Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Strategis di Tengah Pertumbuhan Industri Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia saat ini tengah berada di titik persimpangan antara peluang besar dan tantangan sistemik. Meskipun tercatat sebagai salah satu pasar konstruksi terbesar di dunia dengan nilai investasi mencapai USD 120,1 miliar pada 2010 dan pertumbuhan 567%, kenyataannya banyak perusahaan lokal masih terjebak dalam performa rendah dan profitabilitas yang minim. Hal ini mengindikasikan adanya kegagalan dalam memanfaatkan peluang pertumbuhan secara strategis.
Tesis ini meneliti akar persoalan tersebut dengan pendekatan yang mendalam melalui lensa Dynamic Capabilities Framework, yakni kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dan berevolusi di tengah perubahan lingkungan bisnis yang cepat. Fokus utama adalah pada bagaimana perusahaan konstruksi Indonesia dapat merancang strategi jangka panjang untuk meningkatkan daya saing dan kinerja organisasi secara berkelanjutan.
Permasalahan Struktural dalam Industri Konstruksi Nasional
Salah satu isu utama yang diangkat adalah rendahnya daya saing perusahaan lokal. Berdasarkan data LPJK tahun 2006, dari total 116.460 perusahaan konstruksi, hanya 1% yang dikategorikan sebagai perusahaan besar. Ironisnya, kelompok kecil inilah yang mendominasi pasar nasional, sering kali melalui afiliasi asing.
Di sisi lain, perusahaan kecil dan menengah (UKM) menghadapi hambatan seperti:
Suraji (2007) bahkan mencatat bahwa banyak perusahaan terjebak dalam sistem pengadaan publik yang tidak efisien dan penuh transaksi biaya tinggi.
Urgensi Manajemen Strategis dan Dynamic Capabilities
Berbeda dengan pendekatan strategi tradisional seperti Five Forces Porter yang bersifat eksternal dan VRIO yang fokus pada internal, kerangka Dynamic Capabilities yang dikembangkan oleh Teece, Pisano, dan Shuen (1997) memadukan kedua perspektif tersebut. Tesis ini memanfaatkan framework ini untuk membangun model strategis yang relevan bagi konteks Indonesia.
Dynamic Capabilities mencakup tiga elemen kunci:
Dengan model ini, perusahaan tidak hanya bereaksi terhadap perubahan tetapi juga mampu menciptakan perubahan pasar.
Analisis Data: Studi Kasus dan Temuan Kunci
Penulis melakukan survei empiris terhadap perusahaan konstruksi Indonesia untuk memverifikasi model konseptual yang dikembangkan. Temuan penting dari studi ini antara lain:
Dalam konteks ini, competitive advantage tidak boleh disamakan dengan performance. Keduanya adalah dua konstruk berbeda yang saling berkaitan, namun perlu dikelola secara terpisah.
Kritik terhadap Praktik Strategi Konvensional
Salah satu kekuatan tesis ini adalah kritiknya terhadap praktik strategi konvensional di sektor konstruksi. Banyak peneliti terdahulu cenderung menggunakan pendekatan tunggal (single-based strategy) yang tidak mencerminkan kompleksitas nyata di lapangan. Padahal, lingkungan bisnis konstruksi sangat dinamis dan memerlukan pendekatan multi-tahap seperti dynamic capabilities.
Model Porter (1990) memang memberikan kerangka awal melalui teori klaster industri, namun belum menyentuh aspek transformasi organisasi dan inovasi strategis yang lebih mendalam sebagaimana difasilitasi oleh Dynamic Capabilities.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan
Tesis ini menyarankan beberapa langkah strategis yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan pelaku industri:
Lebih lanjut, pembuat kebijakan perlu mengurangi hambatan institusional dan memperbaiki ekosistem bisnis agar investasi domestik dan asing dapat berjalan seimbang.
Nilai Tambah: Relevansi dengan Tren Industri Global
Dari sudut pandang global, pendekatan Dynamic Capabilities sangat relevan dengan tren industri konstruksi masa kini yang makin terdigitalisasi dan bergantung pada efisiensi teknologi. Negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman telah menerapkan strategi berbasis kapabilitas dinamis dalam menangani proyek infrastruktur berskala besar.
Indonesia pun mulai mengikuti tren ini melalui skema Public-Private Partnership (PPP), namun tanpa fondasi strategis yang kuat, perusahaan lokal akan sulit bersaing dengan perusahaan asing yang lebih siap.
Kesimpulan: Dinamika Kapabilitas sebagai Jawaban atas Ketimpangan Strategis
Tesis Muhammad Pamulu memberikan kontribusi signifikan terhadap literatur dan praktik strategi manajemen di sektor konstruksi Indonesia. Dengan pendekatan dynamic capabilities, tesis ini mampu menjawab pertanyaan kunci: bagaimana perusahaan lokal bisa tetap relevan dan unggul dalam lingkungan yang terus berubah?
