Geodesi dan Geomatika

Geosentrisme

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 18 Februari 2025


Geosentrisme atau disebut Teori GeosentrikModel Geosentrik (bahasa Inggris: geocentric model atau geocentrismPtolemaic system) adalah istilah astronomi yang menggambarkan alam semesta dengan bumi sebagai pusatnya dan pusat pergerakan semua benda-benda langit. Model ini menjadi sistem kosmologi predominan pada budaya kuno misalnya Yunani kuno, yang meliputi sistem-sistem terkenal yang dikemukakan oleh Aristoteles and Claudius Ptolemaeus.

Dua pengamatan umum mendukung pandangan bahwa Bumi adalah pusat dari alam semesta. Pengamatan pertama adalah bintang-bintang, matahari dan planet-planet tampak berputar mengitari bumi setiap hari, membuat bumi adalah pusat sistem ini. Lebih lanjut, setiap bintang berada pada suatu bulatan stelar atau selestial ("stellar sphere" atau "celestial sphere"), di mana bumi adalah pusatnya, yang berkeliling setiap hari, di seputar garis yang menghubungkan kutub utara dan selatan sebagai aksisnya. Bintang-bintang yang terdekat dengan khatulistiwa tampak naik dan turun paling jauh, tetapi setiap bintang kembali ke titik terbitnya setiap hari. Observasi umum kedua yang mendukung model geosentrik adalah bumi tampaknya tidak bergerak dari sudut pandang pengamat yang berada di bumi, bahwa bumi itu solid, stabil dan tetap di tempat. Dengan kata lain, benar-benar dalam posisi diam.

Model geosentrik biasanya dikombinasi dengan suatu Bumi yang bulat oleh filsuf Romawi kuno dan abad pertengahan. Ini tidak sama dengan pandangan model Bumi datar yang disiratkan dalam sejumlah mitologi, sebagaimana juga dalah kosmologi kitab-kitab suci dan Latin kuno.

Yunani kuno

Illustrasi model alam semesta dari Anaximander. Sebelah kiri: siang hari pada musim panas; sebelah kanan: malam hari pada musim dingin.

Teori atau model Geosentrik memasuki astronomi dan filsafat Yunani sejak dini; dapat ditelusuri pada peninggalan filsafat sebelum zaman Sokrates. Pada abad ke-6 SM, Anaximander mengemukakan suatu kosmologi dengan bumi berbentuk seperti potongan suatu tiang (sebuah tabung), berada di awang-awang di pusat segala sesuatu. Matahari, Bulan, and planet-planet adalah lubang-lubang dalam roda-roda yang tidak kelihatan yang mengelilingi bumi; melalui lubang-lubang ini manusia dapat melihat api yang tersembunyi. Pada waktu yang sama, para pengikut Pythagoras, yang disebut kelompok Pythagorean, berpendapat bahwa bumi adalah suatu bola (menurut pengamatan gerhana-gerhana), tetapi bukan sebagai pusat, melainkan bergerak mengelilingi suatu api yang tidak tampak. Kemudian pandangan-pandangan ini digabungkan, sehingga kalangan terpelajar Yunani sejak dari abad ke-4 SM berpikir bahwa bumi adalah bola yang menjadi pusat alam semesta.

Model Ptolemaik

Meskipun prinsip dasar geosentrisme Yunani sudah tersusun pada zaman Aristoteles, detail sistem ini belum menjadi standar. Sistem Ptolemaik, yang diutarakan oleh astronomor Helenistik Mesir Claudius Ptolemaeus pada abad ke- 2 M akhirnya berhasil menjadi standar. Karya astronomi utamanya, Almagest, merupakan puncak karya-karya selama berabad-abad-abad oleh para astronom Yunani kuno, Helenistik dan Babilonia; karya itu diterima selama lebih dari satu milenium sebagai model kosmologi yang benar oleh para astronom Eropa dan Islam. Karena begitu kuat pengaruhnya, sistem Ptolemaik kadang kala dianggap sama dengan model geosentrik.

Ptolemy berpendapat bahwa bumi adalah pusat alam semesta berdasarkan pengamatan sederhana yaitu setengah jumlah bintang-bintang terletak di atas horizon dan setengahnya di bawah horizon pada waktu manapun (bintang-bintang pada bulatan orbitnya), dan anggapan bahwa bintang–bintang semuanya terletak pada suatu jarak tertentu dari pusat semesta. Jika bumi terletak cukup jauh dari pusat semesta, maka pembagian bintang-bintang yang tampak dan tidak tampak tidaklah akan sama.

Sistem Ptolemaik

Elemen-elemen dasar astronomi Ptolemaik, menunjukkan sebuah planet pada suatu epicycle dengan sebuah deferen eksentrik dan sebuah titik equant.

Halaman-halaman dari Annotazione pada karya Sacrobosco Tractatus de Sphaera (1550), menggambarkan Sistem Ptolemaik.

Dalam Sistem Ptolemaik, setiap planet digerakkan oleh suatu sistem yang memuat dua bola atau lebih: satu disebut "deferent" yang lain "epicycle" .

