatan setelah insiden besar seperti Chernobyl. Tesis ini menjembatani kedua konsep tersebut dengan memposisikan BBS sebagai mekanisme untuk mematangkan budaya keselamatan secara keseluruhan.
Jalur logis perjalanan temuan penelitian ini dimulai dengan pengembangan alat ukur yang valid. Mengingat tidak adanya alat yang spesifik untuk konteks studi, peneliti memodifikasi dan memformalkan Manchester Patient Safety Framework (MaPSaF) sebagai dasar, menyelaraskannya dengan kebutuhan industri. Pengembangan kuesioner ini melibatkan proses triangulasi yang ketat: wawancara kelompok fokus dengan pekerja, workshop dengan spesialis K3, dan sesi konsultasi ahli. Proses ini menghasilkan instrumen penilaian komprehensif yang terdiri dari 25 aspek spesifik yang dikelompokkan dalam 9 dimensi Budaya Keselamatan.
Setelah alat ukur divalidasi, penelitian bergerak ke tahap komparatif. Dua perusahaan dalam industri yang identik (industri pertahanan) dan memiliki lingkup layanan yang sama dipilih untuk meminimalkan variabel eksternal. Perusahaan A telah mengadopsi dan menerapkan pendekatan BBS sejak tahun 2009, sementara Perusahaan B masih mengandalkan program keselamatan yang lebih tradisional. Pengumpulan data melibatkan sampel yang besar dan representatif: 358 pekerja dari Perusahaan A dan 248 pekerja dari Perusahaan B mengisi kuesioner kematangan budaya keselamatan.
Analisis hasil perbandingan menunjukkan sebuah temuan yang tegas: tingkat kematangan budaya keselamatan pada Perusahaan A (BBS) terbukti lebih tinggi pada setiap aspek yang diukur dibandingkan dengan Perusahaan B (Tradisional). Peningkatan ini tidak terbatas pada satu atau dua metrik, tetapi menyeluruh. Perusahaan A secara keseluruhan diklasifikasikan dengan 20 aspek berada pada tingkat Generatif dan 5 aspek sisanya berada pada tingkat Proaktif , yang mencerminkan Budaya Keselamatan yang berorientasi pada kinerja dan pembelajaran. Sebaliknya, Perusahaan B menunjukkan distribusi yang lebih bervariasi, dengan 8 aspek di tingkat Generatif/Proaktif dan 6 aspek di tingkat Birokratis , yang mengindikasikan ketergantungan yang lebih besar pada aturan dan prosedur daripada inisiatif proaktif karyawan.
Analisis data kuantitatif secara deskriptif memberikan bukti empiris yang kuat untuk mendukung kesimpulan riset ini. Ketika membandingkan tingkat prioritas yang diberikan pada keselamatan (Priority given to safety), yang merupakan salah satu aspek kunci di bawah Dimensi 2, terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan. Secara spesifik, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penerapan Behavior-Based Safety (BBS) dan persepsi positif karyawan terhadap prioritas keselamatan dengan skor rata-rata 4.25 untuk Perusahaan A (BBS), berbanding skor rata-rata 3.80 untuk Perusahaan B (Tradisional). Perbedaan kuantitatif ini—yang menempatkan Perusahaan A di tingkat Generatif dan Perusahaan B mendekati batas atas tingkat Proaktif —menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru, khususnya dalam mengukur laju migrasi budaya keselamatan akibat intervensi berbasis perilaku. Lebih lanjut, tingkat konsensus yang dicapai dalam Persepsi Penyebab Insiden Keselamatan (Perceptions of the causes of safety incidents, Dimensi 3) juga menyoroti keunggulan BBS, di mana Perusahaan A mencatatkan skor keseluruhan 4.29 (Generatif) , sementara Perusahaan B hanya mencapai skor 3.87. Skor ini secara kolektif menggarisbawahi keefektifan BBS dalam membangun budaya nirkambinghitam (blame culture) dan pembelajaran organisasi yang unggul.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini memberikan kontribusi yang substansial dan berlapis terhadap disiplin Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pertama, riset ini memperkuat justifikasi teoretis bahwa Behavior-Based Safety (BBS) bukan hanya sekadar program, tetapi sebuah pendekatan manajemen komprehensif yang mampu menghasilkan perubahan fundamental dan berkelanjutan dalam budaya organisasi. Dengan membandingkan dua perusahaan dalam industri dan lingkup layanan yang identik (industri pertahanan), penelitian ini secara efektif mengisolasi variabel intervensi (BBS vs. program tradisional). Hasilnya memberikan bukti empiris langsung bahwa BBS secara sistematis mengungguli metode tradisional dalam mematangkan budaya keselamatan ke tingkat Generatif—level tertinggi dalam model kematangan.
