Ada semacam kedamaian palsu saat berkendara di jalan pedesaan yang sepi. Anda tahu perasaan itu: jendela terbuka, angin sepoi-sepoi, tidak ada lalu lintas yang terlihat bermil-mil. Rasanya aman. Rasanya tenang. Ini adalah ilusi yang nyaman yang kita semua nikmati.
Sebuah paper penelitian yang saya baca minggu ini menghancurkan ilusi itu berkeping-keping.
Paper itu berjudul "A Study of Fatal Pedestrian Crashes at Rural Low Volume Road Intersections in Southwest China". Judul yang kering, saya tahu. Tetapi isinya jauh dari itu. Ini bukan tentang kekacauan lalu lintas kota yang padat yang biasa kita lihat di berita. Ini tentang bahaya tersembunyi di persimpangan jalan pedesaan yang tampak sepi—jenis tempat di mana, secara global, 92% kematian lalu lintas terjadi, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Para peneliti—Xie, Nikitas, dan Liu—tidak hanya mengambil data statistik dan membuat grafik yang membosankan. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih dalam. Mereka mengambil 28 kasus kecelakaan fatal pejalan kaki, yang terjadi antara 2005 dan 2010 di delapan jalan pedesaan di Tiongkok Barat Daya, dan pada dasarnya melakukan "autopsi psikologis" pada setiap kecelakaan tersebut.
Bayangkan jika Anda menganalisis setiap kesalahan besar di tempat kerja. Pendekatan yang malas adalah dengan mengatakan, "Yah, Budi mengklik tombol yang salah. Kesalahan Budi." Pendekatan yang mendalam adalah bertanya: Mengapa Budi mengklik tombol itu? Apakah labelnya membingungkan? Apakah dia kurang tidur karena jam kerja yang gila? Apakah dia tidak pernah dilatih dengan benar tentang software itu?
Itulah yang dilakukan para peneliti ini. Mereka menggunakan metode yang disebut DREAM (Driving Reliability and Error Analysis Method). DREAM adalah cara sistematis untuk mengklasifikasikan mengapa kecelakaan terjadi. Metode ini tidak berhenti pada "pengemudi mengebut." Ia terus menggali lebih dalam.
-
Pengemudi mengebut (A2.1 Speed: too high). Mengapa?
-
Karena dia salah menilai situasi (C2 Misjudgement of situation). Mengapa?
-
Karena dia melewatkan pengamatan (B1 Missed observation). Mengapa?
-
Karena rambu-rambu di persimpangan itu sangat buruk (Q1 Inadequate information design) dan dia tidak pernah dilatih dengan benar (N4 Inadequate training).
Metode DREAM ini adalah kunci mengapa studi ini begitu kuat meskipun jumlah sampelnya kecil (hanya 28 kecelakaan). Para peneliti sendiri mengakui bahwa fokus mereka adalah pada "kualitas daripada kuantitas". Ini bukan statistik; ini adalah pendongengan forensik. Dan cerita yang mereka ungkapkan sangat mengerikan.
Mimpi Buruk di Balik Data: Angka-Angka yang Membuat Saya Berhenti Sejenak
Sebelum kita masuk ke "mengapa", kita perlu memahami "apa". Dan data mentahnya saja sudah cukup untuk membuat Anda merinding. Ini adalah beberapa statistik dari 28 kecelakaan fatal yang dianalisis, yang terus terngiang di kepala saya :
-
75% pejalan kaki tewas di persimpangan T (T-intersections). Awalnya ini mengejutkan saya. Persimpangan T seharusnya sederhana. Tetapi paper ini menjelaskan bahwa di daerah pedesaan Tiongkok, ini seringkali bukan persimpangan resmi. Mereka adalah "jalan cabang dan bahkan pintu rumah" yang langsung terhubung ke jalan raya tanpa peringatan. Ini adalah resep untuk bencana.