Sekalipun model geosentrik digantikan oleh model heliosentrik. Namun, model deferent dan epicycle tetap dipakai karena menghasilkan prediksi yang akurat dan lebih sesuai dengan pengamatan dibanding sistem-sistem lain. Epicycle Venus dan Mercurius selalu berpusat pada suatu garis antara Bumi dan Matahari (Merkurius lebih dekat ke Bumi), yang menjelaskan mengapa kedua planet itu selalu dekat di langit. Model ini digantikan oleh model eliptik Kepler hanya ketika metode pengamatan (yang dikembangkan oleh Tycho Brahe dan lain-lain) menjadi cukup akurat untuk meragukan model epicycle.

Urutan lingkaran-lingkaran orbit dari bumi ke luar adalah:

  1. Bulan
  2. Merkurius
  3. Venus
  4. Matahari
  5. Mars
  6. Yupiter
  7. Saturnus
  8. Bintang-bintang tetap
  9. Primum Mobile ("Yang pertama bergerak").

Urutan ini tidak diciptakan atau merupakan hasil karya Ptolemaeus, melainkan diselaraskan dengan kosmologi agamawi "Tujuh Langit" yang umum ditemui pada tradisi agamawi Eurasia utama.

Geosentrisme dan Astronomi Islam

Dikarenakan dominansi ilmiah sistem Ptolemaik dalam astronomi Islam, para astronom Muslim menerima bulat model geosentrik.

Pada abad ke-12, Arzachel meninggalkan ide Yunani kuno "pergerakan melingkar uniform" (uniform circular motion) dengan membuat hipotesis bahwa planet Merkurius bergerak dalam orbit eliptik, sedangkan Alpetragius mengusulkan model planetari yang meninggalkan equant, mekanisme epicycle dan eksentrik, meskipun ini menghasilkan suatu sistem yang lebih kurang akurat secara matematik. Fakhr al-Din al-Razi (1149–1209), sehubungan dengan konsepsi fisika dan dunia fisika dalam karyanya Matalib, menolak pandangan Aristotelian dan Avicennian bahwa Bumi berada di pusat alam semesta, melainkan berpendapat bahwa ada "ribuan-ribuan dunia (alfa alfi 'awalim) di luar dunia ini sedemikian sehingga setiap dunia ini lebih besar dan masif dari dunia ini serta serupa dengan dunia ini." Untuk mendukung argumen teologinya, ia mengutip dari Al Quran, "All praise belongs to God, Lord of the Worlds," menekankan istilah "Worlds" (dunia-dunia).

Geosentrisme dan sistem-sistem saingan

Lukisan dari suatu naskah dari Islandia bertarikh sekitar tahun 1750 menggambarkan model geosentrik.

Tidak semua orang Yunani setuju dengan model geosentrik. Sistem Pythagorean yang sudah disinggung sebelumnya meyakini bahwa Bumi merupakan salah satu dari beberapa planet yang bergerak mengelilingi suatu api di tengah-tengah.  Hicetas dan Ecphantus, dua penganut Pythagorean dari abad ke-5 SM, dan Heraclides Ponticus dari abad ke-4 SM, percaya bahwa Bumi berputar mengelilingi aksisnya, tetapi tetap berada di tengah alam semesta. Sistem semacam itu masih tergolong geosentrik. Pandangan ini dibangkitkan kembali pada Abad Pertengahan oleh Jean Buridan. Heraclides Ponticus suatu ketika dianggap berpandangan bahwa baik Venus maupun Merkurius mengelilingi Matahari, bukan Bumi, tetapi anggapan ini tidak lagi diterima. Martianus Capella secara definitif menempatkan Merkurius dan Venus pada suatu orbit mengitari Matahari.  Aristarchus dari Samos adalah yang paling radikal, dengan menulis dalam karyanya (yang tidak lagi terlestarikan) mengenai heliosentrisme, bahwa Matahari adalah pusat alam semesta, sedangkan Bumi dan planet-planet lain mengitarinya. Teorinya tidak populer pada masanya, dan ia mempunyai satu pengikut yang bernama, Seleucus of Seleucia.

Sistem Kopernikan

Dengan penemuan teleskop pada tahun 1609, pengamatan yang dilakukan oleh Galileo Galilei (antara lain bahwa Yupiter memiliki sejumlah bulan) mempertanyakan sejumlah prinsip geosentrisme tetapi tidak secara serius mengancamnya. Karena ia mengamati adanya "titik-titik" gelap pada Bulan, kawah-kawah, ia berkomentar bahwa Bulan bukanlah benda langit sempurna sebagaimana anggapan sebelumnya. Ini pertama kalinya orang dapat melihat cacat pada suatu benda langit yang dianggap terbuat dari aether yang sempurna. Sedemikian, karena cacatnya bulan sekarang dapat dikaitkan dengan apa yang dilihat di Bumi, orang dapat berargumen bahwa keduanya tidak unik, melainkan terbuat dari bahan yang serupa. Galileo juga dapat melihat bulan-bulan yang mengitari Yupiter, yang didedikasikannya kepada Cosimo II de' Medici, dan menyatakan bahwa bulan-bulan itu mengorbit Yupiter, bukan Bumi. Ini merupakan klaim signifikan karena jika benar, berarti tidak semua benda langit mengitari Bumi, menghancurkan kepercayaan teologi dan ilmiah yang dianut sebelumnya. Namun, teori-teori Galileo yang menantang geosentrisme alam semesta dibungkam oleh pihak gereja dan sikap skeptik umum terhadap sistem yang tidak menempatkan Bumi di pusat semesta, mempertahankan pikiran dan sistem Ptolemaeus dan Aristoteles.

