Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko

12 September 2025, 10.28

Sumber: pexels.com

Latar Belakang Teoretis.

Tulisan Harish, Daryati, dan Murtinugraha (2020) mengawali dengan menyoroti tingginya angka kecelakaan kerja baik di sektor industri maupun lingkungan pendidikan, serta kebutuhan sistem K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) yang memadai. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecelakaan nasional (misalnya dari 123.041 kasus tahun 2017 menjadi 173.105 kasus tahun 2018). Konsep K3 ini diikat dalam kerangka Regulasi (PP RI No.50/2012) sebagai upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Penulis menggarisbawahi bahwa manajemen risiko merupakan bagian integral dari sistem K3, di mana Job Safety Analysis (JSA) diidentifikasi sebagai metode kunci untuk menilai dan mengendalikan bahaya sebelum kecelakaan terjadi. Lebih lanjut, JSA didefinisikan sebagai teknik yang memfokuskan analisis pada tiap langkah tugas kerja, menghubungkan pekerja, alat, dan lingkungan kerja, untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan menetapkan tindakan pengendalian. Konsep analisis kebutuhan (need analysis) juga dibahas sebagai metodologi yang digunakan untuk menutup jurang antara kondisi saat ini dan kebutuhan ideal.

Penulis merujuk pula pada literatur terkait K3 dan JSA: misalnya Rijanto (2010) yang mendeskripsikan JSA sebagai alat analisis risiko yang mengidentifikasi kontrol bahaya, serta standar OSHA yang menekankan pencegahan insiden dengan memeriksa langkah kerja secara mendetail. Dalam konteks pendidikan tinggi, laboratorium dianggap sebagai lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya. Sebagai studi kasus, laboratorium mekanika tanah Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ dipandang rawan: kegiatan praktikum seperti uji kadar air, uji berat jenis, batas Atterberg, uji CBR, hingga uji triaxial, menghasilkan partikel-partikel tanah halus di udara yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan iritasi mata. Wawancara dengan dosen praktik mengungkap kecelakaan yang pernah terjadi: mahasiswa mengalami sesak napas, iritasi mata, dan kerusakan alat karena kelalaian prosedur keselamatan. Studi pendahulu (Permana, 2020) menunjukkan hampir setengah mahasiswa di lingkungan FT UNJ pernah mengalami cedera ringan atau sedang saat praktik, dan 12,5% dari insiden tersebut terjadi di laboratorium mekanika tanah.

Kerangka teori ini menegaskan bahwa terdapat kesenjangan antara praktik K3 yang seharusnya dan kondisi aktual di laboratorium. Oleh karena itu, penulis mengajukan perlunya mengembangkan JSA khusus untuk laboratorium mekanika tanah. Tahap awal dalam model pengembangan yang digunakan adalah analisis kebutuhan, bertujuan mengidentifikasi risiko dan kebutuhan spesifik pekerjaan yang dilakukan. Dengan demikian, studi ini ditempatkan dalam landasan teoretis manajemen risiko K3 yang kuat, menggabungkan definisi analisis kebutuhan, prinsip K3 berdasarkan regulasi, dan metode JSA sebagai strategi mitigasi utama. Hipotesis implisit yang muncul adalah bahwa pengembangan JSA dapat mengurangi kecelakaan kerja di laboratorium tersebut, sejalan dengan peran JSA yang diakui dalam literatur K3.

Metodologi dan Kebaruan.

Pendekatan penelitian adalah metode pengembangan (research and development) dengan acuan model Borg dan Gall (level 1), namun laporan ini fokus pada fase awal (analisis kebutuhan). Teknik pengumpulan data utama adalah survei kuantitatif berbasis kuesioner dan observasi. Dengan desain cross-sectional, peneliti menyasar populasi mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Bangunan UNJ angkatan 2015–2017 yang telah mengikuti Praktik Mekanika Tanah. Sebanyak 72 responden berhasil diambil (termasuk praktikan tahun 2015, 2016, 2017). Instrumen kuesioner disebar secara online melalui Google Form pada periode 12–15 Februari 2020, dan peneliti juga melakukan observasi langsung di laboratorium untuk melengkapi data.

