Manajemen Proyek

Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025


Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil migas (minyak dan gas bumi) dengan cadangan besar yang tersebar di berbagai wilayah. Salah satu wilayah yang sangat strategis adalah Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur. Wilayah ini telah menjadi fokus utama dalam pengembangan energi nasional sejak eksplorasi intensif dimulai pada 2005. Namun, proyek-proyek migas, terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur pendukung seperti waduk dan jaringan pipa, tidak terlepas dari tantangan risiko yang tinggi.

Faktor risiko dalam proyek konstruksi di sektor migas bukan hanya menyangkut masalah teknis seperti kesalahan desain atau kendala operasional. Risiko juga mencakup aspek sosial, politik, hukum, hingga ancaman terhadap lingkungan hidup. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Nova Nevila Rodhi, Nadjadji Anwar, dan I Putu Artama Wiguna mengulas secara mendalam berbagai faktor risiko ini dan bagaimana teknik penilaian risiko bisa digunakan untuk mengelola proyek dengan lebih berkelanjutan.

Studi yang menjadi dasar resensi ini mengangkat proyek migas di Bojonegoro sebagai contoh nyata. Proyek eksplorasi di Blok Cepu dimulai pada 2005 oleh salah satu perusahaan minyak besar, yang kemudian berhasil mencapai produksi 28.000 barel minyak mentah per hari pada 2007. Target puncak produksi sebesar 165.000 barel per hari awalnya diharapkan tercapai pada 2013, namun mundur hingga 2015.

Menariknya, pencapaian target produksi ini sangat bergantung pada pasokan air sebesar 0,944 meter kubik per detik, yang harus disuplai dari Sungai Bengawan Solo. Ketergantungan terhadap sumber daya alam ini membuka risiko baru yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial, mulai dari kekeringan, konflik air, hingga degradasi ekosistem.

Klasifikasi Risiko: Internal dan Eksternal

Dalam literatur yang dianalisis oleh penulis, risiko proyek dibagi menjadi dua kategori utama: risiko internal dan risiko eksternal.

Risiko internal mencakup elemen yang berada dalam kendali langsung proyek, seperti:

  • Kualitas desain infrastruktur
  • Gangguan dalam pelaksanaan konstruksi
  • Pengadaan material yang terlambat atau tidak sesuai
  • Fluktuasi keuangan proyek
  • Kinerja personel lapangan
  • Gangguan logistik dan distribusi
  • Kontrak yang tidak jelas atau ambigu

Sedangkan risiko eksternal mencakup elemen-elemen yang sulit dikendalikan, seperti:

  • Perubahan kebijakan pemerintah
  • Penolakan dari masyarakat sekitar proyek
  • Konflik sosial di wilayah operasional
  • Fluktuasi harga minyak di pasar global
  • Bencana alam yang memengaruhi lokasi proyek
  • Regulasi lingkungan yang ketat

Pentingnya memahami kedua jenis risiko ini tidak bisa diabaikan. Jika salah satu dari elemen ini tidak diantisipasi sejak awal, proyek dapat mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan, atau bahkan pembatalan total.

Risiko Lingkungan: Masalah yang Sering Diremehkan

Dalam sektor migas, risiko lingkungan menjadi aspek yang sangat kritis. Aktivitas eksplorasi dan produksi migas, apalagi di wilayah daratan seperti Blok Cepu, memiliki potensi mencemari air tanah, merusak ekosistem sungai, dan menghasilkan limbah berbahaya.

Ironisnya, banyak studi dan kebijakan masih terlalu fokus pada aspek teknis atau keuangan, dan mengabaikan pentingnya perlindungan lingkungan. Padahal, risiko lingkungan justru memiliki dampak jangka panjang yang sulit dipulihkan. Oleh karena itu, pendekatan penilaian risiko yang terintegrasi sangat diperlukan—yang tidak hanya menghitung dampak langsung terhadap proyek, tetapi juga terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Teknik Penilaian Risiko: Dari Teori hingga Aksi Nyata

Penulis melakukan tinjauan mendalam terhadap teknik penilaian risiko yang digunakan secara global dalam proyek konstruksi, khususnya yang relevan untuk industri migas. Salah satu pendekatan yang sering direkomendasikan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Teknik ini bekerja dengan membagi kompleksitas risiko menjadi hierarki sederhana, kemudian memberi bobot prioritas berdasarkan dampaknya.

Pendekatan lain yang cukup populer adalah Decision Tree Analysis (DTA), di mana berbagai skenario risiko dianalisis secara grafis untuk mengevaluasi kemungkinan hasil yang berbeda. Kombinasi antara AHP dan DTA memberikan hasil yang lebih akurat dalam menentukan strategi mitigasi.

Model-model berbasis statistik seperti Monte Carlo Simulation juga disebutkan sebagai alat bantu penting untuk mengevaluasi probabilitas risiko dalam kondisi ketidakpastian tinggi. Sementara itu, penggunaan teori Fuzzy Logic dapat membantu mengakomodasi ketidakjelasan data atau informasi yang bersifat kualitatif, seperti opini ahli atau persepsi masyarakat.