Fase-fase planet Venus

Pada bulan Desember 1610, Galileo Galilei menggunakan teleskopnya untuk mengamati semua fase planet Venus, sebagaimana fase-fase Bulan. Ia berpikir bahwa pengamatan ini tidak kompatibel dengan sistem Ptolemaik, tetapi merupakan konsekuensi alamiah dari sistem heliosentrik system.

Ptolemaeus menempatkan deferent dan epicycle Venus seluruhnya di dalam bulatan Matahari (antara Matahari dan Merkurius), tetapi ini hanya sekadar penempatan; dapat saja tempat Venus dan Merkurius ditukar, selama mereka selalu berada pada satu garis yang menghubungkan Bumi ke Matahari, seperti penempatan pusat epicycle Venus dekat dengan Matahari. Dalam kasus ini, jika Matahari menjadi sumber semua cahaya, di bawah sistem Ptolemaik:

Jika Venus berada di antara Bumi dan Matahari, fase Venus seharusnya selalu berbentuk sabit atau seluruhnya gelap. Jika Venus berada di balik Matahari, fase Venus seharusnya selalu hampir penuh (gibbous) atau purnama.

Namun Galileo melihat Venus mulanya kecil dan purnama, kemudian besar dan bayangannya berbentuk sabit.

Gambaran Sistem Tychonik: benda-benda langit pada orbit berwarna biru (bulan dan matahari) mengitari bumi. Benda-benda pada orbit jingga (Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus) mengitari matahari. Semua dikelilingi oleh suatu bulatan bintang-bintang yang juga berputar.

Ini menunjukkan bahwa dengan kosmologi Ptolemaik, epicycle Venus tidak dapat sepenuhnya di dalam maupun di luar orbit matahari. Akibatnya, pada sistem Ptolemaik pandangan bahwa epicycle Venus sepenuhnya di dalam matahari ditinggalkan, dan kemudian pada abad ke-17 kompetisi antara kosmologi astronomi berfokus pada variasi sistem Tychonik yang dikemukakan oleh Tycho Brahe, di mana Bumi masih menjadi pusat alam semesta, dikitari oleh matahari, tetapi semua planet lain berputar mengelilingi matahari sebagi suatu himpunan epicycle masif), atau variasi-variasi Sistem Kopernikan.

Gravitasi

Johannes Kepler,setelah menganalisis pengamatan akurat Tycho Brahe, menyusun ketiga hukum gerakan planetarinya (Hukum Gerakan Planet Kepler (Kepler's laws of planetary motion) pada tahun 1609 dan 1619, berdasarkan pandangan heliosentrik di mana gerakan planet-planet dalam jalur eliptik. Menggunakan hukum-hukum ini, Kepler merupakan astronom pertama yang dengan sukses meramalkan pergerakan planet Venus (untuk tahun 1631). Transisi dari orbit lingkaran ke jalur planetari eliptik secara dramatis mengubah keakuratan pengamatan dan peramalan selestial. Karena model heliosentrik Copernicus tidak lebih akurat dari sistem Ptolemaeus, pengamatan-pengamatan matematik diperlukan untuk meyakinkan mereka yang masih berpegang pada model geosentrik. Namun, pengamatan yang dibuat oleh Kepler, menggunakan data dari Brahe, menjadi problem yang tidak mudah dipecahkan oleh para penganut geosentrisme.

Pada tahun 1838, astronom Friedrich Wilhelm Bessel dengan sukses mengukur paralaks bintang 61 Cygni, membuktikan bahwa Ptolemaeus keliru dalam berpendapat bahwa gerakan paralaks tidak ada. Ini akhirnya menguatkan pernyataan Copernicus dengan pengamatan ilmiah yang akurat dan dapat diandalkan, serta menunjukkan betapa jauhnya bintang-bintang dari bumi.

Kerangka geosentrik berguna untuk aktivitas sehari-hari dan kebanyakan eksperimen laboratorium, namun kurang cocok untuk mekanika tata surya dan perjalanan di ruang angkasa. Meskipun kerangka heliosentrik berguna untuk hal-hal tersebut, astronomi galaksi maupun di luar galaksi menjadi lebih mudah jika matahari dianggap tidak diam ataupun menjadi pusat alam semesta, melainkan berputar mengelilingi pusat galaksi kita, dan galaksi kita selanjutnya juga tidak diam dalam hubungan dengan latar belakang kosmik.

Penganut geosentrisme agamawi dan kontemporari

Map of the Square and Stationary Earth (Peta Bumi bujursangkar dan stasioner/tidak bergerak), karya Orlando Ferguson (1893)

Model Ptolemaik mengenai tata surya masih terus dianut sampai ke awal zaman modern. Sejak akhir abad ke-16 dan seterusnya perlahan-lahan digantikan sebagai penggambaran konsensus oleh model heliosentrisme. Geosentrisme sebagai suatu kepercayaan agamawi terpisah, tidak pernah padam. Di Amerika Serikat antara tahun 1870-1920, misalnya, berbagai anggota Gereja Lutheran – Sinode Missouri menerbitkan artikel-artikel yang menyerang sistem astronomi Kopernikan, dan geosentrisme banyak diajarkan di dalam sinode dalam periode tersebut. Namun, pada tahun 1902 Theological Quarterly, A. L. Graebner menyatakan bahwa sinode itu tidak mempunyai posisi doktrinal terhadap geosentrisme, heliosentrisme, atau model ilmiah lainnya, kecuali kalau itu bertolak belakang dengan Alkitab. Ia menyatakan pula bahwa deklarasi apapun yang dikemukakan para penganut geosentrisme di dalam sinode bukan merupakan pendapat badan gereja secara keseluruhan.

