Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Keterlambatan Proyek: Bukan Sekadar Isu Waktu, Tapi Soal Reputasi dan Efisiensi
Keterlambatan dalam proyek konstruksi, khususnya pada proyek-proyek sektor publik seperti pembangunan gedung pemerintahan atau fasilitas pendidikan, seringkali menimbulkan konsekuensi berlapis baik secara administratif, finansial, maupun reputasi. Dalam konteks ini, artikel karya Novika Candra Fertilia dan tim dari Universitas Mercu Buana menjadi kontribusi penting, karena tidak hanya membedah akar penyebab keterlambatan proyek secara rinci, tapi juga mengintegrasikan pendekatan sistematis berbasis PMBOK 2017.
Melalui studi kasus pada pembangunan Gedung Margono Suradji di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, penelitian ini membuktikan bahwa analisis risiko bukan sekadar pelengkap laporan proyek, melainkan elemen kunci yang harus ditangani sejak tahap awal perencanaan.
Studi Kasus: Proyek Pengembangan Gedung Margono Suradji UGM
Proyek ini mencakup:
Keterlambatan ini sangat signifikan, terlebih proyek berada di kawasan pendidikan tinggi dengan aktivitas akademik padat, di mana ketepatan waktu sangat kritikal. Penundaan yang terjadi tidak hanya berimbas pada biaya dan waktu, tetapi juga pada proses belajar-mengajar serta keselamatan penghuni kampus.
Metodologi Penelitian: Manajemen Risiko PMBOK 2017
Penelitian ini menggunakan pendekatan manajemen risiko sesuai panduan PMBOK (Project Management Body of Knowledge) edisi 6 tahun 2017. Tiga tahapan utama dilakukan:
Pendekatan ini memberikan hasil berbasis data, sekaligus memudahkan prioritisasi dalam penanganan risiko.
Tiga Risiko Tertinggi: Apa yang Menyebabkan Proyek Tertunda?
Dari 38 risiko yang diteliti, tiga di antaranya berada dalam kategori “tinggi”, yaitu:
1. Jadwal Pengiriman Material ke Lokasi (Kode X1)
Pengiriman material yang tidak tepat waktu terbukti menjadi penyumbang terbesar keterlambatan. Keterlambatan pasokan berdampak langsung terhadap stagnasi aktivitas proyek, terutama pada tahap-tahap struktural yang membutuhkan ketepatan waktu tinggi.
2. Keterlambatan Pembayaran dari Owner (X16)
Pembayaran yang tidak lancar oleh pihak pengguna jasa menyebabkan terganggunya arus kas kontraktor, sehingga aktivitas pembelian material dan pembayaran subkontraktor ikut tertunda.
3. Situasi Keuangan Kontraktor (X17)
Masalah permodalan internal seperti kesalahan estimasi biaya, pengelolaan RAP (Rencana Anggaran Pelaksanaan) yang buruk, atau utang usaha menjadi sumber utama gangguan ritme proyek.
Rekomendasi Mitigasi Risiko: Tindakan Nyata untuk Proyek yang Lebih Tertib
Berdasarkan validasi pakar tahap akhir, peneliti menyusun strategi mitigasi yang layak diterapkan:
Untuk Risiko Jadwal Material (X1)
Untuk Risiko Pembayaran Terlambat (X16)
Untuk Risiko Keuangan Kontraktor (X17)
Opini Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Relevansi Industri
Kelebihan:
Keterbatasan:
Relevansi:
Dalam konteks proyek APBN/APBD atau sektor pendidikan yang sangat sensitif terhadap waktu dan anggaran, temuan dari artikel ini sangat kontekstual. Terlebih di era pasca-pandemi, di mana fluktuasi harga material dan ketidakpastian ekonomi masih tinggi.
Komparasi dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Ji et al. (2017) di Tiongkok, yang menyatakan bahwa faktor logistik dan keuangan adalah penyebab dominan keterlambatan proyek. Sementara di Indonesia, Kurniawan & Rudi (2019) juga mencatat bahwa penjadwalan material dan situasi finansial kontraktor menduduki urutan teratas dalam daftar penyebab delay.
Namun berbeda dari studi lain yang cenderung mengandalkan pendekatan kualitatif atau hanya observasional, artikel ini menambahkan nilai dengan pendekatan kuantitatif dan hasil klasifikasi risiko yang jelas.
Mengapa Temuan Ini Penting Bagi Industri?
