Cetak Biru yang Tertunda: Bagaimana Krisis Lisensi 8 Tahun Menghambat Arsitek Nigeria (dan Pelajaran untuk Kita Semua)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

02 Oktober 2025, 15.06

Cetak Biru yang Tertunda: Bagaimana Krisis Lisensi 8 Tahun Menghambat Arsitek Nigeria (dan Pelajaran untuk Kita Semua)

Perasaan Terjebak oleh Sistem yang Rusak

Saya pernah mengalaminya. Mungkin kamu juga. Perasaan terjebak dalam labirin birokrasi yang tak masuk akal. Waktu itu saya harus mengurus perizinan sederhana yang seharusnya selesai dalam seminggu. Tapi minggu berganti bulan. Setiap kali datang, ada aturan baru yang entah dari mana datangnya, formulir yang berbeda, atau petugas yang saling lempar tanggung jawab. Saya sudah melakukan semua yang diminta, mengikuti setiap langkah, tapi tetap saja terbentur tembok. Tembok yang dibangun bukan dari aturan, melainkan dari ego dan politik internal yang tak terlihat. Perasaan tidak berdaya itu, perasaan ketika kamu sudah melakukan segalanya dengan benar tapi tetap dihambat oleh sistem yang lupa tujuannya, benar-benar menguras energi.

Sekarang, bayangkan perasaan itu. Tapi jangan hanya sehari atau sebulan. Bayangkan perasaan itu membentang selama delapan tahun. Bayangkan seluruh karier dan identitas profesionalmu disandera oleh pertarungan yang sama sekali bukan urusanmu. Itulah kenyataan pahit yang dihadapi ribuan calon arsitek di Nigeria, sebuah drama manusia berskala nasional yang baru-rata terungkap dalam sebuah paper penelitian yang luar biasa.

Cetak Biru Bangsa yang Tertunda: Skala Krisis yang Mengejutkan

Untuk memahami betapa dalamnya luka ini, kita perlu melihat angka-angkanya. Ini bukan sekadar cerita tentang beberapa orang yang frustrasi; ini adalah kegagalan di tingkat nasional. Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Discover Civil Engineering memaparkan skala krisis ini dengan data yang gamblang ().  

Krisis pendaftaran arsitek ini berlangsung selama delapan tahun penuh, dari 2015 hingga 2023 (, p.1). Selama itu, keran untuk menjadi arsitek profesional di Nigeria praktis tertutup rapat. Padahal, negara ini mengalami defisit arsitek yang sangat parah. Nigeria membutuhkan minimal 18.000 arsitek untuk pembangunannya, tetapi hingga 2021, jumlah yang terdaftar hanya 4.926 orang. Sebelum krisis membeku total, sistem ini hanya mampu menghasilkan 694 arsitek dalam tiga tahun—jumlah yang sangat sedikit (, p.2).  

Konsekuensinya bukanlah hal yang abstrak. Paper ini secara berani menarik garis lurus antara kekurangan tenaga profesional yang berkualitas dengan tingginya angka bangunan runtuh. Di Lagos saja, tercatat ada 115 kasus bangunan runtuh antara tahun 2012 dan 2022 (, p.2). Ini mengubah segalanya. Ini bukan lagi sekadar sengketa profesional; ini adalah darurat keselamatan publik. Pertarungan tentang siapa yang berhak menandatangani selembar kertas lisensi secara tidak langsung berkontribusi pada bangunan yang merenggut nyawa. "Perebutan kekuasaan" yang terjadi di ruang rapat ber-AC berdampak langsung pada keselamatan warga biasa di jalanan.  

Ini Bukan soal Dokumen, Ini soal Kekuasaan: Drama Manusia di Balik Kebuntuan

Jadi, mengapa ini bisa terjadi? Paper ini membongkar akar masalahnya, yang ternyata lebih mirip drama perebutan takhta daripada masalah administrasi.

Dua Kapten yang Berlayar ke Arah Berlawanan

Inti dari konflik ini adalah pertarungan antara dua lembaga utama: Nigerian Institute of Architects (NIA), asosiasi profesi, dan Architects Registration Council of Nigeria (ARCON), badan regulator pemerintah (, p.4). Mereka berselisih tentang siapa yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan ujian praktik profesional akhir—gerbang terakhir untuk menjadi arsitek berlisensi.  

Ironisnya, konflik ini dimulai dari masalah yang sah. Pada tahun 2015, NIA sendiri yang melaporkan adanya "kejanggalan dan anomali" dalam proses ujian mereka. Temuannya mengejutkan: ada "buku catatan (logbook) yang dinilai oleh non-arsitek," "buku catatan kosong yang sudah ditandatangani," dan berbagai pelanggaran lainnya (, p.5).  

