Behavior Based Safety dalam Industri Modern: Analisis Faktor Manusia, Budaya Keselamatan, dan Strategi Pengurangan Human Error

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

08 Desember 2025, 12.11

1. Pendahuluan: Mengapa Behavior Based Safety Menjadi Kebutuhan Industri Modern

Keselamatan kerja tidak lagi dipahami hanya sebagai penerapan prosedur teknis, penggunaan alat pelindung diri, atau inspeksi rutin. Dalam praktik industri modern, lebih dari 80% kecelakaan kerja berkaitan dengan faktor manusia—termasuk keputusan, kebiasaan, persepsi risiko, hingga tekanan sosial di lingkungan kerja. Pelatihan menekankan bahwa pendekatan teknis saja tidak cukup; diperlukan pendekatan behavioral, yang melihat manusia bukan sekadar operator mesin, tetapi sebagai agen aktif yang perilakunya dapat dipengaruhi oleh lingkungan, budaya organisasi, dan sistem penghargaan.

Di sinilah Behavior Based Safety (BBS) memainkan peran strategis. BBS adalah pendekatan keselamatan kerja yang berfokus pada:

  • identifikasi perilaku berbahaya,

  • penguatan perilaku aman,

  • analisis penyebab perilaku (bukan menyalahkan individu),

  • intervensi berbasis data,

  • dan membangun budaya keselamatan jangka panjang.

Dalam banyak industri—minyak dan gas, manufaktur berat, konstruksi, kimia—BBS menjadi standar operasional karena terbukti menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan partisipasi pekerja. BBS juga selaras dengan prinsip Just Culture, yang memisahkan human error dari negligence, sehingga mendorong pelaporan tanpa rasa takut.

Pada era otomasi dan digitalisasi sekalipun, peran manusia tetap sentral. Interaksi manusia–mesin, keputusan spontan, serta tekanan waktu membuat potensi human error tetap tinggi. Maka, memahami psikologi perilaku, motivasi, dan pola kebiasaan menjadi salah satu fondasi keselamatan kerja yang tidak dapat diabaikan.

Pendekatan ini tidak hanya memperbaiki perilaku individu, tetapi juga mengubah budaya keselamatan (safety culture) perusahaan menjadi lebih proaktif, adaptif, dan partisipatif.

2. Konsep Dasar Behavior Based Safety: Human Error, Teori ABC, dan Faktor Pembentuk Perilaku

Pelatihan menjelaskan bahwa penerapan BBS dimulai dari pemahaman struktur perilaku manusia. Tanpa memahami mengapa seseorang berperilaku tidak aman, setiap intervensi hanya akan menjadi aturan dangkal yang mudah dilanggar atau dilupakan. Maka, pendekatan BBS dibangun dari tiga fondasi utama:

2.1 Human Error: Kesalahan sebagai Konsekuensi Sistem, Bukan Penyebab Utama

Human error sering dianggap sebagai akar masalah kecelakaan, padahal pelatihan menegaskan bahwa human error adalah gejala, bukan penyebab utama. Kesalahan manusia dapat muncul dari:

  • lingkungan kerja yang tidak mendukung,

  • prosedur yang tidak realistis,

  • tekanan waktu,

  • kelelahan,

  • norma sosial di antara rekan kerja,

  • pelatihan yang tidak memadai,

  • insentif yang salah arah.

Dalam pendekatan BBS, kesalahan manusia dianalisis pada tingkat yang lebih dalam:

a. Skill-Based Error

Kesalahan otomatis karena rutinitas, seperti terpeleset atau salah menekan tombol.

b. Rule-Based Error

Menerapkan aturan yang salah atau melanggar aturan karena dianggap “lebih cepat” atau “aman menurut pengalaman”.

c. Knowledge-Based Error

Terjadi saat operator menghadapi situasi baru dan harus mengambil keputusan tanpa referensi yang jelas.

