Jalur Logis Temuan dan Signifikansi Deskriptif
Laporan ini menyajikan resensi mendalam dari penelitian kualitatif yang mengeksplorasi peran kritis pendidikan dan pelatihan maritim (MET) dalam meningkatkan budaya keselamatan, dengan fokus pada model yang diterapkan oleh Maritime Academy of Asia and the Pacific (MAAP). Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui serangkaian wawancara semi-terstruktur dengan 19 responden, termasuk perwakilan perusahaan, pelaut aktif alumni MAAP, dan kadet yang telah menyelesaikan pelatihan di kapal.
Jalur logis penelitian bermula dari pengamatan terhadap paradoks keselamatan maritim global. Meskipun telah terjadi penurunan signifikan dalam kerugian total kapal—yang turun menjadi sekitar 54 pada tahun 2021—insiden dan korban maritim terus menjadi perhatian, menunjukkan adanya dinding yang perlu diatasi dalam kematangan budaya keselamatan industri. Upaya International Maritime Organization (IMO) yang dimulai sejak awal 2000-an untuk mempromosikan budaya keselamatan belum sepenuhnya berhasil menghilangkan kecelakaan.
Studi ini secara kritis menggarisbawahi kelemahan dalam investigasi kecelakaan standar industri. Secara tradisional, industri mengaitkan sekitar 80% insiden maritim pada kegagalan elemen manusia (human error). Namun, penelitian ini berpendapat bahwa atribusi persentase yang tinggi ini sering kali berfungsi sebagai taksonomi yang cacat, yang menghasilkan penyelesaian investigasi yang cepat (quick closure) tanpa mengatasi akar masalah sistemik. Akar masalah yang sebenarnya ditemukan terletak pada faktor-faktor seperti kelelahan yang diperparah oleh kekurangan tenaga kerja (under-manning) dan tekanan komersial yang intens, yang semuanya memengaruhi kinerja manusia di laut.
Temuan kualitatif mengidentifikasi hambatan utama bagi keselamatan proaktif: keengganan pelaut untuk bersuara (speak up) dan bersikap asertif ketika keselamatan dikompromikan. Defisit asertivitas ini menunjukkan kurangnya psychological safety dalam lingkungan operasional. Berdasarkan identifikasi kesenjangan sikap ini, penelitian ini berhipotesis bahwa pendidikan dan pelatihan di fase awal karir (masa kadet) adalah fondasi paling efektif untuk menanamkan sikap want-to attitude terhadap keselamatan, melampaui sekadar kepatuhan, melalui fokus pada tiga pilar utama: profesionalisme, kompetensi, dan komunikasi.
Signifikansi model MAAP diperkuat oleh metrik seleksi yang sangat ketat. Data MAAP menunjukkan bahwa proses penerimaan bersifat eksklusif, di mana dalam beberapa tahun terakhir, hanya sekitar 3% hingga 6% dari total pelamar yang diterima. Misalnya, pada kohort terbaru, hanya 3.48% dari total 12.386 pelamar yang berhasil diterima. Seleksi yang sangat ketat ini menunjukkan adanya hubungan potensial antara memilih individu dengan potensi dan karakter tertinggi dan keberhasilan pengembangan budaya keselamatan yang proaktif.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah reposisi peran Pendidikan dan Pelatihan Maritim (MET) dari sekadar kepatuhan sertifikasi STCW menjadi arsitek budaya keselamatan dan karakter perwira maritim. Studi ini memaparkan model MAAP sebagai kerangka kerja holistik yang melampaui pendidikan teknis konvensional.
Tiga Pilar Fondasi Budaya Keselamatan MAAP
- Peningkatan Kompetensi yang Berorientasi Hasil (OBE): Kurikulum MAAP melampaui standar nasional Filipina (CHED/MARINA) dengan penyisipan kompetensi teknis tambahan. Untuk menjamin relevansi industri, MAAP menggunakan Competency Management System (CMS) yang dikembangkan oleh DNV Seaskills. Sistem ini berfungsi sebagai mekanisme umpan balik, memastikan kurikulum berbasis luaran (Outcomes-Based Education – OBE) diselaraskan dengan persyaratan spesifik dari perusahaan pelayaran sponsor. Hal ini mengubah desain kurikulum MET dari proses berbasis input menjadi proses berbasis luaran yang divalidasi oleh pihak ketiga. Infrastruktur pendukung termasuk dua Kapal Latih dedikasi dan simulator canggih yang memberikan kadet pengalaman operasional hands-on yang terstruktur pada tahap awal, sebuah keunggulan yang diakui meningkatkan kesadaran keselamatan sebelum mereka bergabung dengan kapal niaga.