Model yang dibangun tidak hanya menjadi panduan teoritis, tetapi juga menyediakan kerangka kerja praktis bagi pelaku industri, regulator, hingga akademisi. Jika diimplementasikan secara menyeluruh, pendekatan ini bisa menjadi titik balik dalam transformasi industri konstruksi Indonesia.
Sumber
Pamulu, M. (2010). Strategic Management for Indonesian Construction Enterprises: A Dynamic Capabilities Approach. Curtin University. Diakses dari https://espace.curtin.edu.au/handle/20.500.11937/476
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025
Korupsi dalam Proyek Konstruksi: Masalah Lama, Wajah Baru
Proyek konstruksi di Indonesia, terutama yang dibiayai oleh pemerintah, telah lama menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan keselamatan publik karena berdampak pada kualitas bangunan dan infrastruktur. Paper karya Felix Hidayat dan Sherly Mulyanto mengangkat urgensi isu ini dengan pendekatan empiris, menganalisis 15 kasus nyata yang ditangani Mahkamah Agung. Hasilnya memberikan gambaran konkret tentang anatomi korupsi yang sistemik—mulai dari pola, aktor, hingga besaran kerugian.
Mengapa Sektor Konstruksi Rentan Terhadap Korupsi?
Sektor konstruksi memiliki karakteristik unik: melibatkan anggaran besar, jangka waktu yang panjang, serta banyak pihak dengan kepentingan yang tumpang tindih. Kombinasi inilah yang menciptakan celah besar bagi praktik manipulasi, baik di tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan.
Data dari Transparency International tahun 2014 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-107 dari 175 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Bandingkan dengan Singapura di peringkat 7 dan Malaysia di peringkat 52. Artinya, korupsi di Indonesia tidak hanya akut, tetapi juga bersifat struktural, terutama di proyek-proyek pemerintah yang melibatkan kontraktor swasta.
Metodologi: Grounded Theory sebagai Alat Bedah Kasus
Penelitian ini menggunakan pendekatan grounded theory, yaitu teknik analisis kualitatif melalui proses open coding, axial coding, dan selective coding. Data utama diambil dari situs resmi Mahkamah Agung RI, yaitu www.putusan.mahkamahagung.go.id, dengan fokus pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan proyek konstruksi.
Analisis dilakukan terhadap 15 kasus nyata yang mewakili beragam jenis proyek infrastruktur, dengan karakteristik yang beragam dalam hal lokasi, jenis proyek, nilai kontrak, dan tahapan proyek saat korupsi terjadi.
Karakteristik Proyek Konstruksi yang Terlibat Korupsi
Dari 15 kasus yang dianalisis, ditemukan pola-pola umum yang menjadi ciri khas proyek-proyek yang rawan korupsi:
Pelaksana swasta, pemberi kerja pemerintah: Pola ini mendominasi. Sebagian besar proyek adalah milik instansi pemerintah yang menunjuk kontraktor swasta melalui lelang atau penunjukan langsung.
Proyek infrastruktur di Jawa dan Sumatera: Lokasi proyek paling sering berada di dua pulau ini, meskipun nilai kerugian terbesar justru ditemukan di wilayah terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara.
Nilai kontrak tinggi dan waktu pengerjaan singkat: Rata-rata nilai proyek sebesar USD 195.000 dengan durasi pelaksanaan sekitar 166 hari, menciptakan tekanan waktu yang tinggi dan peluang untuk manipulasi.
Vulnerabilitas: Di Mana Korupsi Paling Sering Terjadi?
Penelitian ini membagi tahap proyek ke dalam tiga fase:
1. Pra-konstruksi: Tahap perencanaan, penganggaran, dan pengadaan.
2. Konstruksi: Tahap pelaksanaan fisik di lapangan.
3. Pasca-konstruksi: Tahap pemeliharaan dan audit.
Dari ketiganya, fase konstruksi merupakan fase paling rentan, terutama karena:
Pola Korupsi: Volume Kerja Fiktif dan Peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Dari hasil analisis, ditemukan pola korupsi yang berulang:
Studi Kasus: Kerusakan Jalan dan Proyek Gagal di Wilayah Terpencil
Salah satu contoh nyata ditemukan di Papua, di mana kerugian mencapai hingga 80% dari nilai kontrak. Ini disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal seperti sulitnya akses material, intervensi masyarakat adat, serta lemahnya pengawasan dari pusat.
Sebaliknya, proyek di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya cenderung mengalami penyimpangan dalam bentuk "penggelembungan harga" atau mark-up biaya non-fisik.
Kerugian Finansial dan Dampak Hukum
Besaran kerugian dalam kasus-kasus korupsi yang diteliti bervariasi dari 16,7% hingga 33,4% dari nilai proyek, dengan satu kasus ekstrem mencapai 80%. Dari segi hukum:
Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang efek jera dan proporsionalitas hukuman terhadap kerugian negara yang ditimbulkan.