Dengan semakin banyaknya proyek infrastruktur pemerintah, baik di sektor pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan publik, manajemen risiko menjadi hal wajib. Berdasarkan artikel ini, pelajaran utama yang dapat ditarik adalah:
Kesimpulan: Risiko Tidak Dihindari, Tapi Harus Dikelola
Keterlambatan proyek, terutama proyek pemerintah seperti pembangunan Gedung Margono Suradji, dapat terjadi karena kombinasi dari kesalahan manajerial, kelalaian finansial, dan logistik yang tidak efisien. Namun, keterlambatan ini tidak perlu menjadi keniscayaan jika risiko diidentifikasi, dikalkulasi, dan ditangani secara sistematis sejak awal.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko berbasis PMBOK seperti dalam penelitian ini, pengelola proyek dapat:
Dan yang paling penting, menjaga proyek tetap on track, on budget, dan on quality.
Referensi Asli:
Novika Candra Fertilia, Sediyanto, dan Ahmad Fuadi. Analisis Risiko Penyebab Keterlambatan Proyek Pengembangan Pembangunan Gedung Margono Suradji Yogyakarta Berbasis PMBOK. Jurnal CMJ (Construction Management Journal), Vol. 5 No. 2, Juli 2023, hlm. 141–147.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Mengapa Risiko Proyek Konstruksi Harus Dikelola Sejak Awal?
Proyek konstruksi, terlebih yang dibiayai oleh APBD atau dana publik, bukan sekadar urusan teknis antara kontraktor dan arsitek. Ia menyangkut kepentingan publik yang lebih luas: transparansi anggaran, efisiensi waktu pelaksanaan, dan mutu bangunan jangka panjang. Artikel ini membedah bagaimana risiko dalam proyek pembangunan Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda dapat diidentifikasi dan dikelola melalui metode Severity Index (Sevecindex).
Metode ini menjadi sorotan karena kemampuannya menyederhanakan proses identifikasi dan pemeringkatan risiko secara kuantitatif, yang selama ini sering dianggap rumit dan tidak aplikatif oleh pelaku lapangan. Dengan studi kasus nyata dan data lapangan konkret, artikel ini membuktikan bahwa risiko bukan hanya bisa diukur, tetapi juga ditanggulangi secara sistematis.
Studi Kasus: Pembangunan Kantor DLH Samarinda
Proyek yang diteliti adalah pembangunan gedung vertikal lima lantai milik Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda. Proyek ini memiliki:
Dengan kompleksitas pekerjaan yang tinggi, lokasi di tengah kota, serta tekanan anggaran publik, proyek ini menghadirkan berbagai risiko nyata, terutama terhadap waktu pelaksanaan dan biaya proyek.
Metodologi: Severity Index (Sevecindex)
Sevecindex adalah metode kuantitatif berbasis skala yang menghitung tingkat keparahan suatu risiko berdasarkan dua dimensi:
Setiap variabel risiko dinilai oleh 10 responden ahli proyek (manajer proyek, site engineer, pelaksana, surveyor), kemudian diolah dengan rumus SI = (∑ aᵢ · xᵢ)/(4∑ xᵢ), di mana nilai akhir dikategorikan ke dalam: sangat jarang, jarang, cukup, sering, dan sangat sering.
Hasil Temuan: 30 Risiko Utama yang Relevan
Penelitian ini awalnya mengidentifikasi 32 risiko potensial, namun dua di antaranya dinyatakan tidak relevan, yaitu:
Dari 30 risiko yang tersisa, dikelompokkan berdasarkan aspek frekuensi dan dampaknya terhadap dua dimensi utama proyek: waktu dan biaya.
Risiko Dominan terhadap Waktu
Lima risiko utama yang berdampak besar pada waktu pelaksanaan proyek, dikategorikan sebagai risiko sedang hingga tinggi:
Risiko Dominan terhadap Biaya
Sementara itu, terdapat tiga risiko utama yang berpengaruh secara langsung pada pembengkakan anggaran:
Penanganan Risiko: Rekomendasi Strategis dari Lapangan
1. Mitigasi terhadap Cuaca Ekstrem
2. Mitigasi terhadap Kenaikan Harga Material
3. Mitigasi terhadap Risiko SDM
Kritik dan Komparasi dengan Penelitian Sebelumnya
Studi ini unggul karena:
Namun, artikel ini masih bisa dikembangkan lebih lanjut, terutama:
Sebagai pembanding, penelitian oleh Fitria (2017) pada proyek Tunjungan Plaza 6 menggunakan pendekatan probabilistik berbasis AHP dan menunjukkan bahwa risiko mutu justru menjadi faktor yang sering diabaikan padahal berdampak besar pada citra dan operasional bangunan.