-
82% persimpangan tidak memiliki fasilitas pejalan kaki. Saya ulangi: delapan dari sepuluh persimpangan tidak memiliki apa-apa. Nol zebra cross. Nol rambu peringatan pejalan kaki. Nol perlindungan.
-
50% kecelakaan terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup. Dan inilah bagian terburuknya, yang membuat saya ternganga: Tidak ada (0%) dari persimpangan yang diteliti yang memiliki lampu penerangan jalan. Pejalan kaki menyeberang dalam kegelapan total di persimpangan tak bertanda.
-
61% kendaraan melebihi batas kecepatan. Ini adalah bahan bakar yang menyulut api.
Jika Anda menggabungkan fakta-fakta ini, itu bukan hanya sekumpulan angka. Itu menceritakan sebuah kisah.
-
🚀 Lingkungan yang Dirancang untuk Kematian: Pengemudi yang ngebut (61%) + kegelapan total (50% kecelakaan, 0% lampu) + persimpangan tak bertanda (82% tanpa fasilitas).
-
🧠Kesimpulan yang Tak Terelakkan: Kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti sesuatu yang acak dan tidak bisa dihindari. Mereka adalah hasil yang dapat diprediksi dari sistem yang dirancang dengan kelalaian total.
-
💡 Pelajaran: Kita tidak bisa hanya menyalahkan "kesalahan pengemudi" ketika kita merancang lingkungan yang membuat kesalahan itu hampir pasti terjadi.
Empat Penjahat yang Sebenarnya (Dan Ini Bukan Sekadar "Kesalahan Manusia")
Inilah inti dari paper ini. Analisis DREAM mereka mengelompokkan semua faktor penyebab ini menjadi empat tema utama yang menghancurkan. Ini adalah empat pilar kegagalan yang menopang 28 kematian tersebut:
-
Desain Infrastruktur Keselamatan yang Kurang.
-
Pendidikan Keselamatan Pejalan Kaki yang Kurang.
-
Pelatihan Pengemudi yang Tidak Memadai.
-
Penegakan Hukum Lalu Lintas yang Tidak Cukup.
Mari kita bedah satu per satu, karena di sinilah pelajarannya menjadi sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti.
Penjahat #1: Desain Jalan yang "Malas"
Ini adalah "Deficient intersection safety infrastructure".
Bayangkan seorang desainer UI web menempatkan tombol 'Hapus Akun Anda Secara Permanen' tepat di sebelah tombol 'Login', tanpa label atau kotak konfirmasi. Itulah tingkat desain 'malas' yang kita bicarakan di sini.
Faktor DREAM "Q1 Inadequate information design" (desain informasi yang tidak memadai) adalah penyebab utama yang muncul di setiap pola kecelakaan. Ini berarti rambu-rambu, marka jalan, dan panduan visual untuk memperingatkan pengemudi atau pejalan kaki tidak ada, atau sangat membingungkan.
Tetapi paper ini tidak hanya mengeluh. Mereka menawarkan solusi cerdas, dan yang terpenting, solusi realistis. Mereka tahu bahwa "sumber daya untuk investasi... terbatas" di daerah pedesaan. Jadi, mereka tidak menyarankan jalan layang multi-juta dolar. Mereka menyarankan intervensi "traffic calming" (penenangan lalu lintas) yang berbiaya rendah dan terbukti :
-
Polisi Tidur (Speed Bumps): Murah, mudah dipasang, dan sangat efektif untuk memaksa kendaraan melambat.
-
Bundaran (Roundabouts): Secara fisik memaksa pengemudi untuk mengurangi kecepatan saat mendekati, memasuki, dan bergerak di dalam persimpangan.
-
Lampu Jalan: Solusi yang paling jelas di dunia, mengingat 50% kecelakaan terjadi dalam kegelapan total.
Penjahat #2: Saat Pejalan Kaki Tidak Pernah Diajari Cara Menyeberang
Ini adalah "Lack of pedestrian safety education".