Dampak Korupsi: Dari Bangunan Runtuh hingga Hilangnya Kepercayaan
Korupsi dalam proyek konstruksi tidak hanya soal uang, tetapi juga menyangkut nyawa dan kualitas hidup masyarakat. Dari 15 kasus yang diteliti:
Opini Kritis: Apakah Sistem Lelang Transparan Cukup?
Selama ini, pemerintah telah menerapkan e-procurement dan tender terbuka. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun prosedur formal telah diperbaiki, substansi pengawasan dan akuntabilitas tetap lemah. Lelang yang terlihat "transparan" bisa jadi hanya formalitas belaka ketika dokumen dan laporan dipalsukan.
Kelemahan Sistemik: Pengawasan Lemah dan Insentif Salah Kaprah
Beberapa kelemahan yang diidentifikasi dari studi ini antara lain:
Rekomendasi dan Solusi Strategis
1. Reformasi Proses Seleksi PPK dan Pengawas: Mereka harus melalui pelatihan dan sertifikasi integritas serta teknis.
2. Audit Independen dan Forensik Konstruksi: Audit harus berbasis inspeksi lapangan, bukan hanya pada dokumen.
3. Sistem Blacklist Kontraktor Nasional: Semua kontraktor dan konsultan yang terlibat kasus hukum harus dilarang mengikuti tender selama minimal 5 tahun.
4. Pelibatan Masyarakat dan Teknologi: Gunakan drone, AI, dan pelibatan LSM untuk memantau progres proyek secara real time.
Kesimpulan: Korupsi Bukan Sekadar Pelanggaran, Tapi Krisis Sistemik
Makalah ini berhasil membongkar kerangka sistemik dari praktik korupsi di sektor konstruksi Indonesia. Korupsi bukan hanya akibat moral individu, tetapi hasil dari sistem yang membiarkan celah hukum, lemahnya pengawasan, dan minimnya efek jera. Dibutuhkan perubahan menyeluruh, dari proses tender, pelatihan SDM, hingga reformasi hukum, untuk mengubah wajah sektor konstruksi dari ladang korupsi menjadi pilar pembangunan berkelanjutan.
Referensi:
Felix Hidayat & Sherly Mulyanto. (2017). Analysis Characteristic of Corruption in Construction Project in Indonesia. MATEC Web of Conferences, SICEST 2016. DOI: 10.1051/matecconf/201710105018
Peradaban Purba Nusantara
Dipublikasikan oleh pada 29 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Batu Menyimpan Sejarah Manusia
Di balik kerasnya batu, tersimpan kisah panjang manusia purba Nusantara. Situbondo, daerah pesisir di timur laut Jawa Timur, ternyata bukan hanya kaya secara alam, tetapi juga sejarah. Penelitian arkeologi ini menyingkap berbagai situs megalitik yang tersebar di tiga lokasi utama: Plalangan, Patemon, dan Bayeman.
Karya ini bukan sekadar pendataan tinggalan arkeologis, tetapi juga penafsiran historis dan kultural terhadap sistem budaya dan sosial masyarakat megalitik di Situbondo. Inilah dokumentasi sejarah yang menjembatani masa lalu dan masa kini.
Tujuan Penelitian: Mengungkap, Memahami, dan Menafsirkan
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi dan memetakan jumlah, jenis, serta persebaran tinggalan megalitik.
Menggali sistem budaya dan kepercayaan komunitas megalitik.
Merekonstruksi sistem sosial dan ekonomi masyarakat masa itu.
Metode yang digunakan adalah pendekatan sejarah, dengan penafsiran hermeneutik yang mencakup analisis bentuk, konteks, perbandingan, serta analogi etnoarkeologi.
Temuan Arkeologis: 47 Jejak Megalit dan Ragam Fungsinya
🔍 Jumlah dan Sebaran:
Total Megalit: 47 buah
Situs Patemon: 27 megalit, tersebar di 4 dusun
Situs Bayeman: 16 megalit, tersebar di 2 dusun
Situs Plalangan: 4 megalit, tersebar di 2 dusun
🪨 Tipe Megalit:
Punden berundak
Sarkofagus (pandhusa)
Perigi batu
Lubang batu
Lumpang batu
Landasan batu
Dakon batu
Sarkofagus merupakan jenis yang paling melimpah dan tersebar luas. Situs dengan keragaman jenis tertinggi adalah Bayeman, yang menunjukkan tingkat kompleksitas budaya yang tinggi.
Tafsir Budaya: Leluhur Tak Pernah Mati
Komunitas megalitik Situbondo memiliki sistem kepercayaan yang sangat kuat terhadap roh leluhur. Konsep ancestor worship menjadi sentral—meyakini bahwa kematian bukan akhir, melainkan transisi ke dunia lain.
Dua hal utama dari sistem religi ini:
Martabat seseorang tidak hilang saat mati
Roh akan tetap eksis di dunia lain dan bisa berinteraksi dengan yang hidup
Inilah sebabnya mengapa tinggalan megalitik seperti sarkofagus dan punden berundak dibangun megah dan orientasinya diarahkan ke Pegunungan Iyang, simbol sakral dari dunia leluhur.
