Proyek Kontruksi

Strategi Unggul Meningkatkan Produktivitas Konstruksi Australia: Tinjauan Kritis atas Riset Meiqiong Zhong

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 19 September 2025


Pendahuluan

Produktivitas di industri konstruksi Australia menghadapi tantangan besar, terlihat dari tren penurunan produktivitas dan margin keuntungan yang stagnan selama lebih dari satu dekade. Meiqiong Zhong dalam tesisnya di Bond University (2022) menyuguhkan pendekatan berbasis data dan model struktural untuk memahami serta meningkatkan produktivitas di sektor ini. Kajian ini mereview secara kritis temuan Zhong, menyajikan interpretasi tambahan, data kunci, serta kaitan praktis terhadap praktik industri.

Latar Belakang Masalah

Dalam satu dekade terakhir, produktivitas tenaga kerja di industri konstruksi Australia mengalami penurunan. Data dari Reserve Bank of Australia (2019) menunjukkan penurunan tajam output per jam kerja. Di sisi lain, margin keuntungan rata-rata perusahaan konstruksi besar di Australia menurun dari 3,2% pada 2006 menjadi hanya 0,3% pada 2016 (Chan & Martek, 2017; Deloitte, 2016). Situasi ini berdampak pada daya saing nasional dan kelangsungan bisnis sektor konstruksi, yang berkontribusi sekitar 7,6% terhadap PDB nasional (Richardson, 2014).

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Zhong mengembangkan model prediktif berbasis Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) untuk mengidentifikasi determinan utama produktivitas proyek konstruksi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap:

  • Tahap 1: Kajian literatur naratif untuk menjaring indikator produktivitas.

  • Tahap 2: Survei kuantitatif terhadap anggota Australian Institute of Quantity Surveyors (AIQS) dan Master Builders Australia (MBA).
     

Model dikembangkan dari tiga konstruk utama:

Hasil Kunci dan Temuan Utama

1. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung

  • CC memiliki pengaruh langsung terhadap produktivitas proyek (Pp), namun kontribusi paling signifikan diperoleh saat dimediasi oleh PM dan didukung oleh CFM.

  • CFM secara kuat mendukung PM, menunjukkan bahwa keberhasilan manajemen proyek bergantung pada sistem keuangan dan kontraktual yang baik.

2. Indikator yang Paling Mempengaruhi Produktivitas:

  • Pemanfaatan teknologi digital untuk kontrol proyek real-time.

  • Tenaga kerja berpengalaman dan termotivasi.

  • Kontrak kolaboratif (relational contracting) untuk meminimalisasi konflik.

  • Perencanaan mutu dan pengawasan proyek yang ketat.
     

Studi Kasus: Relevansi Praktis di Lapangan

Pada proyek perumahan skala menengah di Queensland, penerapan sistem digitalisasi proyek berbasis BIM dan dashboard waktu nyata berhasil mengurangi keterlambatan proyek sebesar 15%. Tenaga kerja yang dilibatkan mayoritas berasal dari SME, mencerminkan relevansi model Zhong yang memang menargetkan sektor usaha kecil dan menengah (SMEs) yang menyumbang 97,6% dari perusahaan konstruksi di Australia (ASBFEO, 2019).

Nilai Tambah dan Kritik

A. Kekuatan Penelitian:

  • Menggunakan pendekatan kausal, bukan hanya korelasional.

  • Memfokuskan pada SMEs, yang selama ini kurang mendapat sorotan.

  • Pendekatan holistik: Menggabungkan aspek sumber daya manusia, manajemen proyek, dan sistem keuangan.

B. Kelemahan dan Catatan:

  • Generalisasi terbatas: Data dominan berasal dari Queensland dan anggota dua asosiasi profesi.

  • Kurangnya eksplorasi faktor budaya organisasi, seperti motivasi intrinsik dan kepemimpinan.

  • Ketergantungan pada metode survei dapat menyebabkan self-reporting bias.
     

Perbandingan dengan Studi Lain

Zhong melampaui pendekatan Zhang et al. (2021) yang hanya melihat pada manajemen proyek tanpa mempertimbangkan dukungan sistem keuangan. Studi ini juga lebih komprehensif dibanding Durdyev et al. (2021), karena menambahkan variabel mediasi dan moderasi dalam kerangka model.

Implikasi Praktis bagi Industri

Bagi pelaku industri konstruksi, model Zhong dapat diterapkan untuk:

  • Pemetaan risiko proyek secara lebih akurat.

  • Rekrutmen dan pelatihan tenaga kerja berbasis prediktor produktivitas.

  • Evaluasi performa keuangan proyek yang terintegrasi dengan sistem manajemen proyek.
     

Pemerintah dan regulator juga dapat menjadikan temuan ini sebagai dasar kebijakan peningkatan daya saing sektor konstruksi nasional.

Kesimpulan

Tesis Meiqiong Zhong memberikan sumbangan penting dalam memahami dan meningkatkan produktivitas konstruksi di Australia. Dengan pendekatan struktural yang komprehensif dan berbasis data, model ini berpotensi menjadi acuan praktis bagi perusahaan konstruksi, regulator, maupun akademisi dalam menyusun strategi peningkatan produktivitas yang terukur dan efektif.

 

Sumber:
Meiqiong Zhong. (2022). Improving Productivity of Australian Construction Firms. Bond University. https://research.bond.edu.au/en/studentTheses/c764df74-43c0-4b6d-865f-01588b1061dc

Selengkapnya
Strategi Unggul Meningkatkan Produktivitas Konstruksi Australia: Tinjauan Kritis atas Riset Meiqiong Zhong

Proyek Kontruksi

Membedah Labirin Hukum Kontrak Konstruksi: Fondasi Krusial bagi Praktisi dan Pengambil Keputusan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 19 September 2025


Industri konstruksi adalah motor penggerak perekonomian suatu negara, ditandai dengan proyek-proyek berskala besar, risiko tinggi, dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Di tengah kompleksitas ini, landasan hukum yang kuat dan pemahaman kontrak yang mendalam menjadi vital. Tanpa kontrak yang jelas dan pemahaman yang komprehensif tentang aspek hukumnya, proyek konstruksi dapat terjerembab dalam sengketa, penundaan, bahkan kegagalan fatal.

Dalam konteks ini, buku "Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi" karya Meria Utama adalah sebuah kontribusi substansial yang menjembatani kesenjangan pemahaman antara teori hukum dan praktik lapangan dalam industri konstruksi di Indonesia. Sebagai sebuah pengantar, buku ini tidak hanya menyajikan kerangka teoritis, tetapi juga mengarhkan dalam memahami kompleksitas regulasi dan praktik kontrak konstruksi, menjadikannya referensi esensial bagi mahasiswa, praktisi, dan pembuat kebijakan.

Urgensi Pemahaman Hukum Kontrak dalam Proyek Konstruksi

Meria Utama secara implisit menekankan bahwa proyek konstruksi bukan sekadar aktivitas teknis; merupakan entitas hukum yang melibatkan hak, kewajiban, dan tanggung jawab kontraktual. Setiap tahap proyek mulai dari perencanaan, desain, pengadaan, hingga pelaksanaan dan penyelesaian didasari oleh perjanjian dan ketentuan hukum. Kurangnya pemahaman tentang aspek-aspek ini seringkali menjadi pemicu utama perselisihan yang berujung pada arbitrase atau litigasi, membuang waktu, biaya, dan reputasi.

Buku ini hadir sebagai panduan yang sangat relevan mengingat dinamika industri konstruksi Indonesia yang terus berkembang, dengan adanya berbagai peraturan baru dan proyek infrastruktur berskala masif. Pemahaman yang komprehensif tentang hukum kontrak konstruksi adalah prasyarat mutlak untuk memastikan keberhasilan proyek, meminimalkan risiko hukum, dan menciptakan lingkungan bisnis yang adil dan efisien. Penulis menekankan secara cermat bahwa pengetahuan ini tidak semata menjadi ranah ahli hukum, melainkan juga penting bagi insinyur, manajer proyek, kontraktor, konsultan, hingga pemilik proyek agar mampu mengambil keputusan tepat dan terhindar dari risiko hukum.

Struktur Komprehensif dan Isi yang Relevan

Buku ini tersusun secara sistematis, membimbing pembaca dari konsep dasar hingga aspek yang lebih kompleks dalam hukum kontrak konstruksi. Berikut adalah gambaran bab-bab kunci yang menunjukkan cakupan buku ini:

  • Bab I: Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Kontrak Konstruksi: Bab ini membentuk fondasi dengan mendefinisikan apa itu hukum kontrak konstruksi, membedakannya dari jenis kontrak lain, dan menguraikan ruang lingkup penerapannya. Ini adalah titik awal yang penting bagi pembaca yang mungkin belum familiar dengan spesialisasi hukum ini.

  • Bab II: Pengaturan Mengenai Kontrak Konstruksi: Penulis membahas kerangka regulasi yang mengatur kontrak konstruksi di Indonesia. Ini mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang relevan. Pemahaman akan hierarki dan interkoneksi regulasi ini sangat penting karena seringkali proyek konstruksi melibatkan berbagai lapis hukum.

  • Bab III: Para Pihak dalam Kontrak Konstruksi Internasional: Bab ini memperluas perspektif ke ranah global, mengidentifikasi dan membahas peran serta tanggung jawab berbagai pihak dalam kontrak konstruksi internasional. Ini penting mengingat banyaknya proyek di Indonesia yang melibatkan investor atau kontraktor asing.

  • Bab IV: Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi: Ini adalah salah satu bab yang paling aplikatif, membahas berbagai jenis kontrak konstruksi berdasarkan aspek perhitungan biaya (misalnya, lump sum, harga satuan), perhitungan jasa, dan cara pembayaran. Pemilihan jenis kontrak yang tepat adalah keputusan strategis yang memengaruhi alokasi risiko dan keuntungan.

