Analisis Kebijakan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebangkitan Ekonomi Pedesaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025


Pendahuluan: Saat Gelombang Resesi Menghantam Ketenagakerjaan Global

Dunia baru saja menghadapi pukulan telak yang bukan hanya berupa krisis kesehatan, tetapi juga krisis ketenagakerjaan yang mendalam. Laporan awal dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang disusun untuk Kelompok Kerja Ketenagakerjaan G20, mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 secara signifikan memperlambat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja global.1 Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, pertumbuhan produktivitas bahkan menunjukkan angka negatif. Akibatnya, "kesenjangan produktivitas" antara negara berkembang dan negara maju semakin melebar, menciptakan tantangan ekonomi yang luar biasa.1

Yang paling terdampak dari badai ekonomi ini adalah mereka yang paling rentan. Laporan tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa orang yang tinggal di pedesaan memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk bekerja di sektor informal, dengan angka mencapai 80% dibandingkan dengan 44% di area perkotaan.1 Kelompok ini, yang mayoritas diisi oleh perempuan dan pemuda, adalah pihak yang paling menderita akibat kehilangan pekerjaan, paparan bahaya kerja, dan peningkatan beban pekerjaan rumah tangga tanpa upah.1 Dalam menghadapi kenyataan pahit ini, para pembuat kebijakan di seluruh dunia dihadapkan pada satu pertanyaan krusial: bagaimana cara paling efektif untuk memulihkan ekonomi, memberdayakan mereka yang terpinggirkan, dan membangun kembali sistem yang lebih tangguh?

Jawabannya, menurut laporan tersebut, mungkin terletak pada pendekatan yang sering luput dari sorotan media massa: Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT). Sebagai bagian integral dari sistem pengembangan keterampilan dan pembelajaran seumur hidup, CBVT muncul sebagai "senjata rahasia" yang tidak hanya dapat menjembatani kesenjangan keterampilan, tetapi juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memberdayakan masyarakat, dan pada akhirnya, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dari bawah ke atas.1

 

Mengungkap Jantung Revolusi Keterampilan Berbasis Komunitas

Definisi yang Mengubah Paradigma

Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT) bukanlah sekadar kursus keterampilan biasa. Laporan ini mendefinisikannya sebagai pelatihan terdesentralisasi untuk pekerjaan yang berfokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi kelompok rentan.1 Pendekatan ini sangat relevan di wilayah pedesaan yang minim akses ke lembaga pendidikan formal.1 Lebih dari sekadar ruang kelas, CBVT adalah sebuah pendekatan holistik yang mencakup seluruh siklus pemberdayaan ekonomi, mulai dari identifikasi peluang ekonomi lokal, penyediaan pelatihan, hingga dukungan pasca-pelatihan.1

Sebagai perbandingan, TVET (Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Vokasi) yang lebih umum dikenal sering kali diatur secara sentral dan berorientasi pada pasar kerja formal. Sebaliknya, CBVT beroperasi pada tingkat mikro, memanfaatkan struktur komunitas yang sudah ada dan bentuk manajemen yang terdesentralisasi.1 Ini memungkinkan program untuk lebih responsif terhadap kebutuhan yang spesifik di setiap komunitas.

Kilasan Sejarah yang Kurang Dikenal

CBVT bukanlah konsep yang baru muncul. Laporan ini memberikan konteks historis yang kaya, menunjukkan bahwa pendekatan pengembangan keterampilan di pedesaan sering kali didorong oleh tekanan eksternal, seperti kekhawatiran tentang migrasi pedesaan-ke-kota atau tantangan lingkungan.1 Contohnya, land grant colleges di Amerika Serikat pada tahun 1860-an yang didirikan untuk mengajarkan pertanian dan seni mekanik.1 Di negara-negara di belahan Bumi bagian selatan, perhatian terhadap pengembangan keterampilan pedesaan sempat terabaikan pasca-Perang Dunia Kedua, karena agenda industrialisasi lebih mendominasi.1 Namun, pada akhir 1960-an, kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi informal memunculkan inisiatif nasional, sepertivillage polytechnics di Kenya.1 Laporan ini juga menyoroti evolusi metodologi ILO sendiri, yang dimulai dengan Training for Rural Gainful Activities (TRUGA) di tahun 90-an dan berkembang menjadi metodologi Training for Rural Economic Empowerment (TREE) yang masih digunakan hingga kini.1 Sejarah ini menunjukkan bahwa CBVT adalah sebuah konsep yang matang, bukan sekadar respons sesaat, dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Kekuatan Pendekatan 'Bottom-Up'

Salah satu poin paling kuat yang diangkat dalam laporan ini adalah pentingnya pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up).1 Pendekatan ini bukan sekadar jargon, melainkan inti dari keberhasilan CBVT. Sebuah program pelatihan yang dirancang dari pusat, misalnya dari Jakarta, mungkin menawarkan kursus teknologi informasi dan komunikasi (TIK).2 Namun, di sebuah desa terpencil seperti Desa Mulawarman, kebutuhan yang mendesak mungkin adalah keterampilan pertanian organik, budidaya ikan, atau kerajinan tangan lokal.4 Pendekatan bottom-up memungkinkan komunitas itu sendiri yang mengidentifikasi peluang ekonomi lokal dan merancang program pelatihan yang relevan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Mulawarman.4

Kausalitasnya jelas: identifikasi kebutuhan yang akurat pada tingkat komunitas menghasilkan pelatihan yang relevan, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan keberhasilan peserta dalam mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha mikro. Ini adalah kunci mengapa CBVT tidak hanya berhasil dalam teori tetapi juga dalam praktik.1 Ketika program sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan realitas lokal, tingkat partisipasi dan dampaknya secara otomatis meningkat.