- Pengembangan Profesionalisme dan Resiliensi: Pilar Profesionalisme dikembangkan melalui Midshipman Development System (MDS). MDS adalah evolusi pelatihan yang menargetkan disiplin diri, kepemimpinan, dan, yang paling penting, resiliensi. Responden menunjukkan bahwa pelatihan semi-regimented ini mempersiapkan kadet untuk mengatasi tekanan psikologis dan isolasi yang melekat pada kehidupan di laut, yang merupakan faktor risiko utama kecelakaan.
Konsep resiliensi ini sangat penting dalam memerangi praktik Normalization of Deviance. Dengan menanamkan karakter yang berpegang teguh pada prinsip "melakukan hal yang benar, meskipun tidak ada yang melihat," MAAP berupaya membekali pelaut dengan kekuatan moral untuk menolak tekanan sistemik—seperti memanipulasi catatan jam kerja/istirahat MLC atau mengambil jalan pintas. Upaya ini secara proaktif mengatasi akar penyebab kecelakaan yang diakui oleh responden sebagai produk dari tekanan komersial yang intens di laut.
- Membangun Komunikasi Asertif dan Challenge Culture: MAAP secara eksplisit mengatasi penghalang psychological safety melalui dua intervensi spesifik. Pertama, English-Only Policy yang ketat, yang bertujuan membangun kepercayaan diri kadet dalam komunikasi teknis berbahasa Inggris—sebuah faktor kunci yang sering menghambat pelaut Filipina untuk speak up. Kedua, pengenalan Challenge Culture. Melalui MDS, kadet didorong untuk menantang perintah dari atasan jika perintah tersebut melanggar standar keselamatan, ilegal, atau tidak etis.
Latihan ini diperkuat melalui program seperti Integrated Simulator Training Program (ISTP), latihan 48 jam yang memungkinkan kadet melatih keterampilan kepemimpinan dan komunikasi asertif dalam skenario krisis tanpa risiko konsekuensi nyata. Kontribusi utamanya adalah menyediakan lingkungan yang aman untuk melatih asertivitas, sebuah keterampilan yang secara langsung berkorelasi dengan pemeliharaan just culture di kapal.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model MAAP memberikan kontribusi substansial, penelitian ini menyisakan beberapa pertanyaan terbuka yang perlu diatasi oleh riset di masa depan.
Pertama, efektivitas model ini dapat dipengaruhi oleh bias seleksi. Karena MAAP hanya menerima 3-4% pelamar berpotensi tinggi, muncul pertanyaan apakah luaran positif yang teramati adalah hasil dari keunggulan program MET atau hanya cerminan dari kualitas input kadet. Validitas eksternal model MAAP memerlukan studi yang membandingkan hasil jangka panjang alumni MAAP dengan kohort berpotensi serupa dari institusi lain yang tidak menggunakan model regimented.
Kedua, ada tantangan keberlanjutan moral. Responden mengakui bahwa tekanan komersial sering menyebabkan Normalization of Deviance, terutama dalam manipulasi jam kerja/istirahat MLC. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: seberapa tahan fondasi etika dan disiplin yang ditanamkan di akademi terhadap lingkungan operasional yang didominasi oleh ekonomi dan kepatuhan administratif semu? Jika budaya yang ditanamkan di sekolah runtuh di bawah tekanan operasional, fokus riset harus bergeser ke desain sistem manajemen keselamatan perusahaan yang dapat menopang just culture yang diinisiasi di tingkat edukasi.
Terakhir, studi ini mengakui adanya paradoks dalam mengombinasikan kepatuhan ketat (strict obedience) dengan kebutuhan akan challenge culture asertif. Meskipun MAAP mengklaim berhasil mengelola transisi ini melalui sistem perkembangan kelas kadet, mekanismenya perlu divalidasi dan digeneralisasi. Institusi MET lain memerlukan kerangka kerja yang jelas tentang cara menumbuhkan asertivitas profesional tanpa memicu insubordinasi, sebuah tantangan besar dalam konteks maritim yang sangat hierarkis.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Rekomendasi ini ditujukan untuk komunitas akademik dan lembaga pemberi hibah, berfokus pada validasi kuantitatif dan generalisasi ilmiah dari model intervensi faktor manusia MAAP.
Rekomendasi 1: Validasi Kuantitatif Intervensi Soft Skills (MDS)
Berbasis Temuan: MDS bertujuan mengembangkan karakter, kepemimpinan, dan resiliensi sebagai prasyarat penting untuk keselamatan proaktif.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi percontohan (pilot study) menggunakan desain kuasi-eksperimental. Variabel baru harus mencakup pengukuran psikometrik standar (misalnya, skala Resiliensi) yang diterapkan secara longitudinal pada kadet MAAP dan kelompok kontrol dari METI tradisional.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini harus menguji hipotesis bahwa resiliensi yang ditanamkan secara ketat menghasilkan koefisien korelasi yang signifikan dengan penurunan insiden terkait stres dan kelelahan selama periode OBT.
