Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Teori besar ekonomi dibedah dengan bahasa warung kopi supaya rakyat ikut paham dan bisa menagih kebijakan yang adil.

Pembuka: Dari Warung Kopi ke Ruang Rapat
Purbaya Yudi Sadewa, Menteri Keuangan yang belakangan sering viral, punya cara unik menjelaskan ekonomi: bukan dengan grafik rumit, melainkan logika warung kopi. Baginya, ekonomi itu seperti irigasi. Air harus mengalir sampai ke sawah. Kalau airnya berhenti di bendungan, padi tak tumbuh, dapur pun sepi. Begitu pula ekonomi: kalau uang negara menumpuk di Bank Indonesia (BI) dan bank lebih suka menaruh dana di BI, arus ke rakyat dan pengusaha mengecil. Maka sawah (usaha) mengering, pendapatan seret, dan harga-harga terasa menekan.
Esai ini mencoba membedah jurus dar-der-dor Purbaya dengan alur yang rapi: (Dar) masalahnya apa, (Der) solusinya bagaimana, (Dor) risikonya apa dan bagaimana diantisipasi. Sepanjang jalan, kita kaitkan dengan teori ekonomi — tanpa membuat dahi berkerut.
.


Dar — Masalah: Likuiditas Tersumbat dan Mesin Ganda yang Tak Sinkron
Inti masalah: uang beredar (likuiditas) tidak mengalir sampai ke sektor riil karena dua simpul:
1. Fiskal: Pemerintah menarik pajak, tetapi sebagian dana “parkir” di BI—aliran ke proyek, gaji, dan belanja barang/jasa tertunda;
2. Moneter: BI memberi imbal hasil menarik bagi simpanan bank (aman, tanpa risiko), sehingga bank cenderung menaruh dana di BI daripada menyalurkan kredit.
Dalam bahasa irigasi : pintu air di hulu dibuka setengah, pintu di hilir ditutup rapat. Sawah di tengah kekeringan.
Landasan teoritis yang nyambung:
Keynesian: saat permintaan lemah, pemerintah harus mendorong belanja agar produksi dan kerja bangkit.
Endogenous money: uang “lahir” ketika bank memberi kredit; jika insentif bank buruk, kelahiran uang terhambat.
Kait ke Purbaya: Ia menyimpulkan, jika kita ingin dagang laku, gaji naik, dan usaha hidup, maka sumbatan itu harus dibuka. Bukan dengan pidato, tapi dengan mengubah arus uang.
.


Der — Solusi: Memindahkan Dana Pemerintah ke Perbankan (Bagaimana Cara Kerjanya?)
Apa yang dilakukan: Purbaya memindahkan sebagian dana pemerintah dari rekening di BI ke bank-bank umum. Ini bukan mencetak uang baru atau menambah utang, melainkan merelokasi kas yang sudah ada agar bisa diakses sistem perbankan. Begitu dana masuk bank, biaya dana (cost of fund/CoF) turun, likuiditas longgar, dan bank lebih berani menyalurkan kredit.
Gambarannya :
- Sebelum: Bendungan penuh air di hulu (BI), sawah kering di hilir (usaha/rumah tangga).
- Sesudah: Pintu air dibuka, air mengalir ke jaringan parit (bank), lalu ke petak-petak sawah (UMKM, industri, rumah tangga) melalui kredit dan pembayaran pemerintah.
Mengapa ini masuk akal secara teori?
Financial accelerator: ketika likuiditas mengalir, neraca perusahaan menguat, bunga efektif turun, investasi menjadi layak, lalu muncul putaran balik—produksi dan kerja bertambah.
Contoh konkret (skenario realistis):
UMKM: bengkel motor yang tertahan membeli kompresor baru karena bunga menurun 1–2 poin; kapasitas servis naik, menyerap dua karyawan tambahan.
Konstruksi kecil: kontraktor lokal mendapat pembayaran proyek pemerintah lebih cepat, sehingga tidak perlu berutang jangka pendek mahal; proyek terselesaikan tepat waktu, upah buruh terbayar.
*Catatan teoritis MMT*
Mazhab MMT mengingatkan: negara berdaulat tak kehabisan uang dalam mata uangnya sendiri; yang penting kapasitas riil dan kontrol inflasi. Purbaya tidak sedang menjalankan MMT, tetapi efeknya mirip di permukaan: ia memastikan uang bekerja di ekonomi, bukan tidur di brankas. Batasnya jelas: ia tetap memakai bank dan anggaran yang ada — bukan belanja defisit tanpa rem.
.