Analisis DREAM menemukan faktor "M1 Inadequate transmission from other road users" (transmisi [niat] yang tidak memadai dari pengguna jalan lain) sebagai penyebab utama. Dalam bahasa manusiawi? Pejalan kaki "menyeberang jalan tanpa melihat dulu" untuk mencari kendaraan. Mereka tidak melakukan kontak mata, tidak memberi isyarat. Mereka hanya berjalan ke jalan raya.
Dan inilah data yang paling tragis: lebih dari separuh (56%) dari mereka yang tewas adalah anak-anak (di bawah 15 tahun) atau lansia (di atas 65 tahun). Kelompok paling rentan yang membayar harga tertinggi.
Di sinilah paper ini benar-benar bersinar bagi saya. Solusinya tidak umum. Mereka sangat kontekstual dan spesifik secara budaya. Para peneliti tidak menyarankan kampanye TikTok yang gemerlap. Mereka menyarankan "cara yang tidak konvensional" :
-
Menggunakan "pengeras suara dari stasiun radio desa" untuk menyiarkan program keselamatan lalu lintas harian pada waktu-waktu tertentu.
-
Membuat "kader desa" (aparat desa setempat) bertanggung jawab untuk mempublikasikan informasi keselamatan lalu lintas.
-
Menerapkan solusi sederhana seperti membagikan bahan reflektif untuk "tongkat pejalan lansia dan tas anak-anak" agar mereka lebih terlihat dalam gelap.
Ini jenius. Ini adalah solusi berbiaya rendah yang menjangkau tepat target audiens (seperti lansia di rumah) yang tidak akan pernah melihat iklan layanan masyarakat di TV.
Penjahat #3: Sekolah Mengemudi "Abal-Abal"
Ini adalah "Inadequate driver training". Dan bagian ini, terus terang, membuat saya marah.
Faktor-faktor DREAM seperti "N4 Inadequate training" (pelatihan tidak memadai) dan "F6 Insufficient skills/knowledge" (keterampilan/pengetahuan tidak cukup) adalah akar penyebab yang masif.
Tetapi paper ini tidak berhenti di situ. Ia menggali mengapa pelatihannya tidak memadai. Ini bukan hanya karena kurikulumnya sulit. Ini karena sistemnya korup. Para peneliti dengan jujur menulis bahwa :
-
"banyak sekolah mengemudi memotong waktu pelatihan" untuk menghemat uang.
-
Beberapa sekolah "membantu orang berbuat curang dalam ujian atau menjual surat izin mengemudi."
-
Ada "sejumlah sekolah mengemudi ilegal" yang beroperasi di daerah pedesaan ini.
Ini mengubah segalanya. Fakta bahwa 61% pengemudi mengebut bukan hanya pilihan individu yang buruk; itu adalah gejala dari sistem yang secara aktif meluluskan pengemudi yang tidak terampil, tidak berpengetahuan, dan mungkin ilegal ke jalan. Masalahnya tidak dimulai di jalan; itu dimulai di "sekolah mengemudi" itu.
Membaca bagian ini membuat saya merinding. Ini adalah kegagalan sistemik. Jika fondasi pelatihannya saja sudah korup, bagaimana kita bisa mengharapkan perilaku yang aman di jalan?
Ini mengingatkan saya pada pentingnya pelatihan berkualitas di semua aspek kehidupan. Di dunia profesional, mengambil jalan pintas dalam pelatihan bisa sama berbahayanya bagi karier Anda. Untungnya, untuk [mengembangkan keterampilan profesional Anda], ada platform seperti **** yang menyediakan fondasi yang kokoh dan sah, tidak seperti sekolah mengemudi 'abal-abal' yang dibahas di sini.
Penjahat #4: Polisi yang Tidak Terlihat
Yang terakhir adalah "Insufficient traffic law enforcement".
