Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Kualitas, Pilar Ketiga yang Terlupakan
Selama bertahun-tahun, pengukuran produktivitas dalam industri konstruksi di Indonesia umumnya berfokus pada dua aspek utama: waktu dan biaya. Namun, dalam realitas proyek konstruksi modern, kualitas merupakan elemen penting yang tidak bisa diabaikan. Paper karya Anton Soekiman bersama Krishna S. Pribadi, Biemo W. Soemardi, dan Reini D. Wirahadikusumah dari Parahyangan Catholic University dan ITB, hadir menjawab tantangan ini dengan menelaah faktor-faktor produktivitas tenaga kerja yang berdampak langsung pada kinerja kualitas proyek bangunan di Indonesia.
Alih-alih sekadar mengejar kecepatan dan efisiensi biaya, penelitian ini menekankan pentingnya keterkaitan erat antara produktivitas tenaga kerja dan kualitas hasil pekerjaan. Sebab, proyek yang selesai tepat waktu dan hemat biaya, namun memiliki kualitas buruk, pada akhirnya merugikan semua pihak.
Metode Penelitian: Menggali Suara Praktisi Lapangan
Studi ini menggunakan pendekatan survei melalui kuesioner terhadap 51 responden dari berbagai latar belakang profesional seperti manajer proyek, pengawas lapangan, hingga pejabat pemerintah. Para responden berasal dari wilayah yang tersebar di Indonesia, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi. Menariknya, lebih dari 94% responden memiliki pengalaman kerja lebih dari lima tahun, menjadikan temuan penelitian ini memiliki dasar praktis yang kuat.
Kuesioner menilai 113 faktor yang telah dikelompokkan menjadi 15 kategori seperti supervisi, perencanaan pelaksanaan, desain, tenaga kerja, material, hingga faktor eksternal. Responden diminta menilai tingkat pengaruh masing-masing faktor terhadap kualitas proyek menggunakan skala 1 hingga 5. Hasilnya diolah menjadi indeks kepentingan untuk mengukur dampak relatif tiap faktor.
Temuan Kunci: Supervisi sebagai Titik Rawan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok faktor supervisi merupakan penyumbang dampak negatif tertinggi terhadap kualitas proyek. Masalah seperti instruksi yang tidak jelas kepada pekerja, tidak adanya metode supervisi yang terstruktur, ketidakhadiran pengawas, dan rendahnya kompetensi supervisor dinilai sangat memengaruhi hasil akhir proyek.
Selain itu, perencanaan pelaksanaan yang buruk, termasuk dalam hal urutan kerja (sequencing) yang kacau, juga berkontribusi terhadap penurunan mutu konstruksi. Kepemimpinan yang lemah di lapangan, perubahan desain yang tidak dikomunikasikan dengan baik, serta rendahnya keterampilan dan pengalaman tenaga kerja, turut memperburuk situasi.
Hal menarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa faktor-faktor yang tampaknya teknis seperti material dan alat, justru memiliki dampak yang lebih kecil dibanding faktor-faktor yang sifatnya manajerial dan manusiawi. Ini menunjukkan bahwa akar dari banyak permasalahan kualitas bukan pada bahan bangunan atau teknologi, melainkan pada pengelolaan manusia di lapangan.
Analisis Lanjutan: Masalah Lama yang Belum Tuntas
Permasalahan seperti rendahnya keterampilan pekerja, ketidakhadiran pengawas, hingga komunikasi yang buruk sudah lama dikenal dalam dunia konstruksi Indonesia. Namun hingga kini, persoalan tersebut masih dominan. Ini menunjukkan bahwa sistem pelatihan dan manajemen tenaga kerja belum berhasil mengatasi tantangan dasar produktivitas.
Ketika seorang pekerja menerima instruksi yang tidak jelas, kesalahan pengerjaan sangat mungkin terjadi. Jika pengawas tidak hadir atau tidak kompeten, kesalahan tersebut tidak langsung terdeteksi dan bisa merembet menjadi cacat struktural. Ketika desain berubah tapi tidak segera disampaikan ke lapangan, pekerja tetap melanjutkan pekerjaan sesuai desain lama. Akibatnya, kualitas akhir proyek terganggu dan biaya perbaikan bertambah.
Studi Nyata: Proyek Gagal karena Salah Supervisi
Salah satu contoh konkret terjadi dalam proyek pembangunan fasilitas pemerintahan di Jawa Barat. Proyek ini mengalami keterlambatan hingga empat bulan dan menghadapi kritik tajam karena kualitas pekerjaan struktur bawah yang buruk. Setelah diaudit, ditemukan bahwa pengawas lapangan sering absen, terjadi miskomunikasi terkait perubahan desain pondasi, dan para pekerja tidak mendapatkan pelatihan mengenai metode pengecoran baru.
