Circular Economy di Filipina: Ketika Krisis Sampah Menguji Konsistensi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

23 Desember 2025, 13.45

1. Pendahuluan: Krisis Sampah sebagai Ujian Struktural Circular Economy

Bab ini dibuka dengan gambaran yang tegas: Filipina tidak sekadar menghadapi masalah pengelolaan sampah, melainkan krisis struktural yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Kombinasi antara pertumbuhan penduduk, urbanisasi cepat, kondisi geografis kepulauan, dan lemahnya penegakan regulasi menciptakan tekanan yang terus menumpuk pada sistem pengelolaan limbah. Dalam konteks ini, kebocoran plastik ke lingkungan bukan anomali, tetapi konsekuensi logis dari sistem yang tidak mampu mengimbangi laju produksi dan konsumsi.

Gregorio Rafael P. Bueta menempatkan circular economy sebagai respons konseptual terhadap krisis tersebut, tetapi dengan nada yang berhati-hati. Circular economy tidak diposisikan sebagai solusi instan, melainkan sebagai kerangka perubahan jangka panjang yang menuntut konsistensi kebijakan dan kapasitas institusional. Krisis sampah di Filipina memperlihatkan bahwa tanpa fondasi tata kelola yang kuat, konsep circular economy mudah tereduksi menjadi slogan kebijakan.

Yang menarik, bab ini menunjukkan bahwa urgensi circular economy semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir akibat lonjakan limbah plastik dan limbah medis, terutama selama pandemi. Lonjakan ini tidak hanya memperbesar volume sampah, tetapi juga menyingkap keterbatasan infrastruktur dan ketimpangan kapasitas pemerintah daerah. Dengan demikian, circular economy muncul bukan dari ruang perencanaan abstrak, melainkan dari kegagalan sistem linear menangani realitas lapangan.

Pendahuluan ini membangun tesis utama artikel: tantangan circular economy di Filipina bukan terletak pada ketiadaan hukum atau gagasan, tetapi pada ketidaksinambungan antara kebijakan, implementasi, dan perubahan perilaku sosial. Dari titik inilah analisis beralih ke kerangka hukum dan kebijakan yang ada, untuk menilai sejauh mana circular economy benar-benar diintegrasikan ke dalam sistem nasional.

 

2. Kerangka Hukum dan Kebijakan: Banyak Aturan, Minim Integrasi

Analisis kebijakan dalam bab ini memperlihatkan paradoks yang mencolok. Filipina memiliki beragam undang-undang dan kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung selaras dengan prinsip circular economy, khususnya dalam pengelolaan sampah dan konservasi sumber daya. Namun, hingga kini belum terdapat satu kerangka terpadu yang secara eksplisit mengarahkan transisi menuju ekonomi sirkular.

Undang-undang pengelolaan sampah yang menjadi tulang punggung kebijakan nasional telah lama menekankan pengurangan, pemanfaatan kembali, dan daur ulang. Bahkan, beberapa regulasi lama sudah mengandung semangat pemulihan sumber daya. Namun, penulis menegaskan bahwa keberadaan norma hukum tidak otomatis menghasilkan perubahan sistemik. Banyak ketentuan yang tidak ditegakkan secara konsisten, sementara tanggung jawab yang besar dibebankan kepada pemerintah daerah dengan kapasitas dan sumber daya yang sangat beragam.

Bab ini juga menyoroti kecenderungan pendekatan sektoral dan reaktif dalam perumusan kebijakan. Berbagai inisiatif muncul sebagai respons terhadap isu yang sedang menjadi sorotan publik—seperti plastik sekali pakai, impor limbah, atau teknologi waste-to-energy—tanpa diikat dalam strategi circular economy yang komprehensif. Akibatnya, kebijakan berjalan parsial, saling tumpang tindih, dan sering kali kehilangan momentum setelah perhatian publik mereda.

Aspek penting lain adalah dinamika legislasi. Selama lebih dari satu dekade, ratusan rancangan undang-undang terkait sampah, plastik, dan circular economy telah diajukan, tetapi sangat sedikit yang berujung pada kebijakan mengikat. Penulis membaca fenomena ini sebagai gejala fragmentasi politik dan lemahnya tindak lanjut, bukan semata kurangnya ide. Circular economy hadir dalam wacana, tetapi belum menjadi prioritas struktural dalam agenda pembangunan nasional.

Section ini menegaskan bahwa tantangan utama Filipina bukan menambah aturan baru, melainkan mengintegrasikan dan menegakkan kerangka yang sudah ada. Tanpa konsistensi implementasi dan penyelarasan lintas sektor, circular economy berisiko menjadi lapisan kebijakan tambahan yang tidak mampu mengubah praktik pengelolaan sampah dan pola konsumsi secara mendasar.

