Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

16 Juni 2025, 09.24

pixabay.com

Memahami Dimensi Sosial dalam Krisis Iklim Global

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang tidak hanya berdampak pada aspek fisik dan lingkungan, tetapi juga sangat terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Konferensi Internasional Socioecos 2024 yang diselenggarakan di Universidad del País Vasco, Bilbao, Spanyol, menghadirkan kumpulan riset dan diskusi interdisipliner yang mendalam mengenai praktik-praktik sosial-ekologis dalam konteks darurat iklim dan keberlanjutan. Buku prosiding konferensi ini, yang memuat lebih dari 800 abstrak dan puluhan makalah lengkap, menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana ilmu sosial berkontribusi dalam mengatasi krisis iklim yang kompleks.

Resensi ini akan mengulas tema utama konferensi, studi kasus penting, serta kontribusi beberapa pembicara kunci yang menyoroti hubungan antara perubahan iklim, keadilan sosial, dan transformasi masyarakat melalui praktik sosial-ekologis.

Dimensi Sosial dalam Perubahan Iklim: Kritik dan Tantangan

Salah satu isu utama yang diangkat dalam konferensi ini adalah keterlambatan ilmu sosial dalam merespons perubahan iklim secara komprehensif, terutama dibandingkan dengan ilmu biophysical yang lebih cepat mengadopsi isu ini. Kritik utama menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus pada individu seringkali mengabaikan aspek institusional, sosial, dan budaya yang lebih luas, sehingga kebijakan yang dihasilkan kurang efektif dan tidak menyentuh akar masalah (Tejerina et al., 2024).

Lebih jauh, kerangka interpretatif dominan, termasuk laporan IPCC, dianggap mendepolitisasi diskursus iklim dengan mengabaikan analisis kritis terhadap sistem nilai, relasi kekuasaan, dan proses institusional yang menjadi penyebab utama krisis iklim. Konsep “post-politik” ini menyoroti bagaimana wacana ilmiah dan kebijakan iklim sering mempertahankan status quo sosial-ekonomi yang tidak adil.

Praktik Sosial-Ekologis: Dari Gerakan Sosial hingga Transformasi Budaya

Konferensi ini membagi diskusi ke dalam beberapa track tematik yang luas, antara lain:

  • Gerakan sosial ekologis dan politik iklim
    Misalnya, gerakan Extinction Rebellion (XR) dan Fridays For Future (FFF) yang menentang pendekatan pasar dan kebijakan “transisi hijau dari atas”, dan mendorong “transisi ekologis dari bawah” yang menekankan keadilan iklim dan interseksionalitas (Albanese, 2024).
  • Model produksi dan kerja baru di ambang krisis iklim
    Studi tentang perusahaan energi hijau seperti Som Energia di Spanyol yang menggabungkan ekonomi sosial dan akar ekologis (Castelló et al., 2024).
  • Praktik hidup dan konsumsi berkelanjutan
    Eksplorasi tentang konsumsi makanan berkelanjutan, pasar ekologis, dan arsitektur ramah lingkungan yang mengurangi jejak karbon (González Rivas, 2024).
  • Rewilding dan pelestarian alam melalui ilmu warga dan sains partisipatif
    Contohnya proyek MitigACT di Galicia, Spanyol, yang menggabungkan ilmu warga untuk mitigasi risiko kebakaran hutan (Santiago-Gómez & Rodríguez-Rodríguez, 2024).
  • Dimensi manusia dalam krisis iklim: kesadaran, kesejahteraan, dan perawatan
    Penelitian tentang dampak psikologis krisis iklim seperti eco-ansietas dan praktik perawatan kolektif sebagai respons sosial (Heidemann, 2024).
  • Seni, teknologi, dan desain untuk krisis iklim
    Proyek seni yang menggabungkan fiksi spekulatif dan pengetahuan ilmiah untuk mengatasi antroposein dan mendorong perspektif ekosentris, seperti konsep Plantocene (Bruna, 2024).