  • Bab V: Beberapa Teori dan Asas dalam Pembentukan Kontrak Konstruksi: Bab ini menyelami landasan teoretis pembentukan kontrak, termasuk asas-asas hukum kontrak yang fundamental seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, itikad baik, dan kepastian hukum. Pemahaman asas ini membantu pembaca memahami spirit di balik setiap klausul kontrak.

  • Bab VI: Standar Kontrak Konstruksi Internasional: Meria Utama memberikan perhatian khusus pada standar kontrak internasional yang dominan, khususnya FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils) dan SIA (Standard Institute of Architects). FIDIC, dengan "Rainbow Suite" yang terkenal (misalnya, Red Book, Yellow Book, Silver Book), adalah standar yang paling banyak digunakan di dunia untuk proyek infrastruktur berskala besar. Pembahasan ini sangat relevan mengingat adopsi standar internasional semakin umum di Indonesia, terutama untuk proyek-proyek yang didanai secara multilateral atau melibatkan konsorsium internasional.

Analisis Mendalam dan Nilai Tambah

Buku ini menawarkan nilai tambah yang signifikan, terutama bagi konteks Indonesia:

  1. Keseimbangan Teori dan Praktik: Meria Utama berhasil menyajikan konsep hukum yang kompleks dengan bahasa yang relatif mudah dipahami tanpa mengorbankan kedalaman materi. Hal ini sangat penting untuk pembaca non-hukum, seperti insinyur atau manajer proyek, yang membutuhkan pemahaman fungsional tentang kontrak.

  2. Fokus pada Konteks Indonesia: Meskipun membahas standar internasional, buku ini secara konsisten mengaitkan materi dengan regulasi dan praktik yang berlaku di Indonesia. Ini menjadikannya referensi yang sangat relevan dan aplikatif bagi praktisi lokal. Sebagai contoh, pembahasan mengenai Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) atau peraturan pemerintah terkait KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) akan memberikan konteks hukum yang solid bagi proyek-proyek di Indonesia.

  3. Panduan untuk Manajemen Risiko: Pemilihan bentuk kontrak dan pemahaman akan alokasi risiko adalah inti dari manajemen risiko kontraktual. Dengan menguraikan berbagai bentuk kontrak dan standar internasional, buku ini membekali pembaca dengan pengetahuan untuk memilih dan merumuskan kontrak yang sesuai dengan profil risiko proyek. Misalnya, pemahaman tentang perbedaan risiko dalam kontrak lump sum (risiko lebih besar pada kontraktor) dibandingkan dengan kontrak harga satuan (risiko dibagi) adalah kunci untuk negosiasi yang cerdas.

  4. Mendorong Profesionalisme: Dengan memaparkan kompleksitas hukum kontrak konstruksi, buku ini secara tidak langsung mendorong peningkatan profesionalisme di industri. Praktisi yang memahami hukum akan lebih mampu menyusun, menegosiasikan, dan mengelola kontrak secara efektif, mengurangi potensi perselisihan dan mempromosikan praktik terbaik.

  5. Relevansi dalam Konflik: Saat konflik tak terhindarkan, pemahaman terhadap klausul kontrak dan asas hukum menjadi senjata utama. Buku ini memberikan dasar yang kuat untuk memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam situasi sengketa, baik untuk negosiasi, mediasi, arbitrase, atau litigasi.

Kritik dan Perbandingan dengan Literatur Lain

Meskipun "Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi" adalah karya yang sangat baik, ada beberapa area yang dapat menjadi pertimbangan:

Kaitannya dengan Tren Industri dan Tantangan Nyata di Lapangan

Buku ini sangat relevan dengan tren dan tantangan di industri konstruksi Indonesia saat ini:

  • Mega Proyek Infrastruktur: Indonesia sedang giat membangun infrastruktur. Proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek kereta api cepat, atau pembangkit listrik baru, melibatkan kontrak yang sangat kompleks. Pemahaman yang solid tentang alih risiko, jenis kontrak, dan standar internasional yang dibahas dalam buku ini adalah prasyarat untuk kesuksesan proyek-proyek tersebut.

  • Partisipasi Swasta dalam Pembangunan: Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) semakin populer untuk pembiayaan infrastruktur. Kontrak KPS jauh lebih kompleks daripada kontrak konstruksi tradisional, memerlukan pemahaman mendalam tentang alokasi risiko yang adil antara sektor publik dan swasta. Buku ini menyediakan fondasi untuk memahami struktur kontraktual KPS.

  • Manajemen Risiko Proyek: Kegagalan proyek konstruksi seringkali bermuara pada manajemen risiko yang buruk, termasuk risiko kontraktual. Buku ini secara tidak langsung membantu praktisi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memitigasi risiko hukum melalui perumusan kontrak yang tepat.

  • Tantangan Lingkungan Bisnis: Isu korupsi, birokrasi yang lambat, dan ketidakpastian regulasi sering menjadi hambatan. Pemahaman hukum yang kuat dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak kontraktual dan mendorong praktik bisnis yang lebih transparan dan etis.

  • Standardisasi Kontrak: Dorongan global untuk standardisasi kontrak (seperti penggunaan FIDIC) bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi sengketa. Buku ini mengedukasi pembaca tentang standar-standar ini, memfasilitasi adopsi praktik terbaik internasional.

Kesimpulan

Buku "Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi" oleh Meria Utama adalah sumber daya yang tak ternilai bagi siapa saja yang ingin memahami seluk-beluk hukum yang mengatur proyek konstruksi di Indonesia. Dengan cakupan yang komprehensif, mulai dari definisi dasar hingga pembahasan standar kontrak internasional yang kompleks, buku ini berhasil menjembatani kesenjangan antara teori hukum dan kebutuhan praktis di lapangan.

Penulis dengan jelas menunjukkan mengapa pemahaman hukum kontrak bukanlah sekadar formalitas, melainkan elemen krusial untuk kesuksesan proyek, manajemen risiko yang efektif, dan pencegahan sengketa. Di tengah dinamika pembangunan infrastruktur Indonesia yang pesat, kehadiran buku ini sangat tepat waktu dan relevan. Buku ini adalah bacaan wajib bagi mahasiswa teknik sipil, manajemen konstruksi, dan hukum, serta panduan praktis bagi para profesional konstruksi, konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek yang berupaya menavigasi kompleksitas hukum dalam proyek-proyek mereka. Dengan bekal pengetahuan dari buku ini, diharapkan para pemangku kepentingan dapat merumuskan, menegosiasikan, dan melaksanakan kontrak konstruksi dengan lebih percaya diri dan efektif, mendorong terciptanya proyek infrastruktur yang sukses dan berkelanjutan bagi bangsa.

Sumber Artikel: Utama, M. (2017). Pengantar Hukum Kontrak Konstruksi (Cetakan 1). Tidak ada informasi penerbit atau DOI yang tersedia dalam file yang diunggah, namun ini adalah buku yang diterbitkan dan digunakan sebagai referensi di bidang hukum konstruksi.

Selengkapnya
Membedah Labirin Hukum Kontrak Konstruksi: Fondasi Krusial bagi Praktisi dan Pengambil Keputusan di Indonesia

Manajemen Risiko

Tinjauan Kritis: Menerjemahkan Edukasi Near-Miss Menjadi Paradigma Budaya Keselamatan Proaktif di Industri Manufaktur

Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025


Jalur Logis Penelitian dan Temuan Kunci

Penelitian ini berawal dari observasi bahwa meskipun laporan data near-miss populer sebagai pendekatan proaktif dalam mencegah kecelakaan, di PT Semen Bosowa Maros praktik ini masih belum dilaporkan secara memadai . Laporan triwulan perusahaan menunjukkan kecelakaan berulang, seperti tertimpa material yang jatuh, yang mengindikasikan bahwa insiden nyaris celaka yang mendahuluinya tidak teridentifikasi atau dilaporkan . Hambatan yang teridentifikasi meliputi minimnya dukungan manajemen, ketakutan karyawan untuk disalahkan, dan pemahaman yang keliru tentang near-miss. Menanggapi permasalahan ini, tujuan utama penelitian adalah menguji efektivitas edukasi near-miss dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap pekerja untuk mengidentifikasi dan melaporkan insiden tersebut .

Untuk mencapai tujuan ini, penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi-experimental design). Modul dan leaflet edukasi near-miss dirancang dan divalidasi oleh ahli. Partisipan dipilih menggunakan cluster sampling dan dibagi menjadi kelompok intervensi (n=25) dan kelompok kontrol (n=35) . Kelompok intervensi menerima ceramah tentang near-miss menggunakan modul, sedangkan kelompok kontrol hanya diberi leaflet untuk belajar mandiri . Pengukuran pengetahuan dan sikap dilakukan melalui kuesioner pada tahapan pre-test dan post-test.

Temuan penelitian menunjukkan bukti kuantitatif yang kuat akan efektivitas edukasi. Uji T Berpasangan (Paired T-test) menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, edukasi memiliki efek signifikan terhadap pengetahuan, dengan perbedaan rata-rata (Mean Difference atau MD) sebesar 7.68 dan nilai p sebesar 0.000, serta terhadap sikap dengan MD sebesar 7.64 dan nilai p sebesar 0.000 . Hasil ini menunjukkan hubungan kuat antara intervensi edukasi dan peningkatan kognitif serta afektif pada pekerja.

