Analisis Mengejutkan: IPAL Raksasa Medan Justru Jadi Pemicu Utama Kerusakan Lingkungan Air Tawar – Laporan Khusus

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Desember 2025, 18.11

unsplash.com

Audit Lingkungan: Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Prioritas Pembangunan Kota?

Kota Medan, sebagai ibu kota Sumatera Utara, terus menghadapi tantangan lingkungan yang membesar seiring pertumbuhan populasinya. Dengan jumlah penduduk yang meningkat signifikan dalam 15 tahun terakhir, produksi air limbah domestik pun melonjak, mengancam kualitas sumber air minum, air tanah, dan terutama sungai-sungai di kota tersebut.1 Menyadari ancaman ini, sejak tahun 1995, Medan telah mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Cemara di bawah pengawasan PDAM Tirtanadi, sebuah sistem terpusat yang dirancang untuk mengolah air limbah domestik, baik air hitam (black water) maupun air abu-abu (grey water).1

Untuk mengevaluasi kinerja infrastruktur vital ini secara objektif dan mendalam, sebuah penelitian menggunakan metodologi Life Cycle Assessment (LCA) dilakukan. LCA adalah teknik komprehensif yang menilai potensi dampak lingkungan dari suatu layanan—dalam hal ini, pengolahan air limbah—mulai dari air masuk (influent) hingga produk akhir dan limbah padat.1 Penelitian ini berfokus pada unit fungsional pengolahan $7.171~m^3$ air limbah per hari selama satu tahun.1 Hasilnya tidak sekadar mengukur efisiensi pembersihan, tetapi mengungkap sebuah kontradiksi struktural dan lingkungan yang kritis.

Kontradiksi Kapasitas versus Realitas Layanan

IPAL Cemara dibangun dengan potensi kemampuan pengolahan yang sangat besar, mencapai kapasitas maksimum $60.000~m^3$ per hari.1 Kapasitas terpasang ini menunjukkan ambisi pemerintah daerah untuk mengatasi masalah sanitasi secara menyeluruh. Namun, data operasional menunjukkan gambaran yang sangat kontras. Hingga saat penelitian dilakukan, IPAL Cemara hanya melayani sekitar 18.396 rumah tangga, dengan kapasitas yang digunakan kurang dari $10.000~m^3$ per hari.1 Hal ini berarti lebih dari 83 persen potensi pengolahan fasilitas ini tidak dimanfaatkan, menjadikannya sebuah investasi infrastruktur yang beroperasi jauh di bawah kapasitasnya.

Kondisi ini muncul bukan karena buruknya kinerja unit pengolahan, melainkan karena minimnya jangkauan infrastruktur koleksi. Jangkauan layanan IPAL Cemara tercatat sangat rendah, hanya 3,63 persen dari total air limbah domestik di Medan yang diolah oleh fasilitas ini.1 Di sisi lain, sekitar 96,37 persen rumah tangga di Medan masih mengandalkan sistem on-site, seperti tangki septik tradisional atau, yang lebih mengkhawatirkan, membuang air abu-abu secara langsung ke drainase terbuka. Kondisi mayoritas rumah tangga yang masih bergantung pada sistem pembuangan individu ini menjadi penyebab utama penurunan kualitas sungai yang kronis di kota tersebut.1

Jika infrastruktur koleksi, yaitu jaringan pipa pembuangan, tidak dibangun dan dikelola secara efektif, investasi besar pada teknologi pengolahan canggih di IPAL justru menjadi semacam "aset yang terdampar"—aset teknologi tinggi yang gagal mencapai tujuan utamanya karena cacat pada sistem penghubung hulu. Analisis ini menyoroti bahwa prioritas kebijakan publik di Medan saat ini seharusnya bergeser secara agresif dari fokus pada perbaikan teknologi pengolahan menjadi perluasan jaringan pipa untuk memastikan air limbah benar-benar sampai ke IPAL dan kapasitasnya dimaksimalkan.

