Dampak Kebijakan Negara Maju terhadap Iklim, Ketahanan Pangan, dan Air di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

18 Juni 2025, 10.33

pixabay.com

Mengapa Kebijakan Global Penting bagi Masa Depan Negara Berkembang

Di era globalisasi, kebijakan negara-negara maju dan ekonomi besar dunia—termasuk negara-negara BRICS—memiliki dampak yang sangat nyata terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di negara berkembang. Paper “The effects of major economies’ policies on climate action, food security and water in developing countries” (ECDPM Discussion Paper No. 327, 2022) membedah bagaimana kebijakan perdagangan, subsidi energi, investasi, hingga tata kelola keuangan internasional dapat menjadi pedang bermata dua: mendukung, namun juga seringkali menghambat, kemajuan negara berkembang dalam menghadapi tantangan iklim, pangan, dan air12.

Artikel ini mengulas secara kritis temuan paper tersebut, menyajikan studi kasus nyata, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan rekomendasi kebijakan terkini. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan struktur SEO-friendly, pembahasan ini relevan untuk pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada masa depan berkelanjutan.

Kompleksitas Interaksi Kebijakan Global: Sebuah Kerangka Analisis

Nexus Air-Pangan-Energi: Titik Temu Tantangan

Paper ini menggunakan pendekatan water-energy-food nexus untuk memahami bagaimana kebijakan di satu sektor (misal, energi) dapat berdampak langsung maupun tidak langsung ke sektor lain (pangan dan air). Pendekatan ini sangat relevan, mengingat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan urbanisasi telah meningkatkan tekanan pada sumber daya alam di negara berkembang12.

Hotspot Ketidaksesuaian Kebijakan (Policy Coherence Hotspots)

Penelitian ini mengidentifikasi berbagai “hotspot” di mana kebijakan negara maju justru menciptakan kontradiksi atau bahkan menghambat pencapaian SDGs di negara berkembang. Hotspot ini meliputi subsidi energi fosil, kebijakan perdagangan yang mendorong deforestasi, investasi infrastruktur yang mengancam akses air, hingga tata kelola keuangan yang memperparah ketimpangan fiskal12.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Dampak Nyata di Lapangan

1. Subsidi Energi Fosil dan Kontradiksi Mitigasi Iklim

  • China (USD 1,4 triliun pada 2015) dan AS (USD 649 miliar) menjadi dua negara pemberi subsidi energi fosil terbesar di dunia12.
  • Kebijakan ini mendorong eksplorasi dan produksi bahan bakar fosil di negara berkembang, khususnya di Afrika dan Timur Tengah, yang memperburuk emisi karbon dan degradasi lingkungan.
  • Contoh nyata: China Development Bank menjadi pendana utama proyek bahan bakar fosil di Afrika, sementara Jepang dan Korea juga aktif menyalurkan dana untuk proyek serupa di Asia dan Afrika12.

Dampak:

  • Bertentangan dengan komitmen mitigasi iklim global (Paris Agreement).
  • Memperparah kerentanan fiskal negara berkembang akibat ketergantungan pada energi impor dan fluktuasi harga global.

2. Pergeseran ke Energi Bersih: Peluang dan Tantangan

  • Inisiatif Just Energy Transition Partnership di Afrika Selatan: Didukung oleh negara-negara G7, kemitraan ini membiayai transisi dari batu bara ke energi terbarukan, sekaligus memperhatikan dampak sosial bagi pekerja di sektor batu bara2.
  • Namun, transfer teknologi energi bersih dari negara maju kadang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal, karena lebih fokus pada solusi “high-tech” daripada teknologi murah dan mudah diadopsi masyarakat miskin12.

3. Kebijakan Perdagangan dan Investasi: Deforestasi dan Ketahanan Pangan

  • Importasi kedelai dan minyak sawit dari Amerika Selatan dan Asia Tenggara oleh negara-negara Eropa, China, dan AS mendorong deforestasi di Amazon, Cerrado, dan hutan tropis Indonesia12.
  • 20% ekspor kedelai dan 17% ekspor daging sapi dari Brasil ke Uni Eropa terkait langsung dengan deforestasi ilegal12.
  • Perjanjian dagang seperti EU-Mercosur membuka pasar bagi produk yang berkontribusi pada deforestasi, menciptakan konflik antara tujuan perdagangan dan perlindungan lingkungan12.