Menariknya, edukasi juga menunjukkan efek signifikan pada kelompok kontrol yang hanya menerima leaflet. Uji T Berpasangan pada kelompok ini menunjukkan peningkatan pengetahuan dengan MD sebesar 3.57 (p=0.000) dan sikap dengan MD sebesar 3.88 (p=0.01) . Meskipun terdapat peningkatan pada kedua kelompok, Uji Mann-Whitney membuktikan bahwa edukasi menggunakan modul jauh lebih unggul dalam mengubah pengetahuan (MD 4.10, p=0.040) dan sikap (MD 3.75, p=0.010) dibandingkan dengan penggunaan leaflet . Temuan ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang lebih interaktif dan terstruktur secara signifikan lebih efektif dibandingkan metode pasif. Selain itu, hasil uji GLM menunjukkan bahwa perubahan pengetahuan dan sikap dari waktu ke waktu adalah signifikan, dengan adanya kontribusi dari beberapa karakteristik partisipan, yang mengisyaratkan bahwa efektivitas intervensi tidak seragam di seluruh populasi pekerja .

Jalur Logis Penelitian dan Temuan Kunci

Penelitian ini berawal dari observasi bahwa meskipun laporan data near-miss populer sebagai pendekatan proaktif dalam mencegah kecelakaan, di PT Semen Bosowa Maros praktik ini masih belum dilaporkan secara memadai . Laporan triwulan perusahaan menunjukkan kecelakaan berulang, seperti tertimpa material yang jatuh, yang mengindikasikan bahwa insiden nyaris celaka yang mendahuluinya tidak teridentifikasi atau dilaporkan . Hambatan yang teridentifikasi meliputi minimnya dukungan manajemen, ketakutan karyawan untuk disalahkan, dan pemahaman yang keliru tentang near-miss. Menanggapi permasalahan ini, tujuan utama penelitian adalah menguji efektivitas edukasi near-miss dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap pekerja untuk mengidentifikasi dan melaporkan insiden tersebut .

Untuk mencapai tujuan ini, penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi-experimental design). Modul dan leaflet edukasi near-miss dirancang dan divalidasi oleh ahli. Partisipan dipilih menggunakan cluster sampling dan dibagi menjadi kelompok intervensi (n=25) dan kelompok kontrol (n=35) . Kelompok intervensi menerima ceramah tentang near-miss menggunakan modul, sedangkan kelompok kontrol hanya diberi leaflet untuk belajar mandiri . Pengukuran pengetahuan dan sikap dilakukan melalui kuesioner pada tahapan pre-test dan post-test.

Temuan penelitian menunjukkan bukti kuantitatif yang kuat akan efektivitas edukasi. Uji T Berpasangan (Paired T-test) menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, edukasi memiliki efek signifikan terhadap pengetahuan, dengan perbedaan rata-rata (Mean Difference atau MD) sebesar 7.68 dan nilai p sebesar 0.000, serta terhadap sikap dengan MD sebesar 7.64 dan nilai p sebesar 0.000 . Hasil ini menunjukkan hubungan kuat antara intervensi edukasi dan peningkatan kognitif serta afektif pada pekerja.

Menariknya, edukasi juga menunjukkan efek signifikan pada kelompok kontrol yang hanya menerima leaflet. Uji T Berpasangan pada kelompok ini menunjukkan peningkatan pengetahuan dengan MD sebesar 3.57 (p=0.000) dan sikap dengan MD sebesar 3.88 (p=0.01) . Meskipun terdapat peningkatan pada kedua kelompok, Uji Mann-Whitney membuktikan bahwa edukasi menggunakan modul jauh lebih unggul dalam mengubah pengetahuan (MD 4.10, p=0.040) dan sikap (MD 3.75, p=0.010) dibandingkan dengan penggunaan leaflet . Temuan ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang lebih interaktif dan terstruktur secara signifikan lebih efektif dibandingkan metode pasif. Selain itu, hasil uji GLM menunjukkan bahwa perubahan pengetahuan dan sikap dari waktu ke waktu adalah signifikan, dengan adanya kontribusi dari beberapa karakteristik partisipan, yang mengisyaratkan bahwa efektivitas intervensi tidak seragam di seluruh populasi pekerja .

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang signifikan dan meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka untuk riset di masa depan. Meskipun penelitian ini berhasil mengukur perubahan pengetahuan dan sikap, penelitian ini tidak mengukur perubahan perilaku aktual, yaitu apakah karyawan benar-benar mulai melaporkan near-miss setelah edukasi. Kesenjangan antara sikap dan perilaku adalah tantangan klasik dalam riset K3. Selain itu, penelitian ini menggunakan desain pretest-posttest yang hanya mengukur efek jangka pendek. Tidak ada data tentang keberlanjutan atau "masa pakai" perubahan pengetahuan dan sikap dalam jangka panjang (misalnya, setelah 6 atau 12 bulan), sehingga validitas eksternal intervensi dalam jangka panjang tidak dapat dipastikan .

Keterbatasan data dari dokumen yang disediakan juga menjadi tantangan. Hasil uji GLM yang mengindikasikan kontribusi dari "beberapa karakteristik partisipan" tidak dijelaskan secara rinci . Tanpa informasi ini, tidak mungkin untuk mengetahui karakteristik demografi atau pengalaman kerja mana yang paling mempengaruhi respons terhadap intervensi. Hal ini membatasi kemampuan untuk mengembangkan program edukasi yang disesuaikan (tailored) di masa depan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang dapat membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh tesis ini:

  1. Studi Longitudinal untuk Mengukur Keberlanjutan Efek Edukasi
    • Justifikasi Ilmiah: Pengetahuan dan sikap yang baru diperoleh dapat mengalami "peluruhan" seiring waktu jika tidak diperkuat. Penelitian ini hanya membuktikan efek jangka pendek. Untuk memastikan efektivitas intervensi dan memvalidasi model pembelajaran yang berkelanjutan, diperlukan pengukuran berulang. Validitas eksternal dari intervensi hanya dapat dibuktikan jika efeknya bertahan.
    • Jalur Penelitian ke Depan: Merancang studi kohort prospektif dengan pengukuran berkala pada 3, 6, dan 12 bulan pasca-intervensi. Variabel baru yang akan ditambahkan adalah Tingkat Retensi Pengetahuan dan Stabilitas Sikap terhadap waktu. Metode analisis yang disarankan adalah analisis regresi linear berganda untuk memodelkan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan skor.
  2. Eksplorasi Kualitatif Terhadap Faktor Penghambat dan Pendukung Laporan
    • Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menyebutkan "beberapa kendala" dalam pelaporan near-miss tanpa memberikan rincian. Meskipun edukasi terbukti efektif, pemahaman mendalam tentang akar penyebab hambatan (misalnya, budaya menyalahkan, persepsi tentang paperwork yang rumit, dan kurangnya umpan balik) dari perspektif pekerja dan manajemen sangat krusial. Ini adalah studi pelengkap yang akan memberikan wawasan kontekstual dan psikologis yang tidak bisa ditangkap oleh riset kuantitatif.
    • Jalur Penelitian ke Depan: Melakukan riset kualitatif dengan wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) kepada sampel pekerja dan perwakilan manajemen. Fokusnya adalah mengidentifikasi narasi, motivasi, dan hambatan non-kuantitatif yang mempengaruhi perilaku pelaporan.
  3. Analisis Multivariat Terperinci atas Kontribusi Karakteristik Demografi
    • Justifikasi Ilmiah: Uji GLM mengindikasikan bahwa karakteristik partisipan berkontribusi signifikan terhadap hasil. Tanpa rincian lebih lanjut, wawasan ini tidak dapat dimanfaatkan . Untuk mengoptimalkan desain intervensi di masa depan, penting untuk mengetahui profil pekerja yang paling responsif dan yang paling resisten terhadap perubahan. Misalnya, apakah pengalaman kerja yang panjang justru menjadi hambatan (overconfidence)?
    • Jalur Penelitian ke Depan: Menggunakan data yang ada atau mengumpulkan data baru untuk melakukan analisis multivariat yang lebih canggih, seperti Structural Equation Modeling (SEM). Model ini akan memetakan hubungan kausal yang kompleks antara variabel demografi (usia, masa kerja, riwayat kecelakaan) sebagai variabel moderator, intervensi edukasi sebagai variabel independen, dan skor pengetahuan/sikap sebagai variabel dependen.
  4. Komparasi Beragam Metode Edukasi dengan Pengukuran Perilaku Nyata
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini membandingkan dua media (modul vs. leaflet) dan menemukan modul lebih unggul. Namun, banyak metode edukasi lain (misalnya, simulasi, gamifikasi, VR) yang dapat diuji. Lebih penting lagi, validasi dampak intervensi harus melibatkan pengukuran perilaku, bukan hanya proksi kognitif .
    • Jalur Penelitian ke Depan: Merancang riset eksperimental dengan beberapa kelompok intervensi yang berbeda (misalnya, kelompok modul, kelompok simulasi, kelompok video interaktif). Variabel dependen baru yang paling penting adalah Tingkat Laporan Near-Miss Aktual (jumlah laporan per pekerja per bulan), yang harus diukur setelah perusahaan menyediakan sistem pelaporan yang direkomendasikan.
  5. Validasi Kontekstual pada Beragam Konteks Industri
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan dari satu perusahaan di industri semen tidak dapat digeneralisasi ke industri lain tanpa validasi. Budaya, risiko, dan struktur organisasi sangat bervariasi antar sektor (misalnya, pertambangan, konstruksi, manufaktur). Replikasi studi ini di konteks lain sangat penting untuk membangun validitas eksternal dan membuktikan bahwa temuan ini bersifat universal.
    • Jalur Penelitian ke Depan: Melakukan studi komparatif antar-industri dengan protokol edukasi yang distandarisasi dan mengukur variabel yang sama. Di tahap akhir, analisis meta-analisis dapat digunakan untuk mensintesis temuan dari berbagai studi replikasi, mengidentifikasi faktor-faktor yang konsisten mempengaruhi efektivitas intervensi di berbagai konteks.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini telah meletakkan fondasi empiris yang kuat untuk strategi edukasi near-miss yang proaktif. Namun, untuk menerjemahkan temuan ini menjadi perubahan budaya keselamatan yang signifikan dan berkelanjutan, diperlukan kolaborasi yang lebih luas dan riset lanjutan yang terstruktur. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Universitas Hasanuddin (sebagai institusi induk), lembaga penelitian Keselamatan dan Kesehatan Kerja nasional atau internasional (untuk pengembangan metodologi), dan perusahaan-perusahaan di industri sejenis (untuk validasi kontekstual) guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Sumber dari penelitian: Masa'nang, H. (2023). EFEKTIVITAS EDUKASI NEARMISS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP KARYAWAN PT SEMEN BOSOWA MAROS TAHUN 2022 (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).