Tantangan Utama: Jarak antara Teori dan Praktik

Salah satu temuan paling penting dari studi ini adalah adanya kesenjangan besar antara teori penilaian risiko dan implementasi di lapangan. Meskipun tersedia banyak model dan perangkat penilaian, sangat sedikit proyek konstruksi migas di Indonesia yang benar-benar mengimplementasikannya secara menyeluruh.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

  • Kurangnya pelatihan teknis bagi manajer proyek
  • Minimnya data risiko yang terdokumentasi dengan baik
  • Keterbatasan software atau teknologi pendukung
  • Fokus yang terlalu berat pada biaya dan waktu, bukan pada keberlanjutan

Padahal, ketika penilaian risiko dilakukan dengan baik, proyek tidak hanya menjadi lebih aman dan efisien, tetapi juga lebih diterima oleh masyarakat dan ramah lingkungan.

Rekomendasi: Menuju Model Penilaian Risiko Terpadu

Penulis menyarankan agar ke depan dikembangkan model penilaian risiko yang sederhana, terintegrasi, dan mudah diimplementasikan oleh praktisi di lapangan. Model ini harus mencakup:

  1. Risiko teknis dan operasional, seperti desain, pengadaan, dan jadwal konstruksi.
  2. Risiko sosial dan ekonomi, seperti konflik masyarakat, fluktuasi harga, dan tenaga kerja.
  3. Risiko lingkungan, seperti pencemaran air dan dampak terhadap biodiversitas.

Model seperti ini akan sangat bermanfaat untuk membantu pemangku kebijakan dan manajer proyek dalam mengambil keputusan yang seimbang antara keuntungan ekonomi dan tanggung jawab sosial-lingkungan.

Menuju Keberlanjutan: Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan

Dalam konteks perubahan iklim global dan meningkatnya kesadaran publik terhadap dampak lingkungan proyek industri, manajemen risiko bukan lagi sekadar alat teknis. Ia telah menjadi strategi utama untuk memastikan keberlanjutan. Industri migas, yang sering kali dianggap sebagai industri "kotor", kini dituntut untuk berubah menjadi lebih transparan, adaptif, dan berorientasi pada masa depan.

Hal ini bisa dicapai jika pendekatan penilaian risiko yang menyeluruh benar-benar diadopsi sejak tahap awal proyek. Tidak cukup hanya dengan memenuhi regulasi minimum; proyek-proyek harus mampu menjadi contoh bagi penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang sesungguhnya.

Penutup: Membangun Masa Depan dengan Mengelola Risiko Hari Ini

Resensi ini menegaskan bahwa memahami risiko bukan hanya tentang menghindari kerugian, tetapi juga tentang membuka peluang. Ketika proyek migas direncanakan dengan mempertimbangkan risiko sosial, lingkungan, dan operasional secara seimbang, hasilnya bukan hanya proyek yang sukses secara teknis, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

Model manajemen risiko yang diusulkan dalam studi ini bukan sekadar alat pengukur bahaya, melainkan juga kompas penunjuk arah dalam merancang masa depan industri konstruksi yang lebih bertanggung jawab.

Referensi Asli:

Rodhi, Nova Nevila; Anwar, Nadjadji; Wiguna, I Putu Artama. Studi Literatur terhadap Faktor Risiko Proyek Konstruksi dalam Industri Migas untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Saintek, Vol. 15, No. 2, Desember 2018, hlm. 71–75.

Selengkapnya
Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Keselamatan Kebakaran

Keselamatan Kebakaran dan Evakuasi di Fasilitas Medis: Tantangan dan Solusi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan kebakaran di fasilitas medis menjadi perhatian utama, terutama karena tingginya kadar oksigen di rumah sakit yang dapat mempercepat penyebaran api. Selain itu, mobilitas terbatas pasien juga meningkatkan risiko dalam proses evakuasi darurat. Paper ini mengeksplorasi simulasi kebakaran dan evakuasi untuk menilai Required Safe Evacuation Time (RSET) dan Available Safe Evacuation Time (ASET) menggunakan perangkat lunak Fire Dynamic Simulator (FDS) dan Pathfinder. Penelitian ini menemukan bahwa kadar oksigen yang lebih tinggi dapat mengurangi waktu aman evakuasi hingga kurang dari 150 detik, menjadikan tindakan mitigasi sangat penting untuk keselamatan pasien dan tenaga medis.

Penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis simulasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pemodelan kebakaran dengan Fire Dynamic Simulator (FDS) untuk mengukur suhu, visibilitas, kadar CO, O₂, dan CO₂ di rumah sakit.
  2. Simulasi evakuasi dengan Pathfinder, dengan mempertimbangkan berbagai karakteristik penghuni rumah sakit, seperti pasien dengan keterbatasan mobilitas.
  3. Perbandingan ASET dan RSET untuk mengevaluasi keamanan evakuasi dalam skenario kebakaran.
  4. Analisis dampak kadar oksigen tinggi terhadap penyebaran api dan visibilitas selama evakuasi.