Temuan dalam kasus ini sangat mencerminkan isi paper yang dibahas. Persoalan yang terlihat sederhana seperti komunikasi dan kehadiran pengawas ternyata menjadi penentu kualitas proyek secara keseluruhan. Bahkan, meski material telah memenuhi spesifikasi dan alat berat tersedia, kegagalan tetap tidak terhindarkan karena lemahnya supervisi.
Keterkaitan dengan Tren Global
Fokus pada faktor manusia dalam produktivitas bukan hanya menjadi perhatian di Indonesia. Penelitian oleh Alinaitwe et al. (2007) di Uganda dan Enshassi et al. (2007) di Gaza menunjukkan kesamaan bahwa produktivitas sangat erat kaitannya dengan sistem manajemen tenaga kerja, pelatihan, dan koordinasi di lapangan. Meski setiap negara memiliki tantangan unik, akar permasalahannya sering kali serupa: SDM yang tidak dikelola secara efektif.
Namun, dalam konteks Indonesia, kompleksitas semakin tinggi karena keberagaman budaya, bahasa, dan struktur organisasi antarwilayah. Hal ini menjadi pembeda utama dan memperkuat urgensi pengembangan pendekatan supervisi yang adaptif dan kontekstual.
Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Perbaikan
Berdasarkan temuan paper ini, berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas proyek melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja:
Kritik terhadap Penelitian
Meskipun penelitian ini menawarkan wawasan penting, masih terdapat beberapa keterbatasan. Jumlah responden relatif kecil dibanding luasnya cakupan industri konstruksi di Indonesia. Selain itu, sebagian besar responden berasal dari Pulau Jawa, padahal konteks konstruksi di wilayah Indonesia Timur atau luar Jawa bisa sangat berbeda. Penelitian lanjutan sebaiknya mengakomodasi lebih banyak responden dari wilayah timur serta mempertimbangkan pengaruh digitalisasi dalam supervisi modern.
Kesimpulan: Produktivitas Bukan Sekadar Kecepatan
Paper ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas proyek konstruksi tidak bisa dilepaskan dari perbaikan produktivitas tenaga kerja. Namun, produktivitas di sini tidak boleh semata-mata diartikan sebagai kecepatan bekerja, tetapi juga mencakup kemampuan bekerja dengan benar dan sesuai standar kualitas. Kualitas, pada akhirnya, adalah hasil dari keterampilan, komunikasi, kepemimpinan, dan sistem kerja yang menyatu.
Dalam era pembangunan masif dan kebutuhan infrastruktur berkualitas tinggi, temuan ini menjadi pengingat bahwa pembangunan yang baik dimulai dari manusia yang dikelola dengan baik. Kualitas proyek tidak bisa ditinggikan jika supervisi masih lemah, komunikasi masih buruk, dan pekerja masih belum terlatih. Maka, investasi pada manajemen tenaga kerja adalah investasi pada masa depan konstruksi Indonesia itu sendiri.
Sumber Referensi
Soekiman, A., Pribadi, K. S., Soemardi, B. W., & Wirahadikusumah, R. D. (2010). Labor Productivity Factors Affecting the Projects Quality Performance in Indonesia. Dipresentasikan dalam 5th ASEAN Post Graduate Seminar, Kuala Lumpur.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Bencana Alam Bukan Sekadar Fenomena Alam
Selama ini, kajian teknis mengenai longsor di kawasan urban cenderung menitikberatkan pada faktor geologis dan infrastruktur fisik. Namun, penelitian terbaru dari MacAfee dkk. menyuguhkan pendekatan yang lebih holistik dan kontekstual: mengintegrasikan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) ke dalam strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction/DRR), khususnya di permukiman informal Kota Manado. Artikel ini menyuarakan urgensi pengakuan terhadap LK sebagai sumber informasi penting, yang sering kali diabaikan dalam kebijakan dan praktik DRR konvensional.
Metodologi: Dari Wawancara ke Pemahaman Kontekstual
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 19 partisipan, transect walks, observasi etnografis, dan diskusi umpan balik. Fokus utama diarahkan pada satu permukiman di Kecamatan Singkil, Manado, yang dikenal rawan longsor. Warga yang diwawancarai terdiri dari individu yang tinggal di atas, di tengah, dan di bawah lereng, menciptakan gambaran utuh mengenai risiko dan dampaknya dari berbagai sudut pandang spasial.
Temuan Utama: Sampah sebagai Ancaman Longsor yang Terabaikan
Salah satu hasil paling signifikan dari studi ini adalah pengungkapan keterkaitan antara pengelolaan sampah padat (solid waste management/SWM) yang buruk dan meningkatnya risiko longsor. Warga mengidentifikasi bahwa tumpukan sampah di lereng tidak hanya mengganggu aliran air hujan, tetapi juga menambah beban dan melemahkan struktur tanah. Anehnya, faktor ini nyaris tidak diakomodasi dalam klasifikasi ilmiah mainstream seperti Varnes Classification, yang cenderung mengabaikan kontribusi aktivitas antropogenik secara spesifik.