Dampak:

  • Deforestasi memperburuk emisi karbon global dan mengancam keanekaragaman hayati.
  • Tekanan pada sumber daya air di wilayah produsen, memperburuk ketahanan pangan dan air lokal.

4. Investasi Asing di Agribisnis: Janji dan Realitas

  • Investasi asing di sektor agribisnis seringkali tidak memenuhi janji pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan lokal.
  • Contoh: Di Afrika, investasi besar-besaran pada lahan pertanian sering berujung pada “land grabbing”, mengusir petani kecil dan memperburuk ketimpangan ekonomi12.

5. Infrastruktur dan Ketahanan Sosial: Antara Kemajuan dan Risiko

  • Lebih dari 3700 bendungan besar direncanakan di negara berkembang, terutama di Amazon, Mekong, dan Congo12.
  • Bendungan besar memang meningkatkan pasokan listrik dan mendukung pertumbuhan ekonomi, namun juga mengancam akses air bagi komunitas hilir, merusak ekosistem, dan memicu konflik antarnegara12.
  • Kasus Bangladesh: Proyek polder dan bendungan yang didanai donor internasional sering terkendala korupsi dan koordinasi lemah, sehingga manfaatnya tidak maksimal dan kadang justru menciptakan kerentanan baru, seperti banjir dan penurunan kualitas air2.

6. Urbanisasi, Air, dan Ketimpangan

  • 70% populasi dunia diproyeksikan tinggal di kota pada 2050, dengan pertumbuhan tercepat di Asia dan Afrika12.
  • Urbanisasi yang tidak terencana memperparah risiko banjir, polusi air, dan kekurangan air bersih di kawasan kumuh perkotaan.
  • Contoh Jakarta: Penurunan tanah akibat over-ekstraksi air tanah dan pembangunan infrastruktur tanpa perencanaan matang memperbesar risiko banjir dan krisis air12.

7. Kebijakan Keuangan dan Adaptasi Iklim

  • Pendanaan iklim internasional mencapai USD 632 miliar pada 2019/2020, namun kebutuhan adaptasi di negara berkembang diperkirakan USD 140–300 miliar per tahun pada 203012.
  • Illicit financial flows (aliran dana ilegal) memperkecil kapasitas fiskal negara berkembang untuk membiayai adaptasi dan mitigasi iklim.
  • Kasus Bangladesh: Negara ini menghadapi tantangan fiskal besar dalam membiayai adaptasi iklim dan mitigasi risiko bencana, terutama karena pendapatan pajak rendah dan ketergantungan pada pembiayaan eksternal12.

Analisis Kritis: Menavigasi Trade-Offs dan Sinergi Kebijakan Global

Trade-Offs: Ketidaksesuaian Kebijakan dan Dampaknya

  • Subsidi energi fosil di negara maju memperburuk ketergantungan negara berkembang pada energi murah namun polutif, menghambat transisi ke energi bersih.
  • Kebijakan perdagangan yang longgar terhadap produk hasil deforestasi menciptakan insentif negatif bagi negara produsen untuk melindungi hutan dan sumber daya air.
  • Investasi agribisnis dan infrastruktur seringkali lebih menguntungkan korporasi besar daripada komunitas lokal, memperparah ketimpangan dan kerentanan sosial12.

Sinergi: Peluang Integrasi dan Reformasi Kebijakan

  • Inisiatif transisi energi bersih seperti di Afrika Selatan menunjukkan bahwa kolaborasi internasional bisa mempercepat perubahan positif, asalkan disertai perhatian pada keadilan sosial dan kebutuhan lokal.
  • Pendekatan nexus air-pangan-energi menawarkan kerangka integrasi kebijakan lintas sektor, sehingga trade-off dapat diminimalkan dan sinergi diperkuat12.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Temuan paper ini sejalan dengan laporan World Bank dan UNDP yang menekankan pentingnya koherensi kebijakan global untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di negara berkembang.
  • Namun, ECDPM menyoroti secara lebih tajam risiko “policy incoherence” dan perlunya reformasi sistemik pada tata kelola perdagangan, subsidi, dan investasi global12.