Relevansi dengan Tantangan Konstruksi di Indonesia
Risiko seperti cuaca, SDM, perubahan desain, dan fluktuasi harga material adalah problem klasik yang masih relevan hingga saat ini. Terlebih lagi, dalam konteks proyek pemerintah yang biasanya:
Oleh karena itu, penerapan metode Sevecindex bisa menjadi tools yang efektif untuk diterapkan lebih luas dalam proyek-proyek APBD/APBN lain.
Manfaat Sevecindex untuk Praktisi Lapangan
Bagi pelaksana proyek atau kontraktor yang tidak terbiasa dengan metode analisis risiko yang kompleks, Sevecindex menawarkan keunggulan sebagai:
Dengan hanya 30 variabel utama dan hasil analisis berbasis frekuensi serta dampak, manajer proyek dapat segera menyusun langkah mitigasi tanpa perlu tools mahal atau software kompleks.
Kesimpulan: Risiko Tak Dapat Dihilangkan, Tapi Bisa Dikelola
Penelitian ini membuktikan bahwa risiko dalam proyek konstruksi pemerintah tidak bisa dianggap remeh. Cuaca, alat, tenaga kerja, dan dinamika desain dapat mengganggu jalannya proyek secara signifikan. Namun, dengan pendekatan yang sistematis seperti Sevecindex, risiko-risiko tersebut bisa diidentifikasi sejak awal dan ditangani secara terstruktur.
Ke depan, pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan digitalisasi manajemen proyek, agar pengendalian risiko menjadi bagian dari rutinitas, bukan hanya tindakan reaktif. Dengan demikian, proyek-proyek publik bisa lebih transparan, tepat waktu, dan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat.
Referensi Asli :
Maslina, Muhammad Kurnia, Nike Agustiyana, dan Hikmah Maya Sari. Analisis Risiko Proyek Menggunakan Metode Sevecindex Pada Proyek Pembangunan Kantor Lingkungan Samarinda. Jurnal TRANSUKMA, Vol. 5 No. 1, Desember 2022, hlm. 18–26
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Risiko dalam Konstruksi Perpipaan: Masalah Sistemik di Balik Layanan Air Bersih
Pembangunan infrastruktur air bersih bukan hanya tentang pengadaan pipa atau pengecoran beton. Ia melibatkan kompleksitas teknis, logistik, hingga sosial yang sarat risiko. Di Jakarta, proyek konstruksi jaringan pipa air bersih oleh PDAM Pam Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) menjadi contoh nyata bagaimana risiko yang tidak tertangani bisa mengancam keselamatan kerja, biaya proyek, dan bahkan distribusi air bagi jutaan warga.
Dalam studi yang dilakukan Safruddin MJ dan Sawarni Hasibuan, pendekatan manajemen risiko berbasis House of Risk (HOR) digunakan untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko dalam proyek konstruksi utilitas piping dan pekerjaan sipil. Kajian ini tidak hanya menyuguhkan identifikasi teknis, tetapi juga memberi peta strategis aksi mitigasi yang sangat relevan bagi industri konstruksi perkotaan di Indonesia.
Proyek Konstruksi Palyja: Antara Target Distribusi dan Kenyataan Lapangan
PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), mitra PAM Jaya, bertanggung jawab atas layanan air perpipaan di wilayah Jakarta Barat. Target utamanya adalah memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan air bersih. Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak proyek pemipaan mengalami keterlambatan, pembengkakan biaya, dan bahkan gagal memenuhi target operasional karena risiko-risiko yang tidak dimitigasi sejak awal.
Menurut RPJMN 2015–2019, dari Rp 451,3 triliun total pasar konstruksi nasional, sekitar 65% disumbang oleh sektor pekerjaan sipil seperti konstruksi jalan dan pemipaan. Namun, hanya Rp 33,899 triliun yang dialokasikan untuk infrastruktur air minum dari APBN, sehingga efisiensi dan manajemen risiko menjadi kunci.
Metodologi: Strategi HOR dalam Empat Tahap
Penelitian ini dibagi ke dalam empat fase sistematis:
Hasil Identifikasi: 60 Risiko dan 38 Agen Risiko
Risiko Paling Dominan
Dari 120 kejadian awal, disaring menjadi 60 risk event utama, antara lain:
Contohnya, terlambatnya pekerjaan karena banyaknya utilitas eksisting di lokasi pekerjaan (E59) diberi nilai severity tinggi, karena berpotensi menunda seluruh rantai kerja.
Agen Risiko Tertinggi (Top 5)
Melalui prinsip Pareto 80/20, diidentifikasi lima agen risiko prioritas:
Lima agen risiko ini saja menyumbang lebih dari 30% potensi risiko total proyek.
