Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Ketika Air, Cerita, dan Teknologi Menjadi Strategi Ekspor
Dalam era krisis iklim dan tekanan global terhadap infrastruktur air, Denmark tidak hanya menawarkan teknologi, tetapi juga narasi. Narasi ini bukan sekadar cerita sukses, melainkan alat diplomasi—yang oleh Jonas Falzarano Jessen disebut sebagai Water Diplomacy—untuk menjadikan solusi air Denmark diterima luas di pasar internasional. Artikel ini merangkum dan menganalisis temuan etnografis Jessen tentang bagaimana digitalisasi, diplomasi lunak, dan kapitalisasi cerita digunakan Denmark untuk memperkuat posisi globalnya.
Latar Belakang: Water Diplomacy dan Narasi Eksklusif Denmark
Jessen mengamati transformasi dalam cara Denmark menyampaikan solusi air. Bukan lagi melalui penjualan langsung, tetapi melalui pendekatan “soft sell” yang dilakukan oleh “water ambassadors”. Alih-alih menjual produk, mereka menjual cerita: bagaimana teknologi Denmark membantu mengurangi kehilangan air, menyelamatkan lingkungan, dan menjadi tulang punggung kesejahteraan sosial.
Dalam sebuah wawancara, Liam—water ambassador Denmark di Italia—mengatakan:
“Kami tidak datang sebagai penjual, tapi sebagai kolega. Tapi pada akhirnya, semua ini tetap tentang penjualan—hanya saja dikemas dalam cerita.”
Studi Kasus: Diplomasi Air Denmark di Italia
Salah satu contoh kuat datang dari perjalanan Liam ke Reggio Emilia, Italia. Di sana, ia tidak langsung menjual teknologi, tapi mendengarkan tantangan lokal: pipa tua, daerah pegunungan yang sulit dijangkau, dan limbah yang menjadi sumber air utama sungai.
Liam lalu membandingkan dengan dua proyek unggulan Denmark:
Dengan ini, Denmark tidak menawarkan barang, melainkan “solusi yang telah terbukti berhasil”, dan itu membuat delegasi Italia merasa narasi Denmark bisa jadi masa depan mereka.
Infrastruktur Kebijakan: Undang-Undang dan Strategi Nasional
Transformasi sektor air Denmark tak lepas dari kebijakan progresif:
Kedua regulasi ini mendorong investasi inovasi dan kolaborasi publik-swasta yang menjadi basis ekspor teknologi air Denmark.
Digitalisasi: Katalisator Skala dan Cerita
Denmark mengandalkan teknologi prediktif, AI, dan sensor digital sebagai bagian dari narasi keberhasilan. Dalam dokumen strategi ekspor air tahun 2021, pemerintah menyatakan:
“Denmark harus menjadi pemimpin global dalam solusi air cerdas yang berkelanjutan.”
Teknologi digital ini—seperti pemantauan kebocoran secara real-time, citra satelit, hingga AI untuk prediksi investasi infrastruktur—menjadi media untuk menyampaikan nilai keberlanjutan, bukan sekadar alat teknis.
Diplomasi yang Tak Tampak: Antara Cerita dan Pasar
Meski diplomasi ini tampak seperti pertukaran ide, tujuan akhirnya tetap ekonomi: menembus pasar global air, memperkuat posisi Denmark dalam ekspor teknologi, dan menopang kesejahteraan negara.
Namun Jessen menunjukkan bahwa keberhasilan ini bergantung pada praktik yang tak bisa ditiru sembarangan—seperti kunjungan fisik, relasi personal, dan kemampuan bercerita yang kontekstual. Inilah yang ia sebut sebagai praktik nonskalabel yang memungkinkan skalabilitas komersial.
Dengan kata lain, bukan teknologinya yang dijual, melainkan narasinya yang bisa disesuaikan dan dihidupkan oleh para diplomat air.
Kritik dan Analisis Tambahan
Keberhasilan Denmark dalam narasi air digital patut diakui. Namun beberapa pertanyaan patut diajukan:
Selain itu, pendekatan naratif yang terlalu fokus pada ekspor bisa mengabaikan kebutuhan domestik, khususnya jika digunakan untuk sekadar branding tanpa evaluasi dampak jangka panjang.
Kesimpulan: Diplomasi Cerita sebagai Aset Strategis
Water Diplomacy ala Denmark bukan sekadar ekspor teknologi, tapi ekspor cara bercerita dan cara membangun hubungan lintas negara. Cerita menjadi jembatan antara pasar dan nilai, antara teknologi dan diplomasi, antara efisiensi dan keberlanjutan.