Dor — Risiko: Dari Pesta Kredit ke Pusing Kepala (dan Antisipasinya)
Risiko utama: Kalau arus air terlalu deras tanpa pagar, sawah bisa tergenang dan tanaman busuk. Dalam ekonomi, ini berarti utang tumbuh cepat di sektor yang salah — properti spekulatif, kredit konsumtif berlebih, atau pinjaman yang ditopang euforia.
Peringatan teoritis: Minsky mengingatkan, stabilitas panjang memupuk rasa aman palsu: standar kredit longgar, leverage (tingkat penggunaan utang) naik, lalu satu guncangan kecil bisa memicu krisis.
Skenario sederhana:
- Bunga global naik; rupiah melemah; biaya impor bahan baku naik.
- Debitur yang marginnya tipis mulai goyah; bank menaikkan provisi (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN) ; kredit baru melambat.
- Jika kredit sebelumnya menumpuk di properti konsumtif, harga bisa stagnan/anjlok; NPL (kredit macet) merayap.
Antisipasi (yang harus jalan beriringan):
- Rem makroprudensial: batas LTV/DTI dinamis (loan-to-value/debt-to-income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan), buffer permodalan siklikal (countercyclical capital buffer/CCyB), uji ketahanan sektor properti & konsumsi.
- Arahkan kredit: insentif bagi kredit produktif (mesin, logistik, energi bersih), bukan hanya kredit konsumsi.
- Transparansi kas negara: aturan jelas porsi kas di BI vs bank untuk menghindari kesan “fiscal dominance” dan menjaga kredibilitas moneter.
.

Contoh Kasus Imajinatif: Tiga Bulan Mengalir
Bulan Pertama: Pemerintah memindahkan sebagian dana ke bank umum. Bank mulai punya ruang longgar untuk kredit baru. Beberapa pengusaha kecil mendapat pinjaman modal kerja lebih cepat, tanpa harus menunggu tender baru.
Bulan Kedua: Arus dana terasa di lapangan. Proyek infrastruktur mulai jalan lebih lancar karena pembayaran lebih cepat. Permintaan bahan bangunan meningkat, toko material lokal kembali sibuk.
Bulan Ketiga: Konsumsi meningkat. Warung makan di sekitar proyek ikut ramai, pendapatan sopir truk naik, dan belanja rumah tangga mulai pulih. Ekonomi kecil-kecilan menggeliat. Dari kas negara ke bank, dari bank ke pelaku usaha, dan akhirnya ke dapur rakyat.
Skenario ini tentu sederhana, tapi membantu membayangkan bagaimana “uang mengalir” itu sebenarnya terjadi — tidak seperti keajaiban, tapi seperti air yang sabar mencari jalannya sendiri.
.

Checklist Pembaca: Sudahkah Arus Ekonomi Sampai ke Tempatmu?
1. Warung di sekitar tempatmu ramai lagi? Kalau iya, itu tanda arus likuiditas mulai terasa.
2. Pinjaman bank lebih mudah atau bunga lebih rendah? Artinya, uang pemerintah di bank sudah mulai bekerja.
3. Proyek pemerintah di daerahmu cepat selesai dan bayarannya lancar? Itu tanda sistem fiskal lebih cair.
Kalau tiga pertanyaan ini dijawab “ya”, berarti kebijakan dar-der-dor tidak berhenti di headline. Tapi kalau belum, ya tugas publik adalah menagih: jangan sampai air ekonomi berhenti di tengah jalan.
.

Konteks Indonesia: Kenapa Arus Sampai Hilir Itu Krusial?
Indonesia hidup dari jutaan UMKM dan usaha keluarga. Mereka peka terhadap arus kas harian. Satu perubahan kecil pada bunga pinjaman atau kecepatan pembayaran pemerintah bisa membedakan antara tutup warung dan tambah karyawan. Karena itu, kebijakan yang memperlancar arus sampai hilir lebih terasa ketimbang kebijakan yang berhenti di hulu.
Di sisi lain, Indonesia juga rentan terhadap guncangan eksternal (harga komoditas, arus modal, suku bunga global). Maka jurus Purbaya harus ditemani pagar risiko — bukan untuk mematikan aliran, melainkan mengarahkannya ke lahan yang tepat.
.

Pandangan Alternatif: Biar Diskusinya Seimbang
Monetarist /Neo-Wicksellian: yang penting bukan seberapa banyak air, tapi ketinggian permukaan (suku bunga kebijakan relatif terhadap r*). Jika r* tinggi (karena risiko/inflasi), sekadar mengalirkan air tidak menjamin panen.
MMT/Post-Keynesian: masalah bukan airnya saja, tapi jaringan irigasi (kapasitas riil). Kalau saluran pecah (logistik jelek, hukum jaminan lemah), air terbuang percuma.
Public choice: awasi agar kebijakan tak jadi rejeki nomplok untuk yang dekat kekuasaan. Transparansi penting supaya air tidak dialihkan ke “kolam pribadi”.
.