Studi Kasus: Keterlambatan Proyek dan Dampaknya
Ketika pasokan material utama dan pelengkap terlambat (seperti pada agen risiko A13), dampaknya tidak hanya sekadar waktu, tetapi juga:
Selain itu, gangguan eksternal seperti protes warga, cuaca buruk, dan birokrasi izin menambah kompleksitas pelaksanaan proyek, mengingat jaringan pipa dibangun di bawah jalan-jalan padat dan permukiman padat penduduk.
Strategi Mitigasi: Dari ISO ke Pelatihan Berkelanjutan
Berdasarkan analisis House of Risk fase 2, dirumuskan 38 strategi mitigasi risiko, dengan lima strategi prioritas sebagai berikut:
Setiap strategi ini dirancang berdasarkan efektivitas pengurangan risiko, derajat kesulitan implementasi, dan dampaknya terhadap kinerja proyek secara menyeluruh.
Opini Kritis dan Relevansi Industri
Penelitian ini sangat kuat dalam dua hal: metodologi HOR yang terstruktur dan keberanian memasukkan faktor-faktor human error dan manajemen mutu sebagai pusat perhatian. Sayangnya, tidak banyak penelitian risiko konstruksi yang sedetail ini mengurai risiko pada utilitas air bersih secara spesifik.
Namun, satu kekurangan utama adalah minimnya data kuantitatif dari aspek keuangan (seperti rasio keterlambatan terhadap nilai proyek) yang bisa memperkuat narasi risiko menjadi lebih ekonomis. Juga, kurangnya integrasi teknologi informasi (misalnya penggunaan BIM atau IoT) dalam pendekatan mitigasi menjadi peluang penelitian selanjutnya.
Pembelajaran untuk Proyek Lain di Indonesia
Model ini sangat aplikatif untuk proyek sejenis di kota-kota lain seperti Surabaya, Medan, atau Makassar, yang juga sedang membangun jaringan air bersih dan sanitasi. Di tengah tuntutan pemerintah pusat terhadap penurunan Non-Revenue Water (NRW) nasional hingga 20% dan peningkatan akses air bersih mencapai 100% pada 2030 (Sustainable Development Goal 6), mitigasi risiko menjadi fondasi penting.
Rekomendasi Praktis dari Studi Ini
Bagi Anda yang bergerak di bidang konstruksi sipil, manajemen proyek, atau pengadaan air bersih, berikut beberapa poin strategis:
Penutup: Risiko yang Dikelola, Proyek yang Berhasil
Penelitian ini menegaskan bahwa kesuksesan proyek tidak hanya bergantung pada teknologi dan pendanaan, tetapi juga pada bagaimana risiko dipahami dan dimitigasi secara sistematis. Dengan model seperti House of Risk, perusahaan konstruksi, operator utilitas, dan pemerintah daerah memiliki alat yang tepat untuk mengendalikan risiko sejak perencanaan hingga penutupan proyek.
Pada akhirnya, risiko tidak harus menjadi penghalang, melainkan bisa menjadi panduan untuk menciptakan sistem kerja yang lebih cerdas, efisien, dan andai menuju layanan air bersih yang layak dan berkelanjutan untuk semua.
Referensi Asli:
Safruddin MJ & Sawarni Hasibuan. Strategi Mitigasi Risiko Proyek Konstruksi Utilitas Piping dan Pekerjaan Sipil: Studi Kasus PDAM Jakarta. Operations Excellence, Volume 12, Nomor 1, 2020, halaman 74–87.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Industri konstruksi menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur nasional, namun ironisnya juga tercatat sebagai salah satu sektor paling berisiko dari segi keselamatan kerja. Dengan lingkungan kerja yang dinamis, waktu pengerjaan yang ketat, dan jumlah tenaga kerja dalam skala besar, proyek konstruksi sangat rentan terhadap kecelakaan yang dapat mengakibatkan luka serius bahkan kematian.
Dalam konteks ini, artikel yang ditulis oleh para peneliti dari Universitas Mercu Buana ini menyuguhkan sebuah kajian literatur sistematis terhadap risiko keselamatan kerja dalam proyek konstruksi. Studi ini mengulas jurnal dari lebih dari 20 negara berbeda, serta menggali bagaimana manajemen risiko dapat diterapkan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja dan kerugian proyek.
Risiko di Balik Pengerjaan: Dimensi Masalah yang Kompleks
Penelitian ini menyimpulkan bahwa risiko dalam proyek konstruksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama:
Fakta Global: Ketidakselamatan adalah Masalah Lintas Negara
Data dari United States Bureau of Labor Statistics (2016) menunjukkan bahwa sebanyak 937 pekerja tewas dalam proyek konstruksi, meningkat dari 899 orang pada tahun 2014. Hal ini menggarisbawahi bahwa kecelakaan kerja bukan masalah sepele, dan terus menjadi perhatian di seluruh dunia.