Selengkapnya
Tinjauan Kritis: Menerjemahkan Edukasi Near-Miss Menjadi Paradigma Budaya Keselamatan Proaktif di Industri Manufaktur

Manajemen Konstruksi

Membangun Keselamatan Kerja yang Lebih Baik: Panduan Kualifikasi Personel Konstruksi Berbasis Riset

Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025


Pengantar Analitis: Konteks dan Urgensi Riset

Industri konstruksi adalah pilar vital bagi ekonomi global, memberikan kontribusi signifikan yang membentuk lanskap pembangunan di seluruh dunia. Pada tahun 2017, sektor ini diperkirakan menyumbang lebih dari USD 10 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar kurang lebih USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja. Sektor ini juga merupakan penyedia lapangan kerja yang masif, mempekerjakan lebih dari 7 juta orang di AS dengan proyeksi peningkatan tenaga kerja yang stabil, yang diantisipasi akan menarik hampir 400.000 karyawan baru.1 Namun, di balik angka-angka ekonomi yang mengesankan ini, industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berbahaya. Situasi ini diperburuk oleh tingginya angka cedera fatal dan non-fatal. Menurut data yang disoroti oleh studi, satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi dalam industri konstruksi, menjadikan pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin meninggal di tempat kerja dibandingkan pekerja di sektor lain.1 Puncak dari krisis ini terlihat pada tahun 2019, di mana Biro Statistik Tenaga Kerja mencatat 1.061 kematian pekerja konstruksi, total terbesar sejak 2007.1

Angka-angka yang mengejutkan ini bukan sekadar statistik belaka; angka ini berfungsi sebagai justifikasi moral dan praktis yang kuat untuk seluruh argumen dalam studi ini. Mereka menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan memperkuat urgensi penelitian yang secara fundamental menargetkan akar masalah keselamatan: kurangnya personel yang berkualitas. Sebagaimana yang diyakini oleh para profesional dan peneliti industri, tingginya angka cedera tidak selalu disebabkan oleh kesalahan pekerja garis depan. Seringkali, kecelakaan berakar pada perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk oleh manajemen menengah dan atas.1 Penelitian sebelumnya mendukung asumsi ini, menunjukkan bahwa probabilitas peningkatan kinerja keselamatan secara keseluruhan melonjak sebesar 2.29 kali lipat, yang setara dengan peningkatan 229%, dengan keberadaan personel keselamatan purnawaktu.1

Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, paper ini menggarisbawahi kekosongan pengetahuan yang signifikan: tidak ada panduan atau konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kekosongan ini secara kausal terhubung dengan perbedaan yang substansial dalam kualifikasi personel yang ada. Berbagai panduan yang ada, seperti yang disediakan oleh American Society of Safety Professionals (ASSP), bersifat terlalu umum dan tidak spesifik untuk sektor konstruksi, bahkan merekomendasikan sertifikasi yang jarang atau tidak pernah digunakan dalam industri ini.1 Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk mendefinisikan secara sistematis kriteria "siapa" yang harus menempati posisi krusial tersebut, dengan harapan dapat mengarahkan industri menuju perbaikan kinerja keselamatan yang substansial dan berkelanjutan.

Analisis Metodologi dan Alur Temuan

Untuk mencapai tujuannya dalam mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan, studi ini mengadopsi metode Delphi. Metodologi ini dipilih secara strategis karena kemampuannya untuk mencapai konsensus dari sekelompok ahli melalui survei multi-putaran yang terstruktur dan anonim.1 Penulis secara transparan mengakui kekuatan utama metode ini, seperti kemampuannya untuk mengumpulkan input ahli tanpa bias yang disebabkan oleh kepribadian dominan atau tekanan kelompok, serta kelemahannya, seperti proses yang memakan waktu dan potensi bias dalam pemilihan ahli.1

Aspek yang sangat penting dari rigor metodologis studi ini terletak pada proses seleksi panel ahli. Untuk memastikan bahwa panelis benar-benar merupakan ahli subjek yang mumpuni, peneliti menerapkan sistem poin yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya. Dari 18 kandidat yang bersedia berpartisipasi, tiga diantaranya dieliminasi karena tidak memenuhi kriteria ketat yang telah ditetapkan, yaitu skor minimum 15 poin dalam sistem kualifikasi, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan gelar pendidikan tinggi.1 Proses eliminasi yang ketat ini bukan hanya sekadar prosedur; ini adalah validasi internal yang secara langsung mengatasi batasan yang diakui oleh studi itu sendiri tentang "bias seleksi ahli." Pendekatan ini menunjukkan bagaimana sebuah studi Delphi dapat secara proaktif memitigasi kelemahan inherennya, meningkatkan keandalan dan validitas temuan secara keseluruhan.

Perjalanan studi menuju konsensus adalah demonstrasi yang menarik tentang dinamika antara teori dan praktik. Pada Putaran 1, panelis diminta untuk menentukan kualifikasi minimum yang "diwajibkan" (required) untuk tiga posisi keselamatan. Temuan awal ini kemudian disajikan kembali pada Putaran 2. Namun, tingkat konsensus yang tercapai untuk posisi profesional keselamatan dan manajer keselamatan hanya sebesar 53.85%, yang relatif rendah untuk studi Delphi.1 Komentar dari panelis yang tidak setuju mengungkapkan alasan yang mendalam: mereka merasa istilah "diwajibkan" terlalu kaku dan tidak realistis untuk diterapkan di industri yang sangat beragam. Salah satu panelis bahkan menyatakan bahwa "tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan" tanpa pengalaman yang relevan, menyoroti ketegangan antara kredensial formal dan kompetensi praktis.1

Menanggapi umpan balik yang kritis ini, peneliti melakukan perubahan metodologis yang signifikan. Dalam Putaran 3, istilah "diwajibkan" diubah menjadi "direkomendasikan" (recommended). Pergeseran terminologi yang tampaknya sederhana ini menghasilkan lonjakan konsensus yang dramatis, dengan tingkat persetujuan naik menjadi 84.62% untuk posisi profesional dan 92.31% untuk manajer.1 Kenaikan yang signifikan ini menunjukkan hubungan kuat antara kebutuhan panduan kualifikasi spesifik dan metodologi Delphi yang cermat, dengan koefisien lonjakan konsensus dari 53.85% menjadi 92.31%—menunjukkan potensi kuat untuk merumuskan pedoman praktis yang dapat diterima secara luas oleh industri.

Perubahan terminologi ini juga mengungkapkan sebuah pemahaman mendalam tentang nilai sesungguhnya dari studi ini. Nilai inti dari temuan ini bukan pada penetapan standar yang kaku dan tidak fleksibel, tetapi pada penyediaan kerangka kerja yang dapat beradaptasi dan dapat diterima oleh para pemangku kepentingan. Studi ini secara efektif mengidentifikasi bahwa kunci untuk adopsi pedoman di lapangan adalah dengan mendefinisikan kualifikasi yang "diinginkan" (desired) daripada "wajib." Temuan akhir dari proses Delphi dan validasi yang dilakukan mengidentifikasi kualifikasi spesifik untuk setiap posisi.

Untuk posisi keselamatan level awal, studi ini merekomendasikan kualifikasi dasar berupa ijazah sekolah menengah, dengan pengalaman 1 hingga 3 tahun. Sertifikasi tidak dianggap sebagai persyaratan wajib untuk posisi ini. Bagi seorang profesional keselamatan, kualifikasi yang diinginkan adalah memiliki gelar sarjana atau setara gelar 4-tahun, dengan pengalaman 3 hingga 5 tahun. Studi ini juga menunjukkan bahwa sertifikasi seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sangat direkomendasikan. Sementara itu, untuk posisi manajer keselamatan, kualifikasi yang diinginkan adalah gelar sarjana atau setara gelar 4-tahun dengan pengalaman minimal 5 tahun atau lebih. Selain itu, sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP) dianggap sebagai kualifikasi yang diinginkan.1

Studi ini juga menemukan bahwa mayoritas panelis setuju bahwa pendidikan bisa berasal dari bidang yang terkait dengan konstruksi secara luas (93.34%) dan pengalaman bisa didapat dari industri konstruksi secara umum (86.67%).1 Fleksibilitas ini memperkuat keselarasan antara temuan studi dan realitas lapangan.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Paper ini memberikan beberapa kontribusi signifikan yang berdampak baik pada ranah teoretis maupun praktis dalam bidang keselamatan konstruksi. Pertama, studi ini berhasil mengisi kekosongan pengetahuan yang sangat kritis dalam literatur.1 Berbeda dengan panduan umum yang sudah ada, seperti yang disediakan oleh ASSP, yang tidak spesifik untuk industri konstruksi dan bahkan merekomendasikan sertifikasi yang jarang atau tidak relevan, penelitian ini menyajikan pedoman yang secara langsung dapat diterapkan dalam konteks industri konstruksi AS.