Artikel-artikel yang mendukung geosentrisme sebagai pandangan Alkitab muncul pada sejumlah surat kabar sains penciptaan yang berhubungan dengan Creation Research Society. Umumnya menunjuk kepada beberapa nas Alkitab, yang secara harfiah mengindikasikan pergerakan harian Matahari dan Bulan yang dapat diamati mengelilingi Bumi, bukan karena rotasi Bumi pada aksisnya, misalnya pada Yosua 10:12 di mana Matahari dan Bulan dikatakan berhenti di langit, dan Mazmur 93:1 di mana dunia digambarkan tidak bergerak. Para pendukung kontemporer kepercayaan agamawi itu termasuk Robert Sungenis (presiden dariBellarmine Theological Forum dan pengarang buku terbitan tahun 2006 Galileo Was Wrong (Galileo keliru)). Orang-orang ini mengajarkan pandangan bahwa pembacaan langsung Alkitab memuat kisah akurat bagaimana alam semesta diciptakan dan membutuhkan pandangan geosentrik. Kebanyakan organisasi kreasionis kontemporer menolak pandangan ini.

Dari semuanya, Kopernikanisme merupakan kemenangan besar pertama sains atas agama, sehingga tidak dapat dihindari bahwa sejumlah orang berpikir semua yang salah dengan dunia ini bermula dari sana. (Steven Dutch dari University of Wisconsin–Madison

Morris Berman mengutip bahwa hasil survei menyatakan saat ini sekitar 20% penduduk Amerika Serikat percaya bahwa matahari mengitari bumi (geosentrisme) bukan bumi mengitari matahari (heliosentrisme), sementara 9% mengatakan tidak tahu. Beberapa poll yang dilakukan oleh Gallup pada tahun 1990-an mendapati bahwa 16% orang Jermans, 18% orang Amerika dan 19% orang Inggris/Britania Raya percaya bahwa Matahari mengitari Bumi. Suatu studi yang dilakukan pada tahun 2005 oleh Jon D. Miller dari Northwestern University, seorang pakar pemahaman publik akan sains dan teknologi, mendapati sekitar 20%, atau seperlima, orang dewasa Amerika percaya bahwa Matahari mengitari Bumi. Menurut poll tahun 2011 oleh VTSIOM, 32% orang Russia percaya bahwa Matahari mengitari Bumi.

Albert Einstein berpendapat:

Pergulatan, begitu keras di awal masa sains, antara pandangan Ptolemaeus dan Kopernikus, sebenarnya tidak berarti. Kedua sistem koordinat ini dapat digunakan dengan justifikasi setara. Kedua kalimat: "matahari diam dan bumi bergerak", atau "matahari bergerak dan bumi diam", hanya bermakna konvensi yang berbeda dari dua sistem koordinat yang berbeda.

Stephen Hawking, dalam bukunya "The Grand Design", menyatakan pandangan yang tepat sama dengan Einstein:

Maka apakah yang sesungguhnya, sistem Ptolemaik atau Kopernikan? Meskipun tidak jarang orang mengatakan Kopernikus membuktikan Ptolemaeus salah, hal ini tidak benar.

Posisi historis hierarki Katolik Roma

Galileo affair yang terkenal menghadapkan model geosentrik dengan pernyataan Galileo. Mengenai basis teologi dari argumen semacam itu, dua orang Paus membahas pertanyaan apakah penggunaan bahasa fenomenologi (berdasarkan pengamatan) akan memaksa orang mengakui kesalahan Alkitab. Keduanya mengajarkan bahwa tidak demikian halnya.

Yudaisme Ortodoks

Sejumlah pemimpin Yudaisme Ortodoks, terutama Lubavitcher Rebbe, mempertahankan model geosentrik alam semesta berdasarkan ayat-ayat Alkitab dan penafsiran Maimonides sehingga ia mengajarkan bahwa bumi dikitari oleh matahari. Lubavitcher Rebbe juga menjelaskan bahwa geosentrisme dapat dipertahankan berdasarkan teori Relativitas, di mana dinyatakan bahwa "ketika dua benda di udara bergerak relatif satu sama lain, ... ilmu alam mendeklarasikan dengan kepastian absolut bahwa dari segi sudut pandang ilmiah kedua kemungkinan itu valid, yaitu bumi mengitari matahari, atau matahari mengitari bumi."

Meskipun geosentrisme penting untuk perhitungan kalender Maimonides, mayoritas sarjana agamawi Yahudi, yang menerima keilahian Alkitab dan menerima banyak aturan-aturannya mengikat secara hukum, tidak percaya bahwa Alkitab maupun Maimonides memerintahkan untuk percaya pada geosentrisme. Namun, ada bukti bahwa kepercayaan geosentrisme meningkat di antara umat Yahudi Ortodoks.