Faktor-faktor Risiko yang Dikenali oleh Warga:
Analisis Tambahan: Ketimpangan Sosial dan "Politik Pengetahuan"
Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana stigmatisasi terhadap warga permukiman informal mempengaruhi akses mereka terhadap infrastruktur dasar seperti pengelolaan sampah. Pemerintah kota Manado tidak mengakui kawasan tersebut sebagai daerah kumuh dalam peraturan resmi, sehingga mereka tidak menerima bantuan seperti sistem drainase atau dinding penahan tanah.
Warga pun kerap disalahkan atas kondisi lingkungan dengan asumsi bahwa “kebiasaan buruk” mereka menjadi penyebab masalah. Padahal, mereka telah menunjukkan kesadaran tinggi terhadap risiko dan bahkan memiliki solusi lokal seperti membangun dinding dari karung pasir atau menanam kembali lereng yang gundul.
Studi Kasus: Longsor Akibat Sampah di Singkil
Salah satu narasumber yang rumahnya hancur akibat longsor tahun 2020 menjelaskan bahwa tanah yang dipenuhi sampah menjadi lebih rentan terhadap erosi. Air hujan membawa sampah ke bawah, memicu longsoran kecil yang berulang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara air, tanah yang gembur, dan sampah organik maupun plastik menciptakan kondisi kritis yang belum dijelaskan dalam literatur teknis secara komprehensif.
Perbandingan dan Relevansi Global
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Manado. Tragedi longsor sampah di Quezon City (Filipina, 2000) dan Ghazipur (India, 2017) menunjukkan bahwa “garbage landslides” merupakan bencana antropogenik yang nyata dan mematikan. Namun, kebanyakan riset masih berfokus pada landfill besar, bukan permukiman informal yang secara fungsional berperan seperti landfill tak resmi.
Studi ini memperlihatkan bahwa situasi di Manado memiliki kesamaan dengan area rentan di Brasil dan Kolombia, di mana warga juga menunjukkan kapasitas luar biasa dalam mengidentifikasi dan merespons risiko. Di Indonesia sendiri, praktik lokal seperti Mapalus (di Tomohon) atau Smong (di Simeulue) membuktikan kekuatan LK dalam merespons bencana.
Implikasi Praktis: Aksi Nyata dan Rekomendasi
Rekomendasi Praktis:
Rekomendasi Kebijakan:
Rekomendasi Riset Lanjutan:
Kritik dan Batasan Penelitian
Meskipun sangat kaya secara naratif, studi ini terbatas dari sisi ukuran sampel dan cakupan geografis. Penelitian lanjutan bisa memperluas pendekatan ke wilayah lain yang memiliki topografi serupa, serta mengembangkan metode pengukuran kuantitatif untuk memperkuat validitas temuan kualitatif ini.
Kesimpulan: Pengetahuan Lokal Bukan Pelengkap, Tapi Kebutuhan
Artikel ini bukan hanya menyoroti kekuatan pengetahuan lokal, tetapi juga menantang pendekatan DRR konvensional yang menempatkan teknokrat sebagai pusat pengambilan keputusan. Warga permukiman informal di Manado terbukti memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika risiko di lingkungan mereka. Pengabaian terhadap pengetahuan ini bukan hanya kelalaian, melainkan sebuah kegagalan struktural dalam membangun kota yang tangguh dan inklusif.
Oleh karena itu, pengintegrasian pengetahuan lokal bukanlah opsi tambahan, melainkan bagian esensial dari strategi DRR masa depan, terutama di wilayah yang menghadapi tekanan urbanisasi dan krisis iklim secara bersamaan.
Sumber Paper:
MacAfee, E., Lohr, A. J., & de Jong, E. (2024). Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 111, 104710.
DOI: https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2024.104710
Kontruksi Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Jalan Rusak, Masalah Kualitas yang Sistemik
Infrastruktur jalan di Indonesia bukan hanya menjadi urat nadi mobilitas, tapi juga cerminan kematangan manajemen konstruksi nasional. Namun, realitas menunjukkan banyak proyek jalan yang tidak mencapai standar mutu. Dalam konteks ini, penelitian Febriane dkk. menghadirkan kontribusi penting untuk mengidentifikasi penyebab serta menawarkan solusi terhadap rendahnya mutu proyek jalan raya, khususnya di Indonesia. Dengan fokus pada proyek Manado Outer Ring Road (MOR) III, paper ini menjadi potret komprehensif bagaimana tiga aktor utama—pemerintah, kontraktor, dan konsultan pengawas—berinteraksi dalam proses mutu.
