Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Manajemen Kualitas Air Jadi Isu Strategis?
Air adalah kebutuhan dasar manusia. Namun, dari seluruh air di Bumi, hanya sekitar 0,003% yang tersedia dalam bentuk air tawar berkualitas baik dan layak dikonsumsi langsung oleh manusia. Indonesia, meski dikenal sebagai negara dengan sumber daya air melimpah, menghadapi kenyataan pahit: kualitas air permukaan—sungai, danau, dan air tanah—kian menurun drastis akibat pencemaran dan tata kelola yang buruk.
Makalah Hefni Effendi yang disampaikan dalam Indonesia-Japan Business Matching Seminar for Water Issues pada 10 September 2015 di Tangerang, membedah akar persoalan ini dengan pendekatan sistematis. Ia tidak hanya menyoroti pencemaran sungai seperti Citarum, tetapi juga mengkaji kebijakan, kapasitas daya tampung beban pencemar, serta solusi teknis dan sosial yang diperlukan untuk menyelamatkan air Indonesia.
Sungai Citarum: Simbol Krisis Nasional
Salah satu fokus utama dalam makalah ini adalah Sungai Citarum—sering disebut sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Citarum membentang sejauh 300 kilometer dari Gunung Wayang hingga Laut Jawa dan menjadi sumber air bagi 30 juta penduduk, serta memasok 80% air permukaan Jakarta. Namun ironisnya, sungai ini tak pernah memenuhi standar kualitas air nasional sejak tahun 1989.
Fakta Mencengangkan di Citarum:
Lebih parah lagi, di daerah Sukamaju, air dari sungai langsung dipompa ke rumah-rumah warga untuk mandi dan mencuci, dengan penyaringan seadanya menggunakan handuk atau kaus kaki. Air ini bahkan digunakan untuk memasak setelah direbus, meski proses perebusan hanya membunuh bakteri, bukan logam berat atau racun kimia.
Krisis Nasional: Masalah Air Tak Hanya di Citarum
Krisis kualitas air terjadi secara luas di Indonesia, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan. Beberapa akar penyebab utamanya adalah:
1. Sanitasi Buruk
Air limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian bercampur tanpa pengolahan memadai, baik di permukaan maupun air tanah.
2. Intrusi Air Laut
Penurunan muka air tanah menyebabkan air laut meresap ke dalam akuifer, terutama di wilayah pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
3. Deforestasi di Hulu
Pembalakan liar dan perubahan tutupan lahan menyebabkan erosi tinggi dan membawa sedimen berlebihan ke badan air.
4. Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi
Kepadatan penduduk memperberat beban pencemar dan tekanan terhadap infrastruktur air yang sudah usang.
Konsep Kunci: Daya Tampung Beban Pencemar (DTBP)
Makalah ini menekankan pentingnya konsep Water Pollution Load Capacity, yakni kemampuan badan air untuk menerima beban pencemar tanpa melampaui ambang batas kualitas air. DTBP dihitung dengan dua metode utama:
1. Metode Neraca Massa (Mass Balance)
Menggunakan perhitungan kuantitatif dari setiap aliran air yang masuk (debit dan konsentrasi parameter pencemar), untuk menentukan beban total yang diterima sungai.
2. Metode Streeter–Phelps
Model matematis untuk menghitung penurunan kadar oksigen terlarut (DO) sepanjang sungai akibat pencemaran BOD (Biochemical Oxygen Demand).
Contoh Kasus:
Pada satu studi, aliran sungai di empat lokasi menunjukkan:
Jika ada limbah dari industri baru yang hanya mengandung Cl⁻ (klorida) tanpa BOD, maka masih bisa dibuang—dengan catatan kadar Cl⁻ tidak melebihi 600 mg/L.
Standar Regulasi dan Kategori Kualitas Air
Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001:
Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (untuk air laut):
Selain itu, KLHK menetapkan standar kualitas air limbah (effluent) yang wajib dipenuhi industri, tergantung jenis usaha (misalnya: pabrik tekstil, makanan, farmasi, hotel, rumah sakit, dll.).
Contohnya:
Kebijakan Strategis Pemerintah
Hefni Effendi menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis, meskipun belum sepenuhnya berhasil:
1. Penetapan Baku Mutu Air dan Limbah
Melalui regulasi seperti PP No. 82/2001, Kepmen LH No. 51/2004, dan Permen LH No. 5/2014.