Dalam lingkungan normal, kadar oksigen atmosfer adalah 21%, namun di rumah sakit, terutama di ruang operasi atau ruang perawatan intensif, kadar ini bisa meningkat hingga 25%. Studi ini menemukan bahwa:

  • Oksigen tinggi meningkatkan suhu api, mempercepat penyebaran kebakaran hingga mencapai 500°C dalam 150 detik.
  • Visibilitas berkurang drastis dalam ruangan dengan oksigen tinggi, sehingga pasien dan tenaga medis kesulitan menemukan jalur keluar.
  • Waktu aman evakuasi berkurang drastis dibandingkan dengan lingkungan normal, dengan batas aman kurang dari 150 detik.

Paper ini membandingkan Required Safe Evacuation Time (RSET) dan Available Safe Evacuation Time (ASET):

  • ASET adalah waktu yang tersedia bagi penghuni untuk meninggalkan bangunan sebelum kondisi menjadi fatal.
  • RSET adalah waktu yang dibutuhkan bagi seluruh penghuni untuk mengevakuasi bangunan dengan aman.

Simulasi menunjukkan bahwa jika ASET lebih kecil dari RSET, maka penghuni tidak akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.

  • Dalam kondisi kadar oksigen normal, ASET sekitar 192 detik, memungkinkan evakuasi yang relatif aman.
  • Dalam kondisi kadar oksigen tinggi, ASET berkurang menjadi kurang dari 150 detik, meningkatkan risiko korban jiwa.

Penelitian ini juga menguji berbagai skenario keterlambatan evakuasi (delay time), yang mencakup:

  • Waktu deteksi kebakaran (alarm)
  • Waktu reaksi tenaga medis
  • Kesiapan jalur evakuasi

Hasilnya menunjukkan bahwa:

  • Keterlambatan 60 detik dapat meningkatkan jumlah korban hingga 25%.
  • Keterlambatan 120 detik membuat lebih dari 40% penghuni gagal keluar sebelum kondisi menjadi fatal.

Penelitian ini menggunakan model simulasi jalur evakuasi Pathfinder untuk menguji efektivitas berbagai jalur keluar. Hasilnya menunjukkan bahwa:

  • Tangga merupakan jalur utama evakuasi, tetapi dapat menjadi hambatan jika tidak cukup luas atau memiliki banyak penghuni dengan mobilitas terbatas.
  • Lift tidak direkomendasikan untuk evakuasi kebakaran, tetapi dalam beberapa kasus bisa digunakan dengan prosedur khusus.
  • Jumlah tenaga medis dan petugas evakuasi sangat berpengaruh, dengan rekomendasi minimal 20-30 petugas evakuasi untuk rumah sakit berukuran besar.

Salah satu kejadian nyata yang diangkat dalam penelitian ini adalah ledakan tangki oksigen di rumah sakit Baghdad pada April 2021, yang menyebabkan 82 kematian dan ratusan korban luka.

  • Kadar oksigen tinggi di ruangan tertutup meningkatkan risiko kebakaran spontan.
  • Kurangnya sistem deteksi dini membuat kebakaran sulit dikendalikan sebelum mencapai tingkat berbahaya.
  • Evakuasi yang lambat menyebabkan banyak korban terjebak dalam ruangan penuh asap dan api.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya sistem mitigasi oksigen berlebih dan protokol evakuasi yang lebih efisien untuk fasilitas medis.

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa langkah mitigasi yang direkomendasikan untuk meningkatkan keselamatan kebakaran di rumah sakit meliputi:

1. Kontrol Kadar Oksigen

  • Mencegah akumulasi oksigen di ruang tertutup dengan sistem ventilasi yang baik.
  • Memastikan oksigen tidak kontak dengan bahan mudah terbakar seperti minyak dan pelumas medis.

2. Meningkatkan Sistem Deteksi Kebakaran

  • Menggunakan detektor asap dan sensor oksigen untuk mendeteksi kondisi berbahaya lebih awal.
  • Memasang alarm otomatis yang terhubung ke sistem evakuasi rumah sakit.

3. Optimalisasi Jalur Evakuasi

  • Menambah jumlah petugas evakuasi minimal 20-30 orang di fasilitas besar.
  • Mengurangi waktu keterlambatan evakuasi dengan pelatihan berkala bagi staf medis.
  • Menyesuaikan desain rumah sakit dengan jalur keluar yang lebih luas untuk pasien dengan keterbatasan mobilitas.

4. Penggunaan Teknologi dalam Evakuasi

  • Menggunakan simulasi evakuasi berbasis AI untuk mengoptimalkan rute keluar yang paling aman.
  • Penerapan sistem pemantauan real-time dengan CCTV dan perangkat IoT untuk meningkatkan respons dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa fasilitas medis dengan kadar oksigen tinggi memiliki risiko kebakaran yang jauh lebih besar dibandingkan bangunan biasa.