Berbagai negara memiliki fokus yang berbeda terhadap jenis risiko. Sebagai contoh:
Studi Kasus Lokal: Gedung Bertingkat dan Perumahan di Indonesia
Beberapa studi dalam negeri yang dikaji dalam artikel ini memperlihatkan realita proyek konstruksi di Indonesia:
1. Proyek Gedung Bertingkat (Nurlela & Suprapto, 2010)
Identifikasi risiko utama di proyek ini mencakup kurangnya komunikasi dengan pemilik proyek (owner), yang berdampak pada deviasi waktu dan biaya. Solusi yang ditemukan adalah peningkatan keterlibatan owner dalam proses komunikasi sejak tahap awal proyek.
2. Proyek Kabupaten Jembrana (Norken et al., 2012)
Ditemukan 71 jenis risiko di proyek konstruksi pemerintah. Yang paling dominan adalah keterlambatan progres karena lemahnya manajemen keuangan kontraktor. Ada pula muatan politis yang memengaruhi pengambilan keputusan.
3. Proyek Perumahan di Minahasa Utara (Rumimper et al., 2015)
Penelitian ini mengidentifikasi 10 aspek risiko dengan mayoritas termasuk kategori high risk, menunjukkan rendahnya kesiapan kontraktor perumahan dalam manajemen risiko proyek.
Risiko Keselamatan: Kelalaian Masih Mendominasi
Faktor risiko keselamatan yang paling sering ditemukan dalam berbagai literatur adalah:
Sebagai contoh, pada proyek pembangunan Universitas Ciputra (Widianto & Huda, 2019), risiko tertinggi adalah perubahan desain di tengah jalan, arus kas tidak stabil, serta pekerja yang tidak menggunakan alat keselamatan kerja, yang semuanya berkontribusi pada meningkatnya potensi kecelakaan.
Metode Identifikasi Risiko: Dari Kualitatif ke Kuantitatif
Penulis menelusuri berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko keselamatan:
Sebagai contoh, metode Fuzzy TOPSIS (Karimiazari et al., 2011) di Iran mampu mengembangkan sistem evaluasi risiko yang fleksibel dan kontekstual sesuai kompleksitas proyek konstruksi.
Mitigasi Risiko: Solusi Sistemik, Bukan Parsial
Penanganan risiko keselamatan kerja tidak cukup hanya dengan memasang spanduk K3 atau memberi pelatihan sekali waktu. Diperlukan sistem mitigasi terstruktur, antara lain:
Salah satu praktik terbaik adalah penerapan konsep zero accident dalam proyek jalan tol Cisumdawu (Devi et al., 2018), di mana penerapan inspeksi harian dan pelibatan seluruh pekerja dalam sistem asuransi berhasil menekan angka kecelakaan hingga nol selama proyek berlangsung.
Tanggung Jawab Kolektif: Siapa Bertanggung Jawab atas Risiko?
Hasil review menunjukkan variasi dalam alokasi tanggung jawab:
Namun, banyak jurnal yang mencatat bahwa alokasi risiko belum selalu disepakati secara eksplisit, menyebabkan kebingungan ketika risiko benar-benar terjadi. Inilah pentingnya kontrak konstruksi mencantumkan klausul pengalihan risiko yang adil dan jelas (Rastogi, 2016).
Tantangan Implementasi: Dari Teori ke Praktik
Meskipun telah banyak pendekatan akademik dan metodologi risiko dikembangkan, implementasi di lapangan masih menghadapi hambatan:
Untuk itu, dibutuhkan reformasi budaya organisasi di sektor konstruksi, dengan menekankan pentingnya keselamatan sebagai nilai inti, bukan sekadar kewajiban administratif.
Rekomendasi Strategis
Berdasarkan temuan artikel, berikut adalah beberapa langkah strategis yang direkomendasikan:
Penutup: Mengamankan Proyek, Menyelamatkan Nyawa
Keselamatan kerja dalam proyek konstruksi bukan hanya soal kepatuhan hukum atau efisiensi biaya. Ini adalah tentang nyawa manusia. Dengan mengidentifikasi risiko secara sistematis dan menerapkan manajemen risiko yang berkelanjutan, kita bisa mengubah proyek-proyek konstruksi dari zona bahaya menjadi tempat kerja yang aman, produktif, dan bermartabat.
Artikel ini menunjukkan bahwa keselamatan bukan semata persoalan teknis, melainkan perpaduan antara manajemen, budaya, dan kepemimpinan. Semoga praktik terbaik dan wawasan dari studi ini dapat menjadi titik balik bagi transformasi keselamatan kerja di sektor konstruksi Indonesia.