2. Panduan Beban Pencemar
Ditentukan berdasarkan Kepmen LH No. 110/2003, untuk menghitung daya tampung sungai dan menentukan apakah pembuangan limbah masih diperbolehkan.
3. Program Aksi Lapangan
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski regulasi sudah lengkap, penerapan di lapangan masih menghadapi tantangan besar:
1. Pengawasan Lemah
Banyak industri kecil dan menengah membuang limbah langsung tanpa IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) karena pengawasan longgar.
2. Koordinasi Lintas Sektor
Kebijakan air masih tersebar di berbagai kementerian: lingkungan, pekerjaan umum, kesehatan, dan kehutanan—tanpa sinergi kuat.
3. Kurangnya Partisipasi Publik
Kesadaran masyarakat masih rendah. Banyak warga membuang limbah domestik langsung ke sungai karena minimnya fasilitas sanitasi.
Menuju Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?
Makalah ini merekomendasikan strategi manajemen kualitas air yang terintegrasi:
Penutup: Menyembuhkan Sungai-Sungai Indonesia
Makalah Hefni Effendi menyoroti krisis air Indonesia secara menyeluruh—dari data teknis, regulasi, hingga solusi strategis. Ia menyampaikan bahwa krisis air bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena kegagalan tata kelola.
Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus melihat air sebagai aset ekologis dan ekonomi. Tanpa air bersih, tidak akan ada industri, pertanian, pariwisata, atau kesehatan yang berkelanjutan.
Kini saatnya untuk bergerak dari reaktif ke preventif. Dari wacana ke aksi. Dan dari retorika ke pemulihan konkret.
Sumber asli:
Hefni Effendi. 2015. Water Quality Management in Indonesia. Dipresentasikan pada Indonesia–Japan Business Matching Seminar for Water Issues, Tangerang, 10 September 2015, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Krisis Air Bersih di Perkotaan Pesisir: Tantangan Global, Solusi Lokal
Di tengah meningkatnya urbanisasi dan perubahan iklim, akses terhadap air bersih menjadi tantangan utama, terutama di wilayah pesisir. Kota Banda Aceh, seperti banyak kota lainnya di Indonesia, menghadapi masalah serius: kualitas air sumur dan sungai terus menurun akibat pencemaran limbah domestik dan intrusi air laut. Permasalahan ini bukan hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga mengancam ketahanan air jangka panjang.
Melalui pendekatan inovatif dan lokal, artikel ini menyajikan solusi yang sangat relevan—pemanfaatan bentonit sebagai bahan alami untuk perbaikan kualitas air masyarakat. Penelitian ini membandingkan efektivitas bentonit aktif dan non-aktif dalam menurunkan parameter penting kualitas air seperti TDS (Total Dissolved Solids), konduktivitas, salinitas, dan pH, baik untuk sumber air sungai maupun air sumur.
Mengapa Bentonit?
Bentonit adalah jenis tanah liat yang mengandung mineral montmorillonit dengan daya serap tinggi. Sifat fisik dan kimianya memungkinkan bentonit menyerap ion-ion logam berat, zat organik, dan berbagai kontaminan air lainnya. Di Aceh sendiri, bentonit mudah ditemukan dan sangat murah, sehingga cocok untuk diaplikasikan secara massal oleh masyarakat tanpa perlu infrastruktur canggih.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, bentonit bahkan terbukti mampu menurunkan bakteri E. coli dalam air tanpa proses aktivasi—menunjukkan potensi luar biasa sebagai media adsorben alami.
Metodologi: Studi Empiris di Kota Banda Aceh
Penelitian dilakukan di sembilan titik pengambilan sampel:
Air dari masing-masing titik dianalisis untuk parameter:
Setelah pengukuran awal, air diuji kembali setelah perlakuan bentonit aktif dan non-aktif, untuk mengukur efektivitas penurunan nilai-nilai tersebut. Bentonit aktif diperoleh melalui pemanasan pada suhu 120°C, sedangkan bentonit non-aktif digunakan langsung setelah digerus dan diayak.
Temuan Utama: Kualitas Air Sebelum Perlakuan Bentonit
1. pH Air
Nilai pH seluruh sampel masih dalam rentang aman untuk air bersih, yaitu antara 6,5 hingga 8,5. Sungai dan sumur menunjukkan pH bervariasi antara 7,4 hingga 8,1.
2. TDS: Masalah Serius di Sumur
TDS sungai bervariasi dari 1,87 hingga 18,92 g/L, sedangkan sumur menunjukkan angka ekstrem:
Standar maksimum TDS untuk air bersih hanya 1 g/L. Ini artinya air sumur warga sangat jauh dari kategori aman untuk dikonsumsi.