  • ASET dapat berkurang drastis hingga kurang dari 150 detik, membuat evakuasi menjadi lebih sulit.
  • Penambahan tenaga evakuasi serta sistem deteksi dini sangat penting untuk mengurangi risiko korban jiwa.
  • Desain rumah sakit harus mempertimbangkan jalur evakuasi yang lebih efisien untuk pasien dengan keterbatasan mobilitas.

Dengan menerapkan rekomendasi ini, rumah sakit dapat mengurangi dampak kebakaran, meningkatkan efisiensi evakuasi, serta melindungi pasien dan tenaga medis dari risiko yang tidak perlu.

Sumber 

Shaikh, M. A., Karim, R., Daniel, N. M., & Khan, M. A. (2024). Fire Safety Status and Evacuation of Medical Facility Considering Elevated Oxygen Concentrations. Heliyon, 10, e36847.

Selengkapnya
Keselamatan Kebakaran dan Evakuasi di Fasilitas Medis: Tantangan dan Solusi

Keselamatan Kerja

Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan NFPA 1600 di PT. LG Electronics Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional perusahaan. Banyak perusahaan mengalami kesulitan untuk kembali beroperasi setelah mengalami gangguan akibat bencana, sebagaimana hasil penelitian University of Minnesota yang menunjukkan bahwa 90% perusahaan tidak dapat bangkit setelah 10 hari mengalami kegagalan sistem kritis. Paper ini meneliti implementasi sistem tanggap darurat di PT. LG Electronics Indonesia berdasarkan standar National Fire Protection Association (NFPA) 1600, yang merupakan standar internasional untuk keberlanjutan bisnis, kesiapsiagaan darurat, dan manajemen krisis.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan triangulasi data, yang mencakup:

  • Wawancara terstruktur dengan tiga responden dari PT. LG Electronics Indonesia.
  • Studi dokumentasi dari dokumen perusahaan terkait sistem tanggap darurat.
  • Analisis kesesuaian sistem tanggap darurat dengan 194 elemen indikator NFPA 1600.

Teknik purposive sampling digunakan untuk memilih responden utama, yang terdiri dari General Manager, Koordinator Tim Tanggap Darurat, dan Ahli K3 perusahaan. Dari 194 elemen indikator NFPA 1600, hasil penelitian menunjukkan bahwa:

  • 160 elemen (82,5%) sudah sesuai dengan standar.
  • 34 elemen (17,5%) masih belum sesuai, baik sebagian maupun keseluruhan.

Beberapa aspek yang sudah sesuai meliputi manajemen program, perencanaan, pelatihan, serta pengujian sistem tanggap darurat. Namun, masih ada kekurangan dalam perencanaan pemulihan pasca-bencana (recovery) dan kelengkapan fasilitas darurat. Penelitian mengungkapkan bahwa PT. LG Electronics Indonesia memiliki area berisiko tinggi, seperti:

  • Penyimpanan R600 dan LPG, yang rentan terhadap ledakan.
  • Gudang penyimpanan alkohol dan bahan kimia, yang mudah terbakar.
  • Area produksi dengan material ABS, yang telah menyebabkan beberapa kebakaran kecil akibat kesalahan teknis.

Sepanjang tahun 2019, terjadi beberapa kebakaran kecil di area produksi vacuum forming, dengan total kerugian sebesar Rp131.964.000. Kebakaran ini berhasil dipadamkan menggunakan Alat Pemadam Api Ringan (APAR), tetapi menunjukkan perlunya peningkatan dalam pengelolaan risiko kebakaran. Perusahaan telah membentuk tim tanggap darurat, dengan prosedur evakuasi yang jelas. Namun, ada beberapa kelemahan yang ditemukan:

  • Tidak adanya pusat operasi darurat (Emergency Operations Center).
  • Kurangnya perencanaan pemulihan bisnis setelah bencana.
  • Ketiadaan prosedur khusus untuk pekerja penyandang disabilitas dalam keadaan darurat.
  • Belum adanya sistem komunikasi darurat berbasis teknologi seperti IoT untuk deteksi dini kebakaran.

Sebagai perbandingan, penerapan sistem tanggap darurat di Jepang setelah gempa dan tsunami 2011 menunjukkan bahwa perusahaan dengan sistem tanggap darurat yang matang dapat pulih lebih cepat. Penelitian oleh Nanto (2011) menunjukkan bahwa industri manufaktur Jepang mengalami kerugian hingga $309 miliar, tetapi perusahaan yang memiliki perencanaan pemulihan yang baik mampu melanjutkan produksi lebih cepat dibandingkan yang tidak memiliki sistem pemulihan.

Kesimpulan

  1. Implementasi sistem tanggap darurat di PT. LG Electronics Indonesia sudah baik (82,5% sesuai NFPA 1600), tetapi masih ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.
  2. Beberapa area berisiko tinggi belum sepenuhnya mendapat perlindungan maksimal, terutama dalam hal penyimpanan bahan kimia dan LPG.
  3. Kurangnya perencanaan pemulihan bisnis pasca-bencana (recovery) menjadi tantangan besar dalam meningkatkan ketahanan perusahaan terhadap bencana.