Denmark membuktikan bahwa dalam dunia yang kian digital dan terhubung, soft power bukan hanya soal budaya—tapi juga soal air. Dan air, seperti cerita, bisa mengalir ke mana saja, asalkan dibingkai dengan strategi yang tepat.
Sumber : Jessen, J. F. (2024). Water Diplomacy: Scaling Water Stories through Digitalisation in Denmark. Anthropological Journal of European Cultures, 33(2), 88–107.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Sungai Yangtze, Pusat Strategis dan Tantangan Ekologi
Sungai Yangtze adalah urat nadi ekonomi, budaya, dan ekologi Tiongkok. Membentang lebih dari 6.300 km dan melintasi 11 provinsi serta kota besar, sungai ini menopang 40% populasi dan 40% PDB nasional. Namun, industrialisasi, urbanisasi, dan pertanian intensif telah memunculkan masalah serius: polusi industri dan domestik, degradasi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi tata kelola lingkungan. Paper “Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin” (Xia et al., 2024) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana tata kelola kolaboratif lintas provinsi dapat menjadi solusi strategis bagi tantangan ekologi Sungai Yangtze, dengan menyoroti faktor-faktor kunci, mekanisme penyebab, dan studi kasus nyata di lapangan123.
Latar Belakang: Fragmentasi Tata Kelola dan Urgensi Kolaborasi
Kompleksitas Ekosistem dan Fragmentasi Institusi
Ekosistem Sungai Yangtze sangat kompleks dan terintegrasi. Masalah di satu wilayah, seperti eutrofikasi di Danau Taihu (melibatkan Zhejiang dan Jiangsu), dapat berdampak pada seluruh DAS. Fragmentasi tata kelola—akibat batas administratif, perbedaan kebijakan, dan lemahnya koordinasi—sering membuat upaya penanganan polusi dan degradasi ekologi berjalan parsial dan tidak efektif12.
Kolaborasi Lintas Wilayah: Pilar Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze
Sejak 2021, Tiongkok memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze yang menekankan pentingnya tata kelola terkoordinasi lintas provinsi dan kota. Pendekatan ini menuntut integrasi kebijakan, harmonisasi regulasi, dan kolaborasi aktif antarwilayah untuk menjaga integritas ekosistem sungai sebagai satu kesatuan12.
Kerangka Teoritis: Faktor Penentu Tata Kelola Kolaboratif
DBO Theory dan Collaborative Governance
Studi ini mengembangkan kerangka analisis berbasis teori DBO (expectation-belief-opportunity) dan collaborative governance. Tujuh faktor utama yang memengaruhi efektivitas kolaborasi lintas provinsi diidentifikasi sebagai berikut:
Metodologi: Fuzzy Set Qualitative Comparative Analysis (fsQCA)
Penelitian ini menganalisis 19 kasus tata kelola kolaboratif di DAS Yangtze menggunakan fsQCA, yang mampu mengidentifikasi kombinasi faktor penyebab (bukan hanya satu faktor tunggal) yang membentuk efektivitas kolaborasi. Sampel mencakup provinsi utama di sepanjang Sungai Yangtze, dari Qinghai hingga Shanghai, termasuk wilayah dengan tingkat ekonomi dan tantangan ekologi yang beragam13.
Temuan Utama: Tiga Jalur Menuju Kolaborasi Efektif
1. Teknologi Memperkuat Relasi: Studi Kasus Guangxi
Jalur pertama menyoroti peran teknologi digital dalam memperkuat hubungan dan interaksi antarprovinsi. Di Guangxi, platform big data seperti Yulin Jiu Zhoujiang River Basin telah memungkinkan monitoring polusi secara real-time, berbagi data, dan koordinasi respons lintas wilayah. Hasilnya, kualitas air permukaan di wilayah ini stabil di atas 96% selama lima tahun terakhir, menunjukkan dampak nyata digitalisasi terhadap efektivitas kolaborasi123.
2. Institusi Memperkuat Interaksi: Studi Kasus Anhui
Jalur kedua menunjukkan bahwa institusi dan mekanisme formal sangat penting untuk memperkuat interaksi dan efektivitas kolaborasi. Anhui menonjol melalui penandatanganan berbagai perjanjian kerja sama dengan provinsi lain (misal, Nanjing, Hangzhou, Xuzhou) dan lembaga riset, serta integrasi penegakan hukum administratif dan pidana untuk perlindungan lingkungan. Upaya ini meningkatkan rasio kualitas air baik di DAS Yangtze menjadi 94,8% dan tingkat kepuasan publik atas lingkungan mencapai 92,8%123.