3. Konduktivitas & Salinitas
Nilai konduktivitas dan salinitas tinggi ditemukan pada titik-titik dekat muara, seperti Alue Naga (22,65 mV & 49,83‰). Sebaliknya, sumur menunjukkan konduktivitas rendah, artinya belum terkena intrusi air laut, tapi terkontaminasi dari sumber lain seperti limbah domestik.
Perbandingan Efektivitas Bentonit Aktif dan Non-Aktif
Setelah perlakuan menggunakan bentonit, hasilnya menunjukkan:
Kunci Temuan:
Analisis dan Implikasi Praktis
Penelitian ini membuktikan bahwa bentonit merupakan alternatif ekonomis dan ekologis untuk pengolahan air skala rumah tangga. Tidak hanya murah, penggunaannya pun sederhana: cukup dengan mencampur bentonit ke dalam air, diaduk selama dua jam, lalu disaring.
Potensi aplikasi langsung:
Selain itu, karena bentonit tersedia lokal, tidak diperlukan impor bahan kimia atau teknologi mahal. Ini sangat sesuai dengan prinsip kemandirian air masyarakat dan teknologi tepat guna.
Kritik dan Saran: Apa yang Perlu Dikembangkan?
Walaupun temuan ini sangat menjanjikan, ada beberapa tantangan dan peluang pengembangan:
Penelitian lanjutan juga bisa mengeksplorasi kombinasi bentonit dengan bahan lain seperti arang aktif atau zeolit untuk hasil yang lebih optimal.
Relevansi Global dan Nasional
Kajian ini sangat relevan dengan konteks Indonesia dan dunia:
Bahkan secara global, konsep "nature-based solutions" kini didorong oleh UNEP dan WHO sebagai solusi air masa depan. Bentonit sebagai bahan alam berada di garis depan solusi ini.
Penutup: Dari Laboratorium ke Rumah Tangga
Melalui pendekatan ilmiah yang kuat dan orientasi solusi nyata, artikel ini menunjukkan bahwa bentonit bukan sekadar tanah liat biasa. Dengan karakter adsorptifnya, bentonit dapat menjadi "penyaring alami" yang andal dalam meningkatkan kualitas air, bahkan di wilayah yang paling tertekan oleh polusi dan perubahan iklim.
Yang terpenting, teknologi ini bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat—tidak butuh alat canggih atau anggaran besar. Bila diterapkan secara luas dan konsisten, bentonit bisa menjadi salah satu kunci ketahanan air bersih Indonesia di masa depan.
Sumber asli:
Muhammad Zia Ulhaq, Dafif Hanan, Athaya Salsabila, Andi Lala, Muslem Muslem, Zulhiddin Akbar, dan Zahriah Zahriah. 2023. Utilizing Bentonite as a Natural Material to Enhance the Quality of Community Water Resources in the Urban Area. Leuser Journal of Environmental Studies, Vol. 1, No. 2.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Satelit dan Danau: Pertemuan Teknologi dan Keberlanjutan
Dengan lebih dari 800 danau besar dan kecil, Indonesia merupakan negara yang sangat bergantung pada sumber daya air permukaan. Namun, tekanan dari urbanisasi, konversi lahan, dan sedimentasi menyebabkan degradasi serius terhadap danau-danau utama. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa 72% kebutuhan air permukaan dan 25% plasma nutfah dunia berada di ekosistem danau di Indonesia.
Untuk menjawab tantangan ini, buku Pemanfaatan Penginderaan Jauh Satelit untuk Pemantauan Daerah Tangkapan Air dan Danau menyajikan pendekatan mutakhir berbasis teknologi satelit dalam memantau kondisi biofisik danau dan daerah tangkapan air (DTA). Disusun oleh para peneliti dari LAPAN (kini BRIN), buku ini merupakan kumpulan studi lapangan, metode ilmiah, dan aplikasi konkret dari data penginderaan jauh, terutama melalui satelit Landsat dan SPOT.
Masalah Klasik Ekosistem Danau Indonesia
Buku ini mengawali pembahasannya dengan pemetaan problematika danau secara nasional. Beberapa kerusakan paling umum yang diidentifikasi meliputi:
Kondisi ini berdampak langsung pada penurunan produksi perikanan, kapasitas listrik PLTA, hingga potensi wisata air.