Pendekatan ini membantu tim keselamatan melihat kesalahan sebagai produk interaksi manusia dengan sistem, bukan semata-mata kelalaian individu.

2.2 Teori ABC (Activator–Behavior–Consequence): Model Inti dalam BBS

Konsep ABC merupakan inti dari Behavior Based Safety.

A – Activator

Pemicu yang mendorong seseorang bertindak, misalnya:

  • instruksi kerja,

  • rambu keselamatan,

  • briefing pagi,

  • tekanan waktu,

  • contoh perilaku rekan kerja.

Activator memberi arah, tetapi tidak menjamin perilaku yang aman.

B – Behavior

Perilaku aktual pekerja saat melakukan tugas, seperti:

  • memakai atau tidak memakai APD,

  • bekerja sesuai SOP,

  • menjaga jarak aman,

  • mematikan alat sebelum perbaikan.

Semua perilaku dapat diamati dan diukur.

C – Consequence

Konsekuensi yang memperkuat atau melemahkan perilaku, seperti:

  • pujian,

  • teguran,

  • penghargaan tim,

  • waktu kerja lebih cepat (insentif tidak langsung),

  • rasa puas,

  • kecelakaan kecil (yang sering diabaikan).

Pelatihan menekankan bahwa perilaku lebih ditentukan oleh konsekuensinya ketimbang pemicunya. Karena itu, perusahaan perlu mengelola konsekuensi dengan tepat: memperkuat perilaku aman dan melemahkan perilaku berisiko.

2.3 Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Berisiko

Sebagian besar perilaku tidak aman bukan berasal dari niat jahat atau ketidakpedulian pekerja, tetapi dari kombinasi faktor psikologis, sistem, dan budaya.

a. Kebiasaan dan Rutinitas

Semakin sering tugas dilakukan, semakin otomatis perilaku terbentuk—baik aman maupun berbahaya.

b. Social Pressure

Tekanan dari rekan kerja untuk bekerja lebih cepat atau “mengakali” prosedur.

c. Persepsi Risiko

Banyak pekerja menilai risiko berdasarkan pengalaman, bukan probabilitas nyata.

d. Lingkungan Fisik

Gudang berantakan, pencahayaan kurang, atau alat rusak meningkatkan peluang perilaku berbahaya.

e. Insentif yang Tidak Tepat

Target produksi berlebihan dapat mendorong tim mengabaikan SOP.

Analisis faktor-faktor ini membantu merancang intervensi BBS yang akurat, terarah, dan berkelanjutan.

2.4 Observasi Perilaku sebagai Instrumen Diagnostik Utama

Salah satu teknik inti BBS adalah observasi perilaku (behavioral observation). Observasi dilakukan bukan untuk menghukum, tetapi untuk:

  • memahami kebiasaan kerja,

  • mendeteksi perilaku berisiko,

  • memberi umpan balik langsung,

  • membangun komunikasi antara observer dan pekerja.

Observasi yang baik bersifat:

  • konsisten,

  • objektif,

  • tidak menghakimi,

  • fokus pada tindakan nyata.

Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk memahami pola risiko dan menjadi dasar intervensi organisasi.

 

3. Penerapan Behavior Based Safety: Observasi, Umpan Balik, dan Intervensi Perilaku

Penerapan Behavior Based Safety (BBS) bukan sekadar menerapkan checklist observasi atau memberi pelatihan formal. Inti BBS adalah perubahan perilaku yang berkelanjutan melalui pendekatan ilmiah, konsistensi operasional, dan keterlibatan seluruh tingkatan organisasi. Pelatihan menjelaskan bahwa perubahan budaya keselamatan dimulai dari interaksi kecil di lapangan—cara supervisor memberi umpan balik, respons operator terhadap risiko, hingga bagaimana organisasi menanggapi kesalahan.