3. Sinergi Internal-Eksternal: Studi Kasus Chongqing
Jalur ketiga menekankan pentingnya kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, efektivitas partisipasi) dan eksternal (hukum, teknologi). Chongqing sukses mengembangkan platform “Basin Water Environment Intelligent Management” bersama universitas dan lembaga riset, serta melakukan penegakan hukum bersama dengan Sichuan. Hasilnya, 98,6% dari 74 titik pemantauan kualitas air di wilayah ini memenuhi standar, dan 1.424 PLTA kecil berhasil direstrukturisasi, 242 di antaranya ditutup demi perlindungan ekologi123.
Studi Kasus Tambahan: Delta Sungai Yangtze dan Kebijakan Kolaboratif
Penelitian lain di Delta Sungai Yangtze (Jiangsu, Zhejiang, Shanghai) menemukan bahwa 87,5% kebijakan kolaborasi lingkungan air dikeluarkan oleh pemerintah lokal, dengan fokus utama pada perlindungan sumber daya air dan pengendalian polusi limbah. Namun, kebijakan pemulihan ekosistem dan audit pejabat masih kurang mendapat perhatian. Rekomendasi utama: beri otonomi lebih besar pada pemerintah lokal untuk penanganan limbah, gunakan kebijakan diferensiasi sesuai karakteristik wilayah, dan tingkatkan stabilitas kebijakan4.
Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Implikasi
Kekuatan Model Kolaboratif
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini memperkaya literatur tata kelola kolaboratif dengan menggabungkan analisis faktor internal dan eksternal secara sistemik. Studi lain di kawasan Sungai Yangtze juga menyoroti pentingnya insentif ekonomi, regulasi risiko, dan integrasi kebijakan lintas sektor (pertanian, energi, industri) untuk memperkuat kolaborasi dan mengatasi eksternalitas negatif5.
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
Menuju Tata Kelola Ekologis Sungai Yangtze yang Sinergis
Paper ini membuktikan bahwa tata kelola kolaboratif lintas provinsi, dengan dukungan teknologi, institusi kuat, dan kesadaran kolektif, adalah kunci menjaga ketahanan ekologi Sungai Yangtze. Tidak ada satu jalur tunggal menuju sukses—kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, interaksi, efektivitas) dan eksternal (hukum, institusi, teknologi) harus diselaraskan untuk membangun sinergi yang berkelanjutan. Pengalaman Guangxi, Anhui, dan Chongqing menjadi bukti bahwa model kolaborasi adaptif dapat meningkatkan kualitas air, mengurangi polusi, dan memperkuat ketahanan ekologi kawasan. Tantangan tetap besar, namun dengan inovasi, digitalisasi, dan komitmen bersama, Sungai Yangtze dapat menjadi laboratorium tata kelola ekologi masa depan yang layak dicontoh di tingkat global.
Sumber Asli Artikel
Xia Y, Tian Z, Ding C. (2024). Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin. Frontiers in Environmental Science, 12:1463179.
Air Bersih
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Air Bersih, Hak Asasi, dan Tantangan Global
Air bersih bukan hanya kebutuhan dasar, melainkan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak lain seperti kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang bermartabat. Dalam konteks global, pengakuan atas hak ini semakin menguat seiring krisis air bersih yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Paper “Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” oleh Fachriza Cakrafaksi Limuris (Jurnal Jentera, 2021) mengupas secara mendalam posisi strategis hak atas air bersih dalam kerangka hukum internasional dan nasional, serta tantangan implementasinya di Indonesia12.
Hak Atas Air Bersih dalam Perspektif HAM Internasional
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Turunannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) 1948 menjadi tonggak utama pengakuan hak-hak dasar manusia di seluruh dunia. Pasal 25 UDHR menegaskan setiap orang berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan. Meskipun air bersih tidak disebutkan secara eksplisit, hak ini diakui sebagai komponen vital dari standar hidup yang layak134.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) 1966 memperkuat hal ini melalui Pasal 11 dan 12, yang menegaskan hak atas standar hidup layak dan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Komentar Umum No. 15 Komite PBB (2003) secara eksplisit menyatakan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia yang tak terpisahkan dari hak atas standar hidup layak dan kesehatan123.
Resolusi PBB 2010: Pengakuan Global
Pada 28 Juli 2010, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 64/292 yang secara tegas mengakui hak atas air minum yang aman dan bersih serta sanitasi sebagai hak asasi manusia. Negara-negara diminta menyediakan sumber daya, transfer teknologi, dan kerja sama internasional untuk memastikan akses air bersih dan sanitasi bagi semua orang, terutama di negara berkembang13.