Teknologi Penginderaan Jauh: Menjawab Keterbatasan Pemantauan Konvensional
Salah satu solusi paling revolusioner adalah penginderaan jauh melalui satelit. Buku ini menekankan bahwa:
Melalui teknik koreksi radiometrik, orthorektifikasi, dan algoritma regresi, para peneliti menghasilkan data yang andal dan siap pakai untuk pemantauan danau secara operasional.
Studi Kasus: Danau Limboto – Potret Krisis dan Harapan
Salah satu studi yang paling menarik dalam buku ini adalah pemantauan Danau Limboto di Gorontalo selama 20 tahun (1990–2010). Menggunakan kombinasi citra Landsat dan SPOT-4, peneliti berhasil memetakan tingkat kekeruhan air dan tren degradasi.
Temuan Kunci:
Hasil ini mengkonfirmasi penurunan kualitas Danau Limboto, sejalan dengan laporan pemerintah daerah dan studi akademik lainnya.
Studi Kasus: Danau Kerinci – Memetakan Erosi Melalui NDVI
Penelitian lain berfokus pada DTA Danau Kerinci, yang mengalami konversi lahan besar-besaran. Dengan menggunakan 19 citra Landsat selama periode 2000–2009, para peneliti menghitung indeks vegetasi (NDVI) minimum dan maksimum.
Hasil Penting:
NDVI minimum menjadi indikator penting untuk mendeteksi area rawan erosi. Dalam konteks Danau Kerinci, area dengan NDVI rendah cenderung menjadi sumber sedimen ke danau.
Inovasi Teknik: Koreksi Data Multi-Sensor dan Normalisasi
Buku ini juga membahas pentingnya standardisasi koreksi data, terutama saat menggunakan citra dari sensor berbeda dan waktu perekaman yang berjauhan. Prosedur yang digunakan meliputi:
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa setelah proses normalisasi, nilai spektral dari citra Landsat 1990, 2000, dan SPOT 2010 menjadi hampir identik. Ini memungkinkan komparasi antar waktu yang valid dan konsisten.
Tantangan Operasional: Dari Kajian ke Implementasi Nasional
Walaupun metode dan hasil yang dihasilkan sangat menjanjikan, penulis juga mengakui adanya tantangan besar:
Untuk itu, buku ini mendorong adanya standardisasi nasional baik dalam pemrosesan data, penyimpanan, maupun pemanfaatan hasil oleh pemerintah daerah.
Relevansi Global: Sejalan dengan SDG 6 dan 13
Upaya pemantauan danau menggunakan teknologi satelit sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), khususnya:
Studi serupa juga telah dilakukan di Danau Winnipeg (Kanada), Danau Nasser (Mesir), dan berbagai danau di AS. Dengan implementasi penuh, Indonesia berpotensi menjadi pelopor pemantauan danau tropis berbasis satelit.
Kritik Konstruktif dan Saran Penguatan
Beberapa catatan kritis terhadap buku ini antara lain:
Saran ke depan termasuk integrasi dengan platform digital (GIS interaktif), pelibatan pemerintah daerah dalam validasi data, dan pelatihan pemanfaatan data satelit untuk pengambil kebijakan.
Penutup: Satelit sebagai Penjaga Senyap Danau Indonesia
Buku ini adalah tonggak penting dalam transformasi cara kita memantau dan memahami kondisi danau dan DAS di Indonesia. Melalui teknologi penginderaan jauh, kini kita bisa memetakan kekeruhan, erosi, perubahan vegetasi, dan fluktuasi air dengan presisi tinggi—tanpa menyentuh langsung lokasi.
Namun teknologi hanyalah alat. Keberhasilan perlindungan danau tetap bergantung pada sinergi antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan partisipasi masyarakat. Data satelit harus menjadi bahan bakar bagi perubahan nyata di lapangan.
Sumber asli:
Trisakti, Bambang, dkk. 2014. Pemanfaatan Penginderaan Jauh Satelit untuk Pemantauan Daerah Tangkapan Air dan Danau. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN & Crestpent Press, Bogor.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Laut Perlu Dipantau Secara Serius?
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia menyimpan kekayaan hayati laut yang luar biasa—mulai dari terumbu karang, padang lamun, mangrove, hingga berbagai biota laut endemik. Namun, ancaman terhadap laut kian nyata. Limbah industri, sedimentasi dari sungai, tumpahan minyak, dan kegiatan wisata yang tak terkendali semakin menekan kualitas air laut.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan “Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air Laut” pada tahun 2016. Dokumen ini menjadi acuan nasional bagi pemerintah daerah dan laboratorium lingkungan dalam merancang, melaksanakan, dan melaporkan kegiatan pemantauan air laut secara ilmiah dan seragam.