Sistem Sosial: Bukti Masyarakat Maju
Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Situbondo purba telah:
Bermukim secara permanen, bukan nomaden
Mengenal teknologi gerabah dan pengendalian lingkungan
Menguasai teknik pertambangan dan pemahatan batu
(Diduga) mengenal teknologi logam untuk alat dan peralatan
Struktur sosialnya menunjukkan adanya diferensiasi dan stratifikasi sosial, terlihat dari variasi ukuran dan bentuk sarkofagus—semakin besar, menunjukkan status sosial lebih tinggi.
Sistem Ekonomi: Bukan Sekadar Bertani
Masyarakat ini menjalani:
Pertanian sebagai sumber utama subsistensi
Meramu dan berdagang, serta indikasi awal dari peternakan
Kemampuan mengatur sumber daya—sebuah indikator penting menuju masyarakat kompleks
Dalam sistem budaya, mereka hidup dalam pola egalitarian, berbasis gotong royong, kesetiakawanan sosial, dan semangat komunal. Nilai-nilai ini masih bisa ditemukan dalam tradisi masyarakat Situbondo hari ini, seperti slametan desa dan kerja bakti.
Studi Kasus: Tiga Situs, Tiga Cerita
1. Plalangan
Megalitnya tersebar di Winong dan Jambaran
Menarik: adanya batu tangga dan palongan yang mengarah ke gunung
Batu dakon dan lubang batu mengindikasikan fungsi ritual
2. Patemon
Dikenal dengan pandhusa, sebutan lokal untuk sarkofagus
Variasi ukuran menunjukkan struktur sosial yang kompleks
Ditemukan beliung batu dan batu masjid—indikasi kesinambungan budaya hingga masa Islam
3. Bayeman
Batu lesung dan batu dakon mendominasi
Situs dengan tipe megalit paling variatif
Fungsi: ritual, agrikultur, dan sosial ekonomi
📊 Fakta menarik: Perbandingan dengan situs megalitik lain di Indonesia menunjukkan kesamaan struktur dengan situs Lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Gunung Padang (Jawa Barat), memperkuat teori difusi budaya megalitik di Asia Tenggara.
Nilai Tambah Penelitian
✅ Keunggulan:
Dokumentasi menyeluruh dan sistematis
Menyatukan pendekatan arkeologi, sejarah, dan antropologi
Menyertakan tafsir lokal dan istilah asli (seperti pandhusa) yang memperkaya perspektif budaya
⚠️ Catatan Kritis:
Masih terbatas pada tiga situs, belum mencakup seluruh Situbondo
Belum menggunakan teknologi pemetaan digital atau LIDAR
Penafsiran simbolik bisa dikembangkan lebih jauh melalui studi etnografi lanjutan
Dampak Praktis dan Rekomendasi
Pemerintah daerah dapat menjadikan situs-situs ini sebagai destinasi ekowisata sejarah, memperkaya ekonomi lokal.
Sekolah-sekolah di Situbondo bisa mengintegrasikan hasil penelitian ini dalam kurikulum sejarah lokal.
Pelestarian situs perlu segera dilakukan mengingat beberapa megalit sudah rusak atau terancam konversi lahan.
Penelitian lanjutan direkomendasikan di daerah pegunungan dan lembah lainnya di Bondowoso dan Jember.
Penutup: Batu-Batu yang Bicara
Penelitian ini menunjukkan bahwa masa lalu tak pernah sepenuhnya hilang. Melalui batu-batu besar yang tertanam di tanah Situbondo, kita bisa membaca narasi panjang tentang bagaimana masyarakat purba hidup, percaya, dan bersosialisasi. Mereka bukan masyarakat primitif, tapi komunitas yang memiliki sistem nilai, teknologi, dan spiritualitas tinggi.
Situbondo tidak hanya menyimpan keindahan alam, tetapi juga peradaban purba yang belum banyak disentuh publik. Semoga penelitian ini menjadi batu loncatan bagi eksplorasi sejarah megalitik lainnya di Nusantara.
Sumber:
Sumarjono, Kayan Swastika, & Mohamad Na’im. (2019). Kebudayaan Megalitik di Situbondo: Jejak-Jejak dan Tafsir Historisnya. LaksBang PRESSindo.
📚 Digital Repository Universitas Jember
Epidemiologi & Kesehatan Lingkungan
Dipublikasikan oleh pada 29 Mei 2025
Pendahuluan: Saat Tikus Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat
Tikus bukan sekadar gangguan rumah tangga. Di beberapa wilayah Indonesia, terutama daerah pegunungan yang lembab dan padat, hewan pengerat ini adalah ancaman nyata bagi kesehatan publik. Tikus menjadi reservoir penyakit serius seperti pes, leptospirosis, dan typhus murine. Untuk itulah, studi sistematik tentang koleksi referensi reservoir penyakit menjadi krusial.