Metodologi Penelitian: Gabungan Delphi dan Focus Group
Penelitian ini menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui wawancara awal, dua putaran survei Delphi, serta wawancara kelompok terfokus. Tiga kelompok responden utama dilibatkan: perwakilan pemerintah (NRIA), konsultan pengawas, dan kontraktor proyek MOR III. Studi ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan utama:
Bagaimana proses manajemen mutu saat ini dijalankan?
Apa tantangan kritis yang dihadapi dalam implementasinya?
Bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi kendala tersebut?
Dengan nilai proyek mencapai Rp60 miliar, studi kasus MOR III menjadi representasi konkret dari persoalan nyata di lapangan.
Faktor Kunci yang Memengaruhi Kualitas Proyek Jalan
1. Dokumentasi Standar Kualitas yang Tidak Lengkap
Salah satu akar masalah utama adalah dokumen kualitas yang tidak memadai, termasuk form permintaan pekerjaan konstruksi dan checklist pengawasan. Kondisi ini menghambat proses awal proyek, menyebabkan ketidakjelasan standar, dan memperpanjang waktu pelaksanaan.
Analisis Tambahan: Masalah dokumentasi ini juga umum ditemukan dalam proyek skala kecil-menengah, terutama di daerah dengan kapasitas manajerial terbatas. Dalam era digital, penerapan e-QMS bisa menjadi solusi yang layak diterapkan secara bertahap.
2. Kompetensi Tim Proyek
Banyak proyek melibatkan tenaga kerja dan tim yang belum cukup berpengalaman, terutama pada pihak kontraktor dan konsultan. Ketidakhadiran tenaga ahli dalam rapat prapelaksanaan memperburuk komunikasi dan pengambilan keputusan teknis.
Opini: Ini menunjukkan perlunya standarisasi kompetensi minimal dan sertifikasi profesi teknis yang lebih ketat dalam pengadaan jasa konstruksi pemerintah.
3. Keterlibatan Stakeholder yang Tidak Merata
Konsultan pengawas kerap diperintahkan oleh pemilik proyek untuk bekerja tanpa kelengkapan dokumen, menyebabkan kebingungan dalam eksekusi. Selain itu, kurangnya independensi konsultan dalam mengawasi proyek milik pemerintah menjadi isu krusial.
Perbandingan: Di negara maju seperti Jepang, konsultan bersifat independen dan memiliki otoritas penuh dalam sistem audit mutu proyek, mencegah konflik kepentingan.
Kendala Sistemik dalam Proyek Jalan di Indonesia
A. Ketimpangan Kapasitas antara Kontraktor Besar dan Kecil
Distribusi proyek nasional kepada kontraktor kecil-menengah sebagai bagian dari pelatihan kerja justru menyumbang pada ketimpangan mutu. Kontraktor besar memiliki sistem manajemen mutu dan sumber daya yang matang, sementara yang kecil masih tertatih memahami dasar-dasar QMS.
B. Politik dan Nepotisme
Pengaruh politik dalam penunjukan kontraktor menurunkan objektivitas pemilihan dan membuka peluang bagi penyedia jasa yang tidak kompeten untuk terlibat dalam proyek bernilai besar.
C. Kurangnya Sistem Monitoring dan Evaluasi
Minimnya penerapan SOP dan pemeriksaan mutual checks (MC-0) pada fase awal konstruksi menghambat pengukuran kualitas secara konsisten.
Rekomendasi dan Strategi Solutif
1. Kewajiban Sertifikasi dan Audit Internal
Perlu diterapkan kewajiban memiliki sertifikasi ISO 9001 bagi semua kontraktor, terutama yang menangani proyek jalan nasional. Selain itu, perlu dibuat sistem audit internal bersama antara pemilik proyek, konsultan, dan kontraktor.
2. Digitalisasi Proses Mutu
Penggunaan sistem digital (misalnya Building Information Modeling dan e-QMS) bisa mempermudah pengumpulan dan evaluasi dokumen mutu. Sistem ini juga meningkatkan transparansi proses antara pihak-pihak yang terlibat.
3. Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan
Pelatihan berkala mengenai proses mutu dan manajemen proyek sangat dibutuhkan, terutama bagi kontraktor kecil. Pemerintah dapat menjadikan hasil riset ini sebagai modul pelatihan dalam coaching clinic proyek strategis nasional.
Studi Kasus Tambahan: Proyek yang Gagal karena Lemahnya Sistem Mutu
Beberapa kecelakaan konstruksi besar seperti ambruknya LRT Jakarta (2018) dan proyek tol Bekasi–Cawang (2018) mencerminkan lemahnya sistem manajemen mutu dan keselamatan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan sekadar teknis, melainkan sistemik dan manajerial.
