Bukan Siapa yang Lebih Rajin, Tapi Siapa yang Lebih Efisien: Pelajaran Mengejutkan dari Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

21 Oktober 2025, 14.35

Bukan Siapa yang Lebih Rajin, Tapi Siapa yang Lebih Efisien: Pelajaran Mengejutkan dari Proyek Konstruksi

Bukan Sekadar Angka, Tapi Wajah di Balik Helm Proyek

Sebelum kita masuk ke hasil yang mengejutkan, mari kita lihat dulu 'laboratorium' tempat penelitian ini berlangsung. Ini bukan simulasi komputer, melainkan proyek nyata: pembangunan tujuh gedung kuliah baru di Universitas Malikussaleh, Aceh. Skalanya besar, melibatkan total 600 pekerja yang dibagi menjadi 250 pekerja lokal dan 350 pekerja non-lokal. Ini adalah panggung yang sempurna untuk melihat dinamika kedua kelompok dalam kondisi nyata.   

Para peneliti tidak hanya menghitung bata yang terpasang. Mereka juga mengumpulkan data tentang siapa para pekerja ini. Dan potret yang muncul sangat menarik. Lupakan gambaran pekerja amatir atau pemula. Bayangkan seorang pria, usianya mungkin sekitar 40 tahun (mayoritas berusia 36-45 tahun). Ia kemungkinan besar lulusan SMA (62,50%). Dan ini bukan proyek pertamanya; ia punya pengalaman segudang, terutama dalam membangun gedung (91,07%).   

Ini poin yang sangat penting. Perbandingan yang dilakukan bukan antara amatir dan profesional. Ini adalah pertarungan antara dua kelompok profesional berpengalaman yang hanya dibedakan oleh asal mereka. Fakta ini membuat hasil penelitian menjadi jauh lebih kuat, karena kita bisa menyingkirkan variabel "kurang pengalaman" atau "terlalu muda". Apa pun perbedaan produktivitas yang ditemukan, itu pasti berasal dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih menarik daripada sekadar kompetensi dasar.

Hasil yang Memutarbalikkan Logika: Siapa Unggul di Mana?

Di sinilah segalanya menjadi sangat menarik. Para peneliti mengamati tiga jenis pekerjaan kunci: memasang dinding bata, memplester dinding, dan memasang keramik lantai. Awalnya, ceritanya tampak berjalan sesuai salah satu stereotip.

Tembok dan Plesteran: Kemenangan Mengejutkan Tim Pendatang

Saat para peneliti mengamati pekerjaan mendasar—membangun struktur—hasilnya jelas. Untuk pekerjaan memasang dinding bata, tim non-lokal bekerja 34,57% lebih cepat.   

Angka 34,57% mungkin terdengar abstrak. Mari kita buat nyata. Bayangkan jika dalam waktu yang sama tim lokal bisa membangun tiga dinding, tim non-lokal sudah hampir menyelesaikan dinding keempat mereka. Dalam skala proyek pembangunan tujuh gedung, ini adalah perbedaan efisiensi yang masif. Pola yang sama, meski tidak sedramatis itu, berlanjut pada pekerjaan plesteran, di mana tim non-lokal unggul 7,20%.   

Sampai di sini, mudah sekali untuk menyimpulkan: "Oke, jelas. Pekerja pendatang lebih produktif." Kasus ditutup. Tapi jika kita berhenti di sini, kita akan melewatkan bagian paling penting dari cerita ini.

Sentuhan Akhir: Plot Twist dari Tim Lokal

Ketika tiba saatnya memasang keramik lantai—pekerjaan yang butuh ketelitian, kesabaran, dan sentuhan akhir—situasinya berbalik 180 derajat. Tim lokal ternyata 16,48% lebih cepat daripada rekan-rekan mereka yang non-lokal.   

Tiba-tiba, narasi sederhana "pendatang lebih baik" hancur berkeping-keping. Ini bukan lagi cerita tentang siapa yang lebih baik secara umum. Ini adalah cerita tentang siapa yang lebih baik dalam hal apa. Gambaran hitam-putih yang kita miliki di awal kini menjadi penuh warna dan nuansa.

