Digitalisasi Bawa Narasi Air Denmark Menjadi Diplomasi Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

19 Juni 2025, 09.00

pixabay.com

Pendahuluan: Ketika Air, Cerita, dan Teknologi Menjadi Strategi Ekspor

Dalam era krisis iklim dan tekanan global terhadap infrastruktur air, Denmark tidak hanya menawarkan teknologi, tetapi juga narasi. Narasi ini bukan sekadar cerita sukses, melainkan alat diplomasi—yang oleh Jonas Falzarano Jessen disebut sebagai Water Diplomacy—untuk menjadikan solusi air Denmark diterima luas di pasar internasional. Artikel ini merangkum dan menganalisis temuan etnografis Jessen tentang bagaimana digitalisasi, diplomasi lunak, dan kapitalisasi cerita digunakan Denmark untuk memperkuat posisi globalnya.

Latar Belakang: Water Diplomacy dan Narasi Eksklusif Denmark

Jessen mengamati transformasi dalam cara Denmark menyampaikan solusi air. Bukan lagi melalui penjualan langsung, tetapi melalui pendekatan “soft sell” yang dilakukan oleh “water ambassadors”. Alih-alih menjual produk, mereka menjual cerita: bagaimana teknologi Denmark membantu mengurangi kehilangan air, menyelamatkan lingkungan, dan menjadi tulang punggung kesejahteraan sosial.

Dalam sebuah wawancara, Liam—water ambassador Denmark di Italia—mengatakan:

“Kami tidak datang sebagai penjual, tapi sebagai kolega. Tapi pada akhirnya, semua ini tetap tentang penjualan—hanya saja dikemas dalam cerita.”

Studi Kasus: Diplomasi Air Denmark di Italia

Salah satu contoh kuat datang dari perjalanan Liam ke Reggio Emilia, Italia. Di sana, ia tidak langsung menjual teknologi, tapi mendengarkan tantangan lokal: pipa tua, daerah pegunungan yang sulit dijangkau, dan limbah yang menjadi sumber air utama sungai.

Liam lalu membandingkan dengan dua proyek unggulan Denmark:

  • Aarhus ReWater: Targetkan jadi pabrik pengolahan air limbah paling efisien di dunia pada 2028. Konsepnya: air limbah = sumber daya.
  • LEAKman Project: Kombinasi 9 perusahaan dan universitas Denmark untuk menciptakan sistem kontrol kebocoran air yang bisa disesuaikan dengan utilitas mana pun. Hasilnya: kehilangan air nasional ditekan hingga rata-rata 7%, salah satu yang terendah di dunia.

Dengan ini, Denmark tidak menawarkan barang, melainkan “solusi yang telah terbukti berhasil”, dan itu membuat delegasi Italia merasa narasi Denmark bisa jadi masa depan mereka.

Infrastruktur Kebijakan: Undang-Undang dan Strategi Nasional

Transformasi sektor air Denmark tak lepas dari kebijakan progresif:

  • Water Tax Act (1993): Pajak atas air yang hilang memaksa perusahaan utilitas air menjadi efisien.
  • Water Sector Reform Act (2009): Mengubah perusahaan air publik menjadi entitas semi-swasta, berorientasi efisiensi tanpa mencari untung.

Kedua regulasi ini mendorong investasi inovasi dan kolaborasi publik-swasta yang menjadi basis ekspor teknologi air Denmark.

Digitalisasi: Katalisator Skala dan Cerita

Denmark mengandalkan teknologi prediktif, AI, dan sensor digital sebagai bagian dari narasi keberhasilan. Dalam dokumen strategi ekspor air tahun 2021, pemerintah menyatakan:

“Denmark harus menjadi pemimpin global dalam solusi air cerdas yang berkelanjutan.”

Teknologi digital ini—seperti pemantauan kebocoran secara real-time, citra satelit, hingga AI untuk prediksi investasi infrastruktur—menjadi media untuk menyampaikan nilai keberlanjutan, bukan sekadar alat teknis.

Diplomasi yang Tak Tampak: Antara Cerita dan Pasar

Meski diplomasi ini tampak seperti pertukaran ide, tujuan akhirnya tetap ekonomi: menembus pasar global air, memperkuat posisi Denmark dalam ekspor teknologi, dan menopang kesejahteraan negara.

Namun Jessen menunjukkan bahwa keberhasilan ini bergantung pada praktik yang tak bisa ditiru sembarangan—seperti kunjungan fisik, relasi personal, dan kemampuan bercerita yang kontekstual. Inilah yang ia sebut sebagai praktik nonskalabel yang memungkinkan skalabilitas komersial.

Dengan kata lain, bukan teknologinya yang dijual, melainkan narasinya yang bisa disesuaikan dan dihidupkan oleh para diplomat air.

Kritik dan Analisis Tambahan

Keberhasilan Denmark dalam narasi air digital patut diakui. Namun beberapa pertanyaan patut diajukan:

  1. Apakah narasi ini inklusif atau eksklusif? Narasi Denmark memosisikan diri sebagai teladan, tetapi bagaimana dengan negara-negara Global South yang memiliki konteks berbeda?
  2. Apakah teknologi dan cerita ini bisa direplikasi di sistem politik yang tidak transparan atau tidak demokratis?
  3. Apakah digitalisasi menutupi ketimpangan lokal? Teknologi canggih tak selalu bisa dioperasikan oleh semua pihak, dan bisa menciptakan ketergantungan baru.

Selain itu, pendekatan naratif yang terlalu fokus pada ekspor bisa mengabaikan kebutuhan domestik, khususnya jika digunakan untuk sekadar branding tanpa evaluasi dampak jangka panjang.

Kesimpulan: Diplomasi Cerita sebagai Aset Strategis

Water Diplomacy ala Denmark bukan sekadar ekspor teknologi, tapi ekspor cara bercerita dan cara membangun hubungan lintas negara. Cerita menjadi jembatan antara pasar dan nilai, antara teknologi dan diplomasi, antara efisiensi dan keberlanjutan.

Denmark membuktikan bahwa dalam dunia yang kian digital dan terhubung, soft power bukan hanya soal budaya—tapi juga soal air. Dan air, seperti cerita, bisa mengalir ke mana saja, asalkan dibingkai dengan strategi yang tepat.

Sumber : Jessen, J. F. (2024). Water Diplomacy: Scaling Water Stories through Digitalisation in Denmark. Anthropological Journal of European Cultures, 33(2), 88–107.