 

Potret Beragam Tata Kelola Lintas G20: Kisah Adaptasi dan Otonomi Lokal

Laporan ini mengidentifikasi tiga model tata kelola utama yang digunakan oleh negara-negara G20 dalam mengelola CBVT.1 Masing-masing model mencerminkan keseimbangan yang unik antara kontrol terpusat dan otonomi lokal.

Model Sektor Formal: Vokasi sebagai Pilar Resmi Negara

Dalam model ini, CBVT diakui sebagai sektor formal yang terpisah dalam sistem pendidikan, dengan kerangka hukum, anggaran, dan regulasi yang jelas.1 Negara-negara seperti Australia, Italia, Inggris, Republik Korea, dan Afrika Selatan mengadopsi pendekatan ini.1 Di Afrika Selatan, misalnya, warisan apartheid mendorong terciptanya sistem pendidikan dan pelatihan pasca-sekolah yang formal. Perguruan tinggi komunitas (Community Education and Training Colleges) yang ada di setiap provinsi, mengelola lebih dari 2.500 pusat dan satelit pembelajaran, didukung oleh pajak gaji nasional.1

Model ini memberikan jaminan kualitas dan kredibilitas, karena lembaga-lembaga ini sering kali terdaftar sebagai Organisasi Pelatihan Terdaftar (Registered Training Organizations, RTO) yang mampu memberikan kualifikasi yang diakui secara nasional.1 Namun, laporan ini juga menyoroti tantangan untuk menjaga agar sistem yang sentralistik ini tetap responsif terhadap kebutuhan lokal yang spesifik.1

Model Jangkauan Institusi Vokasi: Sekolah Menjangkau Komunitas

Model kedua menggambarkan bagaimana institusi formal yang sudah ada, seperti universitas, perguruan tinggi, atau sekolah vokasi, memperluas jangkauan mereka ke daerah terpencil dan populasi yang terpinggirkan.1 Laporan ini mencontohkan Argentina yang meluncurkan "ruang kelas bergerak" (mobile classroom) yang lengkap dengan fasilitas multimedia dan akses internet satelit.1 Unit-unit ini dipindahkan ke lokasi yang berbeda tergantung pada permintaan dan jenis kursus yang ditawarkan.1

Di Meksiko, lebih dari 80% institusi pendidikan tinggi menjalankan program penjangkauan berbasis komunitas.1 Ini adalah cara efektif untuk memanfaatkan infrastruktur dan keahlian yang sudah ada tanpa harus membangun sistem baru.1 Jepang dan Jerman juga menunjukkan pendekatan serupa, di mana sekolah vokasi dan industri lokal bekerja sama untuk memastikan pelatihan relevan dengan kebutuhan regional.1

Model Penyedia Layanan Organisasi Komunitas: Mengandalkan Aktor Lokal

Model ketiga adalah pendekatan yang terdesentralisasi, di mana layanan pelatihan diserahkan kepada organisasi berbasis komunitas.1 Laporan ini mencontohkan India, di mana kebijakan pengembangan keterampilan nasional secara eksplisit melibatkan sektor swasta dan LSM dalam proses penawaran yang kompetitif.1 Di Indonesia, pemerintah mendirikan lebih dari 2.100 Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas yang dikelola oleh organisasi masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, sekolah lokal, dan serikat pekerja.1 BLK Komunitas ini diharapkan dapat menjadi mandiri seiring berjalannya waktu setelah mendapatkan pendanaan awal dari pemerintah.1

Model ini memiliki keunggulan dalam fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan lokal.1 Namun, laporan ini juga memberikan catatan kritis bahwa tanpa kerangka regulasi atau dukungan finansial yang kuat dari tingkat nasional, organisasi-organisasi ini bisa berisiko menciptakan "sistem kelas dua" yang tidak menawarkan jalan yang jelas untuk kemajuan ke pasar kerja formal.1

 

Menembus Batasan dan Menjangkau Mereka yang Terlupakan

Laporan ini secara khusus menyoroti fakta bahwa CBVT adalah instrumen yang sangat efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok yang secara tradisional sulit diakses oleh sistem pendidikan formal.1 Hambatan dapat berupa geografis, sosial, atau ekonomi.