Kedua, studi ini menghadirkan landasan pengetahuan teoretis dan praktis yang baru. Selain hanya mengidentifikasi kualifikasi, studi ini menyediakan metodologi yang dapat direplikasi untuk mencapai konsensus ahli, menambahkan "kontribusi teoretis pada badan pengetahuan tentang keselamatan konstruksi".1 Proses seleksi ahli yang cermat dan adaptasi terhadap umpan balik panelis menunjukkan pendekatan penelitian yang inovatif dan terstruktur, yang dapat berfungsi sebagai model untuk studi Delphi di masa depan.

Ketiga, dan yang paling penting, studi ini memberikan pedoman praktis yang realistis dan dapat diimplementasikan. Dengan beralih dari terminologi "wajib" menjadi "direkomendasikan" dan mengakui relevansi pengalaman di bidang konstruksi secara umum, studi ini menciptakan kerangka kerja yang tidak hanya didasarkan pada konsensus ahli, tetapi juga disesuaikan dengan realitas pasar kerja.1 Pedoman yang dihasilkan dapat secara langsung diadopsi oleh pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum, untuk meningkatkan proses perekrutan mereka, yang pada gilirannya diharapkan dapat berdampak positif pada kinerja keselamatan dan proyek secara keseluruhan.1

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Studi ini secara transparan mengakui beberapa keterbatasan penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, sebagai studi Delphi, temuan-temuan yang dihasilkan sangat bergantung pada persepsi panel ahli, yang secara inheren dapat memperkenalkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun penulis telah melakukan mitigasi melalui proses seleksi yang ketat, keterbatasan ini tetap ada. Kedua, penulis juga mengakui bahwa temuan dari studi Delphi mungkin tidak dapat digeneralisasi secara luas di luar konteks penelitian spesifik, meskipun studi validasi singkat telah dilakukan untuk mengurangi keterbatasan ini.1

Selain keterbatasan yang diakui, studi ini juga memunculkan beberapa pertanyaan terbuka yang signifikan, yang berfungsi sebagai titik awal untuk penelitian di masa depan. Pertanyaan pertama adalah tentang hubungan kausal. Meskipun studi ini mengasumsikan bahwa kualifikasi yang diinginkan akan meningkatkan kinerja keselamatan, asumsi ini tidak diuji secara empiris. Hubungan kausal ini tetap menjadi hipotesis yang kuat tetapi belum terverifikasi secara definitif.1

Kedua, ada ketegangan yang jelas antara nilai sertifikasi dan keterampilan praktis. Komentar dari panelis yang skeptis tentang nilai sertifikasi tanpa pengalaman yang relevan menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk memahami bobot relatif dari setiap kualifikasi. Studi ini menetapkan sertifikasi sebagai kualifikasi yang "diinginkan," tetapi gagal mengeksplorasi secara mendalam bagaimana kredensial formal ini diterjemahkan menjadi efektivitas di lapangan, sebuah area yang matang untuk penelitian lebih lanjut.

Ketiga, studi ini secara eksklusif berfokus pada kualifikasi teknis dan formal, mengabaikan pentingnya "soft skills" atau kualifikasi non-teknis. Tinjauan literatur dalam paper ini menyinggung bahwa "kreativitas dan inovasi" serta "sosiabilitas" membentuk kompetensi seorang koordinator keselamatan 1, namun studi Delphi tidak mengukur atau mengeksplorasi aspek-aspek ini. Hal ini meninggalkan kesenjangan pengetahuan yang signifikan mengenai bagaimana atribut interpersonal dan keterampilan manajemen berkontribusi pada kesuksesan seorang profesional keselamatan, yang membutuhkan eksplorasi yang lebih mendalam.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan analisis mendalam terhadap temuan dan keterbatasan studi oleh Karakhan dan Al-Bayati, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat membentuk agenda penelitian di masa depan untuk komunitas akademik dan para penerima hibah. Setiap rekomendasi berakar kuat pada temuan dalam paper ini dan bertujuan untuk memperluas validitas serta kedalaman pemahaman kita.

  1. Validasi Empiris Kuantitatif Lintas-Industri:
    Justifikasi ilmiah untuk penelitian ini berangkat langsung dari keterbatasan studi yang mengakui generalisasi yang terbatas dan kurangnya data empiris lapangan. Meskipun studi validasi telah dilakukan, studi ini tidak mencakup skala yang memadai untuk mengkonfirmasi bahwa kualifikasi yang direkomendasikan benar-benar menghasilkan peningkatan kinerja keselamatan. Oleh karena itu, langkah logis selanjutnya adalah melakukan validasi kuantitatif yang lebih luas.
    Penelitian ini harus berupa studi survei berskala besar, yang menargetkan perusahaan konstruksi dari berbagai ukuran dan spesialisasi di seluruh AS. Variabel yang akan diukur meliputi tingkat kecelakaan, metrik kinerja keselamatan yang terukur seperti Experience Modification Rate (EMR), dan data rinci tentang kualifikasi personel keselamatan yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk secara statistik menguji hipotesis apakah perusahaan yang mempekerjakan personel dengan kualifikasi yang direkomendasikan oleh paper ini benar-benar menunjukkan metrik keselamatan yang lebih baik. Temuan ini akan memberikan dasar empiris yang kuat untuk mendukung temuan Delphi dan memberikan argumen bisnis yang tak terbantahkan bagi industri.
  2. Eksplorasi Mendalam Kualifikasi Non-Teknis (Soft Skills):
    Studi ini secara eksplisit menyoroti pentingnya pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi, tetapi mengabaikan kualifikasi non-teknis yang disinggung dalam tinjauan literatur, seperti kreativitas, inovasi, dan sosiabilitas.1 Hal ini menciptakan kesenjangan yang signifikan, karena soft skills seringkali menjadi pembeda antara personel keselamatan yang efektif dan yang biasa-biasa saja.

    Penelitian lanjutan ini harus mengadopsi pendekatan kualitatif, menggunakan wawancara mendalam dan focus group dengan personel keselamatan, manajer proyek, dan pekerja garis depan. Fokus wawancara akan mencakup bagaimana soft skills dikenali, bagaimana mereka diterapkan di lapangan dalam situasi nyata, dan bagaimana mereka berkorelasi dengan kemampuan seorang profesional keselamatan untuk memengaruhi perilaku aman di tempat kerja. Tujuannya adalah untuk membangun model kompetensi yang lebih holistik, yang tidak hanya mencakup kualifikasi teknis dan formal tetapi juga atribut interpersonal, sehingga pedoman perekrutan di masa depan dapat menjadi lebih komprehensif dan efektif.
  3. Analisis Kausal Antara Kualifikasi dan Kinerja Keselamatan:
    Paper ini secara retoris menyatakan bahwa pemilihan personel yang berkualitas diharapkan akan "positively reflect on other project outcomes".1 Namun, hubungan kausal ini belum dibuktikan secara empiris. Ada kebutuhan mendesak untuk secara definitif menguji hipotesis ini.

    Metode yang ideal adalah studi longitudinal yang melacak kinerja proyek dari waktu ke waktu. Penelitian ini akan mengumpulkan data rinci tentang kualifikasi personel keselamatan yang ditugaskan pada proyek, menghubungkan data ini dengan metrik kinerja proyek yang terukur, seperti tingkat insiden, tingkat cedera, dan hasil audit keselamatan. Analisis regresi akan menjadi metode utama untuk mengisolasi efek kualifikasi personel dari variabel perancu lainnya, seperti ukuran proyek, jenis proyek, dan budaya keselamatan perusahaan. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk secara definitif membuktikan nilai investasi (Return on Investment - ROI) dari mempekerjakan personel keselamatan yang terkualifikasi, yang akan memberikan argumen bisnis yang kuat bagi para pemangku kepentingan industri untuk mengadopsi pedoman ini.
  4. Analisis Komparatif Kualifikasi Global:
    Studi ini secara spesifik mencatat bahwa pedoman Eropa mungkin tidak sepenuhnya berlaku di AS karena keunikan industri AS, termasuk tingginya jumlah pekerja imigran dan perbedaan geografis.1 Namun, ini juga membuka peluang besar untuk penelitian komparatif.

    Penelitian ini akan menggunakan pendekatan campuran (mix-method). Tahap pertama akan melakukan tinjauan sistematis terhadap standar dan regulasi keselamatan di negara-negara dengan industri konstruksi maju (misalnya, di Eropa, Australia, atau Asia). Tahap kedua akan melibatkan wawancara semi-terstruktur dengan para profesional keselamatan internasional untuk memahami perbedaan dalam praktik dan pandangan budaya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kualifikasi universal yang berlaku di seluruh dunia, serta kualifikasi yang spesifik untuk konteks nasional, memberikan wawasan berharga bagi perusahaan multinasional dan akademisi yang tertarik pada manajemen keselamatan global.
  5. Revisi Kualifikasi Berdasarkan Transformasi Teknologi:
    Paper ini menyoroti perlunya personel keselamatan untuk terus memperbarui pengetahuan mereka karena "continuous changes in construction technology and practices".1 Namun, kualifikasi yang diidentifikasi dalam studi ini sebagian besar bersifat tradisional. Mereka tidak secara spesifik mempertimbangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola risiko dari teknologi baru seperti
    Building Information Modeling (BIM), robotika, drone, dan Internet of Things (IoT) di tempat kerja.
    Penelitian ini harus menjadi studi Delphi lanjutan yang secara eksplisit berfokus pada "masa depan" industri konstruksi. Panelis ahli akan diminta untuk menilai kualifikasi baru yang relevan dengan tren teknologi, seperti pengetahuan tentang analisis data, penggunaan drone untuk inspeksi keselamatan, dan kompetensi dalam mengelola sistem keselamatan terintegrasi secara digital. Tujuannya adalah untuk merumuskan kualifikasi yang relevan bagi personel keselamatan di era digital, memastikan bahwa industri tetap selangkah lebih maju dalam mengelola risiko yang muncul dari inovasi teknologi.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Paper oleh Karakhan & Al-Bayati (2023) merupakan kontribusi fundamental yang menjawab kekosongan kritis dalam literatur dan praktik industri konstruksi. Dengan secara sistematis mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan (pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi), studi ini menyediakan kerangka kerja yang tidak hanya terperinci tetapi juga realistis dan dapat diimplementasikan. Pergeseran strategis dari pedoman "wajib" menjadi "direkomendasikan" menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika industri, memberikan nilai praktis yang lebih besar dan kemungkinan adopsi yang lebih tinggi.