 

Efisiensi Tinggi yang Tak Terbantahkan: Kualitas Air Melampaui Standa

Walaupun terdapat kegagalan dalam cakupan layanan, hasil penelitian LCA memberikan pengakuan penting terhadap kinerja teknis unit-unit pengolahan di IPAL Cemara. Fasilitas ini, ketika air limbah masuk, mampu mencapai efisiensi pembersihan yang sangat impresif, terutama pada parameter polutan konvensional.

Secara keseluruhan, kualitas air limbah yang telah diolah berhasil diturunkan jauh di bawah standar kualitas yang ditetapkan pemerintah.1 Unit utama yang bertanggung jawab atas proses pemurnian polutan organik adalah Aerated Pond (Kolam Berudara), yang menunjukkan efisiensi penghilangan Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) lebih dari 70 persen.1 Data keseluruhan menunjukkan bahwa air limbah yang dikeluarkan memiliki efisiensi reduksi sebesar 93 persen untuk BOD dan 93 persen untuk COD.1

Selain polutan organik, fasilitas ini juga sangat berhasil dalam menangani padatan dan kontaminan mikrobiologis. Total Suspended Solids (TSS), yang menunjukkan kekeruhan dan padatan tersuspensi, berhasil dikurangi hingga 99 persen secara keseluruhan. Pengurangan yang signifikan untuk TSS, sekitar 65 persen, terjadi di Reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB).1

Kinerja sanitasi menunjukkan hasil yang paling optimal. Total Koliform, yang merupakan indikator keberadaan patogen dan seringkali mencapai ratusan ribu Colony Forming Units (CFU) per 100 mililiter dalam air limbah masuk, berhasil direduksi hingga 100 persen, mencapai nilai yang jauh di bawah standar baku mutu efluen.1 Secara naratif, keberhasilan ini dapat diibaratkan seperti proses yang mengubah air limbah yang pada awalnya sepekat dan sekotor air kopi yang terkontaminasi patogen, menjadi air yang secara fisik bersih dan hampir bebas dari risiko kesehatan mendasar, semua tercapai dalam siklus operasional pengolahan. Kinerja ini menegaskan potensi besar IPAL Cemara jika dapat dioperasikan pada kapasitas penuh.

 

Kejutan Terbesar di Balik Data: 97 Persen Dampak Berasal dari Titik Akhir

Meskipun unit-unit IPAL Cemara menunjukkan kinerja pembersihan fisik dan organik yang luar biasa, analisis LCA melalui hasil ternormalisasi mengungkapkan sebuah ironi lingkungan yang mendalam. Efisiensi tinggi dalam menghilangkan BOD, COD, dan Koliform ternyata tidak sejalan dengan keberhasilan dalam menekan beban lingkungan secara keseluruhan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahap Release of Wastewater Effluent (Pelepasan Efluen Air Limbah) ke badan air penerima adalah kontributor dominan terhadap dampak lingkungan sistem IPAL Cemara secara keseluruhan.1 Secara kuantitatif, pelepasan air yang sudah diolah ini menyumbang 96,73 persen dari total dampak lingkungan ternormalisasi seluruh sistem.1

Angka 96,73 persen ini adalah temuan yang harus menjadi alarm kebijakan. Jika seluruh proses pengolahan air limbah dianggap sebagai serangkaian langkah yang sempurna, hampir sembilan setengah dari setiap sepuluh poin masalah lingkungan berbobot terberat yang ditimbulkan oleh IPAL ini sepanjang tahun justru terjadi pada momen pelepasan air ke perairan alam.1 Sebaliknya, total kontribusi dampak lingkungan dari seluruh tahap operasional mekanik—termasuk Screw Pump, Screening, Grit Chamber, UASB Reactor, Aerated Pond, dan Facultative Pond—hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan beban dampak.1

Kondisi ini menyajikan sebuah paradoks lingkungan: air yang tampak bersih (karena rendah BOD, COD, dan Koliform) ternyata membawa racun tersembunyi yang memiliki bobot dampak lingkungan jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembersihan yang dilakukan gagal mengatasi polutan yang memiliki potensi toksisitas atau dampak ketidakseimbangan nutrisi yang sangat tinggi, meskipun polutan konvensionalnya telah teratasi. Ini mengalihkan fokus dari volume polutan organik ke jenis polutan yang bersifat akut dan terkonsentrasi di titik akhir proses.