Tujuan Pedoman: Data yang Ilmiah, Konsisten, dan Dapat Dipertanggungjawabkan
Pedoman ini bertujuan menyediakan panduan teknis yang dapat diandalkan dalam seluruh tahapan pemantauan kualitas air laut, dari perencanaan hingga pelaporan. Hal ini penting agar data yang dihasilkan:
Empat Pilar Utama Pemantauan Kualitas Air Laut
1. Perencanaan
Tahap ini mencakup:
Pedoman menyarankan frekuensi ideal minimal empat kali setahun, yaitu:
2. Pelaksanaan Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan ilmiah berdasarkan salinitas dan kedalaman:
Alat yang digunakan harus sesuai standar, misalnya Niskin Sampler, Rosette Sampler, atau alat horizontal khusus untuk air permukaan. Prosedur sampling mengikuti SNI 6964.8:2015, memastikan akurasi dan kebersihan sampel dari kontaminasi.
3. Analisis dan Interpretasi
Sampel dianalisis oleh laboratorium yang:
Analisis dilakukan berdasarkan metode mutakhir seperti SNI, US-EPA, atau APHA, lalu hasilnya diverifikasi dan divalidasi sebelum dianalisis lebih lanjut. Data dibandingkan dengan baku mutu sesuai Kepmen LH No. 51 Tahun 2004, disesuaikan dengan peruntukan:
4. Pelaporan
Laporan disusun dalam dua bentuk:
Hasil analisis juga dikirim dalam format digital untuk diintegrasikan secara nasional oleh KLHK. Penilaian status mutu menggunakan metode Indeks Pencemar (IP) untuk pemantauan sesaat dan STORET untuk pemantauan lebih dari 3 kali dalam setahun.
Parameter Prioritas: Fokus pada Pencemar Laut yang Signifikan
Pedoman ini membagi parameter kualitas air laut ke dalam tiga prioritas:
Prioritas Tinggi:
Prioritas Sedang:
Prioritas Rendah:
Semua parameter ini berkaitan erat dengan dampak utama pencemaran laut seperti eutrofikasi, keracunan biota, dan kontaminasi rantai makanan.
Studi Kasus Simulatif: Pemantauan di Teluk Jakarta
Bayangkan pemantauan dilakukan di Teluk Jakarta, wilayah padat aktivitas pelabuhan dan industri. Berdasarkan pedoman:
Jika ditemukan:
Maka status mutu laut tergolong “cemar berat” berdasarkan STORET, dan memerlukan tindakan segera seperti penertiban pembuangan limbah dan pembangunan IPAL kawasan.
Kelebihan Pedoman Ini: Standardisasi dan Konektivitas Nasional
Beberapa keunggulan teknis dari pedoman ini antara lain:
Hal ini menjadikan data yang dihasilkan tidak hanya bisa digunakan secara lokal, tetapi juga bisa dianalisis lintas provinsi maupun nasional.
Kritik dan Catatan Tambahan
Walaupun petunjuk teknis ini sangat komprehensif, ada beberapa catatan kritis:
Saran perbaikan ke depan termasuk pelatihan intensif bagi SDM lokal, pemberdayaan laboratorium daerah, serta integrasi data berbasis GIS untuk transparansi publik.
Relevansi Global: Sejalan dengan Agenda Laut Dunia
Pemantauan kualitas air laut bukan hanya isu lokal, melainkan sejalan dengan agenda global seperti:
Dengan standar pemantauan yang terstruktur seperti dalam pedoman ini, Indonesia bisa menampilkan diri sebagai negara maritim yang bertanggung jawab di kancah internasional.
Penutup: Menjaga Laut Dimulai dari Data yang Andal
Petunjuk Teknis Pemantauan Kualitas Air Laut Tahun 2016 adalah peta jalan penting untuk menjaga ekosistem laut Indonesia tetap lestari. Dengan pendekatan ilmiah, prosedur yang sistematis, dan orientasi hasil yang terukur, pedoman ini menjadi fondasi dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).
Namun pelaksanaannya butuh sinergi: pemerintah pusat, daerah, laboratorium, dunia usaha, hingga komunitas pesisir. Tanpa kolaborasi, data hanya akan menjadi angka tanpa makna.