Referensi Asli:
Sutikno, Yanuar Kurniawan, Duden Dodi Hartono, Humiras Hardi Purba. Identifikasi Risiko Keselamatan Pada Proyek Konstruksi: Kajian Literatur. Jurnal Teknologi dan Manajemen, Vol. 19 No. 2 (2021): 67–76. ISSN: 1693-2285. DOI: 10.52330/jtm.v19i2.28.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Bencana Bukan Takdir, Tapi Risiko yang Bisa Dikelola
Indonesia dikenal sebagai negeri rawan bencana: gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga letusan gunung api seolah menjadi bagian dari realitas geografis dan ekologis negara ini. Namun, apakah bencana harus selalu berarti kehancuran? Buku Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana karya kolektif dari 13 akademisi ini memberikan jawaban: tidak. Bencana bisa dikelola. Dan kuncinya ada pada pengetahuan, kolaborasi, dan tindakan terstruktur.
Dalam buku ini, bencana dipahami sebagai kombinasi antara bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas mitigasi. Artinya, yang membuat bencana menjadi destruktif bukan semata karena fenomena alam, tetapi karena manusia gagal mengelolanya. Buku ini membedah berbagai strategi mitigasi bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berbasis komunitas.
Studi Kasus: Banjir, Tanah Longsor, dan Ekstrem Cuaca di Indonesia
Data dari BNPB pada 2022 mencatat bahwa Indonesia mengalami lebih dari 1.800 kejadian bencana, dengan tiga besar penyebab adalah:
Dampaknya sangat nyata: lebih dari 2,4 juta orang terdampak dan mengungsi, dengan 104 orang meninggal dunia dan 692 mengalami luka-luka. Fakta ini menegaskan bahwa bencana bukan sekadar insiden alam, tapi masalah struktural yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat.
Ibu Kota Nusantara dan Konsep Sponge City: Harapan Baru?
Salah satu highlight dalam buku ini adalah pengangkatan konsep Sponge City sebagai strategi adaptif menghadapi banjir di kawasan perkotaan. China dan Australia telah mengaplikasikan pendekatan ini dengan prinsip dasar: kota harus mampu menyerap dan mengelola air layaknya spons alami.
Indonesia pun mulai menerapkan pendekatan ini di proyek ambisiusnya: Ibu Kota Nusantara (IKN). Kota ini dirancang agar mampu menyerap air hujan, mencegah limpasan permukaan, dan mengurangi banjir melalui integrasi ruang hijau, infrastruktur berpori, serta konservasi DAS. Konsep ini menjadi representasi konkret dari transformasi penanggulangan bencana ke arah yang berkelanjutan.
Pilar-Pilar Manajemen Risiko Bencana yang Efektif
1. Pencegahan dan Mitigasi
Pencegahan dan mitigasi ditekankan sebagai fase kunci dalam siklus manajemen bencana. Misalnya:
Upaya ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif masyarakat. Misalnya, InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) telah menjadi model peringatan dini yang dikenal dunia.
2. Penanggulangan Berbasis Komunitas
Penulis menyoroti pentingnya pendekatan lokal. Desa Siaga Bencana dan Kampung Siaga Bencana adalah contoh nyata dari pemberdayaan masyarakat sebagai garda depan mitigasi. Pendekatan ini terbukti lebih efektif karena masyarakat lokal memiliki pengetahuan kontekstual dan respon yang lebih cepat saat bencana datang.
3. Kesiapsiagaan dan Respons Cepat
Respons bencana memerlukan koordinasi lintas sektor. Buku ini menekankan pentingnya:
Respons yang lambat atau tidak terkoordinasi, seperti yang sering terjadi dalam bencana banjir di Jabodetabek, justru memperparah kerugian.
Perubahan Iklim: Akar Masalah dan Ancaman Masa Depan
Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan—ia telah menjadi pemicu utama meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana. Buku ini secara eksplisit menghubungkan pemanasan global dengan meningkatnya risiko:
Indonesia menyumbang emisi CO₂ yang signifikan melalui deforestasi dan pembakaran lahan. Dalam delapan tahun terakhir, lebih dari 8,6 juta hektar hutan di Kalimantan terbakar, menyamai 62% luas Pulau Jawa. Dampaknya bukan hanya lingkungan, tapi juga kesehatan, perekonomian, dan migrasi ekologis.
Perspektif Multidisipliner: Kekuatan Utama Buku Ini
Salah satu nilai tambah buku ini adalah pendekatannya yang multidisipliner dan holistik. Bencana dianalisis dari berbagai sudut pandang:
Hal ini membuat buku ini relevan bagi pembuat kebijakan, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum.