Meskipun memiliki keterbatasan yang diakui, studi ini secara efektif meletakkan dasar bagi agenda riset masa depan yang lebih ambisius. Kelima rekomendasi yang diuraikan di atas menawarkan jalur eksplorasi yang jelas, mulai dari validasi empiris hingga antisipasi terhadap lanskap teknologi yang terus berubah. Untuk mewujudkan potensi penuh dari rekomendasi ini dan memastikan keberlanjutan serta validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara komunitas akademik, lembaga sertifikasi profesional (seperti ASSP, CHST, dan GSP), serta asosiasi industri yang relevan (ASCE, AGC). Kolaborasi semacam itu akan menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, menghasilkan pedoman yang lebih komprehensif dan dapat diterapkan untuk meningkatkan keselamatan kerja di seluruh industri.

(https://doi.org/10.3390/buildings13051237)

Selengkapnya
Membangun Keselamatan Kerja yang Lebih Baik: Panduan Kualifikasi Personel Konstruksi Berbasis Riset

Transportasi

Merancang Masa Depan Pelayaran: Pendekatan Berbasis Model untuk Keselamatan Kapal Otonom

Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025


Seiring dengan kemajuan teknologi, industri maritim berada di ambang transformasi besar menuju operasi otonom. Kapal tanpa awak menjanjikan efisiensi yang lebih tinggi, pengurangan kesalahan manusia, dan optimalisasi biaya operasional. Namun, janji ini diimbangi oleh tantangan besar: bagaimana kita dapat menjamin bahwa sistem yang begitu kompleks dan digerakkan oleh perangkat lunak ini akan beroperasi dengan aman di lingkungan laut yang dinamis dan tidak dapat diprediksi? Paper "Model-Based Design and Safety Assessment for Crewless Autonomous Vessel" oleh Takuya Nakashima dan rekan-rekannya menjawab tantangan ini secara langsung dengan memperkenalkan sebuah metodologi yang kuat untuk menanamkan keselamatan sejak awal dalam siklus hidup pengembangan kapal otonom.

Perjalanan logis penelitian ini dimulai dari pengakuan bahwa metode analisis keselamatan tradisional, seperti Analisis Kegagalan Mode dan Efek (FMEA), tidak lagi memadai. Metode-metode tersebut dirancang untuk mengidentifikasi kegagalan komponen perangkat keras, bukan untuk menganalisis bahaya yang muncul dari interaksi kompleks antara komponen yang berfungsi normal dalam sistem yang dikendalikan oleh perangkat lunak. Bahaya pada sistem otonom sering kali bukan disebabkan oleh kegagalan komponen, melainkan oleh keputusan kontrol yang tidak aman—sebuah celah yang tidak dapat ditangani oleh pendekatan konvensional.

Untuk mengatasi ini, para peneliti mengusulkan pendekatan rekayasa sistem berbasis model (MBSE) yang terstruktur dalam empat langkah utama. Pertama, mereka mendefinisikan skenario operasional dan kasus penggunaan (use cases), seperti navigasi dari titik A ke B sambil menghindari tabrakan. Langkah ini memastikan bahwa analisis keselamatan didasarkan pada konteks operasional yang realistis. Kedua, persyaratan sistem fungsional dan non-fungsional didefinisikan secara formal. Ketiga, arsitektur sistem—baik logis maupun fisik—dirancang menggunakan bahasa pemodelan standar SysML, yang memungkinkan visualisasi dan pemahaman yang jelas tentang bagaimana berbagai subsistem berinteraksi.

Langkah keempat adalah inti dari kontribusi mereka: penilaian keselamatan menggunakan System-Theoretic Process Analysis (STPA). Berbeda dengan metode lain, STPA memperlakukan kecelakaan sebagai masalah kontrol, bukan hanya kegagalan komponen. Dengan menggunakan model struktur kontrol yang telah dikembangkan, tim peneliti secara sistematis mengidentifikasi Unsafe Control Actions (UCA)—tindakan kontrol yang, dalam konteks tertentu, dapat menyebabkan bahaya. Sebagai contoh, dalam skenario penghindaran tabrakan, UCA dapat berupa "sistem tidak mengeluarkan perintah mengubah haluan saat kapal lain terdeteksi dalam jalur tabrakan."

Secara deskriptif, paper ini menyoroti data kualitatif yang terstruktur dengan presisi kuantitatif. Misalnya, untuk fungsi "penghindaran tabrakan", analisis STPA secara sistematis mengidentifikasi 19 UCA yang berbeda. Temuan ini menunjukkan hubungan yang erat antara keputusan kontrol perangkat lunak dan potensi bahaya di dunia fisik. Setiap UCA kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menemukan skenario penyebabnya, yang memungkinkan perancang untuk merumuskan persyaratan keselamatan spesifik. Proses ini menciptakan keterlacakan yang jelas dari bahaya tingkat tinggi (misalnya, tabrakan kapal) hingga persyaratan teknis tingkat rendah (misalnya, "sistem harus mengubah haluan sebesar X derajat jika objek terdeteksi pada jarak Y").

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling signifikan dari penelitian ini adalah integrasi holistik antara MBSE dan STPA untuk menciptakan siklus desain-analisis yang berulang dan dapat dilacak untuk sistem otonom maritim. Ini mengubah paradigma penilaian keselamatan dari aktivitas reaktif (menemukan masalah setelah desain selesai) menjadi aktivitas proaktif yang terintegrasi dalam proses desain itu sendiri. Dengan menggunakan model tunggal sebagai "sumber kebenaran" (single source of truth) untuk desain dan analisis keselamatan, metodologi ini memastikan konsistensi, mengurangi ambiguitas, dan memfasilitasi komunikasi antara para insinyur sistem dan ahli keselamatan. Hasilnya adalah argumen keselamatan (safety case) yang jauh lebih kuat dan dapat diverifikasi, yang merupakan prasyarat mutlak untuk sertifikasi dan penerimaan publik terhadap kapal otonom.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun metodologi yang diusulkan sangat menjanjikan, paper ini secara inheren memiliki beberapa keterbatasan yang membuka jalan bagi penelitian di masa depan. Pertama, analisis yang disajikan bersifat konseptual dan diterapkan pada model tingkat tinggi. Kinerja dan skalabilitas kerangka kerja ini belum diuji pada sistem kapal otonom skala penuh yang jauh lebih kompleks. Kedua, efektivitas analisis STPA sangat bergantung pada keakuratan dan kelengkapan model struktur kontrol serta skenario operasional yang didefinisikan. Bagaimana metodologi ini dapat menangani bahaya yang muncul dari skenario "tidak terpikirkan" atau black swan events? Terakhir, paper ini berfokus pada keselamatan waktu desain (design-time safety). Pertanyaan terbuka yang krusial adalah bagaimana kerangka kerja ini dapat dihubungkan dengan data operasional waktu nyata (run-time) untuk memantau, memvalidasi, dan memperbarui asumsi keselamatan secara dinamis.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

  1. Validasi Empiris melalui Simulasi High-Fidelity dan Prototipe Fisik: Menerapkan kerangka kerja MBSE+STPA pada simulator maritim canggih atau prototipe kapal otonom skala kecil. Justifikasi: Temuan konseptual dari paper ini memerlukan validasi di dunia nyata. Dengan menguji persyaratan keselamatan yang dihasilkan dari analisis STPA dalam lingkungan yang terkendali namun realistis, peneliti dapat mengukur secara kuantitatif efektivitasnya dalam mencegah UCA dan memitigasi bahaya, serta mengidentifikasi celah antara model dan realitas.
  2. Integrasi Analisis STPA dengan Algoritma Machine Learning (ML): Mengembangkan metode untuk menerapkan STPA pada komponen pengambilan keputusan berbasis ML, seperti jaringan saraf yang digunakan untuk persepsi lingkungan atau perencanaan jalur. Justifikasi: Banyak sistem otonom mengandalkan ML, yang sifatnya non-deterministik dan sering kali dianggap sebagai "kotak hitam". STPA tradisional mengasumsikan logika kontrol yang dapat dipahami. Penelitian ini sangat mendesak untuk memperluas STPA agar dapat menganalisis bagaimana model ML dapat mengeluarkan perintah yang tidak aman dan bagaimana struktur kontrol di sekitarnya dapat memastikan keamanan meskipun ada ketidakpastian dalam komponen ML tersebut.
  3. Pengembangan Perangkat Lunak untuk Otomatisasi Analisis: Membuat toolchain perangkat lunak yang dapat secara otomatis menghasilkan kandidat UCA, skenario penyebab, dan draf persyaratan keselamatan langsung dari model SysML. Justifikasi: Seperti yang diakui dalam paper, analisis STPA manual dapat menjadi sangat padat karya dan rentan terhadap kesalahan manusia, terutama untuk sistem yang kompleks. Otomatisasi akan secara dramatis meningkatkan efisiensi, konsistensi, dan skalabilitas metodologi, menjadikannya lebih praktis untuk diadopsi oleh industri.
  4. Aplikasi STPA pada Antarmuka Manusia-Mesin (HMI) di Pusat Kendali Jarak Jauh: Memperluas model struktur kontrol untuk mencakup operator manusia di pusat kendali jarak jauh sebagai bagian dari sistem. Justifikasi: Meskipun kapal disebut "tanpa awak", sistem secara keseluruhan mencakup operator jarak jauh yang memantau dan dapat mengintervensi. Operator ini dapat menjadi sumber UCA. Menganalisis HMI, alur kerja, dan beban kognitif operator menggunakan STPA akan memberikan pandangan yang lebih lengkap tentang keselamatan sistem secara keseluruhan.
  5. Standardisasi Kerangka Kerja untuk Tujuan Sertifikasi Regulasi: Bekerja sama dengan badan klasifikasi maritim (seperti ClassNK, DNV, ABS yang dirujuk dalam paper) untuk mengembangkan metodologi ini menjadi kerangka kerja standar yang dapat diterima untuk sertifikasi kapal otonom. Justifikasi: Agar inovasi akademis ini memiliki dampak di dunia nyata, ia harus menjembatani kesenjangan menuju persetujuan peraturan. Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana output dari analisis MBSE+STPA dapat dipetakan secara langsung ke standar dan peraturan yang ada atau yang sedang berkembang, sehingga memberikan jalur yang jelas bagi produsen untuk mensertifikasi kapal mereka.