Intervensi ARCON pada awalnya tampak wajar dan diperlukan untuk menjaga standar profesi. Namun, respons yang seharusnya menjadi upaya perbaikan bersama justru berubah menjadi perang dingin yang membekukan seluruh sistem selama delapan tahun. Tujuan bergeser dari "menjamin kualitas" menjadi "memenangkan kendali." Kedua belah pihak menjadi begitu terpaku pada posisi mereka sehingga mereka lupa pada tugas utama mereka: melayani profesi dan publik. Ini adalah studi kasus tragis tentang bagaimana ego institusional dapat menghancurkan hal yang seharusnya mereka lindungi.

Labirin Pendidikan Tanpa Pintu Keluar

Krisis ini tidak hanya terjadi di tingkat regulator, tetapi juga merambat jauh ke dalam sistem pendidikan. Salah satu masalah institusional yang diidentifikasi adalah universitas yang "menjalankan sekolah arsitektur padahal mereka belum memenuhi persyaratan NUC dan ARCON" (, p.10).  

Bayangkan menghabiskan lima tahun belajar, mengorbankan waktu dan biaya, untuk mendapatkan sebuah kunci, hanya untuk menemukan saat lulus bahwa kunci itu tidak cocok untuk satu pun pintu di seluruh negeri. Itulah kenyataan bagi banyak mahasiswa yang lulus dari program yang tidak terakreditasi.

Masalah ini diperparah oleh diskriminasi sistemik terhadap pemegang Higher National Diploma (HND), yang menghadapi rintangan luar biasa untuk mendapatkan lisensi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bergelar sarjana (BSc/MSc) dari universitas (, p.6, 11, 14). Sebuah negara yang sangat membutuhkan lebih banyak arsitek, pada saat yang sama, secara aktif menolak kualifikasi sebagian besar lulusannya sendiri. Ini bukan hanya tidak adil; ini adalah tindakan sabotase diri yang irasional dalam skala nasional. Alih-alih membangun sebanyak mungkin jembatan untuk mengatasi defisit, sistem ini justru sibuk membangun tembok.  

Yang Paling Mengejutkan Saya: Masalah "Generasi Tua"

Dari semua temuan dalam paper ini, ada satu hal yang benar-benar membuat saya terhenyak. Para peneliti menggunakan bahasa yang sangat lugas untuk menggambarkan masalah budaya di dalam profesi. Wawancara dengan para arsitek menunjuk pada "perebutan kekuasaan dan pertarungan pribadi," "kepentingan egois dari anggota senior," dan "ketakutan bahwa arsitek yang lebih muda dan lebih kompeten akan mengambil tempat mereka" (, p.1, 11).  

Di sini, saya harus menyuarakan opini pribadi saya. Ini adalah temuan yang paling menyedihkan. Ini bukan lagi tentang sistem yang gagal, tetapi tentang satu generasi pemimpin yang secara aktif menggagalkan generasi berikutnya karena kesombongan dan rasa tidak aman. Kurangnya bimbingan (mentorship) bukanlah sebuah kebetulan; itu adalah gejala dari budaya yang memandang talenta muda sebagai ancaman, bukan aset.

"Saya Masih Menderita": Suara dari Garis Depan Krisis

Paper ini tidak hanya berbicara tentang data, tetapi juga memberikan suara kepada 34 arsitek yang diwawancarai. Pengalaman mereka melukiskan gambaran penderitaan manusia di balik statistik yang dingin.

Seorang arsitek Provisional Stage II mengungkapkan kepedihannya: "Pada September 2016, saya lulus Ujian NIAPPE, dan hingga hari ini, ARCON menolak untuk mendaftarkan saya... Saya masih menderita akibat dari sesuatu yang seharusnya bisa dengan mudah diselesaikan oleh para eksekutif NIA/ARCON yang lebih tua dan berpengalaman." (, p.14).  

Perjuangan mereka bisa diringkas dalam beberapa poin kunci:

  • 🤯 Kekosongan Bimbingan: Para calon arsitek merasa berada "dalam jaring intrik yang tidak bisa dijelaskan" di antara dua "gajah raksasa" yang seharusnya membimbing mereka (, p.11). Bimbingan digambarkan sebagai sesuatu yang "langka" (, p.12).  

  • 💸 Mimpi Buruk Finansial dan Logistik: Para kandidat menghadapi rintangan besar, mulai dari sulitnya mencari sponsor yang memenuhi syarat secara finansial hingga harus menempuh "perjalanan panjang ke Abuja" untuk ujian yang terpusat (, p.12, 13). Sistem ini seolah dirancang untuk menyulitkan penggunanya.  