Saran

  1. Mendirikan Pusat Operasi Darurat (Emergency Operations Center) untuk meningkatkan koordinasi dalam situasi darurat.
  2. Menyusun rencana pemulihan bisnis (Business Continuity Plan) agar perusahaan dapat kembali beroperasi lebih cepat setelah bencana.
  3. Menggunakan teknologi berbasis IoT untuk deteksi dini kebakaran, seperti sensor asap otomatis yang terhubung dengan sistem pemadam.
  4. Menyesuaikan prosedur evakuasi bagi penyandang disabilitas, dengan jalur evakuasi yang ramah difabel.

Sumber Artikel

Fairuz Nabila Asfarisya, Herry Koesyanto. Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan National Fire Protection Association (NFPA) 1600 di PT. LG Electronics Indonesia. Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, Vol. 1, No. 2, 2021, 223-233.

Selengkapnya
Implementasi Sistem Tanggap Darurat berdasarkan NFPA 1600 di PT. LG Electronics Indonesia

Keselamatan Kebakaran

Efektivitas Program Edukasi Keselamatan Kebakaran Berbasis Sekolah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan kebakaran merupakan bagian integral dari mitigasi risiko bencana, terutama bagi anak-anak yang sering kali kurang memiliki pemahaman yang memadai mengenai bahaya api. Penelitian ini menggunakan metode rapid evidence assessment, yaitu teknik analisis literatur yang mengumpulkan dan menganalisis berbagai penelitian ilmiah yang relevan dengan topik edukasi keselamatan kebakaran untuk anak-anak. Dari 90 sumber yang diidentifikasi, sebanyak 51 studi memenuhi kriteria inklusi, yang mencakup:

  • Studi akademik atau industri yang dipublikasikan antara 2000 dan 2020.
  • Berbahasa Inggris.
  • Menilai program keselamatan kebakaran bagi anak-anak usia 0–17 tahun.
  • Merupakan strategi pencegahan primer.

Hasil penelitian ini mengungkapkan 25 praktik berbasis bukti yang dikategorikan dalam tujuh tema utama: teori perubahan, target, pendekatan, konten, sumber daya, implementasi, dan evaluasi. Program keselamatan kebakaran berbasis sekolah umumnya didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak memiliki kapasitas terbatas dalam memahami risiko kebakaran dan bereaksi secara rasional dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, pendidikan keselamatan kebakaran bertujuan untuk meningkatkan kesadaran anak-anak akan bahaya api dan mendorong mereka mengambil tindakan yang benar saat menghadapi situasi kebakaran.

Studi menunjukkan bahwa pendekatan yang paling efektif adalah menyesuaikan materi edukasi dengan tahap perkembangan anak. Misalnya:

  • Anak-anak usia prasekolah lebih mudah memahami pelajaran berbasis visual dan permainan interaktif.
  • Anak-anak usia sekolah dasar lebih efektif belajar melalui demonstrasi langsung dan simulasi.
  • Remaja dapat menerima pendekatan berbasis teori dan pemecahan masalah.

Pendekatan yang Efektif dalam Program Keselamatan Kebakaran

  • Terintegrasi dalam kurikulum sekolah, sehingga dapat diselaraskan dengan mata pelajaran lain.
  • Melibatkan tenaga pendidik dan petugas pemadam kebakaran, di mana guru memberikan materi dasar, sedangkan petugas pemadam kebakaran memperkuat pembelajaran melalui simulasi.
  • Berbasis Child-Centered Disaster Risk Reduction (CCDRR), yang menempatkan anak sebagai agen perubahan dalam keselamatan kebakaran di rumah dan komunitasnya.

Materi keselamatan kebakaran yang berfokus pada perubahan perilaku lebih efektif dibandingkan pendekatan berbasis teori semata. Beberapa strategi yang digunakan meliputi:

  • Mengajarkan tindakan darurat, seperti "Stop, Drop, Cover, and Roll" jika pakaian terbakar.
  • Latihan evakuasi yang dilakukan secara berulang untuk membentuk kebiasaan.
  • Perencanaan rute evakuasi di rumah dan sekolah guna memastikan respons cepat saat kebakaran terjadi.

Efektivitas edukasi keselamatan kebakaran dapat ditingkatkan dengan penggunaan alat bantu yang lebih nyata, seperti:

  • Simulasi rumah asap untuk melatih anak-anak menghadapi kondisi kebakaran yang sebenarnya.
  • Digital resources, seperti aplikasi berbasis VR (Virtual Reality) untuk melatih anak dalam pengambilan keputusan darurat.
  • Kampanye berbasis media sosial guna meningkatkan jangkauan edukasi ke keluarga dan komunitas.

Program keselamatan kebakaran yang berhasil harus menjadi bagian dari kegiatan rutin di sekolah dan tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun.

  • Latihan kebakaran harus dilakukan secara berkala dengan peningkatan tingkat kesulitan setiap sesi.
  • Kolaborasi antara sekolah dan layanan pemadam kebakaran harus diperkuat untuk memastikan implementasi yang berkesinambungan.