Rekomendasi 2: Studi Longitudinal mengenai Ketahanan terhadap Normalisasi Deviasi
Berbasis Temuan: Manipulasi catatan MLC dan pengambilan jalan pintas adalah masalah sistemik yang menguji etika pelaut.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi longitudinal selama lima tahun karir awal alumni, melacak Tingkat Pelaporan Proaktif (Proactive Reporting Rate) insiden nyaris celaka (near-misses) yang dilakukan secara anonim, sebagai indikator utama integritas etika dan resistensi terhadap tekanan komersial.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Studi ini akan memberikan bukti nyata apakah pengembangan karakter yang ditekankan di akademi dapat menahan degradasi etika di lingkungan operasional berisiko tinggi dalam jangka panjang.
Rekomendasi 3: Pengujian Asertivitas Komunikasi dan Dampaknya pada Psychological Safety
Berbasis Temuan: Hambatan komunikasi dan power distance menghambat pelaut untuk speak up.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian intervensi harus dilakukan di simulator maritim multikultural. Metode baru adalah penggunaan analisis wacana untuk mengukur Peningkatan Indeks Asertivitas kadet dalam skenario kegagalan kritis (seperti perintah ilegal atau tidak aman), yang memungkinkan pengukuran langsung bagaimana English-Only Policy berkorelasi dengan kesediaan untuk menantang otoritas demi keselamatan.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk memastikan bahwa asertivitas menjadi norma budaya operasional, dan bukan hanya keterampilan bahasa yang ditingkatkan, sehingga memastikan just culture dapat dipertahankan.
Rekomendasi 4: Evaluasi Biaya-Manfaat Global dari Implementasi CMS & Kapal Latih
Berbasis Temuan: Infrastruktur MAAP, termasuk Kapal Latih dan CMS DNV Seaskills, memerlukan biaya modal yang tinggi tetapi menjanjikan hasil yang unggul.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Analisis ekonomi-risiko yang membandingkan biaya awal implementasi infrastruktur pendidikan terpadu (CMS dan Kapal Latih) dengan keuntungan jangka panjang berupa penurunan klaim asuransi (P&I clubs), peningkatan retensi kru, dan Tingkat Pengembalian Investasi Keselamatan (Safety Return on Investment - SROI).
Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk membenarkan replikasi model MAAP di METI negara berkembang lain, pemberi hibah membutuhkan data SROI kuantitatif yang mengukur dampak investasi infrastruktur pada keamanan finansial jangka panjang industri pelayaran.
Rekomendasi 5: Adaptasi Kurikulum MET untuk Mitigasi Risiko Teknologi Baru
Berbasis Temuan: Responden melihat perkembangan teknologi yang cepat sebagai pemicu kecelakaan karena kesulitan adaptasi kru.
Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk mengembangkan modul kurikulum yang fokus pada human-system integration (HMI) dan mitigasi automation complacency. Konteks baru adalah perancangan dan pengujian pelatihan kognitif yang secara eksplisit mengajarkan pelaut untuk beradaptasi dengan teknologi otonom secara kritis, menumbuhkan "sikap bertanya" terhadap output otomatisasi.
Perlunya Penelitian Lanjutan: Diperlukan untuk memastikan bahwa pelatihan kompetensi teknis saat ini tidak tertinggal dari laju digitalisasi, mencegah automation complacency menjadi bentuk baru dari faktor manusia yang memicu kecelakaan.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif Jangka Panjang
Penelitian ini menegaskan bahwa model MET yang memprioritaskan fondasi karakter, resiliensi, dan asertivitas komunikasi—seperti yang ditunjukkan oleh model MAAP—adalah katalisator yang efektif untuk mengubah pelaut dari kepatuhan pasif menjadi advokat keselamatan proaktif. Model ini secara langsung menargetkan kelemahan elemen manusia yang menjadi fokus IMO: keraguan untuk bersuara dan kegagalan etika di bawah tekanan.
Implikasi jangka panjang menunjukkan bahwa investasi di MET yang terstruktur harus dianggap sebagai strategi mitigasi risiko utama. Untuk memvalidasi dan menggeneralisasi model ini ke skala global, diperlukan upaya kolaboratif yang terintegrasi di antara pemangku kepentingan utama.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi IMO (untuk mengintegrasikan temuan intervensi perilaku ke dalam kerangka kerja MET), DNV (atau badan klasifikasi lainnya untuk memvalidasi efektivitas CMS dan SROI infrastruktur), serta AMOSUP dan IMEC (untuk menyediakan akses data longitudinal kinerja pelaut dan insiden) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan untuk menguji penerapan model MAAP di berbagai konteks regional MET.
https://commons.wmu.se/all_dissertations/2142/