1. Pendahuluan
Circular Economy (CE) semakin diposisikan sebagai solusi strategis atas krisis lingkungan global, tekanan terhadap sumber daya alam, serta ketidakefisienan model ekonomi linear. Namun, di balik popularitas konsep ini, terdapat perbedaan signifikan dalam cara Circular Economy dipahami dan diimplementasikan di berbagai konteks negara. Paper ini berangkat dari kesadaran bahwa adopsi CE tidak berlangsung dalam ruang hampa, melainkan sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi, kapasitas institusional, serta tingkat pembangunan suatu negara.
Berbeda dari pendekatan normatif yang sering mempromosikan Circular Economy sebagai model universal, penelitian ini secara kritis membedah variasi adopsi CE antara negara maju dan negara berkembang. Fokus utamanya bukan hanya pada apa yang diadopsi, tetapi bagaimana dan mengapa proses adopsi tersebut berjalan tidak merata. Dengan demikian, Circular Economy dipahami sebagai proses transisi yang kompleks, bukan sekadar paket kebijakan atau seperangkat teknologi ramah lingkungan.
Pendekatan ini relevan karena banyak negara berkembang mengadopsi narasi Circular Economy tanpa kesiapan struktural yang memadai. Akibatnya, CE berisiko direduksi menjadi slogan keberlanjutan atau proyek percontohan yang terfragmentasi. Paper ini mencoba mengisi celah tersebut dengan menganalisis faktor-faktor penentu adopsi CE secara lebih kontekstual dan realistis.
2. Circular Economy sebagai Proses Adaptif, Bukan Model Tunggal
Salah satu argumen utama dalam paper ini adalah bahwa Circular Economy tidak dapat diperlakukan sebagai model tunggal yang dapat direplikasi lintas negara. Negara maju umumnya mengadopsi CE melalui jalur inovasi teknologi, efisiensi sumber daya, dan transformasi model bisnis. Infrastruktur industri yang matang serta kapasitas riset yang kuat memungkinkan mereka mengintegrasikan prinsip sirkularitas sejak tahap desain produk hingga manajemen akhir siklus hidup.
Sebaliknya, di banyak negara berkembang, adopsi Circular Economy lebih sering didorong oleh kebutuhan pragmatis, seperti pengelolaan limbah, penciptaan lapangan kerja informal, dan efisiensi biaya. Aktivitas seperti daur ulang manual dan penggunaan kembali material telah lama berlangsung, tetapi tidak selalu diakui sebagai bagian dari kerangka Circular Economy formal. Kondisi ini menciptakan paradoks: praktik sirkular sudah ada, namun tidak terintegrasi dalam kebijakan dan strategi ekonomi nasional.
Paper ini dengan tepat menunjukkan bahwa perbedaan tersebut bukan sekadar persoalan teknologi, melainkan juga terkait dengan kapasitas tata kelola. Negara dengan institusi yang kuat cenderung mampu mengoordinasikan aktor lintas sektor dan menyelaraskan kebijakan lingkungan dengan agenda ekonomi. Sebaliknya, di konteks dengan tata kelola lemah, Circular Economy sering kali terhambat oleh fragmentasi kebijakan, keterbatasan pendanaan, serta dominasi kepentingan jangka pendek.
Analisis ini memperkuat pandangan bahwa keberhasilan Circular Economy sangat bergantung pada kemampuan adaptasi terhadap konteks lokal. Alih-alih mengejar keseragaman, transisi CE justru menuntut fleksibilitas strategi dan pengakuan terhadap jalur pembangunan yang berbeda.
3. Faktor Penentu Adopsi Circular Economy: Institusi, Pasar, dan Kapabilitas
Paper ini mengidentifikasi bahwa adopsi Circular Economy ditentukan oleh kombinasi faktor institusional, ekonomi, dan sosial yang saling berinteraksi. Di negara maju, faktor institusional seperti regulasi lingkungan yang ketat, standar produk, serta mekanisme extended producer responsibility berperan sebagai pendorong utama. Kebijakan tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pengendalian, tetapi juga menciptakan kepastian bagi pelaku industri untuk berinvestasi dalam teknologi dan model bisnis sirkular.