Paper ini menekankan pentingnya pengukuran dampak program edukasi keselamatan kebakaran. Beberapa metode evaluasi yang direkomendasikan meliputi:

  • Pre-test dan post-test untuk mengukur peningkatan pengetahuan anak-anak sebelum dan sesudah mengikuti program.
  • Simulasi kebakaran dengan skenario nyata guna menilai apakah anak-anak benar-benar menerapkan keterampilan yang telah diajarkan.
  • Survei kepada orang tua untuk mengetahui apakah anak-anak mentransfer pengetahuan mereka ke lingkungan rumah.

Beberapa negara telah menerapkan pendekatan berbasis bukti dalam edukasi keselamatan kebakaran:

  • Australia: Program Fire Ed yang diterapkan di sekolah dasar menunjukkan bahwa 80% anak-anak mampu mengingat prosedur evakuasi dengan benar setelah mengikuti program ini.
  • Amerika Serikat: Studi oleh NFPA (National Fire Protection Association) menemukan bahwa anak-anak yang mengikuti program keselamatan kebakaran memiliki kemungkinan 35% lebih tinggi untuk bertindak dengan benar dalam situasi kebakaran dibandingkan yang tidak mengikuti pelatihan.
  • Jepang: Melalui metode pelatihan simulasi rumah asap, 90% peserta mampu mengikuti rute evakuasi dengan benar dan tanpa kepanikan.

Kesimpulan

  1. Program edukasi keselamatan kebakaran berbasis sekolah merupakan strategi pencegahan paling efektif dalam mengurangi risiko kebakaran bagi anak-anak.
  2. Tidak ada standar global yang diterapkan secara universal, sehingga perlu dikembangkan framework berbasis bukti untuk mengoptimalkan efektivitas program.
  3. Penggunaan teknologi digital dan simulasi nyata dapat meningkatkan pemahaman anak terhadap bahaya kebakaran dan respons yang tepat.
  4. Evaluasi program sangat penting untuk memastikan efektivitas jangka panjang dalam mengubah perilaku anak-anak terhadap keselamatan kebakaran.

Saran

  1. Integrasi lebih luas dalam kurikulum pendidikan nasional, sehingga setiap sekolah memiliki program keselamatan kebakaran yang konsisten.
  2. Peningkatan keterlibatan orang tua dalam edukasi kebakaran, misalnya dengan menyediakan modul pembelajaran di rumah.
  3. Pemanfaatan teknologi berbasis AR dan VR untuk meningkatkan pengalaman belajar anak-anak secara lebih interaktif.
  4. Penguatan regulasi yang mewajibkan latihan kebakaran berkala di sekolah guna membentuk kebiasaan yang lebih kuat dalam menghadapi kebakaran.

Sumber Artikel

Kamarah Pooley, Sonia Nunez, Mark Whybro. Evidence-based Practices of Effective Fire Safety Education Programming for Children. Australian Journal of Emergency Management, Vol. 36, No. 2, April 2021.

Selengkapnya
Efektivitas Program Edukasi Keselamatan Kebakaran Berbasis Sekolah

Keselamatan Kebakaran

Analisis Sistem Tanggap Darurat Kebakaran di Lapangan Penumpukan Terminal Petikemas PT. Nilam Port Terminal Indonesia Tanjung Perak Surabaya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Kebakaran di terminal petikemas merupakan ancaman serius yang dapat menyebabkan kerugian besar, baik dari segi aset, proses kerja, maupun keselamatan pekerja. PT. Nilam Port Terminal Indonesia (NPTI) sebagai salah satu terminal petikemas di Tanjung Perak, Surabaya, memiliki potensi bahaya kebakaran yang tinggi akibat berbagai faktor seperti muatan berbahaya, lingkungan kerja yang ekstrem, dan instalasi listrik yang kompleks. Paper yang ditulis oleh Imroatul Husna dan Ekka Pujo Ariesanto Akhmad ini membahas sistem tanggap darurat kebakaran di PT. Nilam Port Terminal Indonesia, mengevaluasi implementasi sistem tersebut, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan efektivitasnya.

Menurut penelitian ini, sistem tanggap darurat kebakaran yang efektif mencakup aspek pencegahan, penanggulangan, serta rehabilitasi pasca kebakaran. Sistem yang diterapkan harus sesuai dengan regulasi yang berlaku, seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/2008 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 186/1999.

Sistem ini melibatkan:

  • Pengendalian energi yang dapat menyebabkan kebakaran
  • Pemasangan sistem proteksi aktif seperti alat pemadam api ringan (APAR), hidran, dan alarm kebakaran
  • Penyediaan tempat evakuasi (Assembly Point)
  • Pelatihan rutin bagi pekerja
  • Pembentukan tim tanggap darurat (ERT - Emergency Response Team)

PT. NPTI telah memasang 25 unit APAR di area lapangan penumpukan. Setiap unit RTG (Rubber Tyred Gantry) dilengkapi dengan 5 unit APAR dari jenis powder dan foam. Namun, penempatan beberapa APAR ditemukan tidak sesuai standar, seperti digantung di pagar pembatas tanpa pengaman yang kuat. Selain itu, pemeliharaan APAR hanya dilakukan secara formalitas, tanpa pengecekan mendetail terhadap kondisi fisik dan tekanan alat. Paper ini mencatat bahwa PT. NPTI memiliki empat unit hidran yang terletak di pinggir lapangan penumpukan. Pengujian hidran dilakukan setiap bulan, namun ditemukan kendala berupa kotak hidran yang dikunci. Hal ini dapat memperlambat respons dalam keadaan darurat karena kunci harus dibuka terlebih dahulu, yang bertentangan dengan peraturan keselamatan kerja.