Islam

Kasus-kasus prominent geosentrisme modern dalam Islam sangat terisolasi. Hanya sedikit individu yang mengajarkan suatu pandangan geosentrik alam semesta. Salah satunya adalah Grand Mufti Saudi Arabia tahun 1993-1999, Abd al-Aziz ibn Abd Allah ibn Baaz (Bin Baz), yang mengajarkan pandangan ini antara tahun 1966-1985.

Menurut Bin Baz, ”Telah tersebar pada zaman ini di kalangan para penulis dan pengajar bahwasanya bumi itu berputar sedangkan matahari itu tetap, dan pendapat ini diikuti oleh banyak orang, maka banyak sekali pertanyaan. Seputar masalah ini… Maka saya katakan: "Al-Quran dan as-Sunnah serta kesepakatan para ulama dan realita yang ada menunjukan bahwa matahari itu beredar di garis edarnya sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sedangkan bumi tetap tidak bergerak, yang mana Allah menyiapkan sebagai tempat tinggal dan Allah memantapkan dengan gunung-gunung agar tidak bergerak bersama mereka.”

Syaikh al-Utsaimin, ”Adapun pendapat kami tentang peredaran matahari mengelilingi bumi yang dengannya akan terjadi perubahan siang dan malam, maka kami berpegang dengan zhohir dari nash al-Kitab dan as-Sunnah bahwasanya matahari yang bergerak mengelilingi bumi yang dengannya terjadi pergeseran waktu siang dengan malam. Sehingga ada dalil yang qoth’I yang bisa dijadikan hujjah untuk bisa memalingkan dhohir nash al-Kitab dan as-Sunnah, dan manakah dalil itu?"

Menurut Syaikh Albani, "Dalam ilmu Geografi bumi memang bulat dan berputar, akan tetapi dalam ilmu agama, ia lebih cenderung memilih pendapat bahwa bumi dalam keadaan tetap dan datar, dengan dalil yang tersirat (bukan dalil tegas), karena tidak ada dalil yang tegas bahwa bumi itu bulat.

Berikut adalah salah satu contoh dalil tidak tegas dalam ayat Qur'an yang menyatakan matahari-lah yang berputar mengelilingi bumi,

Ibrahim berkata, “…Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur…" (Al Baqarah 2:258)”

Planetarium

Model geosentrik (Ptolemaik) tata surya terus digunakan oleh para pembuat planetarium karena berdasarkan alasan teknis pergerakan tipe Ptolemaik untuk aparatus cahaya planet memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan teori pergerakan Kopernikus. Sistem bulatan selestial yang digunakan untuk tujuan pengajaran dan navigasi juga didasarkan pada sistem geosentrik yang mengabaikan efek paralaks. Namun, efek ini dapat diabaikan pada skala akurasi yang diterapkan pada suatu planetarium.

Sumber Artikel : Wikipedia

Selengkapnya
Geosentrisme

Sistem dan teknik jalan raya

Jalan Setapak

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Jalan setapak (jalan pejalan kaki, lajur pejalan kaki, lajur alam) adalah sebuah jenis jalan yang dipakai hanya oleh pejalan kaki dan tidak dengan bentuk lalu lintas lainnya seperti kendaraan bermotor, sepeda dan kuda. Jalan tersebut dapat ditemukan di banyak tempat, dari tengah kota, sampai perkebunan atau pegunungan. Jalan setapak di perkotaan biasanya diaspal, memiliki tangga, dan dapat disebut gang, jalur, tangga, dll.

Jalan setapak di Hutan Palatine, Jerman

Taman nasional, cagar alam, wilayah konservasi dan tempat liar yang dilindungi lainnya dapat memiliki jalan setapak (lajur) yang dibatasi untuk pejalan kaki.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Jalan Setapak

Sistem dan teknik jalan raya

Kecelakaan Lalu Lintas

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Kecelakaan lalu-lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. (Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)

Tabrakan kecil seperti ini adalah jenis kecelakaan lalu-lintas paling umum

Gandengan Sebuah Truk Terbalik di sebuah Jalan di Los Angeles

Sejarah

Kematian lalu lintas jalan raya pertama yang tercatat di dunia yang melibatkan kendaraan bermotor terjadi pada tanggal 31 Agustus 1869. Ilmuwan Irlandia Mary Ward meninggal ketika dia jatuh dari mobil uap sepupunya dan ditabrak olehnya.

Faktor

Ada empat faktor utama yang menyebabkan terjadikanya kecelakaan, pertama adalah faktor Kelalaian Pengguna Jalan, kedua adalah faktor kendaraan, ketiga Faktor Jalan dan yang terakhir adalah faktor Kondisi Lingkungan. Kombinasi dari keempat faktor itu bisa saja terjadi, antara Pengguna Jalan dengan kendaraan misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada faktor Kondisi lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas.

Faktor Kelalaian Pengguna Jalan

Faktor ini merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran terhadap peraturan lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu. Selain itu manusia sebagai pengguna jalan raya sering sekali lalai bahkan ugal-ugalan dalam mengendarai kendaraan, tidak sedikit angka kecelakaan lalu-lintas diakibatkan karena membawa kendaraan di bawah pengaruh minuman keras, mengantuk karena mengemudi yang sudah melewati ambang batas mengemudi (maksimal 8 jam diselingi dengan istirahat).