Mitos 'Lebih Rajin' yang Akhirnya Terbantahkan

Pikiran pertama yang mungkin muncul adalah: "Apakah tim non-lokal lebih rajin saat mengerjakan dinding, dan tim lokal lebih rajin saat memasang keramik?" Ini adalah pertanyaan yang wajar, dan untungnya, para peneliti punya data untuk menjawabnya.

Mereka mengukur sesuatu yang disebut Rasio Pemanfaatan Tenaga Kerja atau Labor Utilization Ratio (LUR). Dalam bahasa manusiawi, ini pada dasarnya adalah 'tingkat kesibukan'—berapa persen waktu mereka yang benar-benar dihabiskan untuk bekerja efektif atau berkontribusi pada pekerjaan. Jika satu kelompok punya LUR jauh lebih tinggi, berarti mereka memang bekerja lebih keras.   

Dan hasilnya? LUR untuk pekerja lokal adalah 25,5%, sedangkan untuk pekerja non-lokal adalah 25,8%. Perbedaannya hanya 0,3%! Ini adalah temuan yang paling krusial. Artinya, kedua kelompok sama-sama 'sibuk'. Mereka bekerja sama kerasnya. Perbedaan produktivitas yang dramatis itu tidak datang dari usaha, tapi dari efisiensi pada tugas-tugas tertentu.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Pekerja non-lokal 34,57% lebih cepat pasang bata, tapi pekerja lokal 16,48% lebih unggul pasang keramik.

  • 🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan bahwa "produktivitas" bukanlah satu ukuran tunggal. Ia sangat bergantung pada jenis tugasnya.

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak asumsi "siapa lebih rajin". Fokus pada "siapa lebih efisien di tugas apa".

Pelajaran untuk Kita Semua: Dari Proyek Konstruksi hingga Meja Kantor Anda

Mungkin Anda berpikir, "Ini menarik, tapi saya bukan mandor proyek. Apa relevansinya untuk saya?" Relevansinya sangat besar. Prinsip di balik temuan ini bersifat universal dan bisa mengubah cara Anda memimpin tim, mendelegasikan tugas, dan bahkan melihat karier Anda sendiri.

Kekuatan Spesialisasi di Atas Stereotip

Apa yang kita saksikan di proyek Aceh ini bukanlah kompetisi, melainkan demonstrasi kekuatan spesialisasi yang tidak disengaja. Paper ini tidak menjelaskan 'mengapa', tapi kita bisa berhipotesis. Mungkin saja para pekerja non-lokal sering dipekerjakan untuk proyek-proyek besar yang fokus pada kecepatan pembangunan struktur, sehingga mereka mengasah efisiensi di area itu. Sebaliknya, pekerja lokal mungkin lebih sering menangani renovasi atau proyek skala kecil yang membutuhkan keahlian finishing yang presisi.

Sekarang, lihat tim Anda. Apakah Anda menugaskan pekerjaan berdasarkan jabatan atau berdasarkan keahlian tersembunyi? Apakah si 'analis data' di tim Anda sebenarnya adalah komunikator terbaik yang seharusnya mempresentasikan temuan, bukan hanya mengolah angka? Apakah si 'penulis konten' punya bakat luar biasa dalam mengorganisir proyek yang selama ini terpendam?

Pelajaran dari studi ini jelas: manajemen yang efektif adalah tentang mencocokkan tugas dengan bakat yang sesungguhnya, bukan dengan label atau stereotip.

Mengelola Tim dengan Data, Bukan Perasaan

Tanpa data observasi yang cermat, seorang mandor proyek mungkin akan menyimpulkan berdasarkan 'perasaan'. Ia mungkin akan berkata, "Tim pendatang lebih gesit," tanpa menyadari bahwa ia kehilangan efisiensi 16% di setiap meter persegi pemasangan keramik. Perasaan bisa menipu, tapi angka tidak.