Pelatihan atau simulasi tanggap darurat dilakukan setiap tiga bulan sekali, sesuai dengan standar Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 186/MEN/1999. Namun, penelitian ini mencatat bahwa tidak semua pekerja aktif berpartisipasi dalam pelatihan, yang dapat mengurangi efektivitas respons dalam keadaan darurat. PT. NPTI telah membentuk tim ERT yang terdiri dari staf kantor, petugas keamanan, operator RTG, dan mekanik. Tim ini bertugas menangani insiden kebakaran di lapangan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan kesiapan tim masih perlu ditingkatkan melalui pelatihan yang lebih intensif.

Paper ini juga menyoroti bahwa lapangan penumpukan berisi berbagai jenis muatan, termasuk bahan berbahaya (Dangerous Goods), yang memiliki potensi tinggi untuk menyebabkan kebakaran. Faktor lingkungan seperti cuaca panas ekstrem dan sumber daya listrik dari mesin-mesin berat semakin meningkatkan risiko kebakaran. Secara keseluruhan, sistem tanggap darurat kebakaran di PT. Nilam Port Terminal Indonesia telah berjalan sesuai regulasi, namun masih memiliki beberapa kekurangan dalam implementasi yang perlu segera diperbaiki. Beberapa aspek yang perlu ditingkatkan adalah:

  • Optimalisasi Penempatan APAR: Semua unit APAR harus dipasang sesuai standar keselamatan agar mudah diakses dalam keadaan darurat.
  • Pemeliharaan Peralatan Pemadam Kebakaran: Pemeriksaan rutin harus dilakukan dengan lebih serius, tidak hanya sekadar formalitas.
  • Pelatihan Rutin yang Lebih Intensif: Tingkat partisipasi pekerja dalam pelatihan harus ditingkatkan agar setiap individu memiliki kesadaran tinggi terhadap bahaya kebakaran.
  • Aksesibilitas Hidran: Hidran tidak boleh dikunci agar dapat digunakan segera dalam kondisi darurat.

Penelitian ini memberikan wawasan yang sangat berharga dalam memahami bagaimana sebuah terminal petikemas dapat meningkatkan kesiapsiagaannya terhadap kebakaran. Di era modern ini, penting bagi perusahaan untuk terus memperbarui sistem keselamatan mereka dengan teknologi terbaru, seperti penggunaan sistem deteksi otomatis yang lebih canggih dan integrasi dengan perangkat pintar untuk pemantauan jarak jauh.

Kesimpulan

Paper ini menyajikan analisis yang komprehensif tentang sistem tanggap darurat kebakaran di PT. Nilam Port Terminal Indonesia. Meskipun perusahaan telah menerapkan berbagai langkah mitigasi, masih terdapat beberapa aspek yang harus diperbaiki agar sistem tanggap darurat lebih efektif. Dengan perbaikan dalam penempatan alat pemadam kebakaran, peningkatan kesadaran pekerja, serta optimalisasi pelatihan dan prosedur, PT. NPTI dapat meminimalisir risiko kebakaran di lapangan penumpukan mereka.

Sumber Artikel

Imroatul Husna, Ekka Pujo Ariesanto Akhmad. Analisis Sistem Tanggap Darurat Kebakaran di Lapangan Penumpukan Terminal Petikemas PT. Nilam Port Terminal Indonesia Tanjung Perak Surabaya. Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 11, Nomor 1, September 2020. DOI: 10.30649/japk.v11i1.64.

Selengkapnya
Analisis Sistem Tanggap Darurat Kebakaran di Lapangan Penumpukan Terminal Petikemas PT. Nilam Port Terminal Indonesia Tanjung Perak Surabaya

Keselamatan Kerja

Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi di PT. X

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan kerja dalam industri peleburan besi menjadi perhatian utama mengingat tingginya potensi bahaya yang dapat terjadi, terutama ledakan dan kebakaran. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional menggunakan pendekatan observasional kuantitatif. Sampel penelitian terdiri dari 72 orang tim tanggap darurat, yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Responden terdiri dari empat staf Safety Health Environment (SHE), satu penanggung jawab Electric Arc Furnace (EAF), serta enam anggota tim darurat. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi lapangan, serta analisis dokumen internal perusahaan terkait sistem tanggap darurat.