Kesimpulan: Menuju Budaya Mutu di Industri Konstruksi Indonesia
Penelitian ini memperlihatkan bahwa kualitas proyek jalan di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh kecanggihan alat atau material, melainkan juga oleh interaksi manusia dan sistem dokumentasi yang baik. Dengan pendekatan berbasis data, riset ini menjadi rujukan penting untuk perumusan kebijakan, pelatihan praktisi, hingga standar pemilihan kontraktor.
Membangun budaya mutu tidak bisa instan. Perlu sinergi antara pemerintah sebagai pemilik proyek, kontraktor sebagai pelaksana, dan konsultan sebagai pengawas independen. Kesadaran kolektif ini menjadi kunci utama dalam membenahi wajah infrastruktur nasional menuju pembangunan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Febriane, D., Huda, N., & Widiyanto, A. (2024). Management of Road Construction Projects. The TQM Journal. https://doi.org/10.1108/TQM-04-2022-0132
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Air, Ruang, dan Ancaman Keberlanjutan
Dalam era pembangunan masif seperti sekarang, persoalan lingkungan hidup, khususnya air, kian mendesak. Salah satu pendekatan ilmiah yang berpotensi menjembatani kebutuhan ekologis dan pembangunan adalah kajian daya dukung dan daya tampung air. Tesis Arief Riyadi berjudul "Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Perencanaan Tata Ruang (Studi Kasus Wilayah Malang)" merupakan telaah mendalam tentang bagaimana air, sebagai sumber daya vital, seharusnya menjadi parameter utama dalam penyusunan rencana tata ruang.
Konteks Studi: Mengapa Malang?
Wilayah Malang Raya terdiri dari Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang, yang seluruhnya berada di daerah hulu DAS Brantas. Kawasan ini bukan hanya sumber air penting bagi Jawa Timur, tetapi juga zona rawan degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan yang masif. Data menunjukkan bahwa dari 12 sub DAS di Malang, empat (Metro, Bango, Amprong, dan Manten) menjadi fokus utama karena melewati lebih dari satu wilayah administrasi. Di sinilah krisis lintas batas menjadi nyata, namun sering diabaikan dalam perencanaan ruang.
Permasalahan Utama: Defisit Air dan Tata Ruang yang Lumpuh
Tesis ini menunjukkan bahwa degradasi kualitas air dan penurunan debit mata air di kawasan seperti Gunung Arjuna dan Toyomarto bukan mitos. Survei LSM Ecoton pada 2010 membuktikan debit air menyusut signifikan. Lebih jauh, data DLH Malang 2016–2017 menunjukkan mayoritas titik pengamatan air sudah masuk kategori "cemar ringan". Ini mengindikasikan bahwa tata ruang eksisting tidak selaras dengan kapasitas ekologis wilayah.
Metodologi: Kuantifikasi Realitas Ekologis
Menggunakan pendekatan kuantitatif, Arief menggabungkan analisis indeks pencemaran air (Pollution Index) dan perhitungan daya dukung berdasarkan curah hujan, pertumbuhan penduduk, serta luas tangkapan air. Data diambil dari 20 titik sungai selama dua tahun (2016–2017). Ini bukan riset satu waktu, melainkan rangkaian monitoring yang memungkinkan penilaian tren jangka menengah, sebuah kelebihan penting yang jarang ditemukan dalam studi lingkungan serupa.
Temuan Penting: Wilayah Kritis dan Aman
Sub DAS Metro dan Bango sudah melewati ambang kritis sebelum 2015. Sebaliknya, Sub DAS Amprong dan Manten diprediksi masih mampu memenuhi daya dukung hingga 2030. Namun, kualitas air di keempat sub DAS tersebut sudah tercemar sejak dari hulu. Artinya, pendekatan spasial tidak cukup—perlu strategi ekosistem menyeluruh yang mengintegrasikan hulu dan hilir.
Daya Tampung dan Pencemaran: Hulu pun Tak Lagi Aman
Menggunakan metode indeks pencemaran air, hasilnya mencemaskan: pencemaran ringan sudah terjadi bahkan di titik-titik hulu. Parameter seperti BOD, COD, Nitrat, dan Detergen melebihi baku mutu. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya volume air yang berkurang, tetapi juga kualitas air yang terus menurun. Lebih parah, kondisi ini tidak berkorelasi langsung dengan musim hujan atau kemarau. Dengan kata lain, pencemaran bersifat struktural, bukan musiman.
