1. Circular Economy sebagai Kunci Setengah Masalah Iklim yang Terlupakan
Dalam bagian penutup yang ditulis oleh Linda Arthur, circular economy ditempatkan pada posisi strategis yang sering terabaikan dalam diskursus iklim global. Selama ini, transisi energi bersih—terutama pengurangan batu bara dan bahan bakar fosil—mendominasi agenda mitigasi perubahan iklim. Namun, Arthur menegaskan bahwa pendekatan tersebut hanya menyasar sekitar setengah dari total emisi gas rumah kaca. Sisa emisi yang signifikan justru berasal dari produksi material, pertanian, kehutanan, dan perubahan penggunaan lahan.
Di titik inilah circular economy memperoleh relevansinya yang paling fundamental. Dengan menantang model linear “ambil–buat–buang”, circular economy menawarkan jalur mitigasi iklim yang bekerja melalui efisiensi material, desain ulang sistem produksi, dan pengurangan limbah struktural. Artinya, circular economy bukan pelengkap kebijakan iklim, melainkan pilar yang berdiri sejajar dengan transisi energi.
Arthur secara eksplisit menempatkan Asia dan Pasifik sebagai kawasan penentu. Kawasan ini tidak hanya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga rumah bagi mayoritas kelas konsumen dunia—dan jumlahnya masih akan terus bertambah. Dalam konteks ini, strategi iklim yang mengabaikan pola konsumsi dan produksi di Asia berisiko gagal secara global. Circular economy menjadi satu-satunya pendekatan yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tetap berlangsung tanpa eskalasi eksploitasi sumber daya secara linear.
Yang menarik, Arthur tidak membingkai circular economy sebagai agenda pengorbanan. Ia justru diposisikan sebagai alternatif pembangunan, bukan pembatas pembangunan. Dengan memisahkan kesejahteraan manusia dan pertumbuhan ekonomi dari peningkatan ekstraksi sumber daya, circular economy menawarkan narasi baru yang lebih dapat diterima oleh negara berkembang—terutama mereka yang enggan menahan pertumbuhan demi target iklim global.
2. Tantangan Implementasi dan Jalan ke Depan: Kepemimpinan Negara dan Kerja Sama Regional
Meski potensinya besar, Arthur secara realistis menegaskan bahwa transisi menuju circular economy di Asia tidak akan mudah. Tantangan utamanya bersifat institusional dan politik, bukan konseptual. Negara-negara berkembang menghadapi dilema klasik: menekan emisi dan limbah berisiko dipersepsikan sebagai hambatan untuk mengejar status ekonomi maju. Dalam konteks ini, circular economy hanya akan berhasil jika diposisikan sebagai strategi pertumbuhan, bukan agenda lingkungan semata.
Arthur menekankan peran sentral pemerintah dalam memimpin transisi. Negara perlu menyediakan kombinasi kebijakan yang seimbang antara insentif dan disinsentif—mendorong model bisnis sirkular, inovasi desain, dan transfer teknologi, sembari membatasi praktik produksi dan konsumsi yang paling merusak. Namun, ia juga menegaskan bahwa sektor publik tidak bisa bekerja sendiri. Circular economy menuntut partisipasi aktif sektor swasta, inovator, dan investor.
Salah satu pesan penting dalam bagian penutup ini adalah kebutuhan pengambilan risiko tahap awal oleh negara. Pasar sirkular sering kali belum matang, sehingga investasi swasta enggan masuk tanpa sinyal kebijakan dan dukungan awal. Dengan mengambil peran katalitik—melalui pembiayaan awal, jaminan risiko, atau kebijakan pengadaan—negara dapat mempercepat pembentukan pasar dan menarik modal lanjutan.
Arthur juga menyoroti pentingnya kerja sama regional. Bagi negara berpendapatan rendah yang baru memulai transisi sirkular, berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik menjadi krusial. Dalam isu lintas batas seperti plastik dan rantai pasok material, tekanan regional bahkan dapat lebih efektif daripada kebijakan domestik semata. Aliansi regional dapat membantu menyelaraskan standar, mengurangi kebocoran limbah, dan meningkatkan efisiensi kolektif.
Sebagai penutup, Arthur menggarisbawahi bahwa circular economy bukan ancaman bagi pembangunan, melainkan peluang ekonomi berskala besar—dengan potensi penciptaan lapangan kerja, inovasi, dan nilai tambah yang signifikan. Tantangan terbesarnya bukan pada apakah circular economy layak, tetapi pada seberapa cepat dan serius negara-negara Asia berani mengintegrasikannya ke dalam strategi pembangunan jangka panjang.
Daftar Pustaka
Arthur, L. (2022). Conclusion. Dalam Transitioning to a Circular Economy in Developing Asia. Tokyo: Asian Development Bank Institute.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the picture: How the circular economy tackles climate change. Cowes: EMF.
Ghisellini, P., Cialani, C., & Ulgiati, S. (2016). A review on circular economy. Journal of Cleaner Production, 114, 11–32.
IPCC. (2022). Climate change 2022: Mitigation of climate change. Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.