Teknik pengumpulan data secara terstruktur ini menghasilkan informasi tentang tiga variabel utama: persepsi penerapan K3 di laboratorium, pengalaman kecelakaan kerja mahasiswa, dan sikap terhadap pengembangan JSA. Data primer diolah secara deskriptif; persentase dan rata-rata nilai digunakan untuk meringkas temuan. Tidak dijumpai analisis inferensial atau uji hipotesis; metodologi hanya mengandalkan statistik dasar (tabel distribusi, persentase).

Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik: fokus pada pengembangan JSA di lingkungan laboratorium pendidikan vokasi, khususnya laboratorium mekanika tanah. Beberapa penelitian terdahulu mengkaji JSA dalam praktik industri atau workshop (misalnya Saraswati et al. 2019 pada workshop plumbing) tetapi sangat sedikit yang membahas laboratorium perguruan tinggi. Dengan menggabungkan perspektif mahasiswa (melalui kuesioner) dan data kecelakaan di lab, studi ini memberikan tinjauan empiris yang relatif baru di bidang pendidikan teknik. Penelitian ini juga menegaskan pentingnya analisis kebutuhan sebagai langkah awal dalam desain instrumen manajemen risiko, suatu pendekatan yang masih jarang diterapkan untuk konteks laboratorium pendidikan. Secara keseluruhan, metodologi yang sistematis sekaligus kontekstual di laboratorium teknik ini menjadi kontribusi yang membedakan karya ini dari literatur K3 edukasi lainnya.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi.

Hasil analisis kebutuhan menyajikan gambaran kuantitatif sebagai berikut:

  • Kepuasan terhadap K3. Rata-rata skor kepuasan responden terhadap penerapan SMK3 di laboratorium mekanika tanah tercatat 61,1% (sekitar 3,66 dari skala 6). Sebagian besar mahasiswa menilai penerapan K3 cukup hingga baik, meski terdapat 28 mahasiswa yang menganggapnya “kurang baik” (observasi terhadap keberadaan rambu bahaya dan APD dinilai belum optimal). Nilai 61,1% ini menggambarkan situasi moderat: implementasi K3 dinilai ada, namun tidak memuaskan penuh. Konteksnya, hasil ini sejalan dengan temuan Permana (2020) bahwa tingkat kepuasan K3 mahasiswa FT UNJ juga relatif sedang, sehingga problem awareness di lingkungan akademik perlu ditingkatkan.
  • Data kecelakaan kerja. Sebanyak 21 dari 72 mahasiswa (27,8%) melaporkan pernah mengalami kecelakaan kerja selama tiga tahun terakhir di laboratorium mekanika tanah. Mayoritas kecelakaan tersebut bersifat ringan (19 orang, 90,5%) seperti tergores, terpeleset, atau terkena serpihan, sementara hanya 2 mahasiswa (9,5%) yang mengalami cedera sedang. Tidak ada kecelakaan berat yang tercatat. Angka insiden ~28% ini mencerminkan kejadian nyata yang tidak rendah: hampir satu perempat mahasiswa pernah mengalami insiden saat praktikum. Sebagai perbandingan, penelitian Permana (2020) di lingkungan Fakultas Teknik UNJ juga menemukan insiden kecelakaan hampir separuh responden (48%), dengan 12,5% insiden terjadi di lab mekanika tanah. Data kami menegaskan bahwa kategori kecelakaan ringan mendominasi namun risikonya masih tersendiri jika dibiarkan berulang.
  • Sikap terhadap JSA. Mayoritas besar mahasiswa (69 orang; 95,8% dari total) menyatakan menyetujui bahwa pengembangan Job Safety Analysis akan mengurangi risiko kecelakaan kerja di laboratorium tersebut. Persetujuan hampir bulat ini menunjukkan kepercayaan kuat mahasiswa terhadap efektivitas JSA sebagai alat mitigasi. Artinya, hampir seluruh praktikan melihat JSA sebagai intervensi yang logis dan diperlukan untuk meningkatkan keselamatan praktik. Temuan ini sejalan dengan literatur (misalnya Saraswati et al. 2019) yang menyarankan JSA sebagai instrumen praktis untuk mengatasi bahaya di lingkungan kerja vokasi.

