Alam Yang Bercanda, Manusia Yang Malas: Percakapan Di Zaman AI

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

05 November 2025, 20.52

Penulis: Cak HP (Heru Prabowo)

Dulu, wartawan sejati bisa berjalan kaki berkilometer hanya untuk bertemu narasumber yang belum tentu mau diwawancara. Sekarang? Wartawan tak perlu keluar rumah. Cukup buka laptop, panggil “AI”, dan lima menit kemudian berita pun jadi — seperti mie instan: cepat, harum, dan sering kali penuh pengawet.

Pagi itu, di sebuah warkop digital ~ grup percakapan kecil, dua orang kawan bertukar pikiran. Iqbal menulis seperti orang yang baru meneguk secangkir kopi pahit,

> “Sekarang makin banyak media pakai AI untuk menulis berita. Prosesnya sih sah-sah saja, tapi akurasinya makin menurun. Banyak berita tanpa narasumber, data tanpa validitas, wawancara palsu.”

Heru, yang selalu punya stok humor untuk menambal seriusnya hidup, langsung menimpali,

> “Kontradiktif, tuh. AI seharusnya meningkatkan akurasi, bukan sebaliknya. Apa yang salah? Alatnya, atau manusianya?”

Dan begitulah, percakapan itu berubah jadi duel kecil dua pemikir warung kopi — tentang teknologi, kemalasan, dan masa depan kepercayaan.

.

🎭

AI: MESIN PENIRU YANG RAJIN, TAPI TAK PUNYA RASA

“Kalau hasil AI salah dan penulisnya tidak memeriksa, itu bukan salah AI — itu salah manusia yang malas,” kata Heru mantap.

Pernyataan itu seperti tamparan kecil di pipi dunia media. Karena memang, bukan AI yang salah tulis, tapi manusia yang tak lagi merasa perlu berpikir. Kita terlalu cepat percaya pada kalimat yang rapi. AI menulis dengan struktur indah, diksi cemerlang, logika yang nyaris meyakinkan. Tapi justru di sanalah jebakannya: di balik keindahan itu sering tersembunyi kebenaran yang pincang.

AI tahu apa yang sering dikatakan manusia, tapi tak tahu mana yang benar.

Dan di sinilah komedinya: manusia menciptakan mesin pintar untuk meringankan beban berpikir, lalu dengan penuh suka cita menyerahkan seluruh pikirannya kepada mesin itu. Seolah-olah berpikir itu pekerjaan rendahan, dan yang penting sekarang hanyalah “tulisan terlihat pintar”.

.

🌀

LOOP TAK BERUJUNG : KETIKA KEBOHONGAN MENULIS DIRINYA SENDIRI

Iqbal melanjutkan, kali ini dengan nada filosofis,

> “AI belajar dari internet. Kalau sumbernya saja tidak akurat, lalu AI menulis lagi berdasarkan itu, terjadilah loop—lingkaran tanpa ujung yang menelan akurasi.”

Heru tertawa kecil, tapi bukan karena lucu.

> “Ya, tapi kita juga punya saham dalam loop itu. Ini amal jariyah ilmu, kan?”

Di titik ini, tawa mereka jadi doa yang aneh ~ semoga kebohongan yang terus berulang itu suatu hari menemukan kebenaran di ujungnya. Tapi barangkali, justru di sinilah “humor tinggi” yang sering disebut Heru — bahwa alam punya cara bercanda yang elegan. 

Manusia sibuk menciptakan mesin yang bisa berpikir, tapi lupa menyiapkan manusia yang mau berpikir ulang.

Kita menulis di internet, lalu AI mempelajarinya, lalu menulis ulang, lalu kita membacanya, lalu percaya — tanpa sadar bahwa kita sedang membaca ulang kebodohan kolektif dalam kemasan baru.

🎭

ANTARA PENGETAHUAN DAN DATA

“Ke depan,” kata Iqbal, “AI mungkin tak lagi cuma mengolah data, tapi pengetahuan.”

Heru menyahut dengan optimismenya yang khas,

> “Kalau begitu, penulis yang berkualitas akan makin mahal. Karena manusia yang berpikir jernih justru akan langka.”

Di dunia yang menuhankan kecepatan, berpikir pelan adalah bentuk perlawanan.

Dan dalam perlawanan itulah nilai manusia diukur — bukan dari seberapa cepat dia menulis, tapi dari seberapa dalam ia memahami.

Penulis yang jujur, yang rela memeriksa ulang datanya, yang tidak terburu-buru percaya pada mesin — akan jadi sejenis manusia langka. Barang antik yang suatu hari mungkin dilelang di museum kebenaran.

.

🎯

KEPERCAYAAN : MATA UANG YANG MULAI USANG

“Trust tetap jadi mata uang,” kata Iqbal pelan. “Masalahnya nanti, siapa yang bisa dipercaya?”

Pertanyaan itu menggantung di udara seperti bau hujan yang tak jadi turun.

Kini, semua orang bisa menulis, semua media bisa terbit, semua berita bisa tampak benar. Tapi semakin banyak yang bicara tentang kebenaran, semakin sulit kita menemukannya.

Mungkin karena kebenaran itu tidak terletak pada kata, tapi pada niat.

Dan niat — sayangnya — tak bisa di-generate oleh AI.

Heru lalu menutup percakapan pagi itu dengan senyum khas orang yang lebih percaya pada takdir daripada algoritma ...

> “Aku percaya, alam punya cita rasa humor tinggi. Ia akan menyeimbangkan dirinya. Kadang lewat krisis, kadang lewat kejatuhan.”

Mungkin benar. Mungkin, ketika manusia sudah terlalu malas berpikir, alam akan menurunkan versi update-nya: bukan AI 2.0, tapi kesadaran 2.0.

.

✍️

EPILOG : KETIKA ALAM TERTAWA

AI tidak pernah lelah. Ia tidak punya emosi, tidak butuh kopi, dan tidak menunda kerja dengan alasan “butuh inspirasi.” Tapi di situlah justru letak kekalahannya: ia tidak bisa jatuh cinta pada kebenaran, tidak bisa rindu pada kejujuran, dan tidak bisa takut pada dosa intelektual. Manusia, dengan segala kelemahannya, masih punya itu semua. Dan justru karena itulah ia lebih unggul.

Asal … tidak malas.

Maka, bila suatu hari nanti semua berita ditulis mesin, biarlah manusia yang membaca dengan hati.

Karena, seperti kata Heru sambil menutup percakapan,

> “Kiamat itu ketika alam sudah sempurna — sempurna buruknya, atau sempurna baiknya.”

Sampai hari itu tiba, semoga kita tidak ikut mempercepat kiamat dengan menjadi manusia yang malas berpikir.

Dan jika alam tertawa melihat kita, biarlah — karena mungkin itu satu-satunya cara alam mengingatkan:

bahwa akal sehat masih hadiah terbesar yang pernah ia titipkan kepada manusia.

 

🚧

warkop digital sby, 09-10-2025