Studi Komparatif: Malang dalam Lanskap Global
Jika dibandingkan dengan studi serupa di Provinsi Henan (Cina) atau DAS Tieling di Liao River, Tiongkok, temuan ini konsisten: alih fungsi lahan dan peningkatan kepadatan penduduk tanpa mitigasi daya dukung menyebabkan krisis air. Namun, di negara-negara tersebut, perencanaan berbasis WECC (Water Environmental Carrying Capacity) sudah terintegrasi dengan tata ruang. Indonesia masih tertinggal.
Kelemahan Penataan Ruang di Indonesia
Salah satu kritik utama Arief adalah lemahnya integrasi antara KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Keduanya seperti dua dokumen yang berjalan sendiri. Hal ini sejalan dengan temuan Santoso (2014) bahwa rencana tata ruang di Jawa Timur sering tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Akibatnya, daerah yang secara ekologis tidak layak dibangun tetap dilegalkan.
Rekomendasi Tesis: Solusi Nyata, Bukan Simbolik
Nilai Tambah Tesis ini: Komprehensif dan Terapan
Tesis ini bukan hanya analitis tetapi aplikatif. Arief Riyadi, dengan latar belakang sebagai praktisi lapangan (mantan fasilitator USAID dan konsultan sanitasi), memahami kompleksitas pengelolaan lingkungan di level kebijakan dan lapangan. Inilah yang membuat studinya kaya: ia tidak berhenti pada angka, tetapi menawarkan solusi yang realistis, bukan utopis.
Penutup: Dari Tesis ke Kebijakan Publik
Tesis ini menyajikan kerangka pikir yang kuat bahwa pembangunan ruang tidak bisa dilepaskan dari kapasitas lingkungan. Pendekatan daya dukung dan daya tampung air menjadi alat penting untuk menakar apakah suatu wilayah siap menampung beban pembangunan. Jika tidak, maka bencana ekologis hanyalah soal waktu.
Sumber: Riyadi, A. (2018). Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Perencanaan Tata Ruang (Studi Kasus Wilayah Malang). Tesis Magister. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Pencemaran Sungai
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Sungai sebagai Simbol Krisis Ekologis
Sungai Citarum, membentang sejauh 297 kilometer di Jawa Barat, menjadi nadi kehidupan bagi lebih dari 28 juta jiwa. Ironisnya, sungai ini juga menyandang predikat sebagai salah satu yang paling tercemar di dunia. Limbah industri, domestik, dan pertanian telah mencemari badan sungai, menyebabkan krisis ekologi berkepanjangan. Upaya pemulihan terus dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Dalam konteks inilah artikel "Program Revitalisasi Sungai Citarum: Sebuah Analisis Strength, Weakness, Advocates, Adversaries (SWAA)" oleh Dissa Erianti dan Sukawarsini Djelantik menjadi sangat relevan. Artikel ini tidak sekadar memotret kebijakan, tetapi membedah relasi kuasa yang membentuk keberhasilan atau kegagalan revitalisasi Citarum.
Pendekatan SWAA: Membaca Politik dalam Kebijakan Lingkungan
Model SWAA (Strength, Weakness, Advocates, Adversaries) merupakan pendekatan kebijakan publik yang memperhitungkan kekuatan, kelemahan, serta siapa pendukung dan penghambat suatu kebijakan. Berbeda dengan SWOT, SWAA menyoroti politik aktor dan distribusi kuasa, sangat cocok untuk membaca masalah kompleks seperti revitalisasi Citarum. Dalam studi ini, Erianti dan Djelantik memanfaatkan SWAA untuk mengungkap kegagalan program-program pemerintah dalam menangani masalah sungai secara berkelanjutan.
Kekuatan: Kemauan Politik dan Dana Besar
Berbagai program seperti Citarum Bestari dan Citarum Harum menunjukkan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi pencemaran. Program ini didukung oleh dana internasional, termasuk pinjaman sebesar USD 500 juta dari Asian Development Bank (ADB), serta partisipasi akademisi dari ITB dan UNPAR. Komitmen ini menjadi kekuatan utama yang seharusnya mampu mendorong perubahan besar.
Kelemahan: Fragmentasi, Kepemimpinan Lemah, dan Budaya Lingkungan yang Buruk
Sayangnya, kekuatan tersebut tidak diimbangi oleh efektivitas implementasi. Koordinasi antar-lembaga sangat lemah. Gubernur Jawa Barat mengakui kesulitan menjadi komando tunggal dalam upaya revitalisasi. Hanya 20% dari 3.200 pabrik di DAS Citarum yang memiliki IPAL, sisanya bebas membuang limbah ke sungai. Di tingkat masyarakat, budaya membuang sampah ke sungai masih marak karena kurangnya edukasi dan sanksi tegas.
Advokasi: Kekuatan Komunitas dan LSM
WALHI, Greenpeace, ICEL, dan jaringan masyarakat seperti Ecovillage aktif melakukan advokasi, dari edukasi hingga litigasi. Mereka menggugat izin industri pencemar hingga tingkat Mahkamah Agung. Lebih dari 120 komunitas lokal berpartisipasi dalam pengawasan dan kampanye bersih sungai, meski sering terhambat oleh keterbatasan dana dan perhatian pemerintah.