Sebaliknya, di banyak negara berkembang, tekanan regulasi sering kali lebih lemah atau tidak konsisten. Dalam konteks ini, adopsi CE lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika pasar dan kebutuhan ekonomi jangka pendek. Aktivitas daur ulang muncul bukan karena desain kebijakan yang terencana, melainkan sebagai respons terhadap kemiskinan, pengangguran, dan akses terbatas terhadap sumber daya. Paper ini secara implisit menyoroti bahwa kondisi tersebut membuat Circular Economy berjalan secara parsial dan informal.
Faktor kapabilitas juga menjadi pembeda penting. Negara dengan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia yang tinggi cenderung mengembangkan Circular Economy pada tahap hulu, seperti desain produk modular, material substitusi, dan optimalisasi rantai pasok. Sebaliknya, negara dengan keterbatasan kapabilitas lebih terfokus pada tahap hilir, terutama pengumpulan dan pemrosesan limbah. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa CE bukan sekadar persoalan niat kebijakan, tetapi juga kesiapan struktural.
Analisis ini memperkuat argumen bahwa transisi Circular Economy membutuhkan pendekatan bertahap. Tanpa penguatan institusi dan peningkatan kapabilitas, adopsi CE berisiko berhenti pada aktivitas berbiaya rendah dan berdampak terbatas, tanpa menghasilkan transformasi sistemik.
4. Tantangan Implementasi dan Ketimpangan Transisi Circular Economy
Salah satu kontribusi penting paper ini adalah pengungkapan ketimpangan dalam proses transisi Circular Economy. Meskipun CE sering dipromosikan sebagai agenda global, manfaat dan bebannya tidak terdistribusi secara merata. Negara maju cenderung menikmati nilai tambah dari inovasi teknologi dan efisiensi sumber daya, sementara negara berkembang sering menanggung beban lingkungan dari aktivitas pengolahan limbah global.
Paper ini juga menyoroti persoalan integrasi sektor informal, khususnya dalam konteks negara berkembang. Sektor informal memainkan peran signifikan dalam pengumpulan dan pemilahan material, namun sering kali diabaikan dalam kebijakan resmi Circular Economy. Ketidakhadiran mekanisme perlindungan sosial dan pengakuan formal membuat transisi CE berpotensi memperkuat kerentanan sosial, alih-alih menciptakan keadilan ekonomi.
Tantangan lainnya berkaitan dengan pembiayaan dan akses teknologi. Investasi awal yang tinggi untuk infrastruktur sirkular menjadi hambatan serius, terutama bagi negara dengan keterbatasan fiskal. Paper ini secara kritis menggarisbawahi bahwa tanpa dukungan internasional dan mekanisme pembiayaan inovatif, kesenjangan adopsi Circular Economy akan semakin melebar.
Dengan demikian, Circular Economy tidak dapat dipahami semata sebagai solusi teknis. Ia juga merupakan arena politik dan ekonomi, di mana relasi kekuasaan global, arus perdagangan material, dan ketimpangan pembangunan turut membentuk arah transisi. Insight ini menjadi pengingat bahwa keberlanjutan tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga soal keadilan dan inklusivitas.
5. Implikasi Kebijakan dan Strategi Adaptif Circular Economy
Berdasarkan analisis lintas konteks yang disajikan dalam paper, terdapat beberapa implikasi kebijakan penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, adopsi Circular Economy menuntut pergeseran dari pendekatan kebijakan yang seragam menuju strategi yang lebih adaptif dan kontekstual. Negara maju dan negara berkembang menghadapi tantangan yang berbeda, sehingga penerapan CE tidak dapat didasarkan pada satu cetak biru kebijakan global.