  • Penderitaan Menanti: Bertahun-tahun hidup mereka hilang hanya untuk "menyaksikan perseteruan antara NIA dan ARCON" (, p.14), dengan karier, keuangan, dan kesehatan mental mereka di ujung tanduk.  

Secercah Harapan: Cetak Biru untuk Membangun Kembali

Setelah memaparkan masalahnya secara mendalam, paper ini beralih dari kegelapan menuju cahaya. Para peneliti tidak hanya mengkritik; mereka menawarkan sebuah kerangka kerja solusi yang komprehensif dan penuh harapan.

Jalan yang Adil untuk Setiap Lulusan

Solusi yang diusulkan bersifat sistemik, bukan sekadar "mari berdamai." Para peneliti merancang ulang seluruh jalur pipa profesional, mulai dari hulu hingga hilir. Mereka mengusulkan kerangka kerja yang jelas dengan jalur yang berbeda untuk lulusan HND, BSc, dan MSc, yang bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi dan kebingungan (, p.14-19).  

Salah satu inovasi utamanya adalah gagasan "Finishing school for all categories of graduates" (sekolah pemantapan untuk semua kategori lulusan) (, p.18, 19). Ini adalah pengakuan bahwa gelar akademis saja tidak cukup. Seperti pengacara yang magang atau dokter yang menjalani residensi, sekolah pemantapan ini akan menjembatani kesenjangan krusial antara teori di kampus dan praktik di dunia nyata. Bagi mereka yang ingin secara proaktif menjembatani kesenjangan ini, mengikuti kursus pengembangan profesional seperti yang ditawarkan oleh  

(https://www.diklatkerja.com/) bisa menjadi langkah awal yang vital untuk memperoleh keterampilan praktis yang siap kerja.

Ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak pernah hanya soal pertarungan politik; pertarungan itu hanyalah gejala dari sistem yang dirancang dengan buruk. Solusi yang diusulkan bersifat holistik, bertujuan untuk memperbaiki cacat struktural yang mendasarinya.

Pandangan Saya tentang Solusi Ini (dan Apa yang Hilang)

Saya memuji kerangka kerja ini karena sangat teliti dan adil. Ini adalah cetak biru yang logis dan beralasan. Namun, saya punya satu kritik halus: paper ini menyediakan "apa" yang harus dilakukan, tetapi tidak bisa menjamin "bagaimana" itu akan dilakukan. Keberhasilan seluruh kerangka kerja ini bergantung pada kemauan politik dari para pemimpin yang sama, yang telah melanggengkan krisis selama delapan tahun, untuk akhirnya berkolaborasi dan melepaskan kontrol absolut. Paper ini adalah analisis teknis dan sosial yang brilian, tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah kemauan politik. Cetak birunya sempurna, tetapi para pembangunnya adalah orang-orang yang sama yang membiarkan rumah tua itu runtuh.

Pelajaran Universal: Mengapa Kisah Nigeria Ini Penting di Mana Saja

Pada akhirnya, ini bukan hanya cerita tentang arsitek di Nigeria. Ini adalah studi kasus universal dengan pelajaran bagi para profesional di bidang apa pun, di mana pun di dunia.

  • 🚀 Hasilnya: Kebuntuan selama delapan tahun menciptakan krisis keselamatan publik dan menghambat pembangunan sebuah negara. Ini menunjukkan bagaimana politik internal dapat memiliki konsekuensi eksternal yang menghancurkan.

  • 🧠 Inovasinya: Solusinya bukan sekadar gencatan senjata; ini adalah desain ulang total jalur profesional, dari pendidikan hingga lisensi, yang berfokus pada inklusivitas dan keterampilan praktis.

  • 💡 Pelajaran: Ketika badan profesi lupa bahwa mereka ada untuk melayani anggota dan publik, mereka berubah menjadi penjaga gerbang yang egois. Kisah ini adalah peringatan keras terhadap ego institusional dan pentingnya membangun sistem yang dirancang untuk manusia, bukan untuk kekuasaan.

Sekarang Giliranmu untuk Membangun

Jika cerita ini memicu sesuatu dalam dirimu, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper akademis lengkapnya. Tingkat detailnya sangat menarik dan membuka mata. Renungkanlah industrimu sendiri. Apakah ada "perebutan kekuasaan" serupa atau sistem rusak yang menahan orang lain? Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?

(https://doi.org/10.1007/s44290-024-00078-8)