Kontribusi kedua yang krusial adalah validasi metodologis dari instrumen penilaian. Dengan memodifikasi dan memformalkan MaPSaF ke dalam kuesioner 9-Dimensi dan 25-Aspek untuk konteks industri, studi ini menyajikan perangkat yang dapat direplikasi bagi akademisi dan praktisi untuk menilai kematangan budaya keselamatan dengan tingkat detail yang belum pernah ada sebelumnya. Hal ini memungkinkan identifikasi kelemahan spesifik (misalnya, blame culture atau sistem pelaporan) yang dapat ditargetkan oleh intervensi manajemen. Studi ini secara eksplisit mengungkapkan bahwa peningkatan kematangan budaya keselamatan pada Perusahaan A mencakup hampir setiap aspek, termasuk aspek yang secara tradisional sulit diukur seperti komunikasi keselamatan, kerja tim, dan komitmen manajemen.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun temuan studi ini sangat informatif, terdapat beberapa keterbatasan yang harus diakui dan menjadi titik awal untuk eksplorasi riset di masa depan. Keterbatasan utama adalah sifat cross-sectional dari studi komparatif ini. Meskipun Perusahaan A telah menerapkan BBS sejak tahun 2009, data yang dikumpulkan hanya merepresentasikan satu titik waktu (Januari 2020). Oleh karena itu, penelitian ini tidak secara langsung mengukur laju perubahan atau keberlanjutan budaya keselamatan dari waktu ke waktu. Hal ini menimbulkan pertanyaan terbuka: Seberapa cepat perusahaan tradisional (Perusahaan B) dapat mencapai tingkat kematangan Perusahaan A setelah mengimplementasikan BBS, dan apakah tingkat Generatif yang dicapai oleh Perusahaan A dapat bertahan atau terus meningkat setelah satu dekade implementasi?
Keterbatasan kedua berkaitan dengan generalisasi temuan. Meskipun kedua perusahaan beroperasi di industri yang sama (pertahanan) dan memiliki lingkup layanan yang serupa, faktor-faktor budaya organisasi yang lebih luas, seperti jenis kepemilikan, struktur hierarki yang berbeda, dan serikat pekerja, dapat memengaruhi hasil. Oleh karena itu, muncul pertanyaan tentang bagaimana temuan ini akan berlaku pada sektor industri lain (misalnya, konstruksi, manufaktur, atau layanan kesehatan) yang memiliki risiko dan struktur tenaga kerja yang sangat berbeda. Selain itu, studi ini menyimpulkan bahwa Perusahaan B telah memiliki landasan yang cukup untuk memulai program BBS. Pertanyaan terbuka di sini adalah: Apa saja prasyarat minimum (dalam hal kematangan budaya keselamatan awal) yang diperlukan sebuah organisasi agar implementasi BBS menjadi efektif dan tidak hanya menjadi 'program pajangan' (program for show)?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Arah riset ke depan, yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, harus berfokus pada transisi dari studi komparatif ke studi intervensi dan longitudinal, sambil memperluas konteks dan metodologi.