3.1 Observasi Perilaku: Fondasi Diagnostik dalam BBS

Observasi merupakan metode utama untuk mengenali pola risiko. Tujuannya bukan mencari kesalahan individu, tetapi memahami alasan perilaku terjadi.

Karakteristik observasi efektif:

  • Terencana: dilakukan pada aktivitas yang berisiko tinggi atau rutin.

  • Terbuka: pekerja mengetahui bahwa observasi adalah bagian dari program keselamatan, bukan penilaian individu.

  • Konsisten: dilakukan berkala agar menghasilkan data tren, bukan snapshot.

  • Terlacak: setiap hasil observasi dicatat untuk dianalisis.

Observasi dapat dilakukan oleh:

  • supervisor,

  • operator senior,

  • anggota tim K3,

  • atau observer khusus yang dilatih.

Metode seperti STOP (Safety Training Observation Program) atau DuPont Safety Observation Process sering digunakan untuk membangun interaksi keselamatan yang terstruktur.

3.2 Memberikan Umpan Balik (Feedback) yang Efektif

Feedback adalah inti dari BBS. Umpan balik yang tepat dapat memperkuat perilaku aman dan mengubah persepsi risiko.

Ciri umpan balik yang efektif:

  1. Segera (Immediate)
    Diberikan langsung setelah perilaku diamati agar pesan lebih relevan.

  2. Spesifik (Specific)
    Bukan "kerjamu tidak aman", tetapi "posisi tangan tadi terlalu dekat dengan area pinch point".

  3. Positif (Positive Reinforcement)
    Lebih sering memperkuat perilaku aman dibanding sekadar menegur perilaku tidak aman.

  4. Bersifat dialog
    Mengajak operator menjelaskan alasan ia melakukan tindakan tertentu.

  5. Tidak menghakimi
    Fokus pada tindakan, bukan karakter individu.

Pendekatan ini mendorong pekerja untuk merasa dihargai dan lebih terbuka untuk berubah.

3.3 Intervensi Perilaku: Mengubah Lingkungan dan Sistem untuk Mendukung Perilaku Aman

BBS menekankan bahwa perilaku tidak terjadi di ruang hampa; ia dipengaruhi oleh sistem. Maka intervensi harus menyasar:

a. Lingkungan Fisik

  • memperbaiki pencahayaan,

  • mengatur ulang tata letak,

  • memperbaiki alat yang rusak,

  • menciptakan jalur aman untuk pejalan kaki.

b. Prosedur dan SOP

  • menyederhanakan SOP yang terlalu rumit,

  • memastikan SOP mencerminkan realitas kerja,

  • menyediakan visual aid (gambar, warna, label).

c. Sistem Penghargaan

Penguatan positif melalui:

  • pengakuan tim,

  • penghargaan bulanan,

  • insentif berbasis keselamatan,

  • apresiasi informal dari supervisor.

Namun pelatihan menekankan bahwa penghargaan harus berbasis perilaku dan observasi, bukan sekadar zero accident (yang dapat memicu under-reporting).

d. Sistem Pelaporan dan Just Culture

Operator harus merasa aman melaporkan:

  • near miss,

  • unsafe conditions,

  • unsafe behavior.

Organisasi dengan budaya menghukum akan mendorong pekerja menyembunyikan risiko.

3.4 Mekanisme Keterlibatan Pekerja (Employee Involvement)

Keberhasilan BBS sangat ditentukan oleh sejauh mana pekerja memiliki:

  • sense of ownership,

  • kesadaran risiko,

  • partisipasi dalam observasi dan diskusi,

  • keterlibatan dalam pengambilan keputusan keselamatan.

Pelatihan menekankan pembentukan Safety Committee yang beranggotakan perwakilan operator, supervisor, dan manajemen. Komite ini bertugas:

  • meninjau data observasi,

  • mengidentifikasi tren,

  • menetapkan prioritas perbaikan,

  • memonitor keterlibatan pekerja.

Pelibatan langsung mendorong pekerja melihat keselamatan sebagai bagian dari identitas kerja, bukan instruksi dari atasan.