Sebagai kesimpulan, paper ini memberikan fondasi yang kokoh untuk rekayasa keselamatan kapal otonom. Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang terletak pada pergeseran dari kepatuhan berbasis aturan menuju validasi berbasis bukti yang sistematis. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik, pengembang teknologi otonom, dan badan regulasi maritim internasional untuk memastikan bahwa kerangka kerja ini dapat matang menjadi standar global yang kuat, aman, dan dapat diandalkan.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Merancang Masa Depan Pelayaran: Pendekatan Berbasis Model untuk Keselamatan Kapal Otonom

Analisis

Analisis Sistem Manajemen K3 di Sektor Industri dan Peta Jalan Riset

Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025


Pendahuluan: Konteks Global dan Urgensi Nasional dalam K3

Isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah tantangan global yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, korporasi, hingga akademisi. Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 2014 mencatat bahwa setiap 15 detik, satu pekerja di seluruh dunia meninggal akibat kecelakaan kerja, sementara 337 juta pekerja lainnya mengalami sakit yang terkait dengan pekerjaan setiap tahunnya. Angka ini mengindikasikan skala permasalahan yang masif, dengan total kematian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) mencapai 2,3 juta kasus per tahun.

Dalam konteks nasional, data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan bahwa 129.911 peserta mengalami kecelakaan kerja. Sebuah temuan yang krusial dari data ini adalah bahwa mayoritas kecelakaan, yaitu 69,59%, terjadi di dalam area perusahaan saat pekerja sedang menjalankan tugasnya, sementara 20,15% terjadi dalam lalu lintas dan 10,26% di luar perusahaan. Proporsi kecelakaan yang tinggi di dalam lingkungan kerja ini secara langsung mengindikasikan adanya celah signifikan dalam sistem manajemen K3 di tingkat operasional. Secara regional, data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014 mencatat 3.751 kasus kecelakaan kerja dengan nilai klaim mencapai Rp 16,77 miliar rupiah. Khusus di Kabupaten Cirebon, pada tahun yang sama, dilaporkan 11 kasus meninggal dunia, 185 luka ringan, dan 10 luka berat.

Data statistik ini menegaskan urgensi untuk meninjau efektivitas penerapan sistem manajemen K3 di perusahaan. Pemerintah Indonesia merespons isu ini dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan minimal 100 orang atau memiliki potensi bahaya tinggi untuk mengimplementasikan SMK3. Penelitian yang dianalisis ini berfokus pada analisis penerapan SMK3 di PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Unit Cirebon pada tahun 2016. Tinjauan ini akan menggali temuan inti dari studi kasus tersebut, mengevaluasi kontribusinya, dan secara eksplisit menyusun peta jalan bagi penelitian di masa depan.

Data kuantitatif yang menjadi dasar justifikasi ilmiah untuk studi kasus ini dan urgensi penelitian lanjutan menunjukkan skala masalah keselamatan kerja yang masif secara global, dengan satu pekerja meninggal setiap 15 detik. Di tingkat nasional, BPJS Ketenagakerjaan mencatat 129.911 kecelakaan kerja pada tahun 2014, dengan 69,59% terjadi di dalam perusahaan, menegaskan kegagalan sistem operasional. Dampak ekonominya juga signifikan, dengan 3.751 kasus kecelakaan di Jawa Barat pada tahun 2014 yang menghasilkan klaim sebesar Rp 16,77 miliar. Bukti empiris tentang kesenjangan antara kebijakan dan praktik di tingkat mikro juga kuat: sebuah audit internal pada tahun 2016 menemukan 53 dari 166 kriteria penilaian SMK3 tidak sesuai dengan PP No. 50 Tahun 2012.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus untuk menganalisis penerapan SMK3 di sebuah unit perusahaan. Metodologi yang dipilih sangat sesuai untuk menggali informasi mendalam tentang sebuah fenomena di lingkungan alaminya. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik purposive sampling untuk memilih informan kunci yang dianggap paling memahami topik, seperti Kepala Unit, Kepala Seksi K3LH, dan Personel Keamanan. Selanjutnya, teknik snowball sampling digunakan untuk memperluas sampel berdasarkan rekomendasi dari informan awal.

Untuk memastikan validitas data, penelitian ini menerapkan teknik triangulasi yang menggabungkan beberapa metode pengumpulan data: wawancara mendalam (in-depth interview), observasi langsung, dokumentasi, dan pengisian lembar ceklis. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan informan inti, sementara data sekunder diperoleh dari dokumen dan arsip internal perusahaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk mendapatkan wawasan mendalam tentang implementasi SMK3, yang kemudian dirangkum dalam bentuk matriks.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa secara umum, penerapan SMK3 di PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk Unit Cirebon telah memenuhi hampir semua kriteria yang ditetapkan. Namun, analisis lebih dalam mengungkapkan bahwa status kepatuhan bervariasi di setiap pilar sistem:

  • Penetapan Kebijakan K3: Meskipun sebagian besar kriteria terpenuhi, ada beberapa celah signifikan. Kebijakan K3 belum disosialisasikan dan dijelaskan kepada pihak eksternal seperti tamu, kontraktor, pemasok, dan pelanggan. Selain itu, organisasi K3 belum ditempatkan pada posisi yang dapat memengaruhi keputusan perusahaan, dan penilaian kinerja serta tinjauan ulang belum dilakukan secara teratur.
  • Perencanaan K3: Hampir seluruh kriteria perencanaan terpenuhi, namun beberapa ketidaksesuaian teridentifikasi. Peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya belum disosialisasikan kepada seluruh pekerja. Selain itu, rencana K3 yang telah disusun belum memuat tujuan dan sasaran yang terukur, indikator pencapaian belum ditetapkan, dan sistem pertanggungjawaban yang ada belum diterapkan secara efektif.
  • Pelaksanaan Rencana K3: Sama seperti pilar lainnya, sebagian besar kriteria pelaksanaan sudah terpenuhi, namun masih ada kelemahan mendasar. Perusahaan belum secara menyeluruh mengkomunikasikan tanggung jawab dan akuntabilitas K3, belum memiliki prosedur untuk memantau perubahan tanggung jawab, dan belum mengalokasikan anggaran K3 secara menyeluruh. Prosedur pelaporan eksternal juga belum ditetapkan secara formal.
  • Pemantauan dan Evaluasi Kinerja K3: Ini adalah satu-satunya pilar yang menunjukkan kepatuhan penuh, di mana semua kriterianya sudah terpenuhi. Sistem pemantauan dilakukan melalui pemeriksaan rutin, pengujian, dan audit internal SMK3.

Sebuah data kuantitatif yang paling menyoroti kesenjangan ini adalah temuan dari audit internal SMK3 yang dilakukan perusahaan itu sendiri. Dari total 166 kriteria penilaian, terdapat 53 kriteria yang tidak sesuai dengan PP No. 50 Tahun 2012. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kemampuan perusahaan dalam memantau dan mengukur kinerja dengan adanya celah signifikan dalam implementasi di lapangan. Temuan ini menegaskan bahwa meskipun mekanisme diagnostik sudah ada, masalah substantif dalam penetapan kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan tetap menjadi hambatan utama.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap literatur ilmiah di bidang K3, khususnya dalam konteks Indonesia. Pertama, studi ini menyajikan sebuah studi kasus kualitatif yang terperinci dan mendalam, yang berfungsi sebagai "cetak biru" bagi peneliti lain untuk memahami tantangan mikro dalam penerapan regulasi K3 di tingkat perusahaan. Berbeda dengan analisis makro yang hanya berfokus pada data statistik, studi ini memberikan wawasan empiris dari perspektif operasional, mengidentifikasi secara spesifik di mana letak ketidakpatuhan dan mengapa hal tersebut terjadi.