Studi Kasus Internasional: Belajar dari Dunia
Buku ini juga menyinggung praktik internasional yang bisa menjadi acuan Indonesia, di antaranya:
Dengan belajar dari pengalaman global, Indonesia dapat memperkaya strategi domestiknya dalam menghadapi risiko yang terus berkembang.
Kolaborasi: Kunci Ketahanan Bencana
Manajemen bencana bukan urusan satu pihak. Buku ini berulang kali menegaskan perlunya kolaborasi multipihak, yaitu:
Sinergi ini terbukti ampuh dalam berbagai pengalaman tanggap darurat, seperti saat erupsi Merapi 2010 dan gempa Lombok 2018.
Menuju Masa Depan yang Lebih Tangguh: Rekomendasi Kunci
Penutup: Dari Risiko Menjadi Resiliensi
Buku Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana adalah seruan sekaligus panduan untuk Indonesia agar berpindah dari paradigma reaktif menjadi proaktif. Bahwa bencana bisa dan harus dikelola dengan sistematis, ilmiah, dan inklusif. Di tengah krisis iklim global, negara seperti Indonesia tak lagi bisa mengandalkan keberuntungan geografis atau kekuatan spiritual semata. Kita butuh kebijakan yang terukur, teknologi yang adaptif, dan masyarakat yang sadar akan risiko.
Dengan mengedepankan pengetahuan, partisipasi, dan keberlanjutan, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih tangguh dan berdaya tahan terhadap bencana.
Referensi Asli:
Ahmad Yauri Yunus, Siti Nurjanah Ahmad, Rudi Latief, Mansyur, Dewi Mulfiyanti, Burhanuddin Badrun, Muhammad Syarif, Ranno Marlany Rachman, Abdul Rahim Sya’ban, Indriaty Wulansari, Armin Aryadi, Sri Gusty. Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana. Penerbit Tohar Media, Juli 2024. ISBN: 978-623-8421-90-9.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil migas (minyak dan gas bumi) dengan cadangan besar yang tersebar di berbagai wilayah. Salah satu wilayah yang sangat strategis adalah Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur. Wilayah ini telah menjadi fokus utama dalam pengembangan energi nasional sejak eksplorasi intensif dimulai pada 2005. Namun, proyek-proyek migas, terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur pendukung seperti waduk dan jaringan pipa, tidak terlepas dari tantangan risiko yang tinggi.
Faktor risiko dalam proyek konstruksi di sektor migas bukan hanya menyangkut masalah teknis seperti kesalahan desain atau kendala operasional. Risiko juga mencakup aspek sosial, politik, hukum, hingga ancaman terhadap lingkungan hidup. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Nova Nevila Rodhi, Nadjadji Anwar, dan I Putu Artama Wiguna mengulas secara mendalam berbagai faktor risiko ini dan bagaimana teknik penilaian risiko bisa digunakan untuk mengelola proyek dengan lebih berkelanjutan.
Studi yang menjadi dasar resensi ini mengangkat proyek migas di Bojonegoro sebagai contoh nyata. Proyek eksplorasi di Blok Cepu dimulai pada 2005 oleh salah satu perusahaan minyak besar, yang kemudian berhasil mencapai produksi 28.000 barel minyak mentah per hari pada 2007. Target puncak produksi sebesar 165.000 barel per hari awalnya diharapkan tercapai pada 2013, namun mundur hingga 2015.
Menariknya, pencapaian target produksi ini sangat bergantung pada pasokan air sebesar 0,944 meter kubik per detik, yang harus disuplai dari Sungai Bengawan Solo. Ketergantungan terhadap sumber daya alam ini membuka risiko baru yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial, mulai dari kekeringan, konflik air, hingga degradasi ekosistem.
Klasifikasi Risiko: Internal dan Eksternal
Dalam literatur yang dianalisis oleh penulis, risiko proyek dibagi menjadi dua kategori utama: risiko internal dan risiko eksternal.
Risiko internal mencakup elemen yang berada dalam kendali langsung proyek, seperti:
Sedangkan risiko eksternal mencakup elemen-elemen yang sulit dikendalikan, seperti:
Pentingnya memahami kedua jenis risiko ini tidak bisa diabaikan. Jika salah satu dari elemen ini tidak diantisipasi sejak awal, proyek dapat mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan, atau bahkan pembatalan total.
Risiko Lingkungan: Masalah yang Sering Diremehkan
Dalam sektor migas, risiko lingkungan menjadi aspek yang sangat kritis. Aktivitas eksplorasi dan produksi migas, apalagi di wilayah daratan seperti Blok Cepu, memiliki potensi mencemari air tanah, merusak ekosistem sungai, dan menghasilkan limbah berbahaya.