 

3. Kebijakan Reaktif dan Fragmentasi Implementasi: Circular Economy yang Terjebak Isu

Salah satu kritik utama dalam bab ini adalah kecenderungan Filipina mengelola isu circular economy melalui kebijakan reaktif. Alih-alih membangun kerangka strategis jangka panjang, banyak inisiatif muncul sebagai respons terhadap krisis atau tekanan publik sesaat. Ketika sampah plastik menjadi sorotan global, kebijakan difokuskan pada pelarangan plastik sekali pakai. Ketika TPA penuh dan krisis energi mencuat, perhatian bergeser ke teknologi waste-to-energy. Pola ini menciptakan rangkaian kebijakan yang terpisah, bukan sistem yang saling menguatkan.

Pendekatan reaktif ini berdampak langsung pada konsistensi implementasi. Pemerintah daerah, yang memegang peran kunci dalam pengelolaan sampah, sering kali menerima mandat baru tanpa dukungan pendanaan, kapasitas teknis, atau kejelasan prioritas. Akibatnya, kebijakan circular economy berhenti pada tataran administratif, sementara praktik di lapangan tetap didominasi oleh pengumpulan dan pembuangan akhir.

Bab ini menegaskan bahwa fragmentasi bukan hanya persoalan teknis, tetapi masalah tata kelola. Ketika tanggung jawab tersebar di berbagai kementerian dan tingkat pemerintahan tanpa mekanisme koordinasi yang kuat, circular economy kehilangan arah strategis. Kebijakan yang seharusnya mendorong pencegahan limbah dan desain produk justru tereduksi menjadi pengelolaan residu.

Section ini memperlihatkan bahwa circular economy di Filipina belum gagal karena kurangnya komitmen normatif, melainkan karena ketiadaan kerangka integratif yang mampu menyatukan berbagai kebijakan sektoral ke dalam satu lintasan transisi yang konsisten.

 

4. Extended Producer Responsibility (EPR): Peluang yang Masih Rapuh

Di tengah fragmentasi kebijakan, konsep extended producer responsibility (EPR) muncul sebagai salah satu instrumen yang paling menjanjikan untuk mendorong circular economy secara lebih sistemik. Dengan memindahkan sebagian tanggung jawab pengelolaan limbah ke produsen, EPR berpotensi menghubungkan desain produk, produksi, dan pascakonsumsi dalam satu kerangka tanggung jawab.

Bab ini memandang EPR sebagai titik masuk strategis, tetapi dengan catatan penting. Tanpa desain kebijakan yang kuat, EPR berisiko menjadi kewajiban administratif yang minim dampak. Banyak skema EPR yang diusulkan masih berfokus pada target pengumpulan, bukan pada perubahan desain produk atau pengurangan penggunaan material bermasalah. Dalam kondisi seperti ini, EPR hanya mengoptimalkan sistem linear, bukan mentransformasikannya.

Penulis juga menyoroti tantangan implementasi EPR dalam konteks Filipina. Struktur pasar yang didominasi oleh usaha kecil dan menengah, lemahnya sistem pelacakan material, serta keterbatasan kapasitas pengawasan membuat penegakan EPR menjadi kompleks. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, EPR mudah berubah menjadi skema kepatuhan formal tanpa perubahan perilaku produksi yang signifikan.

Namun demikian, bab ini tetap melihat EPR sebagai instrumen kunci jika dirancang dengan pendekatan yang lebih ambisius. EPR yang efektif harus mengaitkan target dengan kualitas desain, insentif finansial, dan dukungan infrastruktur. Lebih jauh, EPR perlu diposisikan sebagai bagian dari strategi circular economy nasional, bukan sebagai kebijakan terpisah yang berdiri sendiri.

Section ini menegaskan bahwa keberhasilan circular economy di Filipina sangat bergantung pada kemampuan kebijakan untuk memanfaatkan EPR sebagai alat integrasi, bukan sekadar mekanisme pembiayaan pengelolaan sampah.

 

5. Tantangan Implementasi: Kapasitas Lokal, Perilaku Sosial, dan Ketimpangan Wilayah

Bab ini menegaskan bahwa bahkan kebijakan circular economy yang dirancang dengan baik akan menghadapi hambatan serius pada tahap implementasi, terutama dalam konteks Filipina yang sangat terfragmentasi secara geografis dan administratif. Tantangan utama terletak pada kapasitas pemerintah daerah, yang memikul tanggung jawab besar dalam pengelolaan sampah, tetapi sering kali kekurangan sumber daya, keahlian teknis, dan dukungan fiskal.