Adversaries: Korporasi Nakal dan Praktik KKN
Kendati dikepung kampanye lingkungan, banyak perusahaan tetap membuang limbah karena merasa aman dari penindakan hukum. Korupsi dan kolusi memperparah kondisi. Audit BPK mengungkap indikasi penyalahgunaan dana dalam proyek Citarum. Ini menjadi batu sandungan utama yang membuat proyek revitalisasi berjalan di tempat.
Studi Kasus: ICWRMIP dan Citarum Harum
Program ICWRMIP didanai ADB dan diklaim sebagai pendekatan komprehensif. Namun, aktivis lingkungan menilai program ini hanya memperindah laporan tanpa menyentuh akar masalah. Begitu pula Citarum Harum yang diluncurkan Presiden Jokowi: meski menggandeng militer dan banyak kementerian, implementasinya dinilai lebih simbolik daripada substansial.
Belajar dari Sungai Lain: Rhein, Thames, dan Mekong
Di Jerman dan Inggris, pemulihan sungai berhasil karena integrasi regulasi ketat, edukasi jangka panjang, dan kolaborasi lintas sektor. Sungai Rhein kini menjadi lokasi wisata dan transportasi setelah dekade restorasi serius. Sungai Thames, yang pernah dinyatakan biologis mati pada 1950-an, kini menjadi habitat berbagai spesies. Citarum masih jauh dari tahap ini, karena reformasi tata kelola belum menyentuh akar.
Refleksi Kritis: Mengapa Gagal Terus?
Banyak proyek lingkungan di Indonesia berganti nama, berganti pemimpin, tapi substansinya tidak berubah. Pendekatan top-down yang tidak partisipatif membuat solusi menjadi asing bagi warga. Koordinasi birokrasi yang buruk, politik proyek jangka pendek, dan minimnya akuntabilitas publik menjadi pola kegagalan struktural. Ini bukan masalah teknis, tapi masalah sistemik.
Rekomendasi Kebijakan
Penutup: Menuju Sungai yang Harum, Bukan Sekadar Slogan
Pendekatan SWAA mengajarkan bahwa solusi atas krisis Citarum tidak cukup dengan teknologi dan proyek fisik. Yang dibutuhkan adalah reformasi tata kelola, kepemimpinan berani, serta kolaborasi yang sejati. Sungai Citarum bisa pulih, tapi tidak dengan cara lama. Artikel ini membuka mata kita bahwa pencemaran sungai adalah cermin rusaknya ekosistem kekuasaan, bukan hanya lingkungan.
Sumber: Erianti, D., & Djelantik, S. (2019). Program Revitalisasi Sungai Citarum: Sebuah Analisis Strength, Weakness, Advocates, Adversaries (SWAA). Jurnal Ilmu Administrasi, Volume XVI(1), 81–96. Jurnal Ilmu Administrasi. ISSN 1829-8974 / e-ISSN 2614-2597.
Privatisasi Sumberdaya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Air sebagai Medan Kuasa
Air bukan sekadar unsur kehidupan, tetapi telah berevolusi menjadi komoditas dan sumber konflik multidimensi. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, keberadaan 150 mata air tidak menjamin keadilan distribusi. Laporan penelitian "Ekologi Politik Konflik Sumber Daya Air" oleh Yosafat Hermawan Trinugraha dari Universitas Sebelas Maret menyoroti ketimpangan struktural dalam tata kelola air, terutama antara petani di daerah hilir dan perusahaan air minum kemasan yang menguasai daerah hulu. Dengan pendekatan ekologi politik dan konsep "waterscape," laporan ini mengungkap bagaimana air menjadi arena konflik antara korporasi, pemerintah, dan masyarakat.
Teori Ekologi Politik dan Waterscape
Pendekatan ekologi politik yang digunakan dalam laporan ini berpijak pada pandangan Paul Robbins (2012) yang menyoroti lima pilar: degradasi dan marjinalisasi, konflik lingkungan, konservasi dan kontrol, identitas lingkungan dan gerakan sosial, serta objek politik dan aktor. Konsep "waterscape" dari Budds dan Swyngedouw memperkuat kerangka analisis, dengan melihat air sebagai lanskap yang dipolitisasi di mana relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya menjadi tak seimbang. Dalam konteks Klaten, waterscape memperlihatkan bagaimana air sebagai sumber daya bersama telah dikomodifikasi dan dimonopoli oleh kekuatan ekonomi tertentu.