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Gerakan Extinction Rebellion (XR)
    XR mengusung “budaya regeneratif” yang menekankan perawatan diri, komunitas, dan lingkungan sebagai bentuk politik prefiguratif. Studi kualitatif dengan 25 wawancara mendalam menunjukkan dampak budaya ini pada individu, kelompok, dan masyarakat luas, termasuk peningkatan kecerdasan emosional dan praktik pengelolaan konflik secara non-kekerasan (Albanese, 2024).
  • Proyek AGORA (Horizon Europe)
    Inisiatif ini mengembangkan workshop kolaboratif di Spanyol, Italia, Swedia, dan Jerman untuk mendukung transformasi sosial menuju adaptasi iklim melalui co-creation dan pembelajaran bersama. Lebih dari 50 pemangku kepentingan lintas disiplin terlibat sebagai “pengikut” yang mengadopsi praktik terbaik (Mercogliano, 2024).
  • Diskursus NGO tentang Loss and Damage
    Analisis kritis terhadap posisi NGO dalam negosiasi iklim internasional mengungkapkan tiga pendekatan utama: manajemen risiko, adaptasi, dan keadilan iklim. NGO menuntut dana kompensasi dan mekanisme operasional yang jelas untuk membantu negara-negara berkembang yang paling rentan (Beltran & Sainz de Murieta, 2024).
  • Nasionalisme dan Krisis Iklim
    Studi oleh Daniele Conversi mengkritik bagaimana ideologi nasionalisme menjadi penghalang utama dalam aksi iklim global. Meskipun nasionalisme mendominasi politik dunia, belum ada integrasi serius antara studi nasionalisme dan perubahan iklim hingga tahun 2020. Nasionalisme juga berkontribusi pada keterlambatan dan hambatan dalam negosiasi iklim internasional (Conversi, 2024).

Analisis dan Nilai Tambah

Konferensi ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dari perspektif ilmiah dan teknis, tetapi harus melibatkan analisis kritis terhadap struktur sosial, budaya, dan politik yang mendasarinya. Pendekatan interdisipliner dan partisipatif menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang inklusif dan berkeadilan.

Gerakan sosial seperti Extinction Rebellion menunjukkan bahwa transformasi sosial yang nyata membutuhkan perubahan cara hidup dan hubungan antar manusia serta dengan alam, bukan sekadar kebijakan top-down. Konsep budaya regeneratif yang mereka usung memperlihatkan bagaimana praktik sosial dapat menjadi alat politik yang efektif.

Di sisi lain, analisis NGO tentang loss and damage menggarisbawahi pentingnya keadilan iklim dan tanggung jawab negara maju dalam mendukung negara berkembang, memperlihatkan kompleksitas negosiasi internasional yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Studi nasionalisme oleh Conversi membuka ruang diskusi penting mengenai bagaimana ideologi politik dapat menjadi penghalang atau pendorong dalam aksi iklim, sebuah aspek yang sering diabaikan dalam studi perubahan iklim.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Memperkuat keterlibatan ilmu sosial dalam kebijakan iklim untuk mengatasi aspek politik, budaya, dan sosial yang sering terabaikan.
  • Mendukung gerakan sosial dan praktik prefiguratif yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis dari bawah.
  • Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam negosiasi internasional, khususnya terkait mekanisme loss and damage.
  • Mengintegrasikan pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam proyek adaptasi dan mitigasi iklim, seperti yang dilakukan oleh proyek AGORA.
  • Mengkritisi dan merefleksikan peran nasionalisme dalam politik iklim untuk menemukan solusi yang melampaui batas-batas negara.

Kesimpulan

Buku prosiding konferensi Socioecos 2024 memberikan gambaran luas dan mendalam tentang bagaimana perubahan iklim harus dipahami sebagai fenomena sosial-ekologis yang kompleks. Kontribusi ilmu sosial sangat penting untuk membuka ruang dialog kritis tentang keadilan, kekuasaan, dan transformasi budaya dalam menghadapi krisis iklim. Studi kasus dan diskusi dari berbagai disiplin ilmu dan gerakan sosial menunjukkan bahwa perubahan nyata membutuhkan aksi kolektif, inklusif, dan berkelanjutan yang menggabungkan ilmu, seni, politik, dan praktik sosial.

Sumber Artikel :

Tejerina, B., Miranda de Almeida, C., & Acuña, C. (Eds.). (2024). Climate Change, Sustainability and Socio-ecological Practices: Conference Proceedings June 6-7, 2024, Universidad del País Vasco/Euskal Herriko Unibertsitatea, Bilbao, Spain. Servicio Editorial de la Universidad del País Vasco / Euskal Herriko Unibertsitateko Argitalpen Zerbitzua. ISBN: 978-84-9082-680-5