Maka dari itu, mari mulai dari hal dasar—melakukan pemantauan dengan benar, agar langkah perbaikan bisa diambil dengan tepat.
Sumber asli:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air Laut Tahun 2016. Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Jakarta.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Air Bengkulu Jadi Sorotan?
Air merupakan komponen vital dalam kehidupan, dan di Kota Bengkulu, keberadaan badan air seperti Danau Dendam Tak Sudah dan sungai-sungai utama (Sungai Hitam, Jenggalu, Babat, dan Bengkulu) memainkan peran penting dalam ekosistem, sumber air bersih, irigasi, dan bahkan pariwisata. Namun laporan resmi Dinas Lingkungan Hidup Kota Bengkulu tahun 2022 menunjukkan bahwa kualitas air di kota ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Pemantauan dilakukan pada 16 titik sampling yang tersebar di lima badan air, dua kali dalam setahun mewakili musim kemarau dan musim hujan. Hasil pengujian dianalisis menggunakan metode STORET dan Indeks Pencemaran (IP), mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 serta Keputusan Menteri LH No. 115 Tahun 2003.
Studi Kasus: Danau Dendam Tak Sudah – Kawasan Konservasi yang Tak Lagi Aman
Danau Dendam Tak Sudah adalah kawasan cagar alam yang semestinya menjadi lokasi perlindungan lingkungan dan sumber daya air. Namun data pemantauan justru menunjukkan kondisi sebaliknya.
Pada Maret 2022, nilai pH air di danau ini berada di angka 4,68 sampai 5,25—terlalu asam, karena standar minimal pH yang aman untuk kelas II adalah 6,0. Angka ini bahkan mencerminkan kondisi perairan yang bisa membahayakan kehidupan biota air tawar.
Lebih mencengangkan, pada September 2022, nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) melonjak hingga 30 miligram per liter di beberapa titik, padahal batas aman hanya 3 mg/L. Hal ini menandakan beban limbah organik yang sangat tinggi di danau, yang bisa menyebabkan deoksigenasi dan kematian organisme akuatik.
Kadar fosfat juga mengalami lonjakan drastis. Di salah satu titik pengambilan sampel, kandungan total fosfat tercatat sebesar 4,12 miligram per liter—20 kali lipat dari batas yang diperbolehkan. Peningkatan fosfat dapat menyebabkan eutrofikasi, yakni pertumbuhan alga berlebihan yang merusak keseimbangan ekosistem air.
Kadar minyak dan lemak juga sangat tinggi, mencapai 2.300 mikrogram per liter, padahal ambang batasnya hanya 1.000 mikrogram. Selain itu, indikator pencemaran mikrobiologis seperti Total Coliform tercatat sebanyak 18.980 per 100 mililiter—jauh melampaui ambang batas maksimum 5.000.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa sekalipun kawasan ini dilindungi secara hukum, tekanan dari pemukiman liar, perambahan kawasan, dan pembangunan infrastruktur telah merusak fungsi ekologis danau.
Sungai Hitam: Ancaman dari Limbah Logam Berat dan Limbah Domestik
Sungai Hitam, yang berada di wilayah padat penduduk, memperlihatkan degradasi kualitas air akibat kombinasi buangan domestik dan kontaminasi logam berat.
Pada titik hilir, kadar tembaga (Cu) tercatat 2,31 miligram per liter—sangat tinggi dibanding batas aman hanya 0,02 miligram. Kadar zinc (Zn) mencapai 1,39 miligram per liter, melebihi ambang yang ditetapkan sebesar 0,05 miligram.
Dari segi beban organik, BOD pada September mencapai 6 miligram per liter, dua kali lipat dari nilai maksimum yang diperbolehkan. COD (Chemical Oxygen Demand) pada Maret juga tercatat sangat tinggi, yakni 61 miligram per liter, jauh di atas batas aman 25 mg/L.
Dari aspek mikrobiologi, sungai ini juga menunjukkan pencemaran yang parah. Total Coliform dan Fecal Coliform mencapai angka 18.980 per 100 mililiter. Ini mencerminkan keberadaan limbah tinja dan risiko tinggi terhadap penyakit yang ditularkan melalui air, seperti diare, hepatitis, dan tifus.
Sungai Jenggalu: Sungai Permukiman dengan Beban Limbah Rumah Tangga
Sungai Jenggalu, yang mengalir melewati wilayah permukiman dan rumah tangga padat, menunjukkan beban pencemaran yang tinggi. Nilai residu terlarut (TDS) di titik hilir mencapai 644 miligram per liter. Daya hantar listrik (DHL) juga tinggi, yaitu 1.026 mikroSiemens per sentimeter—tanda beban ion yang signifikan dalam air.