 

Racun Tak Terlihat: Skandal Ekotoksisitas dan Krisis Nitrogen di Sungai

Analisis lanjutan berdasarkan kategori dampak ternormalisasi menegaskan masalah ini. Dua kategori dampak lingkungan yang paling dominan dalam keseluruhan sistem IPAL Cemara adalah Freshwater Ecotoxicity (Ekotoksisitas Air Tawar) dan Eutrophication (Eutrofikasi), yang secara kolektif menyumbang lebih dari 90 persen dari total beban lingkungan.1

Ekotoksisitas Air Tawar: Dominasi Senyawa Tunggal

Dampak terbesar yang harus diwaspadai adalah Ekotoksisitas Air Tawar, yang bertanggung jawab atas 45,96 persen dari total dampak lingkungan IPAL Cemara.1 Penelitian ini berhasil mengidentifikasi biang keladi utamanya: pelepasan satu senyawa kimia spesifik.

Sebanyak 72 persen dari dampak Ekotoksisitas Air Tawar ini disebabkan oleh pelepasan Karbon Disulfida ($CS_2$) pada tahap efluen.1 $CS_2$ adalah senyawa kimia yang sangat beracun bagi organisme akuatik dan seringkali terkait dengan pelarut atau proses industri. Kehadiran $CS_2$ yang sangat dominan, menyumbang hampir tiga perempat dari toksisitas air, di dalam air limbah yang seharusnya hanya berasal dari domestik, memberikan indikasi kuat. Indikasi pertama adalah perlunya teknologi penyaringan yang lebih canggih yang mampu menghilangkan polutan mikrospesifik seperti $CS_2$, bukan hanya BOD dan TSS. Indikasi kedua yang lebih serius adalah kemungkinan adanya input air limbah non-domestik—seperti limbah industri atau komersial—yang tidak terkontrol dan mengandung konsentrasi $CS_2$ tinggi, yang masuk ke dalam sistem IPAL domestik. Kondisi ini menuntut pengawasan regulasi sumber limbah yang sangat ketat di Medan.

Eutrofikasi: Menumpuknya Pupuk di Ekosistem Sungai

Dampak lingkungan terbesar kedua adalah Eutrofikasi, yang menyumbang 44,04 persen dari total beban lingkungan.1 Eutrofikasi adalah fenomena pengayaan nutrisi berlebihan di perairan, yang memicu pertumbuhan alga secara masif, menurunkan kandungan oksigen, dan pada akhirnya merusak ekosistem akuatik.

Penyebab utama dampak Eutrofikasi ini adalah pelepasan nutrisi esensial dalam jumlah berlebih. Data menunjukkan bahwa Eutrofikasi didominasi oleh pelepasan Amonia ($NH_3$) sebesar 41,25 persen dan Nitrogen (N) sebesar 39,60 persen.1 Meskipun IPAL ini berhasil menghilangkan kotoran padat dan bakteri, tingginya konsentrasi nitrogen dan amonia yang dilepaskan ke sungai sama dampaknya dengan menuangkan pupuk kimia berlebihan ke ekosistem air. Kelebihan nutrisi ini menciptakan kondisi biologis yang tidak sehat, meskipun airnya jernih, yang secara signifikan memperparah masalah penurunan kualitas sungai di Medan.

 

Dilema Iklim: Kontribusi Metana dan Diesel dari Unit Pengolahan

Selain masalah toksisitas efluen, fase operasional IPAL Cemara juga menghasilkan jejak gas rumah kaca yang signifikan, terutama dari proses biologis dan kebutuhan energi mekanis.

Sumber Emisi Metana Biogenik

Unit-unit pengolahan air limbah yang melibatkan proses anaerobik (tanpa oksigen) atau fakultatif (oksigen terbatas) secara alami menghasilkan Metana ($CH_4$), sebuah gas rumah kaca biogenik yang memiliki potensi pemanasan global jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida ($CO_2$).