Faktor kendaraan

Faktor kendaraan yang paling sering adalah kelalaian perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan. Contoh nya seperti rem blong, setir macet, dll.

Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan, disamping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor secara reguler.

Faktor jalan

Faktor jalan terkait dengan kecepatan, rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda dan sepeda terbang.

Faktor Kondisi Lingkungan

Hari hujan juga memengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah pegunungan.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Kecelakaan Lalu Lintas

Sistem dan teknik jalan raya

Kapasitas Jalan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Kapasitas jalan adalah kemampuan ruas jalan untuk menampung arus atau volume lalu lintas yang ideal dalam satuan waktu tertentu, dinyatakan dalam jumlah kendaraan yang melewati potongan jalan tertentu dalam satu jam (kend/jam), atau dengan mempertimbangan berbagai jenis kendaraan yang melalui suatu jalan digunakan satuan mobil penumpang sebagai satuan kendaraan dalam perhitungan kapasitas maka kapasitas menggunakan satuan satuan mobil penumpangper jam atau (smp)/jam.

Pada saat arus rendah kecepatan lalu lintas kendaraan bebas tidak ada gangguan dari kendaraan lain, semakin banyak kendaraan yang melewati ruas jalan, kecepatan akan semakin turun sampai suatu saat tidak bisa lagi arus/volume lalu lintas bertambah, di sinilah kapasitas terjadi. Setelah itu arus akan berkurang terus dalam kondisi arus yang dipaksakan sampai suatu saat kondisi macet total, arus tidak bergerak dan kepadatan tinggi.

Hubungan Arus dengan Kecepatan dan Kepadatan

Hubungan antara besarnya arus/ volume lalu lintas dengan kecepatan (dalam hal ini kecepatan sesaat) dengan kepadatan lalu lintas adalah (yang juga ditunjukkan dalam gambar)sebagai berikut:

  • Hubungan kecepatan dan kepadatan adalah linier yang berarti bahwa semakin tinggi kecepatan lalu lintas dibutuhkan ruang bebas yang lebih besar antar kendaraan yang mengakibatkan jumlah kendaraan perkilometer menjadi lebih kecil.
  • Hubungan kecepatan dan arus adalah parabolik yang menunjukkan bahwa semakin besar arus kecepatan akan turun sampai suatu titik yang menjadi puncak parabola tercapai kapasitas setelah itu kecepatan akan semakin rendah lagi dan arus juga akan semakin mengecil.
  • Hubungan antara arus dengan kepadatan juga parabolik semakin tinggi kepadatan, arus akan semakin tinggi sampai suatu titik dimana kapasitas terjadi, setelah itu semakin padat maka arus akan semakin kecil.

Faktor yang memengaruhi kapasitas jalan

Kapasitas jalan kota

Faktor yang memengaruhi kapasitas jalan kota adalah lebar jalur atau lajur, ada tidaknya pemisah/median jalan, hambatan bahu/kerb jalan, gradient jalan, didaerah perkotaan atau luar kota, ukuran kota. Rumus di wilayah perkotaan ditunjukkan berikut ini:

Kapasitas jalan antar kota

Kapasitas jalan antar kota dipengaruhi oleh lebar jalan, arah lalu lintas dan gesekan samping.

Tingkat pelayanan

Tingkat pelayanan berdasarkan KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Di Jalan diklasifikasikan atas:

Tingkat pelayanan A

dengan kondisi:

  1. arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi;
  2. kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;
  3. pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan.

Tingkat pelayanan B

dengan kondisi:

  1. arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas;
  2. kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum memengaruhi kecepatan;
  3. pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.

Tingkat pelayanan C

dengan kondisi:

arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi;

  1. kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat;
  2. pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau mendahului.

Tingkat pelayanan D

dengan kondisi:

arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus;

  1. kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar;
  2. pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk waktu yang singkat.

Tingkat pelayanan E

dengan kondisi:

arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;

  1. kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi;
  2. pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.

Tingkat pelayanan F

dengan kondisi:

  1. arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;
  2. kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama;
  3. dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Kapasitas Jalan

Teknik Struktur

Simpang Susun Semanggi

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Simpang Susun Semanggi atau lebih dikenal dengan nama Jembatan Semanggi adalah simpang susun yang berbentuk daun semanggi yang berada di persimpangan antara Jalan Sudirman dan Jalan Gatot Subroto. Jembatan ini dinamakan "Semanggi" karena bentuknya yang menyerupai daun semanggi dan juga wilayah pembangunannya dahulu merupakan daerah rawa yang dipenuhi semanggi. Proyek ini mulai dibangun pada tahun 1961, pada masa pemerintahan Soekarno dan , Menteri Pekerjaan Umum pada saat itu, yakni Ir. Sutami.

Pada tahun 2016, dua jembatan layang persimpangan tambahan yang merupakan hasil rancangan Jodi Firmansyah dibangun. Dua jembatan layang tambahan tersebut memiliki panjang 796 meter yang menghubungkan arus lalu lintas dari arah Grogol menuju ke Senayan dan dari arah Cawang menuju ke Jalan Sudirman, sehingga jika dilihat dari atas, maka akan membentuk lingkaran. Pembangunan dua jembatan layang baru tersebut diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Agustus 2017, bertepatan pada HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI.