Strategi Penjangkauan yang Inovatif

Negara-negara G20 menggunakan beragam cara untuk menjangkau peserta pelatihan. Di Kanada, pekerja sosial menginformasikan individu yang menerima bantuan sosial tentang program pelatihan yang tersedia.1 Di Indonesia, kepala desa di daerah terpencil memfasilitasi penjangkauan dan perekrutan peserta.1 India menggunakan acara seperti "mela" atau pameran yang diselenggarakan oleh LSM dan penyedia pelatihan swasta untuk menarik minat dan mendaftarkan calon peserta.1 Di Turki, sekolah dan pertemuan keluarga digunakan untuk meningkatkan kesadaran, dengan perhatian khusus pada perempuan.1

Layanan ekstensi pertanian juga berperan penting. Di India, Agricultural Technology Management Agency (ATMA) bekerja dengan kelompok petani untuk memberikan pelatihan.1 Namun, model ini juga menghadapi tantangan seperti elite capture (di mana manfaat hanya dirasakan oleh kelompok kaya) dan rendahnya kapasitas penyedia layanan.1

Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Adat

Analisis data dalam laporan ini menunjukkan bahwa CBVT memiliki dampak yang tidak proporsional dalam memberdayakan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Di Afrika Selatan, 71% peserta di Pusat Pembelajaran Komunitas adalah perempuan.1 Begitu pula di Republik Korea, Occupational Centre for Women (OCW) bekerja sama dengan pusat-pusat komunitas untuk menjangkau perempuan yang telah lama keluar dari angkatan kerja, memberikan dukungan satu per satu yang mengintegrasikan konseling sosial, bimbingan karier, dan bantuan pencarian kerja.1 Perempuan sering kali menghadapi hambatan ganda, termasuk norma sosial dan tanggung jawab pengasuhan, yang menghalangi partisipasi mereka dalam sistem formal.1 CBVT, dengan sifatnya yang fleksibel dan berbasis di komunitas, secara langsung mengatasi hambatan ini, menjadikannya sebuah katalisator yang kuat untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi.

Laporan ini juga menyoroti bagaimana CBVT dapat disesuaikan untuk menghormati dan mendukung kelompok adat. Di Kanada, Indigenous Skills and Employment Training (ISET) Program didesain untuk merefleksikan perbedaan antara masyarakat Adat, Métis, dan Inuit.1 Program ini tidak hanya melatih keterampilan kerja, tetapi juga mempromosikan kisah-kisah sukses untuk menginspirasi generasi selanjutnya.1

 

Jalan Menuju Keahlian: Desain Pelatihan yang Adaptif dan Fleksibel

Pelatihan CBVT yang efektif dimulai jauh sebelum peserta memasuki ruang kelas. Laporan ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan terletak pada desain program yang responsif terhadap kebutuhan lokal.1 Di Indonesia, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) memiliki otonomi untuk mengidentifikasi kebutuhan komunitas, menawarkan kursus yang beragam, memobilisasi sumber daya, dan membangun kemitraan dengan organisasi lokal.1 Pendekatan ini memastikan bahwa kurikulum relevan dan adaptif.

 

Beragam Moda Pelatihan untuk Beragam Kebutuhan

Laporan ini mengidentifikasi empat pendekatan utama dalam pengiriman pelatihan, yang sering kali digunakan secara bersamaan:

  • Pelatihan berbasis kelas/pusat: Masih menjadi metode paling umum, terutama di negara-negara seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi.1
  • Unit Pelatihan Bergerak: Digunakan di negara-negara dengan geografis luas seperti Argentina dan Brasil, unit-unit ini dilengkapi dengan peralatan dan teknologi untuk menjangkau komunitas terpencil.1 Di Argentina, jaringan "ruang kelas bergerak" dilengkapi dengan koneksi internet satelit dan fasilitas multimedia.1
  • Pembelajaran Berbasis Kerja (Work-Based Learning): Memegang peran penting dalam CBVT, terutama di negara-negara seperti Jerman dan Jepang.1 Laporan ini menyoroti bagaimana sistem pelatihan ganda (
    dual system) di Jerman bekerja sama dengan kamar dagang lokal untuk memastikan keterampilan yang diajarkan relevan dengan kebutuhan industri.1
  • Pembelajaran Daring dan Blended: Pandemi telah mendorong ketergantungan pada metode ini. Di Indonesia, platform Skillhub dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menawarkan pelatihan blended dan online gratis.2

 

Kritik Realistis: Sisi Gelap Revolusi Digital

Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas yang luar biasa, laporan ini memberikan kritik yang penting dan realistis: "ketidaksetaraan akses terhadap TIK" harus segera diatasi untuk menghindari eksklusi lebih lanjut.1 Seseorang mungkin memiliki ponsel pintar, tetapi tanpa koneksi internet yang stabil, listrik yang memadai, atau kuota data yang terjangkau, kesempatan mereka untuk belajar secara daring sangat terbatas. Laporan tersebut mencatat bahwa kesenjangan ini dapat memperlebar jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak, sehingga solusi digital harus diimbangi dengan strategi lain seperti unit pelatihan bergerak atau penyediaan akses internet gratis di pusat-pusat komunitas.1

 

Sertifikasi dan Dampak Nyata: Menjembatani Keterampilan Lokal ke Pasar Global

Tujuan akhir dari CBVT bukanlah sekadar mengajar keterampilan, tetapi untuk memastikan bahwa keterampilan tersebut dapat menghasilkan pendapatan dan membuka peluang.1 Untuk mencapai ini, sistem penilaian dan sertifikasi yang efektif sangatlah penting.