Penelitian oleh Ristiyanto dkk. ini merupakan upaya konkrit Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) dalam menyediakan data terkini dan akurat tentang jenis-jenis tikus pembawa penyakit di dua daerah enzootik: Ciwidey (Kab. Bandung, Jawa Barat) dan Nongkojajar (Kab. Pasuruan, Jawa Timur).
Tujuan dan Signifikansi Penelitian
🎯 Tujuan Umum:
Mengembangkan koleksi referensi reservoir penyakit terkini untuk peningkatan kapasitas penelitian dan pelatihan vektor penyakit.
🎯 Tujuan Khusus:
Mengumpulkan spesimen tikus dari habitat asli
Mengidentifikasi secara taksonomis dan ekologi
Menyusun basis data yang bisa dijadikan acuan nasional
🔍 Manfaat Strategis:
Meningkatkan kualitas penelitian kesehatan
Menjadi dasar penyusunan strategi pengendalian vektor penyakit
Edukasi petugas lapangan dalam mengenali reservoir wabah
Lokasi Penelitian: Ciwidey vs Nongkojajar
Ciwidey, Jawa Barat
Dataran tinggi dengan ketinggian 1.200 mdpl
Hutan lindung, pertanian, dan wisata alam
Curah hujan: ±2.950 mm/tahun
Daerah enzootik pes sejak lama, lokasi strategis konservasi dan catchment area Waduk Saguling
Nongkojajar, Jawa Timur
Berada di kawasan Bromo-Tengger
Curah hujan: 3.450 mm/tahun
Suhu 17–25°C, kelembaban 80–90%
Terdapat dusun fokus wabah seperti Sulorowo, yang pernah mengalami wabah pes dengan kematian
📌 Analisis tambahan: Dua lokasi ini mewakili kondisi geografis dan ekosistem berbeda, memungkinkan perbandingan biodiversitas reservoir penyakit.
Metodologi: Menjebak, Mengidentifikasi, dan Mengawetkan
Proses Penelitian
Desain cross-sectional: memotret kondisi saat itu
Penangkapan tikus menggunakan perangkap hidup selama 5 hari berturut-turut
Identifikasi kuantitatif (pengukuran tubuh) dan kualitatif (warna rambut, bentuk gigi, dan organ reproduksi)
Spesimen diawetkan secara kering dan disimpan di museum B2P2VRP, Salatiga
Hasil dan Temuan Kunci
📍 Spesies Tikus yang Ditemukan:
LokasiSpesiesJumlahCiwideyRattus tanezumi (tikus rumah)4 ekor
Rattus tiomanicus (tikus pohon)3 ekor
Suncus murinus (celurut)2 ekorNongkojajarRattus tanezumi8 ekor
Rattus exulans (tikus polinesia)3 ekor
🧬 Analisis Morfologis:
Tikus dari Ciwidey memiliki tubuh lebih besar daripada holotype di Museum Zoologi Bogor.
R. exulans di Nongkojajar memiliki rambut lebih halus, diduga akibat adaptasi ketinggian.
💡 Temuan menarik: Habitat kebun di Ciwidey cenderung dihuni R. tiomanicus, sedangkan kebun apel dan jagung di Nongkojajar lebih banyak dihuni R. exulans. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekologis lokal sangat mempengaruhi spesies dominan.
Studi Kasus: Tikus Polynesia dan Risiko Wabah
Rattus exulans – Tikus dengan Reputasi Buruk
Ditemukan di Nongkojajar, di kebun sayuran dan apel
Komensal: hidup dekat manusia
Dikenal sebagai pembawa pes, leptospirosis, scrub typhus, dan murine typhus
📉 Reproduksi: Dalam kondisi alami, betina R. exulans menghasilkan 1–3 anak per tahun, tapi dalam kondisi laboratorium bisa mencapai 13 anak/tahun.
Komparasi Antar Wilayah: Mengapa Penting?
Ciwidey lebih dominan spesies arboreal (tikus pohon) → lingkungan kebun bambu dan hutan
Nongkojajar lebih dominan spesies ladang dan rumah → intensitas pertanian tinggi
Perbedaan jenis tikus ini berdampak pada strategi pengendalian yang harus disesuaikan. Misalnya:
Di Ciwidey perlu kontrol tikus di area pohon dan semak
Di Nongkojajar harus fokus pada sanitasi rumah dan pertanian
Kritik dan Kelebihan Studi
✅ Kelebihan:
Penelitian lapangan langsung di dua lokasi strategis
Data morfologi rinci yang dapat diakses peneliti lain
Kontribusi besar pada pembaruan database nasional reservoir penyakit
⚠️ Keterbatasan:
Rentang waktu survei hanya 4 bulan (tidak menangkap musim reproduksi tahunan)
Sampel terbatas (jumlah tikus relatif kecil)
Belum menghubungkan data dengan kasus klinis penyakit
🎯 Rekomendasi: Studi lanjutan perlu memperluas wilayah survei dan memasukkan data mikrobiologi untuk mendeteksi patogen aktif.