1. Studi Longitudinal tentang Dampak Dosis BBS (BBS Dose-Impact Longitudinal Study)
- Justifikasi Ilmiah: Hasil menunjukkan keunggulan signifikan Perusahaan A, yang telah menerapkan BBS selama lebih dari satu dekade (sejak 2009). Namun, kami tidak mengetahui bagaimana tingkat kematangan budaya keselamatan berkembang selama periode tersebut.
- Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengimplementasikan program BBS yang dirancang khusus di Perusahaan B (atau organisasi serupa yang saat ini menggunakan pendekatan tradisional). Penilaian kematangan budaya keselamatan (menggunakan kuesioner 9-Dimensi/25-Aspek yang sama) harus dilakukan pada interval tahunan (misalnya, T0, T1, T2, T3) untuk mengukur laju dan keberlanjutan peningkatan. Variabel yang diamati adalah perubahan nilai rata-rata aspek (aspect average point) dan pergerakan level kematangan.
- Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini diperlukan untuk membangun model prediktif yang dapat memperkirakan durasi yang diperlukan untuk mencapai level Proaktif atau Generatif, memberikan panduan implementasi yang lebih praktis bagi industri.
2. Analisis Kuantitatif Korelasi Kematangan dengan Kinerja K3 Absolut (Absolute OHS Performance)
- Justifikasi Ilmiah: Studi saat ini berfokus pada persepsi dan kematangan budaya keselamatan. Meskipun budaya yang matang diasumsikan mengurangi insiden, penelitian ini tidak menyajikan koefisien korelasi eksplisit antara skor kematangan dimensi (dimension maturity score) dan data kinerja K3 objektif (seperti Lost Time Injury Frequency Rate atau LTIFR).
- Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian berikutnya harus mengumpulkan data kinerja K3 absolut historis (misalnya, angka insiden, penyakit akibat kerja) selama 5-10 tahun dari kedua perusahaan. Kemudian, lakukan analisis regresi dan korelasi silang antara nilai rata-rata 9 dimensi kematangan dan metrik kinerja K3 ini. Fokus harus pada pengembangan koefisien korelasi prediktif untuk setiap dimensi, menyoroti aspek mana (misalnya, Management Commitment atau Blame Culture) yang memiliki dampak paling kuat pada pencegahan kerugian finansial dan cidera.
- Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan secara langsung membenarkan investasi dalam program BBS kepada pemangku kepentingan tingkat eksekutif dengan menyajikan hasil dalam metrik bisnis yang terukur (pengurangan kerugian dan biaya).
3. Eksplorasi Peran Kepemimpinan Transaksional vs. Transformasional dalam Keberhasilan BBS
- Justifikasi Ilmiah: Komitmen manajemen (management commitment) teridentifikasi sebagai salah satu aspek kunci yang sangat berbeda antara Perusahaan A dan B. Peran kepemimpinan dalam mendorong perubahan perilaku adalah inti dari keberhasilan BBS.
- Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Terapkan instrumen kepemimpinan yang telah teruji (misalnya, Multifactor Leadership Questionnaire) bersamaan dengan kuesioner kematangan budaya keselamatan pada sampel yang lebih luas di berbagai tingkatan manajemen. Variabel independen harus mencakup gaya kepemimpinan (transformational vs. transactional), sementara variabel dependen adalah skor rata-rata dimensi Kematangan Budaya Keselamatan. Hal ini akan mengidentifikasi model kepemimpinan yang paling efektif dalam memfasilitasi budaya Generatif.
- Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian lanjutan ini akan menghasilkan kerangka pelatihan kepemimpinan yang ditargetkan, memastikan bahwa manajemen puncak tidak hanya mendukung program, tetapi juga berperilaku dengan cara yang mendorong internalisasi nilai-nilai keselamatan oleh karyawan (value concept).
4. Studi Replikasi Komparatif di Sektor Risiko Tinggi Non-Industri Pertahanan
- Justifikasi Ilmiah: Temuan saat ini terbatas pada sektor industri pertahanan. Sifat risiko, operasional, dan budaya kerja dapat sangat berbeda di sektor lain, seperti eksplorasi minyak dan gas (oil & gas) atau konstruksi, yang juga dikenal sebagai industri berisiko tinggi.
- Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Replikasi studi secara utuh—menggunakan kuesioner yang divalidasi dan metodologi komparatif—di dua perusahaan sejenis di sektor Energi/Eksplorasi atau Infrastruktur skala besar. Fokus pada perbandingan skor rata-rata pada Dimensi 6 (Safety Communication) dan Dimensi 7 (Team Working), yang sering menjadi tantangan dalam lingkungan kerja yang terdistribusi dan project-based.
- Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan menguji robustness model BBS dan MaPSaF dalam kondisi industri yang berbeda, memastikan generalisasi dan portabilitas temuan ke konteks global.
5. Pengembangan dan Validasi Metrik Kualitatif untuk Internalization of Safety Values
- Justifikasi Ilmiah: Tesis menekankan bahwa salah satu konsep utama BBS adalah menginternalisasi nilai keselamatan (value concept), yang akan berdampak positif pada kinerja dan produktivitas. Namun, kuesioner yang digunakan (berbasis skala MaPSaF) cenderung mengukur perilaku yang dapat diobservasi dan persepsi sistem, bukan nilai-nilai yang terinternalisasi secara mendalam.
- Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Pengembangan modul kualitatif tambahan yang menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur (FGD) atau Thematic Analysis yang menargetkan karyawan dengan masa kerja panjang di perusahaan Generatif. Fokus pada pertanyaan yang mengungkap pengambilan keputusan spontan terkait keselamatan di luar prosedur tertulis (misalnya, "Apakah Anda melaporkan kesalahan kecil yang tidak ada dampaknya?"). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi frasa kunci atau tema-tema naratif yang mengindikasikan internalisasi nilai keselamatan (Generative mindset).
- Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini diperlukan untuk menyediakan dimensi deep structure kualitatif yang melengkapi penilaian kuantitatif kematangan budaya, memberikan gambaran yang lebih holistik tentang Budaya Keselamatan yang sejati.
Fokus pada Keterhubungan Temuan dan Potensi Jangka Panjang
Temuan utama penelitian ini menunjukkan adanya keterhubungan yang tak terpisahkan antara intervensi berbasis perilaku dan transformasi budaya organisasi. Behavior-Based Safety (BBS) terbukti efektif karena ia memindahkan fokus dari reaksi terhadap insiden (reaktif dan birokratis) ke pencegahan proaktif dan pembelajaran organisasi (generatif). Ketika sebuah perusahaan mencapai level kematangan Generatif, seperti yang terlihat pada Perusahaan A, keselamatan menjadi bagian inheren dari pengambilan keputusan operasional, bukan sekadar daftar periksa yang terpisah. Hal ini berarti sistem keselamatan menjadi "proaktif" dan "adaptif," memungkinkan perusahaan untuk mengantisipasi risiko yang muncul dan merespons perubahan lingkungan dengan cepat.
Potensi jangka panjang di sini adalah penciptaan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan melalui peningkatan produktivitas, retensi karyawan yang lebih tinggi (karena rasa aman dan keterlibatan), dan pengurangan biaya yang terkait dengan kecelakaan (kompensasi, waktu henti, biaya kesehatan). Dengan membangun budaya Generatif, organisasi dapat mengubah biaya K3 menjadi investasi strategis yang menjamin keberlanjutan operasional, terutama dalam sektor berisiko tinggi. Penelitian lanjutan yang direkomendasikan bertujuan untuk mengukur dan mengkuantifikasi manfaat jangka panjang ini secara lebih terperinci, menjembatani kesenjangan antara teori perilaku dan hasil bisnis absolut.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Middle East Technical University (METU), yang memiliki keahlian dalam Pengembangan Kuesioner dan metodologi OHS; Asosiasi Industri Pertahanan (misalnya, institusi/organisasi yang mewakili industri pertahanan di Turki), sebagai sumber data lapangan dan konteks industri yang relevan; dan lembaga pendanaan riset internasional (misalnya, badan-badan hibah Eropa atau Amerika Serikat) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai konteks global.