Dari Keterampilan Informal ke Kualifikasi Formal

Laporan ini menyoroti peran kunci dari Recognition of Prior Learning (RPL) atau Pengakuan Pembelajaran Terdahulu.1 RPL memungkinkan individu yang memperoleh keterampilan melalui jalur informal atau non-formal untuk mendapatkan sertifikasi resmi yang diakui secara nasional. Di India, program PMKVY (Pradhan Mantri Kaushal Vikas Yojana) menggunakan RPL untuk memberikan sertifikasi kepada pekerja informal, yang memungkinkan mereka mengakses pelatihan lebih lanjut dan kesempatan kerja formal.1 Sebuah studi pelacakan di India menunjukkan bahwa upah rata-rata peserta yang berhasil memperoleh sertifikasi melalui RPL meningkat 4% dalam waktu enam bulan, sebuah lompatan nyata dari pendapatan sebelumnya.1

Namun, laporan ini juga menyajikan dilema: apakah CBVT harus fokus pada sertifikasi formal atau langsung pada pengembangan wirausaha? Di India, program seperti Kudumbashree di Kerala dan National Rural Livelihood Mission (NRLM) sengaja berfokus pada wirausaha mikro untuk pengentasan kemiskinan, tanpa memberikan kualifikasi formal.1 Hal ini relevan di wilayah di mana pasar kerja formal tidak berkembang, tetapi berisiko menjebak pekerja di ekonomi informal.1 Sebaliknya, sistem di Australia mengharuskan penyedia CBVT menjadi RTO untuk mengeluarkan sertifikat, memastikan standar dan mobilitas.1 Kunci keberhasilan adalah pendekatan ganda: mempromosikan wirausaha sambil menyediakan jalur yang jelas dan dapat diakses (melalui RPL) ke sistem formal bagi mereka yang menginginkannya.

Dukungan Pasca-Pelatihan yang Krusial

Pelatihan saja tidak cukup; dukungan pasca-pelatihan adalah faktor penentu keberhasilan CBVT.1 Dukungan ini dapat berupa bantuan pencarian kerja, pendampingan untuk memulai usaha, dan akses ke pembiayaan.1 Di Amerika Serikat, jaringan American Job Centers menyediakan layanan komprehensif seperti bimbingan karier dan bantuan penulisan resume.1 Sementara itu, di Brasil, National Rural Learning Services (SENAR) bekerja sama dengan layanan dukungan untuk usaha mikro untuk mempromosikan kewirausahaan di pedesaan.1

Pernyataan dampak nyata dari laporan ini begitu lugas: jika diterapkan secara holistik, CBVT tidak hanya melatih keterampilan baru, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja, mengurangi biaya sosial dari pengangguran, dan secara nyata meningkatkan pendapatan jutaan orang.1 Laporan tersebut mencatat bahwa dengan perluasan skala program seperti RPL yang berhasil meningkatkan upah rata-rata peserta hingga 4% hanya dalam waktu enam bulan, dampak ekonomi secara keseluruhan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan bisa luar biasa besar.1

 

Kesimpulan: Arah Baru untuk Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca-Pandemi

CBVT adalah alat kebijakan yang penting dan kuat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan sosial pasca-pandemi, terutama di daerah pedesaan.1 Laporan ini menyimpulkan lima pelajaran kunci untuk mewujudkan potensi CBVT:

  • Menyeimbangkan kebijakan terpusat dan kebutuhan lokal: Penting untuk memberikan otonomi kepada komunitas tanpa mengorbankan standar nasional.1
  • Menciptakan jejaring yang kuat antar aktor lokal: Penyedia pelatihan harus berinteraksi dengan lingkungan institusi lokal, pengusaha, dan pekerja untuk memastikan relevansi.1
  • Meningkatkan akses dan kualitas, menghindari "perangkap kelas dua": CBVT harus membuka jalan menuju pekerjaan formal dan pendidikan lebih lanjut, tidak menutupnya. RPL adalah kunci di sini.1
  • Mengintegrasikan isu-isu iklim dan lingkungan: Program CBVT harus dirancang untuk mengatasi krisis iklim dan mempromosikan "pekerjaan hijau".1
  • Membangun kemitraan dan dialog sosial yang efektif: Keterlibatan pengusaha dan organisasi pekerja sangat penting untuk memastikan program yang efektif dan relevan.1

Meskipun laporan ini menyajikan gambaran yang optimis, implementasi di lapangan sering kali tidak semulus niat di atas kertas. Tantangan seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang kaku, atau kurangnya kemauan politik dapat menghambat keberhasilan program inovatif ini. Namun, CBVT tetap menjadi investasi paling strategis yang dapat dilakukan negara-negara G20. Dengan fokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi, CBVT memiliki kekuatan untuk tidak hanya memulihkan ekonomi pasca-pandemi, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan di masa depan.1

 

Sumber Artikel:

International Labour Organization. (2022, February). Initial review of community-based vocational training (CBVT) in G20 countries. Paper prepared for the 1st meeting of the G20 Employment Working Group.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebangkitan Ekonomi Pedesaan—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Properti dan Arsitektur