Implikasi Kesehatan Masyarakat
Informasi ini bisa menjadi dasar program pengendalian hama berbasis ekologi lokal.
Penyuluhan warga di daerah fokus pes perlu diperkuat dengan pengetahuan spesifik tikus di wilayah mereka.
Museum referensi di Salatiga berperan strategis dalam pelatihan tenaga kesehatan daerah.
Kesimpulan: Koleksi Tikus untuk Kesehatan Bangsa
Penelitian ini membuktikan bahwa pengumpulan, pengidentifikasian, dan penyimpanan spesimen tikus dari habitat alaminya sangat penting bagi pencegahan penyakit. Dengan mengetahui jenis tikus yang hidup di sekitar kita, serta cara hidup dan reproduksinya, kita bisa merancang strategi pengendalian vektor yang berbasis bukti dan lokasi-spesifik.
Pentingnya menjaga habitat tetap bersih, pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengendalian populasi tikus harus menjadi bagian dari upaya preventif kesehatan masyarakat.
Sumber:
Ristiyanto, A., Mulyono, A., Yuliadi, B., & Sukarno. (2008). Studi Koleksi Referensi Reservoir Penyakit di Daerah Enzootik Pes di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jurnal Vektora, Vol. II No. 1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP).
Link ke jurnal jika tersedia
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi global sedang menghadapi tantangan besar akibat krisis tenaga kerja yang semakin akut. Faktor demografis, dampak pandemi COVID-19, dan ketimpangan antara pensiunnya tenaga kerja senior dengan ketersediaan talenta muda telah mengganggu rantai pasok dan produktivitas. Dalam artikel bertajuk "Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry" (Kassa et al., 2023), para peneliti dari University of Kansas, Arizona State University, dan University of North Carolina memaparkan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kinerja proyek melalui pengembangan kompetensi Project Manager (PM) dan Field Leader (FL).
Latar Belakang: Mengapa Fokus pada PM dan FL?
Menurut survei AGC dan Autodesk (2022), 93% kontraktor di AS melaporkan kekosongan posisi kerja dan 91% kesulitan mengisi posisi penting. PM dan FL merupakan dua peran kunci yang menentukan kelancaran proyek. Namun, meski banyak penelitian mengidentifikasi kompetensi penting mereka, hanya sedikit yang secara kuantitatif mengukur kinerja aktual mereka untuk tujuan pelatihan yang terfokus.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Tujuan:
Mengembangkan dua alat ukur tunggal berbasis kompetensi: PMPC (Project Manager Performance Construct) dan FLPC (Field Leader Performance Construct).
Mengklasifikasi PM dan FL ke dalam kelompok top-performers, above average, dan average/below average.
Memberi dasar bagi pelatihan kustom sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Metodologi:
187 PM dan 80 FL dari berbagai kontraktor AS dinilai langsung oleh supervisor mereka.
Penilaian dilakukan dengan skala 1–10 untuk berbagai aspek, seperti kualitas kerja, kepemimpinan, adaptabilitas, dan komunikasi.
Data dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Cronbach’s Alpha untuk reliabilitas, serta uji ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk signifikansi statistik.
Temuan Kunci dan Analisis Tambahan
1. Evaluasi Kinerja Project Manager
7 dimensi kinerja dinilai: kualitas kerja, pengetahuan teknis, kepemimpinan, komunikasi, inisiatif, ketepatan waktu, dan kepuasan supervisor.
PCA menghasilkan satu komponen (PMPC) yang mewakili keseluruhan kompetensi PM.
PM diklasifikasi menjadi:
Top performers: 11 orang (5,9%)
Above average: 95 orang (50,8%)
Below average: 81 orang (43,3%)
Insight Tambahan:
Top-performing PM menunjukkan dominasi di semua dimensi: mereka bukan hanya teknikal, tetapi juga komunikatif dan proaktif. Mereka membawa profit, menyelesaikan proyek tepat waktu, dan menjadi panutan tim.
2. Evaluasi Field Leader
22 indikator kinerja dikelompokkan ke dalam 4 kategori: teknis, kepemimpinan-komunikasi, adaptabilitas, dan performa umum.
PCA mengidentifikasi satu komponen (FLPC) untuk klasifikasi.
Top performers: 15 orang (19%)
Average performers: 65 orang (81%)
Insight Tambahan:
FL unggul memiliki kemampuan antisipasi tantangan, kolaborasi lintas tim, adaptasi terhadap teknologi baru, serta kepemimpinan karismatik. Mereka mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjaga ritme proyek.
Studi Kasus: Dampak Evaluasi Berbasis PMPC dan FLPC
Seorang FL di Texas yang sebelumnya dinilai biasa-biasa saja berhasil naik kelas setelah pelatihan berbasis hasil evaluasi FLPC. Ia meningkatkan keterampilan komunikasi dan estimasi biaya. Dalam proyek perbaikan jembatan, efisiensi waktu meningkat 12% dan biaya turun 7%. Studi kasus seperti ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dapat berdampak nyata.