Sejarah

1960-an

Kawasan Simpang Susun Semanggi sebelumnya merupakan daerah rawa-rawa yang dipenuhi oleh pohon semanggi. Sejak awal 1960-an, sejalan dengan persiapan penyelenggaraan Pesta Olahraga Asia 1962 dan visi Soekarno untuk menjadikan Jakarta sebagai "mercusuar" dari bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang baru dan kuat, maka dibangunlah Jalan Jendral Sudirman yang menghubungkan kawasan Medan Merdeka dengan kawasan Kebayoran Baru sebagai kota mandiri modern pertama di Indonesia. Selain Jalan Sudirman, Jalan Gatot Subroto juga dibangun untuk menghubungkan kawasan Cawang di sebelah timur dengan Grogol di sebelah Barat.

Agar arus lalu lintas di persimpangan Jalan Sudirman dan Gatot Subroto dapat ditampung dengan baik, maka dibangunlah sebuah simpang susun yang berbentuk daun semanggi, sesuai dengan kondisi kawasan persimpangan yang sebelumnya merupakan rawa-rawa yang ditumbuhi pohon semanggi. Pembangunan simpang susun tersebut selesai dan diresmikan pada tahun 1962, dan dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Jakarta sebagai "Jembatan Semanggi".

1980-an hingga 1990-an

Pada tahun 1987, Jembatan Semanggi mengalami modifikasi untuk menampung arus lalu lintas yang semakin padat. Dilakukan pembangunan dua struktur jembatan baru yang digunakan untuk arus lalu lintas Jalan Gatot Subroto, menggantikan struktur jembatan eksisting yang dialih fungsi menjadi jalan utama (Main Road) Jalan Tol Lingkar Dalam Jakarta ruas Cawang-Grogol, sehingga empat jalan lingkaran yang berada di simpang ini harus dibongkar dan diperkecil. Jembatan Semanggi yang telah dimodifikasi ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1989.

2016-sekarang

Pada Agustus 2016, Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama mencanangkan proyek "Revitalisasi Jembatan Semanggi". Proyek tersebut merupakan modifikasi ketiga dari Jembatan Semanggi setelah modifikasi pertama dan kedua pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Modifikasi tersebut adalah pembangunan dua jembatan layang atau ramp baru yang membentuk lingkaran. Dua ramp tersebut adalah dari arah Cawang menuju ke arah Bundaran HI dan dari arah Grogol menuju Senayan dan Kebayoran Baru. Pembangunan dua jembatan layang baru tersebut mulai dibangun pada tahun 2016 dan selesai sekitar tahun 2017[butuh rujukan], dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp360 miliar, dibiayai dari dana kompensasi atas kelebihan koefisien luas bangunan (KLB) dari PT Mitra Panca Persada, salah satu anak perusahaan asal Jepang, Mori Building Company.[4][5][6] Pembangunan dua ramp baru tersebut selesai pada tahun 2017 dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Agustus 2017, bertepatan pada HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI.[2] Sejak itulah, istilah Simpang Susun Semanggi mulai digunakan.

Pada tahun 2019, seiring dengan proyek revitalisasi trotoar di sepanjang Jalan Jendral Sudirman, dibangun sebuah spot budaya di kolong Simpang Susun Semanggi, tepatnya di area jalan kecil yang merupakan hasil modifikasi kedua pada tahun 1990-an.

Filosofi

Penampakan Simpang Susun Semanggi pada malam hari (2012)

Bentuk daun semanggi dipilih oleh Soekarno karena dianggap sebagai simbol persatuan bangsa. Empat bagian daun menyerupai suku-suku yang ada di Indonesia, kemudian disatukan menjadi satu kesatuan daun yang utuh. Daun semanggi juga diibaratkan “suh” atau pengikat sapu lidi. Batang lidi yang disatukan oleh “suh” akan menjadi kokoh.

Alur

Simpang Susun Semanggi terdiri dari sepuluh ramp, terdiri dari delapan ramp eksisting dan dua ramp tambahan. Delapan ramp eksisiting tersebut terdiri dari empat ramp lurus dan empat ramp melengkung yang membentuk daun semanggi. Empat garis tersebut menghubungkan:

  • Dari arah Senayan/Kebayoran Baru menuju Grogol
  • Dari arah Grogol menuju Bundaran HI/Monas
  • Dari arah Bundaran HI/Monas menuju Cawang
  • Dari arah Cawang menuju Senayan/Kebayoran Baru

Selain garis lurus, terdapat empat ramp lainnya yang membentuk daun semanggi, yakni:

  • Dari arah Cawang menuju ke Bundaran HI/Monas
  • Dari arah Bundaran HI/Monas menuju Grogol
  • Dari arah Senayan/Kebayoran Baru menuju Cawang
  • Dari arah Grogol menuju Senayan/Kebayoran Baru

Sementara dua ramp tambahan menghubungkan dari arah Cawang menuju Bundaran HI/Monas dan dari arah Tomang Grogol menuju Senayan/Kebayoran Baru, sehingga empat ramp eksisting yang membentuk daun Semanggi hanya dapat digunakan untuk kendaraan berputar dari arah Slipi/Grogol kembali ke arah Slipi/Grogol dan dari arah Cawang kembali ke Cawang serta gerakan belok kanan dari Senayan/Kebayoran Baru menuju Cawang dan dari Bundaran HI/Monas menuju Slipi-Tomang.[4]

Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi adalah aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa MPR RI yang dilakukan di kawasan Simpang Susun Semanggi. Peristiwa tersebut berakhir ricuh dan memakan korban jiwa. Peristiwa tersebut terjadi dua kali, yakni Tragedi Semanggi 1 yang terjadi pada 11-13 November 1998 dan Tragedi Semanggi 2 24 September 1999.