Mengurai Krisis di Sektor Konstruksi Inggris: Mengapa Klaim dan Sengketa Mengancam Reputasi dan Keuangan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025


Prolog: Di Balik Data yang Menakutkan, Ada Kisah Kerugian Miliar Pound

Industri konstruksi adalah salah satu pilar terpenting dalam perekonomian Inggris, menyumbang sekitar 13% dari PDB global dan menyediakan hingga 10% lapangan kerja di Inggris dengan 2,93 juta pekerjaan. Pada tahun 2019 saja, sektor ini menghasilkan pendapatan kotor sebesar £117 miliar. Di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersembunyi sebuah kerapuhan yang menggerogoti dari dalam: ketidakmampuan untuk mengelola klaim proyek secara efektif. Meskipun manajemen klaim telah meningkat secara substansial, industri ini masih menjadi salah satu yang paling rentan, bertanggung jawab atas 11% dari semua sengketa pada tahun 2019. Tesis ini secara implisit menyoroti kontradiksi yang mengejutkan antara skala ekonomi dan kerapuhan manajerial yang dialami sektor ini. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam sektor ini tampaknya tidak sejalan dengan kematangan manajerial, menciptakan sebuah kondisi di mana kemajuan material justru memperparah risiko internal.

Permasalahan ini bukan sekadar detail administratif kecil. Laporan dari dewan kepemimpinan konstruksi Inggris (CLC) pada tahun 2021 menunjukkan adanya eskalasi jumlah notifikasi klaim di semua tingkatan rantai pasokan, mulai dari perusahaan kecil, menengah, hingga besar. Catatan mencengangkan lainnya adalah bahwa klaim ini sering kali membengkak hingga 25% dari nilai kontrak aktual. Untuk proyek senilai £100 juta, ini berarti klaim bisa melonjak hingga £25 juta. Ini bukan sekadar penyesuaian biaya kecil, melainkan ancaman signifikan terhadap profitabilitas dan kelangsungan proyek. Fenomena ini menunjukkan bahwa klaim, yang seharusnya menjadi bagian dari proses bisnis, telah menjadi penyakit kronis yang mengancam stabilitas finansial.

Tesis ini tidak hanya mengaitkan klaim dengan kerugian finansial, tetapi juga dengan kegagalan bisnis yang fatal. Bukti empiris menunjukkan bahwa 77–95% kegagalan finansial kontraktor disebabkan oleh banyaknya klaim yang tidak terkelola. Kasus kebangkrutan Carillion, perusahaan konstruksi terbesar kedua di Inggris, yang dilikuidasi dengan utang £900 juta dan defisit pensiun £600 juta, menjadi contoh nyata. Tesis ini berargumen bahwa kegagalan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya kerangka kerja manajemen klaim yang efektif. Perusahaan kecil dan menengah (UKM) bahkan lebih rentan, di mana keterlambatan pembayaran hingga lebih dari 60 hari menjadi masalah yang mendesak. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa manajemen klaim yang buruk bukan sekadar "biaya tak terduga," tetapi sebuah "penyakit kronis" yang jika dibiarkan tanpa pengawasan, dapat membunuh perusahaan. Tesis ini bertujuan untuk memahami dan mengatasi kesenjangan yang ada ini dengan mengembangkan kerangka kerja yang dapat memberikan manfaat nyata bagi perusahaan konstruksi, termasuk klaim yang dapat disubstansiasi, pengurangan biaya dan durasi, penghindaran biaya klaim yang tidak terduga, peningkatan hasil, dan efektivitas biaya yang lebih baik.1

 

Mengapa Masalah Ini Menjadi Kanker Kronis? Membongkar Akar Sengketa

Studi ini menemukan bahwa akar dari masalah klaim yang tidak efektif dan sengketa yang terus-menerus bukanlah semata-mata bersifat teknis atau finansial, melainkan juga terkait erat dengan faktor manusia dan psikologis. Konsep keadilan yang dirasakan (perceived fairness) menjadi salah satu temuan sentral. Berdasarkan wawancara dengan para pakar, proses manajemen klaim secara keseluruhan dirasakan adil sampai taraf tertentu, tetapi jauh dari sangat jujur, luar biasa, atau megah.1 Ketidakpuasan ini menggarisbawahi adanya keraguan fundamental yang mengikis kepercayaan antar pihak yang terlibat dalam proyek. Proses yang dianggap tidak adil memicu respons reaktif dari kontraktor, yang kemudian memvalidasi pandangan skeptis mereka terhadap proses manajemen klaim yang ada.