Dimensi Hak Atas Air: Kebebasan dan Kepemilikan Hak
Paper ini menguraikan dua dimensi utama hak atas air:
Standar Minimum Hak Atas Air
Menurut Komentar Umum No. 15 dan Fact Sheet No. 35 PBB, unsur-unsur hak atas air meliputi:
Krisis Air Bersih: Fakta Global dan Nasional
Data dan Tren Global
Tantangan di Indonesia
Studi Kasus: Implementasi Hak Atas Air di Indonesia
Swastanisasi Air dan Akses Publik
Pengelolaan air di Indonesia pernah didominasi swasta, terutama di kota-kota besar. Namun, pengalaman menunjukkan swastanisasi seringkali tidak meningkatkan akses air bersih secara adil. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 menegaskan negara harus tetap menjadi pengelola utama sumber daya air demi kemakmuran rakyat1.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2019: Titik Balik Regulasi
UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air menjadi tonggak baru perlindungan hak atas air di Indonesia. UU ini mengatur:
UU ini juga menegaskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengelolaan air serta perlindungan masyarakat adat dalam konservasi air.
Studi Lapangan: Krisis Air di Daerah Perkotaan dan Pedesaan
Penelitian di berbagai daerah seperti Jakarta, Lampung, dan kawasan pedesaan menunjukkan:
Analisis Kritis: Tantangan Implementasi dan Keadilan Sosial
Hambatan Struktural
Dimensi Keadilan dan Partisipasi
Integrasi dengan Agenda Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis
Koneksi dengan Tren Global dan Industri
Opini dan Perbandingan dengan Studi Lain
Paper ini memperkuat temuan global bahwa hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang tak bisa ditawar. Namun, tantangan terbesar di Indonesia adalah implementasi—mulai dari regulasi, pendanaan, hingga pengawasan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia sudah memiliki kerangka hukum yang relatif kuat, namun butuh political will dan kolaborasi lintas sektor agar hak ini benar-benar dirasakan seluruh rakyat.
Air Bersih, Hak Asasi yang Wajib Dipenuhi Negara
Hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang fundamental dan jembatan menuju hak-hak lain. Indonesia sudah berada di jalur yang benar dengan ratifikasi konvensi internasional dan pengesahan UU No. 17/2019. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Prioritas ke depan adalah memperkuat regulasi, investasi infrastruktur, pengendalian pencemaran, serta memastikan keadilan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, hak atas air bersih tidak hanya menjadi norma hukum, tetapi juga realitas yang dirasakan setiap warga negara.
Sumber Asli Artikel
Fachriza Cakrafaksi Limuris. Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jurnal Jentera Volume 4, No. 2 Desember 2021, hlm. 515–532.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Harga Air, Ketahanan, dan Masa Depan
Penetapan harga air (water pricing) kini menjadi isu sentral dalam diskursus pengelolaan sumber daya air global. Di tengah ancaman krisis air, pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan tekanan ekonomi, harga air tidak lagi sekadar instrumen finansial, melainkan alat strategis untuk mendorong efisiensi, keadilan sosial, dan ketahanan air jangka panjang. Paper “Explaining Water Pricing through a Water Security Lens” (Soto Rios et al., 2018) menelaah secara komprehensif bagaimana harga air dapat menjadi bagian integral dari agenda ketahanan air, dengan menyoroti dimensi ekonomi, sosial, dan kelembagaan, serta mengulas lima studi kasus nyata dari berbagai belahan dunia1.
Kerangka Konseptual: Air sebagai Barang Ekonomi dan Sosial
Definisi Ketahanan Air dan Implikasinya
Ketahanan air didefinisikan oleh UN-Water sebagai kemampuan suatu populasi untuk menjamin akses berkelanjutan ke air berkualitas dan kuantitas yang memadai, mendukung penghidupan, kesehatan, pembangunan ekonomi, serta perlindungan terhadap bencana dan polusi air1. Dalam kerangka ini, harga air harus mampu menyeimbangkan antara nilai ekonomi (efisiensi penggunaan) dan nilai sosial (akses universal yang terjangkau).
Air: Barang Ekonomi Khusus
Air adalah barang ekonomi yang unik—esensial, tidak tergantikan, dan seringkali dikelola sebagai monopoli alami. Penetapan harga air harus mempertimbangkan biaya operasi dan pemeliharaan (OPEX), investasi infrastruktur (CAPEX), serta biaya lingkungan dan sumber daya (environmental/resource costs)2. Namun, harga pasar air sering kali hanya mencerminkan biaya fisik, bukan nilai ekonomi penuh atau eksternalitas lingkungan.