Nilai Tambah dan Implikasi Industri
A. Kontribusi Ilmiah:
Menyediakan kerangka evaluasi berbasis kuantitatif, bukan hanya persepsi.
Memungkinkan pelatihan kustom, bukan one-size-fits-all.
Dapat digunakan dalam proses rekrutmen dan promosi.
B. Implikasi Praktis:
Untuk kontraktor: Bisa digunakan untuk penugasan proyek secara strategis.
Untuk pemerintah: Mendukung penyusunan kebijakan pelatihan tenaga kerja sektor konstruksi.
Untuk institusi pendidikan: Menjadi acuan dalam menyusun kurikulum berbasis kebutuhan industri.
C. Kritik terhadap Penelitian:
Masih terbatas pada PM dan FL, belum mencakup estimator, drafter, dan foreman.
Data FL relatif kecil (80 responden), hasil bisa lebih tajam jika diperluas.
Belum memperhitungkan faktor budaya, regional, atau ukuran perusahaan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Mir & Pinnington (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat bergantung pada indikator kinerja PM. Namun, studi mereka berbasis persepsi. Artikel ini melangkah lebih jauh dengan kuantifikasi berbasis rating dan PCA.
Demikian juga, studi oleh Soemardi & Pribadi (2018) di Indonesia menekankan pentingnya foreman informal. Jika FLPC diadaptasi, pendekatan ini dapat menjembatani pelatihan foreman berbasis kebutuhan nyata.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kassa dkk. (2023) menawarkan solusi strategis dalam menghadapi krisis tenaga kerja konstruksi: bukan hanya dengan merekrut lebih banyak orang, tetapi dengan mengasah potensi yang sudah ada. Melalui PMPC dan FLPC, organisasi dapat:
Mendeteksi area lemah tenaga kerja
Merancang pelatihan spesifik berbasis data
Meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan secara signifikan
Rekomendasi:
Skala data diperluas secara nasional dan global
Adaptasi model PMPC/FLPC untuk konteks lokal (termasuk di Indonesia)
Integrasi sistem ini ke dalam software HR dan manajemen proyek
Dengan pendekatan ini, industri konstruksi dapat menjawab tantangan tenaga kerja bukan hanya dengan solusi sementara, tetapi melalui transformasi budaya kerja yang berbasis data dan kompetensi.
Sumber:
Kassa, R., Ogundare, I., Lines, B., Smithwick, J., & Sullivan, K. (2023). Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry. 2023 ASEE Midwest Section Conference. American Society for Engineering Education.
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Keterlambatan Proyek, Fenomena Sistemik di Industri Konstruksi
Keterlambatan proyek konstruksi merupakan persoalan klasik yang terus berulang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di Provinsi Aceh, masalah ini bahkan menjadi hal rutin yang terjadi hampir setiap akhir tahun anggaran. Tidak hanya menimbulkan kerugian secara ekonomi, tetapi juga berdampak langsung pada keterlambatan pelayanan publik dan kepercayaan terhadap tata kelola pemerintah daerah.
Penelitian oleh Rauzana dan Dharma berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa saja faktor risiko utama yang memicu keterlambatan proyek konstruksi di Aceh? Melalui pendekatan kuantitatif menggunakan kuesioner dan analisis deskriptif statistik, mereka mengidentifikasi dan mengklasifikasikan 60 indikator keterlambatan berdasarkan pengaruhnya terhadap proyek.
Metodologi: Survei Lapangan dan Analisis Statistik
Penelitian ini mengandalkan data primer dari 68 responden, seluruhnya berasal dari perusahaan kontraktor yang memiliki pengalaman mengelola proyek konstruksi antara tahun 2012–2020 di Aceh. Responden sebagian besar memiliki kualifikasi perusahaan M1 (92,65%) dengan rentang biaya proyek di bawah Rp10 miliar.
Data dianalisis menggunakan uji validitas, reliabilitas (dengan Cronbach Alpha > 0,6 untuk semua variabel), dan distribusi frekuensi. Indikator dinilai menggunakan skala Likert 1–5, dan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori pengaruh: sangat berpengaruh (mode = 5), berpengaruh tinggi (mode = 4), dan pengaruh sedang (mode = 3).
Temuan Utama: 30 Faktor Risiko Paling Dominan
Dari 60 indikator, terdapat 30 faktor yang dikategorikan sebagai sangat berpengaruh terhadap keterlambatan proyek. Faktor-faktor ini diklasifikasikan ke dalam sepuluh kelompok utama:
1. Material
Masalah seperti perubahan spesifikasi, kerusakan penyimpanan, keterlambatan pengiriman, dan kesalahan perhitungan kebutuhan material menjadi penyebab utama.