Tesis ini menyoroti adanya skeptisisme yang signifikan dari beberapa praktisi terhadap klaim bahwa investasi dalam manajemen klaim adalah hal yang sangat krusial.1 Beban ekonomi dan kurangnya kepercayaan terhadap manfaat finansial yang bisa diperoleh dari proses manajemen klaim justru mendorong kontraktor untuk mencari jalur litigasi, yang seringkali memakan waktu dan biaya besar.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara manajemen klaim yang efektif dan pengembangan strategi bersifat sangat lemah (tidak meningkat atau menurun secara linier).1 Temuan ini adalah sebuah ironi yang menarik. Ini menunjukkan bahwa memiliki strategi yang terdokumentasi tidaklah cukup; implementasi dan kesuksesan yang terukur tetap menjadi masalah yang problematis bagi kerangka kerja manajemen klaim yang ada. Intinya, keberhasilan tidak hanya terletak pada keberadaan strategi di atas kertas, tetapi pada adopsi dan penerapannya yang menuntut perubahan budaya.

Kekacauan dalam manajemen informasi juga menjadi faktor penyebab utama. Tesis ini mengungkapkan bahwa manajer proyek menghabiskan sekitar 70% waktu mereka untuk menangani informasi (membuat, mengelola, mendistribusikan, mengumpulkan, dan meneliti). Lebih lanjut, sekitar 65% pengerjaan ulang kontraktor dikaitkan dengan bahan yang tidak memadai, tidak cocok, atau kontradiktif.1 Kekacauan ini diperparah ketika dokumentasi proyek disimpan dalam basis data yang tidak terstruktur, dan masalah semakin memburuk jika persiapan klaim baru dilakukan setelah proyek selesai. Tesis ini menjelaskan bagaimana peristiwa klaim dapat menghilang atau menjadi kabur ketika staf kunci yang memiliki semua data klaim pergi, membuat tim baru kesulitan untuk memahami apa yang terjadi selama siklus proyek. Ini adalah efek domino di mana buruknya manajemen informasi di tahap awal (pre-stage claim) menciptakan masalah yang lebih besar, memperpanjang waktu penyelesaian klaim, dan akhirnya meningkatkan biaya serta risiko sengketa.1

 

Anatomi Sebuah Klaim: Membongkar Biaya Langsung dan Biaya Tak Terlihat

Analisis tesis ini secara kritis membedah hubungan antara klaim, sengketa, durasi, dan biaya proyek. Secara kualitatif, ditemukan bahwa sebagian besar sengketa muncul karena klaim.1 Ini menegaskan bahwa klaim adalah penyebab langsung dari sengketa, dan penyelesaian yang gagal adalah pemicu utama litigasi yang mahal. Untuk menjelaskan dampak finansial ini, penelitian ini membedah biaya klaim langsung dan biaya klaim tidak langsung. Biaya langsung adalah pengeluaran yang dapat diidentifikasi secara jelas terkait dengan pekerjaan tambahan, seperti tenaga kerja, material, dan peralatan.1 Sementara itu, biaya tidak langsung lebih sulit dilacak, mencakup biaya personel, biaya administrasi, overhead kantor pusat, biaya fotokopi, biaya legal untuk pengacara, arbitrator, dan adjudicator, serta kerugian reputasi dan profit.1

Tesis ini menemukan bahwa rata-rata durasi klaim di industri konstruksi Inggris adalah 14,58 bulan dan biaya rata-ratanya sekitar 22,8 juta dolar AS. Angka ini sejalan dengan laporan Global Construction Disputes Report tahun 2019 dari Arcadis yang mencatat durasi rata-rata 12,8 bulan dan biaya rata-rata 17,8 juta dolar AS di Inggris.1 Perbedaan kecil dalam angka-angka ini tidak mengurangi fakta bahwa sengketa klaim adalah masalah yang sangat signifikan, baik dalam hal waktu maupun uang.

Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang dampak ini, bayangkan sebuah proyek konstruksi seperti pengisian daya baterai pada ponsel pintar. Sebuah proyek yang berjalan mulus akan mengisi daya dari 20% hingga 70% dengan cepat dan efisien. Namun, klaim yang tidak terkelola dengan baik akan seperti mencabut dan mencolokkan kembali kabel pengisi daya setiap beberapa detik. Baterai mungkin terisi, tetapi prosesnya sangat lambat dan tidak efisien, membuang banyak energi (biaya) dan waktu.

Analisis 15 studi kasus yang dilakukan tesis ini secara konsisten menunjukkan bahwa sengketa paling sering muncul dari kegagalan proses di tingkat dasar. Klaim variasi (variation claims) menjadi salah satu pemicu utama. Tesis ini menyoroti kasus seperti Atkins Ltd v Secretary of State for Transport, di mana sengketa terkait klaim variasi menelan biaya £1,3 juta.1 Klaim keterlambatan (delay) dan disrupsi (disruption) juga merupakan sumber sengketa yang sangat umum.1 Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masalah klaim bukanlah akibat dari nasib buruk, melainkan hasil langsung dari administrasi kontrak yang buruk, kurangnya pemahaman terhadap klausul kontrak, dan kegagalan untuk memberikan pemberitahuan yang tepat sesuai persyaratan kontrak.1

 

Sebuah Cetak Biru untuk Perubahan: Kerangka Kerja Manajemen Klaim yang Efektif

Untuk mengatasi "lubang" dalam literatur dan praktik, tesis ini mengajukan kerangka kerja manajemen klaim investigatif yang komprehensif. Kerangka kerja ini dirancang untuk dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan industri. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini sangat kuat, menggabungkan data kuantitatif dari 76 responden kuesioner dengan data kualitatif dari 16 pakar dan 15 studi kasus untuk membangun landasan yang kredibel dan dapat diverifikasi.1