Kadar fosfat juga sangat tinggi, dengan nilai maksimum sebesar 3,41 miligram per liter. Minyak dan lemak di beberapa titik mencapai 3.400 mikrogram per liter—lebih dari tiga kali lipat dari batas maksimal. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sungai ini sangat tertekan oleh limbah domestik, baik dari aktivitas mencuci, memasak, maupun pembuangan limbah rumah tangga langsung ke badan air.
BOD dan COD yang tinggi di seluruh titik juga menandakan bahwa aktivitas dekomposisi bahan organik sangat intens, mempercepat penurunan kualitas air dan membuat kondisi ekosistem menjadi tidak ideal bagi ikan maupun tanaman air.
Sungai Babat dan Sungai Bengkulu: Penyangga Irigasi dan Sumber Air Minum yang Mulai Terancam
Sungai Babat dan Sungai Bengkulu selama ini menjadi sumber air untuk pertanian serta air baku PDAM. Namun tren pencemaran menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan.
Sungai Babat menunjukkan peningkatan nilai BOD dan kadar fosfat di atas ambang batas. Hal ini dipicu oleh pertumbuhan kawasan hunian serta pembuangan limbah dari sektor pertanian intensif.
Sementara itu, Sungai Bengkulu, yang dimanfaatkan sebagai sumber air oleh Instalasi Pengolahan Air Surabaya, tercatat memiliki kadar minyak dan lemak serta fosfat yang melampaui batas baku mutu, terutama pada titik-titik hilir. Beban cemar ini mengindikasikan risiko jangka panjang terhadap ketersediaan air bersih di wilayah kota.
Evaluasi Status Mutu: Dari Sedang ke Berat
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran (IP) dan Indeks Kualitas Air (IKA), sebagian besar titik di sungai dan danau Kota Bengkulu masuk dalam kategori "cemar sedang" hingga "cemar berat". Titik-titik seperti Danau Dendam Tak Sudah dan Sungai Hitam menunjukkan skor pencemaran tertinggi, didorong oleh kombinasi antara limbah domestik, aktivitas ekonomi informal, dan limbah organik yang tidak terolah.
Implikasi dan Rekomendasi Strategis
Kondisi ini mencerminkan bahwa manajemen air di Kota Bengkulu belum terintegrasi dan belum responsif terhadap tekanan populasi dan perubahan tata guna lahan. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
Untuk Pemerintah:
Untuk Masyarakat:
Untuk Dunia Pendidikan dan Swasta:
Menatap Masa Depan: Belajar dari Sungai yang Pulih
Kisah sukses pemulihan Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan atau revitalisasi Kali Code di Yogyakarta membuktikan bahwa badan air yang tercemar bisa dipulihkan—asal ada komitmen dan keterlibatan semua pihak. Kota Bengkulu dapat mengikuti jejak tersebut dengan pendekatan yang tidak hanya teknis, tapi juga sosial dan budaya.
Penutup
Laporan kualitas air tahun 2022 adalah cermin darurat ekologis Kota Bengkulu. Tanpa intervensi serius, degradasi ini akan terus berlanjut dan berdampak pada kesehatan masyarakat, ketahanan air bersih, serta kelangsungan ekonomi lokal. Namun, dengan langkah kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, badan air Bengkulu bisa kembali jernih dan bermanfaat sebagaimana mestinya.
Sumber asli:
Pemerintah Kota Bengkulu – Dinas Lingkungan Hidup. 2022. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai dan Danau, Status Mutu dan Indeks Kualitas Air Kota Bengkulu Tahun 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Sungai Citarum Jadi Sorotan Nasional?
Sungai Citarum, dengan panjang 269 km, bukan hanya tulang punggung kehidupan bagi 28 juta penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta, tetapi juga menyuplai air untuk irigasi pertanian seluas 420.000 hektar dan menyokong 20% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melalui kawasan industri di sekitarnya. Ironisnya, sungai yang dulunya jadi kebanggaan nasional ini kini dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia.
Penelitian oleh Ratih Pratiwi dan Linda Noviana dari Universitas Sahid Jakarta (2016) memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi kualitas air Sungai Citarum dalam rentang waktu 2011 hingga 2014. Berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologis serta perbandingan dengan peraturan pemerintah, hasilnya menunjukkan status pencemaran berat.