Rekomendasi Praktis (Supaya “Cuan Bersama” Bukan Slogan)
1. Kunci di Hilir: percepat pembayaran pemerintah, sederhanakan K/L/D (Kementerian/Lembaga/Daerah) pemesanan barang/jasa, dan pastikan kredit UMKM produktif mengalir (mesin, inventori, digitalisasi).
2. Pasang Pagar: tetapkan batas LTV/DTI siklikal, buffer modal bank antarsiklus, dan lakukan stress test (uji ketahanan) sektor padat kredit (properti, konsumsi).
3. Aturan Kas yang Jelas: publikasikan koridor kas pemerintah—berapa porsi minimal di BI dan di bank—agar pasar paham ini rule-based, bukan sekadar manuver.
4. Ukur yang Penting: selain pertumbuhan kredit, pantau produktivitas, kenaikan pekerjaan formal, dan sebaran geografis kredit—indikator kualitas, bukan hanya kuantitas.
5. Keadilan Akses: perluas penjaminan kredit untuk usaha kecil yang layak namun kekurangan agunan; perkuat sistem informasi debitur agar bank berani menilai risiko UMKM.
.

Penutup: Ekonomi yang Mengalir Sampai Dapur
Pada akhirnya, filosofi Purbaya bisa disebut Keynesianisme praktis: buka sumbatan, biarkan arus uang mengalir sampai hilir, dan jaga agar aliran itu tidak berubah menjadi banjir. Teori boleh rumit, tetapi kita pegang ukurannya yang sederhana: apakah air (uang) betul-betul sampai ke sawah (rakyat)?
Ekonomi boleh tumbuh, tetapi kalau warung kecil belum ramai dan pekerja belum merasakan gaji yang naik, kebijakan belum tuntas. Bila arusnya sampai, kita tidak hanya merayakan angka di layar — kita merayakan dapur yang kembali mengepul.
.

Endnotes
[1] Keynes, J.M. The General Theory of Employment, Interest and Money (1936).
[2] Moore, B. Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money (1988).
[3] Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework (1999).
[4] Wray, L. Randall. Modern Money Theory (2015).
[5] Minsky, H. Stabilizing an Unstable Economy (1986).
.

Glosarium Sederhana
Likuiditas — Air dalam irigasi ekonomi: harus mengalir, bukan menggenang.
Fiskal — Cara pemerintah mengelola dompet: pajak dan belanja.
Moneter — Cara bank sentral mengatur bunga dan uang beredar.
Endogenous money — Uang “lahir” ketika bank memberi kredit.
Financial accelerator — Efek penguat: saat likuiditas mengalir, investasi dan kerja ikut naik.
Minsky moment — Saat pesta utang mendadak berubah jadi pusing krisis.
Fiscal dominance — Saat kebijakan fiskal “mendikte” bank sentral.
r* — Tingkat bunga alamiah; patokan kasar apakah bunga sekarang terlalu tinggi/terlalu rendah.
LTV/DTI — Loan-to-Value/Debt-to-Income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan; dipakai otoritas untuk mengendalikan ekspansi kredit.
K/L/D — Kementerian/Lembaga/Daerah; singkatan untuk entitas pemerintah pusat–daerah.
NPL — Non-Performing Loan atau kredit macet: cicilan tertunggak melewati batas tertentu.
CoF (Cost of Fund) — Biaya dana perbankan; makin rendah, makin mudah bank menurunkan bunga kredit.
CCyB — Countercyclical Capital Buffer: penyangga modal tambahan bank pada masa ekspansi agar tahan banting saat siklus berbalik.
Stress test — Uji ketahanan bank/sektor terhadap skenario buruk (bunga naik, rupiah melemah, harga aset turun).
Leverage — Tingkat penggunaan utang dibanding modal/pendapatan; makin tinggi, makin rentan terhadap guncangan.
Public choice — Perspektif ekonomi-politik yang menelaah bagaimana kepentingan birokrasi/politik bisa memengaruhi kebijakan.
.

Pustaka Belajar
Keynes, J.M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money.
Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. (1999). The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework.
Minsky, H. (1986). Stabilizing an Unstable Economy.
Wray, L. Randall. (2015). Modern Money Theory.
Moore, B. (1988). Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money.
Borio, C. (2014). The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We Learnt?