Evaluasi kesiapan tanggap darurat dilakukan dengan mengacu pada International Safety Rating System (ISRS), yang mencakup beberapa elemen:

  • Administrasi dan Manajemen Tanggap Darurat
  • Analisis Risiko dan Sistem Proteksi
  • Kesiapsiagaan Keadaan Darurat di Luar Perusahaan
  • Pengendalian Sumber Energi
  • Sistem Perlindungan dan Penyelamatan
  • Tim Tanggap Darurat dan Pelatihan
  • Komunikasi dan Koordinasi Darurat

Dari 670 poin harapan dalam ISRS, PT. X memperoleh skor 620 poin (92,5%), menunjukkan bahwa sistem tanggap darurat perusahaan telah cukup baik, namun masih memerlukan perbaikan pada beberapa aspek. Rincian hasil evaluasi adalah sebagai berikut:

  • Analisis Keadaan Darurat – 140 poin (96,5%)
  • Sistem Perlindungan dan Penyelamatan – 141 poin (94%)
  • Tim Tanggap Darurat – 40 poin (90%)
  • Pertolongan Pertama pada Kecelakaan – 78,5 poin (98,1%)
  • Perencanaan Pasca Kejadian – 20 poin (100%)
  • Komunikasi Keadaan Darurat – 20 poin (100%)
  • Kesiapsiagaan di Luar Perusahaan – 43 poin (71,7%), kategori ini masih perlu ditingkatkan karena belum ada sistem komunikasi dengan masyarakat sekitar.

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor risiko utama yang berpotensi menyebabkan ledakan dan kebakaran di area Electric Arc Furnace (EAF), antara lain:

  1. Konsleting listrik akibat lonjakan arus.
  2. Scrap basah yang dapat menyebabkan ledakan uap air ketika dipanaskan.
  3. Scrap yang mudah meledak karena komposisi material yang tidak stabil.
  4. Kesalahan dalam proses screening scrap, yang menyebabkan kontaminasi bahan peleburan.
  5. Korosi pada shell furnace, yang dapat mengakibatkan kebocoran material panas.
  6. Lapisan shell yang terpapar langsung oleh burner, meningkatkan risiko kebakaran.

Pada tahun 2004, terjadi ledakan besar di area peleburan besi PT. X yang menyebabkan 13 pekerja mengalami luka berat, satu di antaranya meninggal dunia. Insiden ini disebabkan oleh scrap yang mengandung kadar air tinggi, yang bereaksi dengan logam cair dan menghasilkan gas hidrogen yang mudah meledak. Selain itu, banyak pekerja saat itu tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dengan standar keselamatan. Setelah kejadian tersebut, perusahaan mulai menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) berbasis OHSAS 18001, yang terintegrasi dengan ISO 14001 dan ISO 9001. Perusahaan juga meningkatkan prosedur tanggap darurat dengan latihan evakuasi berkala dan pemantauan suhu furnace secara real-time.

Saat ini, pelatihan bagi tim tanggap darurat di PT. X sudah cukup baik, tetapi perlu ditingkatkan dalam beberapa aspek:

  • Pelatihan penanganan bahan berbahaya dan tumpahan bahan kimia.
  • Latihan simulasi ledakan skala penuh dengan melibatkan seluruh pekerja.
  • Pelatihan pemakaian APD secara ketat, terutama bagi pekerja di area EAF.

Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kurangnya sistem komunikasi darurat yang efektif dengan masyarakat sekitar. Perusahaan perlu mengembangkan:

  • Sistem peringatan dini yang dapat menginformasikan warga sekitar tentang potensi bahaya.
  • Saluran komunikasi khusus dengan pemadam kebakaran lokal dan pihak berwenang.
  • Penyediaan jalur evakuasi yang lebih jelas untuk pekerja dan komunitas sekitar.

Beberapa rambu dan alat proteksi di PT. X mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki. Rekomendasi dalam aspek ini meliputi:

  • Pemeriksaan berkala terhadap sistem alarm kebakaran dan detektor gas.
  • Penggantian dan pemeliharaan APAR serta hydrant.
  • Pemasangan pelindung korosi pada shell furnace untuk mencegah kebocoran.

Kesimpulan

  1. Sistem Emergency Response Preparedness di PT. X sudah cukup baik dengan skor 92,5% dalam ISRS, namun masih ada beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, terutama dalam kesiapsiagaan di luar perusahaan.
  2. Faktor risiko utama ledakan dan kebakaran berasal dari scrap basah, lonjakan listrik, serta kegagalan struktur furnace akibat korosi.
  3. Studi kasus insiden ledakan tahun 2004 menunjukkan perlunya peningkatan pemakaian APD dan pengawasan scrap sebelum peleburan.
  4. Perusahaan perlu meningkatkan latihan simulasi darurat, komunikasi dengan masyarakat, dan pemeliharaan sistem keamanan agar sistem tanggap darurat lebih optimal.

Sumber Artikel

Putri Anggitasari, M. Sulaksmono. Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi pada PT. X. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 3, No. 1, Jan-Jun 2014, 71-81.

Selengkapnya
Penilaian Emergency Response Preparedness untuk Proteksi Ledakan pada Area Peleburan Besi di PT. X
« First Previous page 31 of 965 Next Last »