4. Evaluasi Keberhasilan BBS: Indikator, Dampak, dan Tantangan Implementasi

Keberhasilan Behavior Based Safety tidak bisa diukur hanya dengan penurunan angka kecelakaan. BBS adalah program perubahan perilaku dan budaya, sehingga indikator keberhasilan harus mencakup dimensi kualitatif dan kuantitatif.

4.1 Indikator Keberhasilan dalam Program BBS

Terdapat beberapa KPI yang digunakan dalam evaluasi BBS:

a. Leading Indicators (Indikator Proaktif)

  1. Jumlah dan kualitas observasi
    Menilai keterlibatan pekerja serta konsistensi program.

  2. Persentase perilaku aman
    Mengukur progres terhadap perubahan kebiasaan.

  3. Jumlah laporan near miss
    Peningkatan near miss biasanya menunjukkan budaya pelaporan yang sehat.

  4. Partisipasi pekerja
    Mengukur kehadiran dalam toolbox meeting, feedback session, dan komite keselamatan.

b. Lagging Indicators (Indikator Reaktif)

  • jumlah kecelakaan (recordable incident),

  • hari kerja hilang (lost time injury),

  • keparahan insiden,

  • biaya kecelakaan.

BBS yang efektif menunjukkan tren menurun pada lagging indicators, namun peningkatan pada leading indicators.

4.2 Dampak Implementasi BBS di Industri

Studi empiris menunjukkan berbagai manfaat penerapan BBS:

1. Penurunan Human Error

Karena perilaku berbahaya dapat diidentifikasi lebih awal.

2. Peningkatan Kepatuhan SOP

Melalui reinforcement positif dan observasi lapangan rutin.

3. Budaya Keselamatan yang Lebih Kuat

Pekerja menjadi lebih sadar risiko dan lebih terbuka memberikan umpan balik.

4. Komunikasi yang Lebih Baik antara Supervisor dan Operator

Interaksi rutin selama observasi meningkatkan hubungan kerja.

5. Penurunan biaya kecelakaan dan downtime

Kecelakaan yang berkurang berarti hilangnya jam kerja, kompensasi, dan kerusakan alat juga berkurang.

4.3 Tantangan Implementasi BBS

Pelatihan menyinggung bahwa program BBS sering gagal bukan karena konsepnya salah, tetapi karena implementasinya tidak konsisten.

a. Kurangnya komitmen manajemen

Tanpa dukungan manajemen, program mudah kehilangan momentum.

b. Budaya menyalahkan (blame culture)

Menghambat pelaporan dan membuat pekerja enggan terlibat.

c. Observasi yang bersifat formalitas

Jika observer hanya “menyelesaikan checklist”, kualitas data buruk.

d. Insentif yang salah

Program yang berfokus pada zero accident dapat memicu manipulasi data.

e. Resistensi pekerja

Karena menganggap BBS sebagai upaya mengawasi, bukan membantu.

4.4 BBS sebagai Bagian dari Sistem Keselamatan Terintegrasi

BBS bukan pengganti sistem keselamatan teknis, tetapi pelengkap. Ia bekerja bersama:

  • Hierarchy of Control,

  • Engineering control,

  • PPE program,

  • HAZOP/HAZID,

  • Permit to Work,

  • Sistem investigasi insiden.

Pendekatan ini memperkuat sistem keselamatan dengan meminimalkan human error dan meningkatkan keterlibatan pekerja.

 

5. Strategi Implementasi Behavior Based Safety yang Efektif dan Berkelanjutan

Keberhasilan Behavior Based Safety (BBS) bergantung pada kemampuan organisasi menerapkan pendekatan ini secara konsisten, terukur, dan berbasis kolaborasi. BBS bukan program yang selesai dalam satu kali pelatihan, tetapi sebuah transformasi budaya yang membutuhkan waktu, komitmen, dan struktur pengelolaan. Pelatihan menekankan bahwa implementasi BBS harus memadukan aspek teknis, psikologis, dan organisasi agar perubahan perilaku dapat bertahan jangka panjang.