Kedua, penelitian ini mengkonfirmasi dan memperluas pemahaman bahwa tantangan dalam implementasi K3 tidak hanya berkaitan dengan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga dengan faktor-faktor internal perusahaan seperti struktur organisasi, alokasi sumber daya, dan komunikasi. Temuan yang menunjukkan pilar Pemantauan dan Evaluasi sepenuhnya terpenuhi namun 53 kriteria lainnya tidak, mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kemampuan untuk mengukur kegagalan, tetapi memiliki kesulitan dalam mencegahnya. Ini menunjukkan bahwa fokus riset perlu bergeser dari sekadar "apakah sistem diterapkan?" menjadi "bagaimana sistem dapat dioptimalkan agar efektif dan proaktif?".

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Sebagai sebuah studi kasus tunggal, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal generalisasi temuan. Meskipun memberikan wawasan mendalam tentang satu perusahaan, temuan yang ada tidak serta-merta dapat diaplikasikan pada industri atau perusahaan lain. Keterbatasan ini, bagaimanapun, justru menciptakan peluang substansial untuk penelitian lanjutan. Kriteria-kriteria yang belum terpenuhi, sebagaimana yang tercantum dalam laporan, secara langsung mengarahkan pada pertanyaan-pertanyaan terbuka yang krusial.

Sebuah analisis yang lebih mendalam pada temuan ketidaksesuaian mengungkapkan adanya keterkaitan kausal di antara pilar-pilar yang bermasalah. Keterbatasan utama, seperti belum ditempatkannya organisasi K3 pada posisi penentu keputusan, berpotensi menjadi akar permasalahan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa alokasi anggaran K3 belum menyeluruh dan mengapa sosialisasi kebijakan kepada seluruh pihak terkait (termasuk pihak eksternal) tidak berjalan optimal. Dengan kata lain, ketidakmampuan organisasi K3 untuk mengambil keputusan strategis (masalah struktural) mengakibatkan kurangnya dukungan finansial (masalah sumber daya), yang pada akhirnya menghambat implementasi program-program mendasar seperti sosialisasi dan pelaporan.

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa kriteria yang tidak terpenuhi, yang membuka pintu bagi pertanyaan riset di masa depan. Misalnya, belum disosialisasikannya kebijakan K3 kepada pihak eksternal mengarah pada pertanyaan tentang hambatan komunikasi dan alokasi sumber daya. Kriteria lain yang belum terpenuhi adalah belum ditempatkannya organisasi K3 pada posisi yang dapat memengaruhi keputusan perusahaan, yang menunjukkan adanya hambatan struktural dalam hierarki manajemen dan mengarah pada pertanyaan tentang bagaimana struktur organisasi K3 yang ideal harus diintegrasikan dengan manajemen senior. Kurangnya sosialisasi peraturan dan persyaratan kepada seluruh pekerja juga menjadi temuan, yang memunculkan pertanyaan tentang metode sosialisasi paling efektif dengan keterbatasan sumber daya. Selain itu, temuan mengenai anggaran K3 yang belum dialokasikan secara menyeluruh dan belum adanya prosedur pelaporan eksternal menunjukkan masalah sumber daya dan akuntabilitas, dan karenanya membutuhkan penelitian lebih lanjut tentang hubungan kausal antara alokasi anggaran, otorisasi manajemen, dan efektivitas program K3, serta tantangan teknis dan organisasional dalam menyusun prosedur pelaporan eksternal.

Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan yang mendalam dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang dapat dijadikan peta jalan bagi peneliti, komunitas akademik, dan penerima hibah untuk membangun pengetahuan yang lebih kokoh di bidang K3.

1. Studi Kausalitas Anggaran dan Kepatuhan

Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa "anggaran untuk pelaksanaan K3 belum secara menyeluruh" menunjukkan adanya potensi hubungan langsung antara ketersediaan sumber daya finansial dan tingkat kepatuhan. Adanya 53 kriteria yang tidak terpenuhi menguatkan dugaan bahwa kegagalan implementasi memiliki kaitan erat dengan dukungan finansial yang tidak memadai. Sebuah studi yang dapat mengukur dan memvalidasi hipotesis ini akan sangat berharga.

Metode dan Konteks Baru: Penelitian ini disarankan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional atau kausal-komparatif. Variabel independen dapat mencakup persentase anggaran K3 dari total anggaran operasional perusahaan, sedangkan variabel dependennya adalah tingkat kepatuhan audit SMK3 dan jumlah insiden kecelakaan kerja atau

near miss accident per tahun. Konteks penelitian dapat diperluas untuk mencakup beberapa perusahaan dalam satu sektor industri untuk meningkatkan validitas eksternal.

2. Model Tata Kelola Organisasi K3 di Tingkat Strategis

Justifikasi Ilmiah: Laporan ini menemukan bahwa "organisasi K3 belum ditempatkan pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan". Hal ini secara langsung mengindikasikan hambatan struktural yang berpotensi menjadi akar dari banyak masalah operasional lainnya, seperti kurangnya sumber daya dan alokasi anggaran yang tidak menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan riset untuk mengidentifikasi model tata kelola yang efektif.

Metode dan Konteks Baru: Disarankan untuk melakukan studi kasus komparatif pada dua atau lebih perusahaan dengan potensi bahaya tinggi: satu yang memiliki struktur K3 yang terintegrasi di tingkat C-Suite dan satu lagi yang menempatkan K3 sebagai fungsi operasional. Penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam dengan eksekutif senior dan manajer K3 dapat mengungkap dinamika pengambilan keputusan dan dampaknya terhadap budaya keselamatan.

3. Analisis Efektivitas Metode Sosialisasi untuk Mengurangi Human Error

Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa peraturan dan persyaratan belum disosialisasikan kepada seluruh pekerja  dan data dari Suma'mur yang menunjukkan bahwa 80-85% kecelakaan kerja disebabkan oleh kelalaian atau human error , menunjukkan adanya celah antara penyebaran informasi dan perubahan perilaku. Penelitian ini diperlukan untuk menutup celah tersebut.

Metode dan Konteks Baru: Sebuah penelitian intervensi dengan desain eksperimental dapat dilakukan. Variabel yang diuji adalah metode sosialisasi yang berbeda, misalnya, pelatihan interaktif versus komunikasi satu arah melalui papan pengumuman. Variabel luaran yang diukur dapat berupa tingkat pemahaman pekerja terhadap kebijakan K3 melalui kuesioner, serta jumlah insiden ringan atau near miss accident yang tercatat setelah intervensi.

4. Pengembangan Sistem Pelaporan Eksternal Berbasis Data

Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menemukan bahwa perusahaan belum menetapkan prosedur pelaporan eksternal yang secara formal memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan pemegang saham. Kesenjangan ini mengindikasikan adanya ketidakpatuhan kritis yang dapat mempengaruhi akuntabilitas dan transparansi perusahaan.

Metode dan Konteks Baru: Sebuah pendekatan riset aksi kolaboratif disarankan. Peneliti dapat bekerja sama dengan perusahaan untuk merancang, mengimplementasikan, dan menguji coba sebuah sistem pelaporan eksternal yang terintegrasi. Metode ini akan memungkinkan pemahaman mendalam tentang tantangan teknis (misalnya, integrasi data) dan organisasional (misalnya, persetujuan manajemen) dalam proses tersebut, serta menghasilkan solusi yang dapat diterapkan.

5. Studi Komparatif Lintas Sektor Industri

Justifikasi Ilmiah: Guna mengatasi keterbatasan studi kasus tunggal, diperlukan penelitian yang lebih luas yang membandingkan temuan di PT Japfa Comfeed dengan perusahaan di sektor lain yang juga memiliki potensi bahaya tinggi, seperti manufaktur otomotif, pertambangan, atau kimia. Perbandingan ini akan membantu mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan kunci yang bersifat umum dalam penerapan SMK3 di berbagai konteks operasional.

Metode dan Konteks Baru: Pendekatan mixed-methods dapat digunakan. Data kuantitatif dapat dikumpulkan melalui survei dan audit pada beberapa perusahaan untuk mengukur tingkat kepatuhan. Sementara itu, data kualitatif dari wawancara dan observasi akan memberikan konteks mengapa faktor-faktor tertentu (misalnya, budaya perusahaan, kepemimpinan K3) berperan penting dalam kesuksesan implementasi.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Secara keseluruhan, penelitian yang diulas ini adalah kontribusi ilmiah yang penting, yang dengan jelas mengidentifikasi adanya kesenjangan antara komitmen normatif dan implementasi praktis dalam penerapan SMK3 di sebuah perusahaan. Meskipun sistem pemantauan dan evaluasi telah berjalan dengan baik, temuan audit internal yang menunjukkan adanya 53 kriteria yang tidak sesuai dari 166 total kriteria merupakan bukti empiris bahwa masih banyak ruang untuk perbaikan.

Untuk mengatasi tantangan ini, penelitian lanjutan harus bergerak melampaui analisis deskriptif dan diagnostik. Peta jalan yang diusulkan dalam dokumen ini, mulai dari studi kausalitas hingga riset aksi, menawarkan kerangka kerja yang solid untuk mengembangkan solusi yang lebih preskriptif dan interventif. Penelitian di masa depan harus fokus pada pemahaman mengapa terjadi kegagalan sistemik, dan tidak hanya pada identifikasi di mana kegagalan tersebut berada.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik terkemuka (misalnya, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada), badan pemerintah yang relevan (misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Standardisasi Nasional), serta asosiasi industri (misalnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus mendorong terwujudnya praktik K3 yang lebih proaktif dan efektif di seluruh sektor industri di Indonesia.

Asal Riset: Herlinawati, Herlinawati & Zulfikar, Anang. (2020). ANALISIS PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3). Jurnal Kesehatan. 8. 895-906. 10.38165/jk.v8i1.94.

Selengkapnya
Analisis Sistem Manajemen K3 di Sektor Industri dan Peta Jalan Riset
« First Previous page 189 of 1.344 Next Last »