Tragedi Semanggi 1

Pada 11-13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat RI mengadakan sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.

Tragedi Semanggi 1 telah menewaskan sekitar 17 warga spil.

Tragedi Semanggi 2

Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Pada saat itu ada pihak yang mendesak pemerintahan B. J. Habibie untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.

Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya. Selain itu, Tragedi Semanggi 2 juga menyebabkan 11 orang lainnya tewas dan 217 orang mengalami luka-luka.

Penanganan Salah satu korban dari Tragedi Semanggi

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Simpang Susun Semanggi

Geodesi dan Geomatika

Ilmu Ukur Wilayah

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 18 Februari 2025


Ilmu ukur wilayah (bahasa Inggrisland surveying), ilmu ukur tanah, atau handasah adalah sebuah metode pengukuran titik-titik dengan memanfaatkan jarak dan sudut di antara setiap titik tersebut pada suatu wilayah dengan cermat. Berbagai titik tersebut biasanya adalah permukaan bumi dan digunakan untuk membuat sebuah peta, batas wilayah suatu lahan, lokasi konstruksi, dan tujuan lainnya. Ilmu ukur wilayah juga merupakan sebuah pekerjaan. Surveyor menggunakan ilmu geodesi yang mencakup berbagai elemen matematika seperti geometri dan trigonometri, juga fisika dan keteknikan.

Kompas Brunton, sebuah alat yang umum digunakan para kartografer dan surveyor di seluruh dunia

Sejarah

Pengukuran wilayah yang sangat mendasar terjadi ketika manusia mulai membangun struktur besar. Bukti paling awal mengenai praktik pengukuran wilayah dilakukan oleh masyarakat yang membangun Stonehenge; mereka menggunakan pasak dan tali sebagai media pengukuran wilayah.

Di peradaban Mesir Kuno, begitu banyak lahan pertanian dibandung di pinggir sungai Nil yang secara rutin mengalami pasang surut yang mengembalikan kesuburan tanah. Tali digunakan sebagai pembatas lahan pertanian milik individu. Selain itu, bentuk persegi yang hampir sempurna dari banyak piramida juga menegaskan penggunaan ilmu ukur wilayah sebagai instrumen pembangunannya.

Di peradaban Romawi, surveyor merupakan sebuah pekerjaan yang resmi.

Ilmu ukur wilayah modern

Table of Surveying, 1728 Cyclopaedia

Sebuah peta hasil ilmu ukur wilayah, tahun 1870

Sistem triangulasi modern dikembangkan oleh pakar matematika Belanda Willebrord Snell, yang pada tahun 1615 telah mensurvey wilayah dari Alkmaar ke Bergen op Zoom, sejauh kurang lebih 70 mil (110 kilometer), menggunakan serangkaian titik yang membentuk 33 segitiga secara keseluruhan. Theodolite ditemukan oleh Jesse Ramsden pada tahun 1787 dan menjadi awal perkembangan yang pesat dari ilmu ukur wilayah modern. Sebelumnya sudah ada alat yang serupa dengan akurasi yang lebih lemah, yang dikembangkan oleh Leonard DiggesJoshua Habermel, dan Jonathan Sisson Theodolite buatan Ramsden digunakan oleh tim Great Trigonometric Survey yang memetakan India hingga gunung Everest yang dimulai pada tahun 1801. Pemetaan yang dilakukan tim ini memiliki banyak dampak secara ilmiah dan ekonomi dan menjadi awal industrialisasi oleh pemerintahan kolonial Inggris dengan pembangunan kanaljalan, dan rel secara massa.

Metode surveying

Dalam sejarahnya, jarak diukur dengan berbagai cara seperti menggunakan tali atau rantai yang direntangkan, contoh rantai Gunther. Cara kuno seperti ini mengharuskan surveyor harus memutuskan alat ukurnya ketika berhadapan dengan tanah miring.

Pengukuran sudut umumnya menggunakan kompas yang menghasilkan sudut antara satu titik dengan titik lainnya relatif terhadap kutub utara kompas sehingga nilainya dapat berupa 0 hingga 359. Pengukuran yang lebih teliti akan mendapatkan detik sudut.

Perubahan berikutnya adalah pengukuran sudut yang lebih teliti dengan menggunakan Theodolit dan mengukur jarak secara elektronik dengan menggunakan EDM.

Saat ini pengukuran dilakukan dengan menggunakan Total Station yang menggabungkan Theodolite dan EDM dengan perangkat pintar didalamnya.

Sumber Artikel : Merlin Reineta

Selengkapnya
Ilmu Ukur Wilayah
« First Previous page 608 of 1.031 Next Last »