Struktur dan Model Penetapan Harga Air
Ragam Struktur Tarif Air
Tantangan Implementasi
Studi Kasus: Dampak Nyata Penetapan Harga Air
1. Sektor Irigasi di Ghana: Model MATA untuk Efisiensi
Ghana menghadapi kelangkaan air di sektor pertanian, yang menyumbang 86% konsumsi air nasional. Studi menggunakan Multi-Analysis Tool for the Agricultural Sector (MATA) untuk mensimulasikan dampak tarif volumetrik seragam 2 cedi/m³ (USD 0,43/m³) pada perilaku petani. Hasilnya, tarif ini mendorong petani mengadopsi teknologi hemat air tanpa menurunkan pendapatan secara signifikan (pendapatan tahunan: GH¢ 449.867 untuk lahan besar, GH¢ 454.081 untuk lahan sedang, GH¢ 359.666 untuk lahan kecil)1. Namun, kenaikan harga air yang drastis dapat menurunkan pendapatan dan kesempatan kerja, sehingga kebijakan harga harus diimbangi insentif efisiensi dan perlindungan sosial.
2. Sektor Irigasi di Spanyol: Tarif Tetap dan Tantangan Subsidi
Di Spanyol, 80% air digunakan untuk irigasi, namun sistem tarif flat rate yang disubsidi menyebabkan konsumsi berlebih dan ketidakefisienan. Simulasi Linear Programming menunjukkan bahwa penerapan tarif tetap 2 Ptas/m³ dapat mengurangi konsumsi air dan mendorong adopsi teknologi irigasi hemat air, namun berisiko menurunkan pendapatan petani hingga 25–40% jika tidak diimbangi kebijakan pendukung1. Ini menyoroti pentingnya evaluasi berkelanjutan dan adaptasi tarif sesuai musim dan pendapatan.
3. Urban Water Pricing di São Paulo, Brasil: Hybrid Policy dan Respons Sosial
Krisis kekeringan 2014–2015 mendorong SABESP (perusahaan air São Paulo) menerapkan kebijakan insentif: diskon bagi yang mengurangi konsumsi dan denda bagi yang boros. Hasilnya, konsumsi air rumah tangga turun rata-rata 25% selama periode krisis1. Keberhasilan ini tidak hanya karena tarif, tetapi juga kampanye edukasi intensif yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan konservasi air.
4. Privatisasi Air di Cochabamba, Bolivia: Konflik dan Kegagalan Implementasi
Privatisasi utilitas air Cochabamba (Aguas del Tunari) memicu kenaikan tarif hingga 60%, memicu protes massal, korban jiwa, dan akhirnya pembatalan kontrak. Kenaikan tarif rata-rata 41% bagi warga miskin dan 51% bagi seluruh pengguna dianggap tidak adil dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi serta kelangkaan air setempat1. Setelah kembali ke pengelolaan publik, akses air justru menurun, menegaskan bahwa tarif air harus dirancang dengan partisipasi masyarakat dan sensitivitas sosial.
5. Reformasi Tarif di Prancis: Efisiensi dan Inklusi Sosial
Prancis menerapkan reformasi tarif air dengan melarang flat rate dan memperluas penggunaan tarif volumetrik progresif. Setelah reformasi 2006, proporsi distrik yang menggunakan tarif progresif naik dari 1% (2003) menjadi 29% (2013), efisiensi air meningkat 3% (dari 78% ke 81%), dan pipa timbal turun 4,2%1. Tarif air dijaga tetap di bawah upah minimum nasional, dan subsidi diberikan untuk keluarga miskin, memastikan keadilan dan akses universal.
Analisis Dampak dan Efektivitas Kebijakan Harga Air
Pengurangan Konsumsi dan Efisiensi
Keseimbangan antara Efisiensi Ekonomi dan Keadilan Sosial
Pembiayaan Infrastruktur dan Keberlanjutan
Tantangan dan Kritik dalam Implementasi Harga Air
Kompleksitas Perancangan Tarif
Resistensi Sosial dan Politik
Keterbatasan Data dan Monitoring
Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
ESG dan SDGs
Inovasi dan Digitalisasi
Harga Air sebagai Kunci Ketahanan dan Keadilan
Penetapan harga air yang cerdas, adaptif, dan inklusif terbukti mampu mendorong efisiensi penggunaan, memperkuat ketahanan air, dan menjaga keadilan sosial. Studi kasus Ghana, Spanyol, Brasil, Bolivia, Prancis, hingga AS dan California, menunjukkan bahwa tidak ada satu model tarif yang cocok untuk semua konteks. Keberhasilan kebijakan harga air sangat bergantung pada desain yang sensitif terhadap kondisi lokal, partisipasi masyarakat, transparansi, dan integrasi dengan kebijakan pendukung lain. Dengan demikian, harga air bukan sekadar angka di tagihan, melainkan instrumen strategis untuk membangun masa depan air yang aman, adil, dan berkelanjutan.