Jika 61% pengemudi mengebut dan banyak yang mengemudi tanpa SIM , itu menyiratkan satu hal: tidak ada yang mengawasi.
Tetapi sekali lagi, paper ini menggali lebih dalam. Ini bukan karena polisinya malas. Ini karena "sumber daya polisi yang terbatas". Dan mereka memberikan statistik yang paling mencengangkan di seluruh paper:
"tidak jarang bahwa hanya tiga atau empat polisi lalu lintas lokal mengawasi sebanyak empat atau lima kota... yang mungkin memiliki total populasi 0,3 juta".
Itu adalah situasi yang mustahil. Itu bukan "penegakan hukum yang lemah"; itu adalah "penegakan hukum yang non-eksisten".
Sekali lagi, para peneliti menawarkan solusi pragmatis. Karena menambah jumlah polisi itu mahal dan lambat, mereka menyarankan :
-
Sewa "petugas lalu lintas" (traffic wardens)—petugas sipil yang lebih murah untuk membantu menegakkan hukum.
-
Gunakan "penegakan hukum dengan kamera" (camera enforcement) di persimpangan yang paling rawan kecelakaan.
Ini adalah tema yang berulang: Jika sumber daya manusia (polisi, guru) terbatas, kita harus mengandalkan teknologi (kamera) dan struktur komunitas (kader desa, petugas lalu lintas) untuk mengisi kesenjangan tersebut.
Kritik Halus Saya: Apakah 28 Kematian Cukup?
Saya harus jujur, sebagai seorang jurnalis, hal pertama yang saya lihat adalah "N=28". Hanya 28 kecelakaan.
Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang didasarkan pada 28 kasus awalnya membuat saya skeptis. Bisakah kita benar-benar menarik kesimpulan besar tentang infrastruktur, pendidikan, dan korupsi seluruh wilayah dari data sekecil itu?
Namun, di sinilah saya menghargai kejujuran peneliti. Mereka adalah yang pertama mengakui ini di bagian "Batasan Studi". Mereka menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan data kecelakaan yang terperinci seperti ini dari kepolisian di Tiongkok.
Lebih penting lagi, mereka berargumen bahwa metode DREAM yang mereka gunakan berfokus pada "kualitas daripada kuantitas". Dan setelah membaca analisis mereka, saya setuju.
Mereka tidak mencoba memetakan seluruh Tiongkok. Mereka melakukan "autopsi" mendalam pada 28 tragedi untuk memberi kita 4 pelajaran yang sangat kuat. Dan dalam hal itu, mereka berhasil dengan cemerlang.
Yang Paling Mengubah Pikiran Saya (Dan Apa yang Bisa Kita Terapkan)
Setelah membaca paper ini, pelajaran terbesar bagi saya bukanlah "menyetirlah dengan aman" atau "lihat kiri-kanan." Pelajaran terbesarnya adalah: Keselamatan bukanlah kebetulan. Keselamatan adalah hasil dari desain.
Ke-28 kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti takdir acak atau nasib buruk. Mereka adalah insiden—kegagalan yang dapat diprediksi yang disebabkan oleh sistem yang rusak dalam empat cara yang jelas: desain infrastruktur, pendidikan, pelatihan, dan penegakan.
Jalan-jalan pedesaan ini, seperti yang digambarkan dalam paper ini, seperti software yang dirilis ke publik dalam versi beta, tanpa quality assurance. Para penggunanya—pejalan kaki dan pengemudi—dibiarkan menemukan bug fatalnya sendiri. Dan mereka membayarnya dengan nyawa.
Ini hanya goresan di permukaan dari apa yang saya gali. Jika Anda seorang analis, perencana kota, insinyur, atau hanya seseorang yang tertarik pada bagaimana "analisis akar masalah" yang sebenarnya bekerja dalam praktik, saya sangat merekomendasikan Anda membaca paper aslinya.
Ini padat, teknis, tetapi wawasannya sepadan.