Ironi Daerah Kaya Air
Kabupaten Klaten memiliki ratusan mata air dan merupakan sumber air penting untuk PDAM Surakarta sejak era kerajaan. Namun, di sisi lain, petani di Kecamatan Juwiring, Delanggu, Ceper, Trucuk, dan Karangdowo mengalami kekurangan air irigasi saat musim kemarau. Fenomena ini memperlihatkan ironi: daerah kaya air namun petani harus mengebor sumur untuk bertani.
Sejak tahun 2002, perusahaan multinasional seperti Danone melalui PT Tirta Investama memanfaatkan sumber air di Klaten untuk produksi air minum dalam kemasan (AMDK). Produk Aqua menjadi merek dominan di pasar nasional. Namun, kehadiran korporasi ini menimbulkan kecurigaan publik, terutama ketika debit air tanah semakin menurun di daerah hilir.
Metodologi Lapangan: Wawancara dan FGD
Laporan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam, observasi, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan petani, P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta warga di Kecamatan Juwiring dan sekitarnya. Dalam diskusi tersebut, para petani menyuarakan keresahan:
"Air untuk minum orang kota diprioritaskan, sementara kami butuh air untuk makan," keluh seorang petani dalam FGD.
Transkrip wawancara dan observasi memperkuat dugaan bahwa alokasi air lebih menguntungkan sektor industri ketimbang pertanian.
Regulasi yang Berubah-ubah
Sejak era kolonial, kebijakan pengelolaan air sudah sarat kepentingan politik dan ekonomi. Regulasi seperti Algemene Water Reglement (AWR) tahun 1936 hingga Undang-Undang No. 11/1974 tentang Pengairan menekankan dominasi negara dalam distribusi air. Reformasi melahirkan UU No. 7/2004 yang membuka pintu lebar bagi swastanisasi. Namun, undang-undang ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2015 karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Kekosongan regulasi hingga saat ini memicu ketidakpastian hukum. Pemerintah daerah masih memperbolehkan operasional perusahaan AMDK meski belum ada undang-undang baru yang mengatur ulang distribusi air secara lebih adil.
Relasi Kekuasaan: Siapa Mendapat Apa?
Dalam konflik air di Klaten, terdapat empat aktor utama: pemerintah daerah, korporasi (Danone), masyarakat sipil (NGO), dan petani. Hubungan antara mereka sangat timpang. Pemerintah daerah cenderung mendukung investasi asing demi pemasukan daerah. NGO berperan sebagai penyeimbang, namun kurang memiliki kuasa struktural. Sementara itu, petani hanya menjadi objek kebijakan tanpa ruang partisipasi yang berarti.
Penelitian ini menemukan bahwa petani di hilir sering dianggap sekadar penerima manfaat, bukan aktor utama dalam perumusan kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi air tidak hanya soal fisik, tapi juga soal kuasa dan akses.
Komodifikasi Air dan Konsekuensinya
Air yang seharusnya menjadi "common good" telah menjadi "private commodity". Produksi AMDK mengubah wajah ekonomi air dari layanan publik menjadi produk pasar. Ketika air dikomodifikasi, akses terhadapnya menjadi bergantung pada daya beli. Ini menyebabkan petani, yang posisinya lemah secara ekonomi dan politik, terpinggirkan dari akses sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak dasar.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Klaten, tetapi juga di berbagai wilayah lain. Di Cochabamba, Bolivia (2000), privatisasi air oleh Bechtel memicu protes massal yang akhirnya membatalkan kontrak. Di Kerala, India, Coca-Cola kalah di pengadilan setelah dievaluasi menguras air tanah warga. Kasus Klaten merefleksikan dinamika yang sama, meskipun belum mencapai titik eskalasi serupa.
Kritik terhadap Penelitian
Meski laporan ini sangat kuat dalam narasi dan kerangka teori, terdapat beberapa kelemahan:
Solusi dan Rekomendasi
Laporan ini memberikan ruang refleksi penting tentang perlunya sistem tata kelola air yang lebih adil. Rekomendasi yang bisa ditarik antara lain:
Kesimpulan: Dari Konflik Menuju Keadilan Air
Penelitian ini menegaskan bahwa konflik air di Klaten bukan hanya persoalan teknis atau lingkungan, tetapi persoalan keadilan sosial dan relasi kuasa. Ketimpangan distribusi air mencerminkan ketimpangan ekonomi dan politik yang lebih luas. Di era perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, sumber daya air tidak boleh lagi dikendalikan oleh logika pasar semata.
Air adalah hak, bukan komoditas. Kebijakan yang adil dan partisipatif menjadi syarat mutlak untuk menciptakan tata kelola air yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Sumber:
Trinugraha, Y. H. (2017). Ekologi Politik Konflik Sumber Daya Air. Laporan Penelitian Disertasi Doktor. Universitas Sebelas Maret.