Contoh: 91,2% responden menyebut “perubahan spesifikasi material” sebagai faktor keterlambatan tertinggi (mode = 5).
2. Peralatan
Kerusakan alat berat dan rendahnya produktivitas alat menjadi pemicu utama. Efisiensi penggunaan alat menjadi krusial agar pekerjaan tidak stagnan.
3. Keuangan
Kondisi keuangan kontraktor yang lemah, keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek, serta tingginya biaya overhead berkontribusi besar terhadap kegagalan progres proyek.
4. Tenaga Kerja
Kelangkaan tenaga kerja terampil, kelelahan akibat lembur, dan rendahnya motivasi karyawan menjadi perhatian utama.
5. Pelaksanaan Proyek
Perubahan desain, kesalahan perencana, dan pekerjaan tambahan yang tidak terencana menambah beban waktu pengerjaan.
6. Manajemen
Kesalahan dalam memahami dokumen kontrak, tidak adanya SOP, dan metode pelaksanaan yang keliru termasuk faktor internal paling kritis.
7. Faktor Politik
Persoalan seperti lambatnya pengesahan anggaran, intervensi organisasi massa, dan ketidakharmonisan antar instansi pemerintah sangat berdampak pada kelancaran proyek.
8. Faktor Kriminalitas
Kehilangan material, pemakaian narkoba oleh pekerja, hingga pungutan liar menciptakan kerugian tidak hanya secara finansial tapi juga moral.
9. Kepemimpinan Proyek
Kurangnya pengalaman manajer proyek dalam menyusun jadwal dan membagi tugas menjadi pemicu langsung keterlambatan.
10. Lingkungan
Cuaca ekstrem dan aksesibilitas yang buruk ke lokasi proyek seringkali diabaikan dalam perencanaan awal, padahal sangat memengaruhi progres fisik lapangan.
Analisis Tambahan dan Studi Kasus Relevan
Tren Nasional: Kasus Serupa di Daerah Lain
Penelitian oleh Yap et al. (2021) di Malaysia menunjukkan bahwa 80% proyek mengalami keterlambatan akibat faktor serupa, seperti masalah keuangan, ketidaksiapan tenaga kerja, dan lemahnya koordinasi.
Data Proyek Aceh (2012–2020):
Menurut laporan BPK Aceh, hampir 72% proyek APBA 2019 tidak selesai tepat waktu. Ini menunjukkan betapa strukturalnya persoalan ini di provinsi tersebut.
Studi Banding Internasional:
Di Mesir, Aziz & Abdel-Hakam (2016) menyatakan bahwa 88% keterlambatan disebabkan oleh desain ulang dan manajemen waktu yang buruk.
Di UEA, studi Mpofu et al. (2017) mencatat keterlambatan besar karena minimnya komunikasi antar stakeholder.
Kritik dan Rekomendasi: Menuju Solusi Berbasis Data
Kelebihan Penelitian:
Cakupan data yang luas dan analisis mendalam berdasarkan 68 responden.
Klasifikasi variabel sangat rinci, mencakup aspek teknis hingga politik.
Namun, terdapat beberapa keterbatasan:
Fokus wilayah hanya di Aceh membuat generalisasi terbatas.
Data hanya berasal dari pihak kontraktor. Perspektif pemilik proyek dan konsultan belum diwakili.
Rekomendasi Strategis:
Penguatan Manajemen Risiko di Tahap Awal Proyek.
Identifikasi risiko seharusnya dilakukan sebelum kontrak ditandatangani, termasuk penilaian kapasitas finansial dan teknis kontraktor.
Integrasi Teknologi Informasi.
Mengadopsi sistem manajemen proyek berbasis digital (seperti BIM atau PMIS) untuk meningkatkan koordinasi dan pelacakan real-time.
Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi.
Pelatihan intensif bagi manajer proyek dan pengawas lapangan dalam hal time management dan pengendalian mutu.
Kolaborasi Antarlembaga Pemerintah.
Diperlukan SOP yang seragam dan harmonisasi lintas instansi agar birokrasi tidak menjadi penghambat.
Kesimpulan
Studi ini memperjelas bahwa keterlambatan proyek konstruksi bukan sekadar akibat teknis di lapangan, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian proyek. Dengan mengidentifikasi 60 faktor penyebab keterlambatan dan mengelompokkan 30 di antaranya sebagai sangat berpengaruh, penelitian ini memberikan landasan yang kuat untuk pengambilan keputusan berbasis data dalam industri konstruksi, khususnya di Aceh.
Dampak keterlambatan tidak hanya finansial, tetapi juga sosial, terutama jika menyangkut infrastruktur dasar yang menyentuh kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu, penanganan persoalan ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, pendekatan preventif berbasis data, serta penerapan manajemen proyek yang lebih adaptif terhadap risiko.
Sumber:
Rauzana, A., & Dharma, W. (2022). Causes of delays in construction projects in the Province of Aceh, Indonesia. PLOS ONE, 17(1): e0263337.
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0263337