Sumber Asli Artikel
Soto Rios, P. C., Deen, T. A., Nagabhatla, N., & Ayala, G. (2018). Explaining Water Pricing through a Water Security Lens. Water, 10(9), 1173.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Air, Konflik, dan Kompleksitas Sosial di Andes
Cekungan Sungai Katari (Katari River Basin/KRB) di Bolivia adalah salah satu kawasan paling padat penduduk di negara tersebut, bermuara ke Danau Titicaca—danau tertinggi di dunia yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang di Andes. Namun, kawasan ini juga menjadi contoh nyata bagaimana polusi air, perubahan iklim, dan pertarungan kepentingan antara aktor lokal, nasional, dan internasional memunculkan konflik lingkungan yang kompleks dan berlapis. Paper “Navigating ambiguous waters: a relational approach to nested conflicts in the Katari River Basin, Bolivia” (Agramont et al., 2025)1 membedah secara mendalam bagaimana ambiguitas, praktik relasional, dan asimetri kekuasaan membentuk dinamika konflik air di KRB. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengaitkan dengan tren global, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi bagi tata kelola air masa kini.
Latar Belakang: Polusi, Kerentanan, dan Upaya Multi-Stakeholder
Krisis Polusi dan Dampak Sosial-Lingkungan
KRB, yang menjadi sumber air utama Danau Titicaca, menghadapi polusi berat akibat aktivitas manusia: pertambangan, urbanisasi, industri, dan pertanian. Polusi ini menurunkan kualitas, distribusi, dan ketersediaan air, memperburuk kerentanan masyarakat lokal terhadap perubahan iklim. Pada 2015, misalnya, polusi menyebabkan kematian dua ton ikan, katak, dan burung di pesisir Danau Titicaca, menandai kerusakan ekosistem dan ancaman bagi penghidupan komunitas adat yang bergantung pada danau.
Upaya Pemerintah dan Platform Multi-Stakeholder
Sejak 2002, pemerintah Bolivia dan mitra internasional berupaya mengatasi polusi KRB. Namun, hingga 2019, polusi justru makin parah, memengaruhi 83 km² area Danau Titicaca. Pada 2018, pemerintah membentuk platform multi-stakeholder lintas sektor—melibatkan pemerintah pusat, daerah, universitas, LSM, komunitas adat, dan lembaga internasional—untuk mencari solusi kolaboratif atas masalah air.
Kerangka Analisis: Ambiguitas, Konflik Berlapis, dan Praktik Relasional
Ambiguitas dalam Tata Kelola Air
Ambiguitas adalah perbedaan dalam cara aktor memahami masalah air, penyebab, dan solusi yang dianggap tepat. Dalam konteks multi-stakeholder, ambiguitas muncul dari perbedaan pengalaman, nilai, pengetahuan, dan tujuan, diperparah oleh kerangka hukum dan institusi yang tidak jelas serta ketidakpastian akibat perubahan iklim.
Nested Conflicts: Konflik Berlapis
Konflik air di KRB tidak tunggal, melainkan berlapis (nested):
Ketidakmampuan mengenali dan mengelola konflik berlapis ini memperparah masalah air, memicu protes, dan memperdalam ketidakpercayaan.
Praktik Relasional: Kunci Kolaborasi atau Sumber Masalah
Praktik relasional adalah pola komunikasi dan interaksi yang membentuk hubungan antaraktor. Praktik ini dapat memfasilitasi dialog, membangun kepercayaan, dan menciptakan makna bersama—atau sebaliknya, memperkuat kekuasaan sepihak dan menutup ruang partisipasi.
Studi Kasus: Konflik Air di KRB
Polusi Tambang dan Konflik Hulu-Hilir
Sejak abad ke-16, aktivitas pertambangan di hulu KRB (misal, tambang “La Fabulosa Mine Consolidated”) meninggalkan jejak limbah asam tambang (AMD) yang mencemari air dengan logam berat (timbal, arsenik, seng, tembaga, kadmium).