Rekomendasi Kebijakan: Jalan Menuju Koherensi dan Keadilan Global

1. Reformasi Subsidi dan Pendanaan Energi

  • Kurangi subsidi bahan bakar fosil di negara maju dan emerging economies.
  • Alihkan pendanaan ke energi terbarukan yang inklusif dan sesuai konteks lokal, melalui skema pendanaan inovatif yang melibatkan komunitas dan pelaku lokal12.

2. Regulasi Perdagangan yang Berkelanjutan

  • Perkuat regulasi perdagangan untuk mencegah impor produk yang berkontribusi pada deforestasi dan degradasi lingkungan.
  • Integrasikan standar lingkungan dan sosial dalam perjanjian dagang internasional, serta dorong transparansi rantai pasok global12.

3. Investasi Berkeadilan dan Inklusif

  • Dorong investasi agribisnis dan infrastruktur yang melibatkan petani kecil, komunitas lokal, dan memperhatikan hak atas tanah dan air.
  • Terapkan prinsip “free, prior, and informed consent” dalam setiap proyek investasi besar di negara berkembang12.

4. Tata Kelola Pendanaan Iklim dan Keuangan

  • Tingkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas pendanaan iklim internasional.
  • Kurangi risiko distorsi pasar akibat blended finance, dan pastikan manfaatnya dirasakan oleh kelompok rentan dan komunitas lokal12.

5. Kerja Sama Internasional dan Regional

  • Perkuat kerja sama lintas negara dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas dan rantai pasok pangan.
  • Fasilitasi dialog antara negara maju, emerging economies, dan negara berkembang untuk menyelaraskan tujuan iklim, pangan, dan air secara simultan12.

Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global

SDGs dan Agenda Hijau Global

Paper ini sangat relevan dengan SDG 13 (Climate Action), SDG 2 (Zero Hunger), dan SDG 6 (Clean Water and Sanitation). Koherensi kebijakan global menjadi kunci untuk memastikan pencapaian target-target ini secara adil dan berkelanjutan12.

Industri dan Bisnis: ESG dan Rantai Pasok Berkelanjutan

Banyak perusahaan multinasional kini mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan menuntut transparansi rantai pasok. Namun, tanpa regulasi dan insentif yang kuat dari negara maju, perubahan di tingkat industri seringkali lambat dan tidak merata12.

Adaptasi Perubahan Iklim dan Inovasi Teknologi

Investasi pada teknologi adaptasi iklim, seperti irigasi hemat air dan energi terbarukan berbasis komunitas, menjadi kunci untuk meningkatkan ketahanan negara berkembang terhadap risiko iklim dan bencana alam12.

Menavigasi Kompleksitas Kebijakan Global untuk Masa Depan Berkelanjutan

Paper ECDPM No. 327 memberikan wawasan kritis tentang bagaimana kebijakan negara maju dan emerging economies mempengaruhi pencapaian tujuan iklim, pangan, dan air di negara berkembang. Dengan mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan, studi ini membuka jalan bagi reformasi kebijakan yang lebih koheren dan berkeadilan.

Kunci sukses ke depan adalah:

  • Integrasi lintas sektor dan lintas negara dalam perumusan kebijakan.
  • Reformasi sistem subsidi dan perdagangan global.
  • Investasi inklusif yang memberdayakan komunitas lokal.
  • Tata kelola pendanaan iklim yang transparan dan akuntabel.
  • Penguatan kerja sama internasional dan regional.

Dengan upaya bersama, negara maju dan berkembang dapat menavigasi kompleksitas kebijakan global untuk membangun masa depan yang lebih adil, hijau, dan resilien.

Sumber Asli Artikel

Tondel, F., D’Alessandro, C., Dekeyser, K. (2022). The effects of major economies’ policies on climate action, food security and water in developing countries. Discussion Paper No. 327, ECDPM.