5.1 Tahapan Implementasi BBS yang Terstruktur

Implementasi BBS yang efektif biasanya mengikuti beberapa tahapan inti:

1. Komitmen Manajemen dan Pembentukan Tim Inti

Manajemen puncak harus:

  • mendukung pendekatan non-punitif,

  • terlibat aktif dalam kampanye keselamatan,

  • menyediakan waktu dan sumber daya untuk observasi dan pelatihan.

Tim inti BBS dibentuk dari berbagai level: K3, supervisor, operator senior, HR, dan perwakilan manajemen.

2. Penentuan Perilaku Kritis (Critical Behaviors)

Perilaku yang menentukan keselamatan ditetapkan melalui:

  • analisis insiden sebelumnya,

  • observasi lapangan,

  • diskusi dengan operator,

  • rekomendasi tim K3.

Critical behaviors mencakup aspek seperti:

  • penggunaan APD,

  • penguncian mesin sebelum perbaikan (lockout-tagout),

  • posisi tubuh aman,

  • kontrol energi berbahaya,

  • penggunaan alat kerja sesuai prosedur.

Daftar perilaku ini menjadi dasar checklist observasi.

3. Pelatihan Observer

Observer harus memahami:

  • teknik observasi objektif,

  • cara memberi umpan balik positif,

  • cara melakukan interaksi aman (non-blaming),

  • pencatatan data yang akurat.

Pelatihan ini penting karena kualitas observasi menentukan akurasi analisis BBS.

4. Observasi Lapangan dan Pengumpulan Data

Observasi dilakukan:

  • pada aktivitas rutin,

  • aktivitas berisiko tinggi,

  • pekerjaan non-rutin,

  • atau saat pergantian shift.

Data yang dikumpulkan meliputi:

  • jumlah perilaku aman/tidak aman,

  • faktor pemicu perilaku,

  • kondisi lingkungan,

  • saran pekerja.

Observasi harus diarahkan sebagai dialog, bukan inspeksi.

5. Umpan Balik Berbasis Penguatan Positif

Feedback diberikan secara:

  • langsung,

  • spesifik,

  • fokus pada tindakan,

  • mendorong pekerja untuk menjelaskan perspektifnya.

Organisasi kemudian mengembangkan strategi reinforcement seperti:

  • pengakuan mingguan,

  • penghargaan tim,

  • visual scoreboard indikator perilaku aman.

Reinforcement positif adalah mesin utama perubahan kebiasaan.

6. Analisis Data dan Penetapan Tindakan Perbaikan

Data observasi dianalisis untuk:

  • tren perilaku berbahaya,

  • area kerja paling rawan,

  • koreksi yang diperlukan pada prosedur,

  • kebutuhan pelatihan tambahan.

BBS yang efektif bersifat adaptif—intervensi disesuaikan berdasarkan data nyata, bukan asumsi manajemen.

5.2 Integrasi BBS dengan Sistem Keselamatan Lainnya

Behavior Based Safety bukan program yang berdiri sendiri. Ia harus terintegrasi dengan sistem K3 lain seperti:

  • Job Safety Analysis (JSA),

  • Permit-to-Work,

  • Lockout-Tagout,

  • Investigasi insiden,

  • HAZOP/HAZID,

  • Standar housekeeping,

  • SOP pemeliharaan.

Integrasi ini memastikan bahwa perubahan perilaku tidak bertentangan dengan kebijakan teknis atau prosedural perusahaan.