Metodologi dan Lokasi Penelitian: Titik Kritis di Sepanjang Citarum
Penelitian ini dilakukan di tujuh titik strategis:
Pengambilan sampel dilakukan rutin selama empat tahun dan dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) sesuai Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 serta dibandingkan terhadap baku mutu air kelas II dalam PP No. 82 Tahun 2001.
Parameter Kualitas Air: Data Lapangan yang Mengejutkan
Enam parameter utama digunakan:
1. pH: Masih Dalam Ambang Normal
Nilai pH di seluruh titik berada dalam rentang 6–9, sesuai baku mutu air kelas II. Ini menunjukkan keasaman atau kebasaan air masih stabil.
2. TSS: Melewati Ambang Batas
Konsentrasi TSS mencapai angka tertinggi 108 mg/L pada 2014 di Nanjung. Padahal, ambang batas PP No. 82/2001 hanya 50 mg/L. TSS tinggi menandakan beban partikel padat tersuspensi berlebih, yang berasal dari lumpur, limbah industri, dan tinja.
3. DO: Oksigen Terlarut Menurun
Nilai DO rata-rata di bawah standar minimal 6 mg/L, bahkan menyentuh titik kritis 1,58 mg/L di Jembatan Koyod (2014), menunjukkan minimnya oksigen untuk kehidupan akuatik.
4. BOD & COD: Indikator Kuat Polusi Organik
Peningkatan signifikan BOD dan COD menandakan beban limbah organik dan industri tinggi—baik dari limbah domestik, industri tekstil, maupun pertanian.
5. Total Coliform: Alarm Kesehatan Masyarakat
Data 2014 menunjukkan angka tertinggi 24.000 MPN/100 mL di titik Jembatan Koyod, jauh melebihi batas 1.000 MPN/100 mL. Ini menandakan pencemaran tinja manusia dan hewan yang dapat menimbulkan penyakit seperti diare, hepatitis, dan tifus.
Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Pencemar (IP)
Tahun 2014 menjadi tahun terburuk, dengan nilai IP mencapai:
Klasifikasi berdasarkan IP (Kepmen LH No.115/2003):
Seluruh titik pada tahun 2014 masuk kategori cemar berat. Kondisi ini berbanding lurus dengan laporan lapangan bahwa hanya 20% dari 500-an industri di daerah hulu yang memiliki fasilitas pengolahan limbah.
Studi Kasus: Titik 3 – Setelah IPAL Cisirung
Titik ini menunjukkan fakta mencengangkan:
Padahal, titik ini merupakan penerima utama limbah yang telah “diolah” oleh IPAL gabungan. Ini menunjukkan dua kemungkinan: kapasitas IPAL tidak mencukupi atau proses pengolahan limbah tidak berjalan optimal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi pengelolaan infrastruktur lingkungan.
Analisis & Kritik: Kegagalan Multiaktor?
Faktor Penyebab Krisis Kualitas Air:
Kurangnya Kolaborasi Antarsektor
Penanganan Citarum selama ini bersifat sektoral dan tidak terpadu lintas kabupaten/provinsi. Slogan "One River One Plan One Management" belum benar-benar dijalankan.
Tren Global: Rehabilitasi Sungai di Dunia
Kasus Sungai Citarum mirip dengan Sungai Thames (Inggris) atau Sungai Han (Korea Selatan) yang dahulu tercemar berat. Namun, berkat kebijakan tegas, pengolahan limbah modern, dan partisipasi masyarakat, keduanya kini bersih dan dapat dinikmati kembali.
Belajar dari sana, strategi nasional seperti Citarum Harum harus fokus pada:
Rekomendasi Penelitian: Arah Perbaikan
Untuk Pemerintah:
Untuk Masyarakat:
Untuk Dunia Akademik:
Penutup: Waktu Mendesak untuk Bertindak
Laporan ini mempertegas urgensi penyelamatan Sungai Citarum bukan hanya sebagai isu lokal, tetapi nasional—bahkan global. Jika dibiarkan, degradasi lingkungan akan menjadi bencana sosial dan ekonomi. Namun dengan sinergi pemerintah, industri, dan masyarakat, masih ada harapan untuk menjadikan Citarum kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber penyakit.
Sumber asli:
Ratih Pratiwi & Linda Noviana. 2016. Evaluasi Kualitas Air Sungai Citarum. Laporan Penelitian Dosen Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Teknik, Bidang Teknik Lingkungan.