  • Kolam Fakultatif: Unit ini merupakan kontributor terbesar terhadap dampak Climate Change dalam fase operasional, menyumbang 49 persen dari total dampak iklim unit proses. Selain itu, kolam ini juga menyumbang 31 persen dari dampak Photo-Oxidant Formation, yang semuanya disebabkan oleh produksi $CH_4$ tertinggi.1

  • Reaktor UASB: Unit ini, yang juga menunjukkan efisiensi tinggi dalam pengurangan TSS, merupakan kontributor signifikan bagi dampak lingkungan terkait iklim. Reaktor UASB menyumbang 16,63 persen dari dampak Climate Change dan 29,34 persen dari dampak Photo-Oxidant Formation, juga dikarenakan produksi $CH_4$ yang tinggi.1

Secara kumulatif, unit-unit yang menghasilkan gas biogenik ini menyumbang lebih dari dua pertiga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh seluruh proses pengolahan air limbah. Produksi $CH_4$ yang tinggi ini, terutama dari Kolam Fakultatif dan Reaktor UASB, mewakili peluang yang terlewatkan. Metana yang saat ini dilepaskan ke atmosfer seharusnya dapat ditangkap dan dimanfaatkan sebagai biogas. Pemanfaatan biogas ini berpotensi memecahkan dua masalah krusial sekaligus: mengurangi kontribusi IPAL terhadap Perubahan Iklim (yang saat ini didominasi $CH_4$) dan menyediakan sumber energi terbarukan untuk unit operasional lainnya.

Jejak Karbon dari Operasi Mekanis

Kebutuhan energi untuk menggerakkan mesin dan pompa juga berkontribusi pada jejak karbon IPAL Cemara melalui konsumsi bahan bakar fosil dan listrik.

  • Aerated Pond (Kolam Berudara): Meskipun efektif dalam pemurnian air, kolam berudara menjadi kontributor utama dampak Climate Change dalam fase operasional karena kebutuhan energinya yang intensif. Kontribusi dampak iklim dari unit ini disebabkan oleh konsumsi diesel sebesar 16,97 persen, emisi $CO_2$ (4,95 persen) dan $N_2O$ (4,26 persen) dari emisi biogenik, serta penggunaan listrik sebesar 3,04 persen.1 Ketergantungan yang tinggi pada diesel menunjukkan kemungkinan besar penggunaan generator atau peralatan mekanis yang sangat boros energi.

  • Risiko Toksisitas Lokal: Selain emisi gas rumah kaca, proses mekanis di unit-unit seperti Screw Pump dan Aerated Pond juga menyebabkan dampak Terrestrial Ecotoxicity (Toksisitas Darat).1 Dampak ini disebabkan oleh tumpahan pelumas. Meskipun diperkirakan tumpahan pelumas hanya sekitar 3 persen dari residu pelumas yang digunakan 1, risiko ini menyoroti perlunya protokol pemeliharaan yang ketat dan, idealnya, transisi menuju pelumas yang memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah untuk mengurangi kontribusi terhadap pencemaran tanah.

 

Opini dan Kritik Realistis: Batasan Studi dan Solusi Jangka Panjang

Analisis LCA yang cermat ini memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk reformasi kebijakan lingkungan di Medan. Namun, penting untuk memahami batasan lingkup penelitian ini untuk mendapatkan gambaran dampak total yang lebih utuh.

Keterbatasan Lingkup Penilaian

Studi ini secara eksplisit hanya menganalisis fase operasional inti—dari air masuk hingga pelepasan efluen dan pembuangan lumpur kering. Beberapa fase yang secara inheren membawa potensi dampak lingkungan besar dikecualikan dari penilaian 1:

  1. Fase penggunaan kembali (reuse) atau daur ulang air limbah yang telah diolah dan lumpur kering.

  2. Pengelolaan limbah padat (seperti saringan, pasir, dan kerikil) yang dikumpulkan di tahap awal (Screening dan Grit Chamber).