Secara interpretatif, kombinasi temuan di atas mengindikasikan adanya kesenjangan pelaksanaan K3 yang ada dengan realitas lapangan. Meski mahasiswa umumnya telah mengikuti mata kuliah K3 (95,8% mengetahui risiko kerja dan pengendaliannya[4]), tingkat kecelakaan tetap signifikan. Rata-rata kepuasan 61,1% mengindikasikan bahwa fasilitas dan prosedur K3 yang tersedia belum memadai sepenuhnya, sehingga terjadi unsafe action dan unsafe condition seperti yang juga disebutkan oleh peneliti. Konteksnya, sebelum penerapan JSA, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan konsistensi K3 di lab. Temuan dukungan luas terhadap JSA menyumbangkan pemahaman baru bahwa solusi yang diharapkan mahasiswa bukan sekadar reaktif, melainkan proaktif: mereka menganggap JSA penting untuk menutup kesenjangan tersebut. Dengan demikian, studi ini menambah wawasan: menunjukkan bahwa pengembangan JSA dalam pendidikan teknik bukan hanya memenuhi kebutuhan teoretis, tetapi juga diinginkan secara nyata oleh pihak yang terlibat, memberikan kontribusi empiris baru dalam literatur K3 pendidikan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis.

Sejumlah keterbatasan metodologis dapat memengaruhi interpretasi hasil:
- Sampel Terbatas. Penelitian hanya melibatkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ (angkatan 2015–2017). Karakteristik demografis, metode pengajaran, dan fasilitas laboratorium institusi ini mungkin berbeda dengan institusi lain. Oleh karena itu, kesimpulan yang dihasilkan bersifat konteks-spesifik dan sulit digeneralisasi. Studi selanjutnya perlu melibatkan sampel yang lebih luas, misalnya program studi teknik lain atau perguruan tinggi berbeda.
- Data Berbasis Survei. Informasi tentang kecelakaan didapat dari kuesioner yang bergantung pada ingatan dan persepsi mahasiswa. Tanpa verifikasi independen (catatan insiden resmi atau pengamatan jangka panjang), terdapat risiko bias ingatan atau tingkat pelaporan yang tidak lengkap. Misalnya, mahasiswa mungkin lupa kejadian kecil atau tidak melaporkan semua cedera. Hal ini mempengaruhi validitas data kecelakaan aktual.
- Instrumen dan Reliabilitas. Laporan tidak menjelaskan proses pengembangan kuesioner: bagaimana pertanyaan disusun, diuji validitas, dan reliabilitasnya. Ketiadaan informasi ini membatasi penilaian terhadap sejauh mana instrumen mengukur tepat variabel yang dimaksud (kepuasan K3, pengalaman kecelakaan, dsb.). Tanpa pengujian statistik reliabilitas, kekuatan pengukuran hasil menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan.
- Analisis Deskriptif Saja. Hasil disajikan dalam bentuk statistik deskriptif (persentase, rata-rata). Tidak ada uji statistik inferensial atau analisis hubungan antar variabel (misalnya apakah kepuasan K3 berbanding terbalik dengan kejadian kecelakaan). Kehadiran analisis seperti uji-t atau korelasi mungkin dapat menambah bobot bukti. Tanpa demikian, klaim tentang hubungan atau perbedaan signifikan antar variabel tidak teruji secara empiris.
- Fokus Awal Pengembangan. Meskipun mengacu model Borg & Gall, studi ini hanya menyelesaikan tahap analisis kebutuhan (level 1). Tahap selanjutnya (perencanaan, pengembangan, validasi, revisi produk JSA) tidak dilaporkan. Dengan demikian, klaim manfaat JSA masih bersifat asumsi/persepsi, belum terbukti melalui implementasi. Perlu penelitian lanjutan yang merancang modul JSA konkretnya dan mengujinya di lapangan.

Refleksi kritis menunjukkan bahwa asumsi penelitian—bahwa tingginya dukungan mahasiswa atas JSA otomatis sebanding dengan efektivitasnya—belum diuji. Penulis mengandaikan JSA akan “mengurangi kecelakaan”, namun tanpa studi intervensi, manfaat sebenarnya tidak diketahui. Selain itu, pemilihan model Borg & Gall memberikan kerangka pengembangan, tetapi ketergantungannya pada fase teoritis membuat bukti empiris terkait keuntungan JSA masih terbatas. Di samping itu, riset ini tidak membahas faktor eksternal lain (misalnya budaya keselamatan lab, fasilitas fisik, peran dosen pembimbing) yang mungkin ikut mempengaruhi kecelakaan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut perlu diakui dalam menginterpretasi hasil: penemuan bersifat indikatif dan perlu diverifikasi melalui penelitian kuantitatif lanjutan atau metode kualitatif untuk menilai konteks yang lebih dalam.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan.