Urbanisasi, Limbah Kota, dan Protes Komunitas Adat
Pertumbuhan pesat kota El Alto (kini kota terbesar kedua di Bolivia) tidak diimbangi pengelolaan limbah cair dan padat. Setiap tahun, El Alto membuang sekitar 20 juta m³ limbah cair dan 800 juta ton sampah padat ke sungai, memperparah eutrofikasi di wilayah hilir. Komunitas adat di sekitar Danau Titicaca sudah sejak awal 2000-an mengorganisir protes menuntut pemerintah menghentikan polusi. Tragedi matinya dua juta ton biota di Titicaca pada 2015 memicu gelombang aksi kolektif, termasuk ancaman memutus suplai air ke El Alto jika tuntutan diabaikan.
Proyek Transfer Air dan Konflik Baru
Sejak 2017, pemerintah Bolivia meluncurkan proyek transfer air senilai USD 133 juta untuk menggandakan suplai air minum El Alto dengan mengambil air dari cekungan tetangga.
Dinamika Platform Multi-Stakeholder: Fragmentasi dan Asimetri Kekuasaan
Struktur dan Fungsi Platform
Platform KRB terdiri dari tiga klaster:
Setiap klaster bertugas mengumpulkan informasi, memberi rekomendasi teknis, dan merumuskan kebijakan. Namun, dalam praktiknya, proses ini justru memperkuat fragmentasi pengetahuan dan memperlemah koordinasi.
Praktik Relasional yang Membatasi Kolaborasi
Observasi dan wawancara mengungkap pola interaksi yang didominasi pemerintah:
Keluhan peserta menyoroti minimnya ruang dialog dan dominasi narasi pemerintah. “Kami butuh diskusi dua arah, bukan sekadar daftar poin atau presentasi sepihak,” ujar perwakilan universitas. “Kami ingin berbagi pengalaman, bukan hanya mendengar pencapaian pemerintah,” tambah perwakilan LSM.
Analisis Kritis: Mengapa Konflik Tak Kunjung Usai?
Asimetri Kekuasaan dan Pengelolaan Ambiguitas
Pemerintah mengelola ambiguitas dengan memaksakan satu kerangka solusi, menutup ruang bagi narasi alternatif. Praktik ini memperkuat asimetri kekuasaan, menyingkirkan pengetahuan lokal, dan memperdalam ketidakpercayaan.
Fragmentasi Pengetahuan dan Kegagalan Kolaborasi
Struktur platform yang memisahkan klaster sosial, teknis, dan administratif justru memperkuat fragmentasi pengetahuan.
Konflik Berlapis: Dari Polusi ke Ketidakadilan Struktural
Konflik air di KRB mencakup:
Studi Perbandingan dan Tren Global
Relevansi dengan Tata Kelola Air Dunia
Kasus KRB mencerminkan tantangan umum di banyak negara berkembang:
Studi serupa di Andes dan Asia menunjukkan bahwa keberhasilan tata kelola air sangat bergantung pada kualitas praktik relasional: dialog sejajar, pengakuan pengetahuan lokal, dan mekanisme berbagi kekuasaan.
Koneksi dengan Industri dan ESG
Di era ESG (Environmental, Social, Governance), perusahaan dan pemerintah didorong untuk mengadopsi tata kelola inklusif dan transparan. Kasus KRB menegaskan pentingnya integrasi prinsip ESG dalam proyek air, terutama di kawasan dengan keragaman budaya dan sejarah konflik panjang.
Rekomendasi dan Peluang Perbaikan
Menuju Tata Kelola Air yang Inklusif dan Adaptif
Paper ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif di kawasan kompleks seperti KRB harus berangkat dari praktik relasional yang berkualitas tinggi: dialog sejajar, pengakuan keragaman pengetahuan, dan distribusi kekuasaan yang adil. Tanpa itu, platform multi-stakeholder hanya akan menjadi formalitas, konflik tetap berlarut, dan tujuan keberlanjutan sulit tercapai. Namun, perubahan mulai terlihat: pada 2024, platform KRB mulai membuka ruang diskusi lebih luas, memberi harapan bagi tata kelola air yang lebih inklusif dan adaptif. Kasus KRB menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi dilema serupa dalam mengelola sumber daya alam di tengah kompleksitas sosial dan perubahan iklim.
Sumber Asli Artikel
Agramont, A., L. D. Villafuerte Philippsborn, G. Peres-Cajias, A. Baltodano Martinez, A. van Griensven, M. Craps, and M. F. Brugnach. 2025. Navigating ambiguous waters: a relational approach to nested conflicts in the Katari River Basin, Bolivia. Ecology and Society 30(2):15.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Mengapa Investasi Ketahanan Air Jadi Isu Global?