Kerangka kerja yang diusulkan terdiri dari empat tahap utama yang saling terhubung:

  1. Tahap Pra-konstruksi (Perencanaan): Tahap ini menekankan pentingnya perencanaan yang matang sebelum proyek dimulai. Tesis merekomendasikan pemilihan strategi pengadaan yang tepat, seperti Cost-led Procurement (CLP), untuk memastikan transparansi dan kolaborasi sejak awal. Strategi ini membantu mencegah masalah dengan menetapkan aturan dan ekspektasi yang jelas, mengurangi risiko sengketa di kemudian hari.1
  2. Tahap Administrasi Kontrak: Tahap kedua berfokus pada penyempurnaan proses administrasi selama masa konstruksi. Tesis menyoroti bahwa kebijakan pemerintah dan administrasi klaim yang buruk adalah penyebab utama klaim. Oleh karena itu, kerangka kerja ini menekankan pentingnya dokumentasi yang cermat, pemahaman yang mendalam tentang klausul kontrak, dan komunikasi yang seimbang antara semua pihak. Proses ini mencakup identifikasi, notifikasi, dokumentasi, presentasi, substansiasi, negosiasi, hingga penutupan klaim.1
  3. Tahap Proses Manajemen Klaim: Tahap ini adalah inti dari kerangka kerja. Ia menguraikan langkah-langkah praktis untuk mengelola klaim, dengan penekanan khusus pada substansiasi klaim yang kuat. Tesis menemukan bahwa klaim yang tidak didukung dengan bukti yang memadai adalah akar utama sengketa. Dokumen klaim yang efektif harus detail, memiliki ringkasan eksekutif, narasi faktual, dasar kontraktual dan hukum yang jelas, data biaya yang akurat, serta bukti-bukti yang meyakinkan.1
  4. Tahap Mitigasi dan Penyelesaian: Tahap terakhir ini menyediakan mekanisme untuk mencegah klaim agar tidak berubah menjadi sengketa. Hal ini termasuk menghindari ketidakberesan prosedural, amendemen kontrak yang tidak semestinya, bias yang nyata, dan perilaku manusia yang tidak beretika. Tesis ini menemukan bahwa klaim dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien jika kerangka kerja yang jelas ini dipatuhi.1

Kerangka kerja ECMF ini bukan hanya daftar periksa, tetapi alat untuk mendorong perubahan budaya dari konfrontasional ke kooperatif, seperti yang diamanatkan oleh laporan strategi pemerintah Inggris. Tesis ini berpendapat bahwa dengan mengadopsi kerangka kerja ini, perusahaan akan memandang manajemen klaim sebagai investasi, bukan sebagai biaya, yang pada akhirnya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu.

 

Jalan ke Depan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata yang Menjanjikan

Tesis ini tidak mengklaim kerangka kerja yang diusulkan sebagai solusi instan. Ada kritik dan tantangan realistis yang diakui. Beberapa praktisi tetap skeptis bahwa menunjukkan hasil yang terukur sangatlah bermasalah karena hubungan antara strategi dan efektivitas seringkali sangat lemah.1 Tesis juga mengakui bahwa kerangka kerja ini hanya akan berhasil jika diikuti oleh semua pihak, dan masalah sering muncul karena kurangnya pemahaman tentang mekanisme kontraktual.

Meskipun demikian, validasi kerangka kerja melalui proses pengecekan formal dengan anggota (formal process of member checking) oleh para pakar memberikan kredibilitas yang kuat bahwa kerangka kerja ini tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga relevan dan praktis di dunia nyata. Ini adalah langkah metodologis yang penting yang memastikan bahwa kerangka kerja ini memiliki potensi untuk diterapkan.

Jika diterapkan secara luas, kerangka kerja ini memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah Inggris mencapai tujuannya dalam strategi konstruksi 2025, yaitu mengurangi biaya aset hingga 33% dan mempercepat waktu konstruksi hingga 50%.1 Dengan mengurangi litigasi dan mengalihkan sumber daya yang terbuang untuk sengketa ke arah inovasi dan efisiensi, kerangka kerja ini dapat menghasilkan dampak nyata. Ini adalah evolusi daripada revolusi. Dengan menyediakan metode yang jelas untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyelesaikan klaim secara adil, kerangka kerja ini dapat menciptakan proses kolaboratif yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu. Ini merupakan pernyataan dampak yang kuat dan terukur yang menjanjikan masa depan yang lebih stabil dan menguntungkan bagi industri konstruksi di Inggris.1

 

Mengubah Paradigma: Dari Sengketa Menjadi Kolaborasi

Tesis ini memberikan cetak biru yang sangat dibutuhkan untuk perubahan paradigma. Klaim manajemen yang efektif bukanlah sebuah beban, melainkan sebuah investasi penting yang dapat mengubah industri konstruksi dari sektor yang rentan dan konfrontatif menjadi sektor yang efisien dan kolaboratif. Dengan mengatasi masalah mendasar seperti krisis kepercayaan, kurangnya dokumentasi, dan hubungan yang lemah antara strategi dan implementasi, kerangka kerja ini menawarkan jalan yang jelas untuk mengurangi sengketa, menghemat miliaran pound, dan akhirnya membangun industri yang lebih kuat dan tangguh.