Melihat data konkret seperti ini menegaskan betapa pentingnya manajemen proyek yang objektif, sebuah keahlian yang menjadi fokus utama dalam banyak program pengembangan profesional. Kemampuan untuk mengukur, menganalisis, dan bertindak berdasarkan data, bukan asumsi, adalah yang membedakan manajer baik dari manajer hebat. Ini adalah inti dari apa yang diajarkan dalam kursus-kursus manajemen modern, seperti yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com).

Anda tidak perlu menjadi peneliti untuk menerapkan ini. Mulailah mengumpulkan "data" Anda sendiri. Bisa jadi sesederhana mengamati atau bahkan bertanya langsung pada tim Anda: "Di tugas mana kamu merasa paling mengalir? Pekerjaan apa yang membuat waktu terasa cepat berlalu?" Jawaban mereka adalah data paling berharga yang bisa Anda miliki.

Refleksi dan Kritik Halus: Apa yang Belum Terjawab?

Harus diakui, kekuatan penelitian ini terletak pada ketelitian metodologinya. Para peneliti tidak hanya mengamati dan mencatat. Mereka menggunakan model statistik canggih bernama Structural Equation Modeling (SEM) dengan software AMOS dan melakukan serangkaian uji untuk memastikan model mereka 'Good Fit' dengan data. Ini memberikan bobot ilmiah yang kuat pada temuan mereka.   

Namun, di sinilah letak keindahan sekaligus keterbatasannya. Paper ini dengan brilian menjawab pertanyaan 'Apa' dan 'Seberapa banyak', tapi menyisakan pertanyaan besar: 'Mengapa?'

Mengapa pekerja non-lokal lebih cepat memasang bata? Apakah karena metode pelatihan yang berbeda? Pengalaman dari jenis proyek yang berbeda di daerah asal mereka? Adakah faktor budaya kerja? Data kuantitatif tidak bisa menjawab ini. Kita kehilangan cerita, wawancara, dan kutipan langsung dari para pekerja yang bisa memberikan 'daging' pada 'tulang' data ini.

Selain itu, meskipun temuan utamanya hebat, cara analisisnya dengan istilah seperti 'CMIN/DF' sebesar 3,076 atau 'RMSEA' sebesar 0,255  agak terlalu abstrak untuk manajer di lapangan. Inilah mengapa menerjemahkan temuan akademis seperti ini ke dalam bahasa yang lebih manusiawi menjadi sangat penting.   

Kesimpulan: Berhenti Bertanya 'Siapa', Mulai Bertanya 'Untuk Apa'

Jika ada satu hal yang bisa kita bawa pulang dari tumpukan bata dan keramik di Aceh, itu adalah ini: kita sering kali mengajukan pertanyaan yang salah. Kita terobsesi dengan pertanyaan "Siapa pekerja terbaik?"

Studi dari Universitas Malikussaleh ini mengajarkan kita untuk berhenti dan mulai mengajukan pertanyaan yang jauh lebih kuat: "Siapa pekerja terbaik untuk tugas ini?"

Di tim Anda, di perusahaan Anda, pergeseran pertanyaan sederhana ini bisa menjadi kunci untuk membuka tingkat produktivitas dan kepuasan kerja yang belum pernah Anda bayangkan. Ini adalah tentang melihat manusia bukan sebagai sumber daya yang seragam, tetapi sebagai individu dengan puncak keahlian yang unik.

Lain kali Anda akan membagi tugas, berhentilah sejenak. Pikirkan bukan hanya tentang siapa yang 'seharusnya' mengerjakan itu sesuai jabatannya, tapi tentang siapa yang punya bakat, efisiensi, dan mungkin 'rasa mengalir' yang tersembunyi untuk itu. Anda mungkin akan terkejut dengan hasilnya.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan. Kalau Anda tertarik dengan detail metodologi dan data lengkapnya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya.

(http://dx.doi.org/10.29103/tj.v14i1.1082)