5.3 Tantangan Implementasi dan Cara Mengatasinya

Implementasi BBS sering kali menghadapi kendala seperti:

a. Persepsi bahwa BBS adalah "alat kontrol"

Pekerja bisa resisten jika mereka merasa diawasi.
Solusi: fokus pada dialog dan pembelajaran, bukan penilaian.

b. Observasi yang menjadi formalitas

Observer hanya mengisi checklist tanpa interaksi.
Solusi: latih observer untuk berkomunikasi dan memberikan feedback.

c. Kurangnya Follow-up dari data

Data dikumpulkan tetapi tidak diolah.
Solusi: jadwalkan pertemuan analisis rutin dan buat action plan.

d. Reward yang tidak tepat sasaran

Reward berbasis “zero accident” dapat memicu under-reporting.
Solusi: beri penghargaan pada perilaku, bukan angka kecelakaan.

e. Variasi kualitas observer

Beberapa observer sangat aktif, yang lain pasif.
Solusi: rotasi observer dan coaching berkala.

6. Kesimpulan Analitis: BBS sebagai Pilar Transformasi Budaya Keselamatan di Industri

Behavior Based Safety adalah pendekatan yang memandang pekerja bukan sebagai penyebab kecelakaan, tetapi sebagai mitra dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman. Dengan menggabungkan teori perilaku, analisis data, dan keterlibatan pekerja, BBS menciptakan sistem keselamatan yang tidak hanya reaktif, tetapi proaktif.

Dari keseluruhan analisis, dapat disimpulkan bahwa:

1. Human error adalah konsekuensi dari sistem, bukan akar penyebab.

BBS membantu mengurai mengapa perilaku berisiko muncul dan bagaimana mengatasinya melalui pendekatan non-punitif.

2. Teori ABC menyediakan kerangka ilmiah untuk memahami hubungan pemicu–perilaku–konsekuensi.

Pendekatan ini memungkinkan intervensi yang tepat sasaran dan bertahan lama.

3. Observasi lapangan dan umpan balik positif adalah alat utama perubahan perilaku.

Keduanya memperkuat kebiasaan aman dan memperbaiki kebiasaan berisiko.

4. BBS tidak mungkin berhasil tanpa keterlibatan pekerja.

Ketika pekerja menjadi bagian dari proses, budaya keselamatan berubah secara organik.

5. Program BBS yang efektif memerlukan komitmen manajemen, proses yang terstandardisasi, serta follow-up berbasis data.

6. Integrasi BBS dengan sistem keselamatan teknis menciptakan perlindungan ganda yang memperkuat budaya keselamatan perusahaan.

7. Dalam jangka panjang, BBS bukan hanya menurunkan angka kecelakaan, tetapi membangun organisasi yang lebih sadar risiko, kolaboratif, dan berorientasi keselamatan.

 

Daftar Pustaka

  1. Diklatkerja. K3 Industri Series #15: Behavior Based Safety (Keselamatan Kerja Berdasarkan Perilaku).

  2. Geller, E. S. (2001). The Psychology of Safety Handbook. CRC Press.

  3. Krause, T. R., Hidley, J. H., & Hodson, S. J. (1990). Behavior-Based Safety Process: Managing Involvement for an Injury-Free Culture. Van Nostrand Reinhold.

  4. Reason, J. (1997). Managing the Risks of Organizational Accidents. Ashgate.

  5. Cooper, M. D. (2009). “Behavioral Safety Interventions: A Review of Process Design Factors.” Safety Science.

  6. Dekker, S. (2014). The Field Guide to Understanding Human Error. CRC Press.

  7. Petersen, D. (2001). Techniques of Safety Management. ASSE.

  8. Heinrich, H. W., Petersen, D., & Roos, N. (1980). Industrial Accident Prevention: A Safety Management Approach. McGraw-Hill.

  9. Choudhry, R. M., Fang, D., & Mohamed, S. (2007). “The Nature of Safety Culture: A Survey of the State-of-the-Art.” Safety Science.

  10. Hale, A., & Hovden, J. (1998). “Management and Culture: The Third Age of Safety.” International Journal of Occupational Safety and Ergonomics.