Ironisnya, banyak studi dan kebijakan masih terlalu fokus pada aspek teknis atau keuangan, dan mengabaikan pentingnya perlindungan lingkungan. Padahal, risiko lingkungan justru memiliki dampak jangka panjang yang sulit dipulihkan. Oleh karena itu, pendekatan penilaian risiko yang terintegrasi sangat diperlukan—yang tidak hanya menghitung dampak langsung terhadap proyek, tetapi juga terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Teknik Penilaian Risiko: Dari Teori hingga Aksi Nyata
Penulis melakukan tinjauan mendalam terhadap teknik penilaian risiko yang digunakan secara global dalam proyek konstruksi, khususnya yang relevan untuk industri migas. Salah satu pendekatan yang sering direkomendasikan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Teknik ini bekerja dengan membagi kompleksitas risiko menjadi hierarki sederhana, kemudian memberi bobot prioritas berdasarkan dampaknya.
Pendekatan lain yang cukup populer adalah Decision Tree Analysis (DTA), di mana berbagai skenario risiko dianalisis secara grafis untuk mengevaluasi kemungkinan hasil yang berbeda. Kombinasi antara AHP dan DTA memberikan hasil yang lebih akurat dalam menentukan strategi mitigasi.
Model-model berbasis statistik seperti Monte Carlo Simulation juga disebutkan sebagai alat bantu penting untuk mengevaluasi probabilitas risiko dalam kondisi ketidakpastian tinggi. Sementara itu, penggunaan teori Fuzzy Logic dapat membantu mengakomodasi ketidakjelasan data atau informasi yang bersifat kualitatif, seperti opini ahli atau persepsi masyarakat.
Tantangan Utama: Jarak antara Teori dan Praktik
Salah satu temuan paling penting dari studi ini adalah adanya kesenjangan besar antara teori penilaian risiko dan implementasi di lapangan. Meskipun tersedia banyak model dan perangkat penilaian, sangat sedikit proyek konstruksi migas di Indonesia yang benar-benar mengimplementasikannya secara menyeluruh.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
Padahal, ketika penilaian risiko dilakukan dengan baik, proyek tidak hanya menjadi lebih aman dan efisien, tetapi juga lebih diterima oleh masyarakat dan ramah lingkungan.
Rekomendasi: Menuju Model Penilaian Risiko Terpadu
Penulis menyarankan agar ke depan dikembangkan model penilaian risiko yang sederhana, terintegrasi, dan mudah diimplementasikan oleh praktisi di lapangan. Model ini harus mencakup:
Model seperti ini akan sangat bermanfaat untuk membantu pemangku kebijakan dan manajer proyek dalam mengambil keputusan yang seimbang antara keuntungan ekonomi dan tanggung jawab sosial-lingkungan.
Menuju Keberlanjutan: Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan
Dalam konteks perubahan iklim global dan meningkatnya kesadaran publik terhadap dampak lingkungan proyek industri, manajemen risiko bukan lagi sekadar alat teknis. Ia telah menjadi strategi utama untuk memastikan keberlanjutan. Industri migas, yang sering kali dianggap sebagai industri "kotor", kini dituntut untuk berubah menjadi lebih transparan, adaptif, dan berorientasi pada masa depan.
Hal ini bisa dicapai jika pendekatan penilaian risiko yang menyeluruh benar-benar diadopsi sejak tahap awal proyek. Tidak cukup hanya dengan memenuhi regulasi minimum; proyek-proyek harus mampu menjadi contoh bagi penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang sesungguhnya.
Penutup: Membangun Masa Depan dengan Mengelola Risiko Hari Ini
Resensi ini menegaskan bahwa memahami risiko bukan hanya tentang menghindari kerugian, tetapi juga tentang membuka peluang. Ketika proyek migas direncanakan dengan mempertimbangkan risiko sosial, lingkungan, dan operasional secara seimbang, hasilnya bukan hanya proyek yang sukses secara teknis, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekologis.
Model manajemen risiko yang diusulkan dalam studi ini bukan sekadar alat pengukur bahaya, melainkan juga kompas penunjuk arah dalam merancang masa depan industri konstruksi yang lebih bertanggung jawab.
Referensi Asli:
Rodhi, Nova Nevila; Anwar, Nadjadji; Wiguna, I Putu Artama. Studi Literatur terhadap Faktor Risiko Proyek Konstruksi dalam Industri Migas untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Saintek, Vol. 15, No. 2, Desember 2018, hlm. 71–75.