Kritik realistis menunjukkan bahwa dampak lingkungan total yang dihasilkan oleh IPAL Cemara kemungkinan diremehkan (understated) karena eliminasi fase-fase ini. Sebagai contoh, data yang disajikan menunjukkan bahwa tahap Disposal of Dry Sludge (Pembuangan Lumpur Kering) saja sudah bertanggung jawab atas 95,32 persen dari dampak Terrestrial Ecotoxicity.1 Lumpur kering mengandung konsentrasi logam berat dan konstituen beracun lainnya.1 Pengabaian manajemen limbah padat yang komprehensif ini adalah blind spot yang harus segera diatasi dalam kajian lingkungan dan kebijakan publik berikutnya.

Kegagalan Kebijakan Infrastruktur

Kritik yang paling mendasar dan harus diangkat ke permukaan adalah kegagalan konektivitas. Memiliki IPAL berkapasitas $60.000~m^3$ per hari, tetapi hanya mengolah 3,63 persen air limbah domestik, menunjukkan bahwa masalah sanitasi Medan bukanlah kegagalan teknologi pembersihan di ujung, melainkan kegagalan masif dalam pembangunan jaringan pipa koleksi.1

Pemerintah Kota Medan harus segera mengalihkan prioritas dan anggaran untuk mengatasi jurang layanan ini. Selama hampir 97 persen rumah tangga masih membuang limbah secara mandiri atau langsung ke saluran terbuka, krisis lingkungan air tawar di Medan tidak akan pernah terselesaikan, terlepas dari seberapa efisien unit UASB atau Aerated Pond bekerja. Populasi Medan yang sangat padat (rata-rata 8.338 orang per $km^2$) menuntut implementasi sistem terpusat yang berfungsi penuh.1

 

Kesimpulan: Dampak Nyata dan Peta Jalan Menuju Nol Toksisitas

Studi Life Cycle Assessment terhadap IPAL Cemara di Medan memberikan bukti berbasis data bahwa efisiensi pemurnian air secara tradisional (mengukur BOD/COD) tidak lagi cukup untuk menilai keberlanjutan lingkungan. Paradox IPAL Cemara adalah bahwa fasilitas tersebut secara efektif membersihkan polutan organik, namun secara simultan melepaskan racun kimia spesifik dan nutrisi berlebih yang menyebabkan 97 persen dari total dampak lingkungan sistem.

Temuan ini menuntut reformasi radikal dalam pengelolaan air limbah di Kota Medan. Kebijakan harus berfokus pada dua area utama: ekspansi jaringan infrastruktur dan penetapan standar baku mutu efluen yang lebih ketat, terutama untuk polutan mikro.

Pernyataan Dampak Nyata:

Jika diterapkan, temuan mendalam dari analisis LCA ini bisa menjadi landasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk merevisi Peraturan Daerah terkait baku mutu efluen, menargetkan penghilangan senyawa Karbon Disulfida dan membatasi pelepasan Amonia dan Nitrogen secara ketat. Langkah-langkah ini berpotensi mengurangi beban Ekotoksisitas Air Tawar di sungai-sungai Medan hingga lebih dari 70 persen dalam waktu lima tahun. Selain itu, dengan memanfaatkan metana ($CH_4$) yang saat ini dilepaskan oleh Reaktor UASB dan Kolam Fakultatif sebagai biogas, IPAL dapat mengurangi kontribusi dampak iklim secara signifikan, sekaligus menggantikan konsumsi diesel mahal di Aerated Pond, yang pada akhirnya akan menurunkan biaya operasional dan meningkatkan keberlanjutan energi IPAL. Kegagalan IPAL Cemara saat ini adalah kegagalan untuk melihat dampak lingkungan secara holistik; data LCA ini adalah peta jalan yang sangat akurat untuk mencapai pengolahan air limbah yang benar-benar berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Hutagalung, I. R., & Matsumoto, T. (2020). LIFE CYCLE ASSESSMENT OF DOMESTIC WASTEWATER TREATMENT IN MEDAN CITY, INDONESIA. Journal of Community Based Environmental Engineering and Management, 4(2), 85–98.