Ketahanan air kini menjadi fondasi utama pembangunan berkelanjutan, penanggulangan kemiskinan, dan adaptasi perubahan iklim. Namun, investasi di sektor air masih jauh dari kebutuhan: pada 2030, kebutuhan pembiayaan infrastruktur air global diperkirakan mencapai USD 6,7 triliun, melonjak ke USD 22,6 triliun pada 2050. Ironisnya, sektor air hanya menarik kurang dari 2% belanja publik dunia, dengan investasi swasta di negara berkembang juga sangat minim. OECD, bersama Asian Development Bank, mengembangkan “Scorecard” untuk menilai kondisi enabling environment—atau ekosistem pendukung—bagi investasi ketahanan air di tujuh negara Asia: Bangladesh, Mongolia, Nepal, Pakistan, Filipina, Uzbekistan, dan Sri Lanka, serta Armenia sebagai pembanding Eropa Timur.
Empat Pilar Penilaian: Kerangka Scorecard OECD
1. Kerangka Kebijakan Investasi Umum (Dimension 1)
Menilai daya tarik investasi secara makro: stabilitas ekonomi, tata kelola, sistem keuangan, infrastruktur, hingga desentralisasi.
2. Kerangka Kebijakan Sektor Air (Dimension 2)
Fokus pada regulasi, insentif, dan tata kelola sektor air: ketersediaan data, mekanisme alokasi, instrumen ekonomi (tarif, pajak), dan kapasitas institusi.
3. Keberlanjutan dan Bankabilitas Proyek (Dimension 3)
Mengukur seberapa siap proyek air untuk menarik investasi: keterlibatan pemangku kepentingan, analisis dampak sosial-lingkungan, dan model bisnis.
4. Kontribusi Sektor Ekonomi Lain (Dimension 4)
Menilai apakah sektor lain—pertanian, energi, industri—mendukung atau justru menghambat ketahanan air.
Studi Kasus & Fakta Kunci dari Tujuh Negara Asia
1. Bangladesh: Ketergantungan pada ODA, Tantangan Tata Kelola
2. Mongolia: Fokus Urban, Kemajuan di Investasi Air Kota
3. Nepal: Kuat di Investasi Umum, Lemah di Sektor Air
4. Pakistan: Eksperimen Model Pembiayaan, Tantangan Tata Kelola
5. Filipina: Model Regional Investasi Swasta Air
6. Uzbekistan: Reformasi Tarif dan Insentif Swasta
7. Sri Lanka: Ketergantungan pada ODA, Kelemahan di Tata Kelola
8. Armenia (Pembanding Eropa Timur): Kontrak Operator Swasta
Analisis Dimensi Scorecard: Temuan Utama
Dimensi 1: Kerangka Investasi Umum
Dimensi 2: Kebijakan Sektor Air
Dimensi 3: Bankabilitas Proyek
Dimensi 4: Kontribusi Sektor Lain
Studi Kasus: Praktik Baik dan Tantangan Nyata
Filipina: Unified Resources Allocation Framework
Uzbekistan: Reformasi Tarif dan PPP
Armenia: Kontrak Operator Swasta
Tantangan Umum: Mengapa Investasi Air Masih Mandek?
Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Studi Lain
Keunggulan Paper OECD
Kritik dan Tantangan Implementasi
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
Rekomendasi dan Langkah Ke Depan
Menata Masa Depan Investasi Air di Asia
Paper OECD ENV/WKP(2024)5 menegaskan bahwa investasi di sektor air bukan sekadar soal dana, tapi soal reformasi sistemik enabling environment: kebijakan, regulasi, insentif, dan tata kelola lintas sektor. Studi kasus di Asia menunjukkan bahwa negara dengan kerangka kebijakan yang jelas, insentif swasta, dan monitoring performa yang kuat mampu menarik investasi lebih besar—baik dari ODA, swasta, maupun PPP. Namun, tanpa reformasi tarif, regulasi, dan integrasi kebijakan, investasi air akan terus tertinggal, mengancam pencapaian SDGs dan ketahanan ekonomi di masa depan.
Sumber Asli Artikel
Delia Sanchez Trancon, Allison Woodruff, Xavier Leflaive, Lylah Davies, Sigurjon Agustsson. Assessing the enabling conditions for investment in water security: Scorecard pilot test in Asian countries. OECD Environment Working Paper No. 235, 2024.