Ketimpangan kapasitas antarwilayah menciptakan hasil kebijakan yang tidak merata. Kota-kota besar dengan basis pendapatan lebih kuat cenderung mampu mengadopsi praktik pengelolaan sampah yang lebih maju, sementara wilayah pedesaan dan pulau-pulau kecil tertinggal dengan sistem pembuangan sederhana. Dalam kondisi ini, circular economy berisiko memperlebar kesenjangan lingkungan: daerah tertentu mengalami perbaikan, sementara daerah lain tetap menjadi titik kebocoran limbah.

Selain kapasitas institusional, bab ini juga menyoroti perilaku sosial dan budaya konsumsi sebagai faktor penentu. Circular economy sering mengandaikan partisipasi aktif masyarakat dalam pemilahan dan pengurangan sampah. Namun, tanpa edukasi berkelanjutan dan insentif yang jelas, perubahan perilaku sulit dipertahankan. Kebijakan yang terlalu bergantung pada kepatuhan sukarela cenderung rapuh ketika berhadapan dengan tekanan ekonomi dan keterbatasan layanan publik.

Aspek lain yang jarang dibahas tetapi krusial adalah interaksi antara sektor formal dan informal. Di Filipina, sektor informal memainkan peran penting dalam pengumpulan dan pemulihan material. Namun, kebijakan circular economy sering dirancang tanpa mengintegrasikan aktor-aktor ini secara sistematis. Akibatnya, muncul ketegangan antara tujuan formal kebijakan dan praktik lapangan yang sesungguhnya menopang sistem pengelolaan sampah sehari-hari.

Section ini menunjukkan bahwa tantangan circular economy tidak hanya bersifat teknis atau regulatif, tetapi juga sosial dan institusional. Tanpa penguatan kapasitas lokal, integrasi sektor informal, dan pendekatan yang sensitif terhadap konteks wilayah, circular economy akan sulit bergerak melampaui pilot project dan inisiatif simbolik.

 

6. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Ujian Konsistensi Tata Kelola

Artikel ini menempatkan pengalaman Filipina sebagai cermin bagi banyak negara berkembang yang berusaha mengadopsi circular economy di tengah keterbatasan struktural. Circular economy di Filipina tidak kekurangan payung hukum atau gagasan kebijakan. Yang menjadi persoalan adalah konsistensi tata kelola—kemampuan untuk menyelaraskan visi nasional dengan implementasi lokal, serta menghubungkan kebijakan lingkungan dengan kebijakan industri, perdagangan, dan sosial.

Analisis menunjukkan bahwa circular economy gagal ketika diperlakukan sebagai rangkaian kebijakan terpisah yang reaktif terhadap krisis. Sebaliknya, circular economy menuntut pendekatan jangka panjang yang integratif, di mana instrumen seperti extended producer responsibility, penguatan pemerintah daerah, dan perubahan desain produk diarahkan pada tujuan yang sama. Tanpa integrasi ini, circular economy akan terus berputar di sekitar pengelolaan sampah, tanpa menyentuh akar produksi dan konsumsi.

Pelajaran utama dari kasus Filipina adalah bahwa circular economy bukanlah soal menambah kebijakan baru, melainkan mengubah cara kebijakan bekerja bersama. Keberhasilan tidak diukur dari banyaknya regulasi atau program, tetapi dari kemampuan sistem untuk mengurangi kebocoran material, meningkatkan akuntabilitas aktor, dan menciptakan insentif yang konsisten bagi perubahan perilaku ekonomi.

Dengan demikian, circular economy di Filipina—dan di banyak negara berkembang lain—harus dipahami sebagai proyek reformasi tata kelola. Ia menguji sejauh mana negara mampu bergerak dari respons ad hoc menuju strategi pembangunan yang koheren, berkeadilan, dan berorientasi jangka panjang. Tanpa lompatan ini, circular economy akan tetap menjadi konsep yang menarik di atas kertas, tetapi rapuh dalam praktik.

 

Daftar Pustaka

Bueta, G. R. P. (2022). Circular economy policy initiatives and experiences in the Philippines: Lessons for Asia and the Pacific and beyond. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.

Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the picture: How the circular economy tackles climate change. Cowes: EMF.

Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.

McDowall, W., Geng, Y., Huang, B., et al. (2017). Circular economy policies in China and Europe. Journal of Industrial Ecology, 21(3), 651–661.

Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.