Di negara berkembang, penguatan institusi dasar menjadi prasyarat utama. Tanpa tata kelola yang stabil, kebijakan Circular Economy berisiko terfragmentasi dan sulit diimplementasikan secara konsisten. Paper ini secara implisit mendorong integrasi sektor informal ke dalam kerangka kebijakan CE sebagai langkah strategis, bukan sekadar pendekatan sosial. Pengakuan formal, peningkatan kapasitas, dan perlindungan sosial bagi pekerja informal dapat meningkatkan efisiensi sistem sekaligus memperkuat dimensi keadilan dalam transisi ekonomi sirkular.
Sementara itu, di negara maju, tantangan utama terletak pada upaya mendorong transformasi di hulu rantai nilai. Kebijakan yang hanya berfokus pada peningkatan tingkat daur ulang dinilai tidak cukup untuk mencapai sirkularitas penuh. Paper ini menekankan pentingnya intervensi pada tahap desain produk, standar material, serta model bisnis berbasis layanan. Tanpa perubahan pada pola produksi dan konsumsi, Circular Economy berisiko terjebak dalam peningkatan efisiensi marginal tanpa perubahan struktural yang berarti.
Strategi adaptif juga mencakup peran kerja sama internasional. Transfer teknologi, pendanaan hijau, dan pertukaran pengetahuan menjadi instrumen kunci untuk mengurangi kesenjangan adopsi CE. Paper ini menempatkan kerja sama tersebut bukan sebagai bantuan satu arah, melainkan sebagai kemitraan yang saling menguntungkan dalam menghadapi tantangan global.
6. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Transisi yang Tidak Netral
Sebagai penutup, paper ini menegaskan bahwa Circular Economy bukanlah konsep yang netral atau bebas nilai. Di balik narasi efisiensi dan keberlanjutan, terdapat dinamika kekuasaan, ketimpangan kapasitas, dan perbedaan kepentingan yang memengaruhi arah transisi. Dengan membandingkan pengalaman negara maju dan berkembang, penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa adopsi CE merupakan proses yang sangat kontekstual dan sarat tantangan struktural.
Kontribusi utama paper ini terletak pada kemampuannya menggeser diskursus Circular Economy dari sekadar solusi teknis menuju isu pembangunan yang lebih luas. CE diposisikan sebagai kerangka transisi yang menuntut reformasi institusional, perubahan perilaku, serta penataan ulang relasi ekonomi global. Perspektif ini penting untuk mencegah reduksi Circular Economy menjadi jargon kebijakan tanpa dampak transformatif.
Pada akhirnya, Circular Economy hanya akan menjadi alat perubahan yang efektif jika diiringi dengan kesadaran akan batasannya. Tanpa pendekatan yang inklusif dan adaptif, transisi menuju ekonomi sirkular berpotensi memperdalam ketimpangan yang sudah ada. Oleh karena itu, paper ini memberikan pengingat kritis bahwa keberlanjutan sejati tidak hanya diukur dari efisiensi material, tetapi juga dari keadilan sosial dan keseimbangan pembangunan antarwilayah.
Daftar Pustaka
Aoki-Suzuki, C., Kagawa, S., Tasaki, T., & Nansai, K. (2023). Adoption of Circular Economy: Differences Between Developed and Developing Countries. Springer.
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The Circular Economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production, 143, 757–768.
Kirchherr, J., Reike, D., & Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the circular economy: An analysis of 114 definitions. Resources, Conservation and Recycling, 127, 221–232.
Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy: The expected transition to a balanced interplay of environmental and economic systems. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.
UN Environment Programme. (2019). Global Resources Outlook: Natural Resources for the Future We Want.
Wilson, D. C., Velis, C., & Cheeseman, C. (2006). Role of informal sector recycling in waste management in developing countries. Habitat International, 30(4), 797–808.