Temuan ini memberikan beberapa implikasi penting untuk riset dan praktik di bidang K3 dan pendidikan teknik:

  • Pengembangan Produk JSA Lanjutan. Data kebutuhan yang terkumpul dapat menjadi dasar desain prototipe JSA khusus laboratorium mekanika tanah. Penelitian selanjutnya dapat membuat modul pelatihan atau formulir JSA, lalu mengevaluasi efektivitasnya secara empiris (misalnya lewat eksperimen pre-post: membandingkan tingkat kecelakaan sebelum dan setelah implementasi JSA). Hal ini tidak hanya menguji hipotesis utama penelitian tetapi juga berkontribusi pada literatur pendidikan teknik dengan hasil kuantitatif baru.
  • Integrasi K3 dalam Kurikulum. Hasil studi menegaskan urgensi memasukkan topik K3 secara eksplisit dalam kurikulum vokasi teknik. Misalnya, pengembangan JSA dapat dimasukkan sebagai bagian evaluasi praktikum. Lulusan teknik yang dibiasakan berpikir tentang keselamatan kerja sejak awal akan memperkuat budaya K3 di dunia industri. Dalam konteks akreditasi pendidikan tinggi dan tuntutan ISO 45001:2018, mahasiswa perlu memahami manajemen risiko kerja; penelitian ini menegaskan bahwa mahasiswa sendiri mengakui kebutuhan tersebut.
  • Riset Komparatif dan Multimetode. Studi ini mendorong penelitian serupa di laboratorium lain (misalnya laboratorium mesin, kimia, atau sipil), baik di UNJ maupun di kampus lain, untuk membandingkan profil risiko. Selain itu, metode berbeda (analisis kualitatif, studi kasus, atau penggunaan sensor IoT untuk memonitor bahaya) dapat melengkapi temuan. Misalnya, penerapan kaizen 5S di laboratorium atau teknologi AR/VR untuk simulasi keselamatan bisa dibandingkan dengan JSA.
  • Kebijakan Keselamatan Pendidikan. Dari perspektif kebijakan, data ini memberikan argumen bagi pimpinan fakultas dan kampus untuk memperketat prosedur keselamatan lab. Misalnya, fakultas teknik dapat mengembangkan pedoman standar operasi laboratorium yang mengacu pada prinsip JSA dan SMK3. Di era Industrial 4.0, peningkatan insiden kerja nasional (dilaporkan terus meningkat di tahun-tahun terakhir) menuntut strategi baru. Penelitian ini relevan dengan perkembangan mutakhir: menekankan bahwa keselamatan kerja bukan hanya tanggung jawab industri, tetapi juga instrumen pendidikan.

Sebagai refleksi akhir, temuan ini menyoroti kesinambungan isu keselamatan kerja dalam ranah pendidikan teknik. Selama ini fokus K3 lebih dominan di sektor industri; namun data mahasiswa yang konsisten mendukung JSA menggambarkan bahwa lembaga pendidikan pun perlu bertindak. Dengan melibatkan mahasiswa sebagai subjek dan objek pembelajaran, studi ini mendukung paradigma pendidikan vokasi terkini yang memadukan kompetensi teknis dengan kompetensi keselamatan. Di tingkat makro, hasil ini sejalan dengan wacana nasional zero accident dan standar keselamatan internasional, serta menegaskan perlunya sinergi antara praktik laboratorium yang inovatif dan manajemen risiko yang sistematis.

Daftar Pustaka:
Harish, A., Daryati, & Murtinugraha, R.E. (2020). Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Permana, A., Murtinugraha, R.E., & Ramadhan, M.A. (2020). Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan K3 di Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Teknik Sipil, 19(2), 110–121.

Saraswati, A.L., Iriani, T., & Handoyo, S. (2019). Pengembangan Job Safety Analysis untuk Workshop Praktik Plumbing di Pendidikan Vokasional Konstruksi Bangunan Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Teknik Sipil, 8(2), 55–62.