 

Sumber Artikel:

Nosheen, A. (2022). Development of an effective claim management framework for the UK construction industry (Doctoral dissertation, Coventry University).

Selengkapnya
Mengurai Krisis di Sektor Konstruksi Inggris: Mengapa Klaim dan Sengketa Mengancam Reputasi dan Keuangan

Ekonomi dan Bisnis

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Proyek Bangunan yang Selalu Molor di Nigeria – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025


Sebuah Bom Waktu di Balik Pembangunan Infrastruktur Nigeria

Industri konstruksi adalah urat nadi perekonomian Nigeria, sebuah sektor vital yang menyumbang secara signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan fondasi bagi infrastruktur dan perumahan yang esensial.1 Namun, sektor ini menghadapi tantangan yang mengancam efisiensi dan kualitasnya, yaitu kekurangan tenaga kerja terampil. Dikutip dari berbagai penelitian sebelumnya, kondisi ini telah lama menyebabkan keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan standar keselamatan yang terkompromi.1 Penelitian yang dipublikasikan dalam International Journal of Civil Engineering, Construction and Estate Management oleh Abubakar Sadiq Idris dan timnya ini bertujuan untuk mengukur tingkat keparahan kekurangan tersebut di kalangan artisan konstruksi bangunan di Nigeria.

Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan survei deskriptif, para peneliti mengumpulkan data dari 229 pemangku kepentingan, termasuk para artisan, pelatih, verifikator, dan pengawas di tujuh negara bagian di Nigeria Utara-Barat.1 Tujuan awalnya adalah untuk mengidentifikasi "kekurangan" keterampilan yang selama ini dipersepsikan sebagai masalah utama. Namun, alih-alih menemukan kelangkaan tenaga kerja teknis, penelitian ini justru mengungkap sebuah paradoks yang lebih dalam. Masalah terparah di lapangan ternyata bukanlah kurangnya keterampilan teknis seperti tukang pipa atau tukang las, melainkan krisis dalam keterampilan "lunak" atau non-teknis, seperti manajemen amarah dan komunikasi.1 Ini menunjukkan bahwa industri ini tidak hanya menghadapi masalah kuantitas pekerja, tetapi juga krisis profesionalisme yang jauh lebih fundamental, yang berpotensi menjadi bom waktu bagi pembangunan di Nigeria.

 

Mengapa Kekurangan Tenaga Terampil Adalah Bom Waktu Ekonomi Nigeria?

Sebelum mengulas temuan mengejutkan dari penelitian ini, penting untuk memahami lanskap industri konstruksi Nigeria. Sektor ini dianggap sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi, tetapi kinerjanya kerap terhambat oleh tantangan yang berakar dari berbagai faktor. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa kekurangan tenaga terampil di Nigeria disebabkan oleh serangkaian isu, termasuk kurangnya pelatihan kejuruan yang memadai, kondisi kerja yang buruk, upah yang rendah, dan stigma sosial yang melekat pada pekerjaan tangan.1 Faktor-faktor ini menciptakan lingkaran setan: industri yang dianggap kurang bergengsi atau berpenghasilan rendah cenderung menarik individu dengan tingkat motivasi dan profesionalisme yang lebih rendah, yang pada gilirannya memperburuk reputasi industri.

Dalam konteks ini, penelitian Idris dan timnya mencoba mengukur secara empiris masalah-masalah yang selama ini hanya diasumsikan. Mereka menggunakan metodologi yang kuat, termasuk pengambilan sampel acak dan analisis statistik menggunakan perangkat lunak SPSS, untuk mengumpulkan data dari populasi sampel yang representatif. Populasi penelitian mencapai 750 pemangku kepentingan, di mana 229 di antaranya memberikan tanggapan yang valid. Para responden mencakup beragam peran, dari artisan terlatih, pelatih di pusat-pusat pelatihan, hingga para master pengrajin, dan verifikator.1 Jangkauan responden yang luas ini memastikan bahwa temuan yang dihasilkan tidak hanya berasal dari satu sudut pandang, tetapi mencerminkan realitas yang kompleks dari seluruh ekosistem industri konstruksi di Nigeria Utara-Barat.

 

Temuan yang Mengejutkan: Keterampilan 'Non-Teknis' yang Paling Parah Dikeluhkan

Hasil penelitian menunjukkan sebuah pergeseran paradigma yang signifikan dalam pemahaman kita tentang kekurangan keterampilan di industri konstruksi. Para peneliti menggunakan teknik peringkat rata-rata (mean ranking) untuk menilai keparahan berbagai masalah yang diidentifikasi. Alih-alih kekurangan tukang pasang bata atau tukang kayu, temuan paling signifikan justru mengarah pada masalah yang bersifat personal dan manajerial.

Peringkat teratas dalam daftar masalah ini adalah kurangnya keterampilan manajemen amarah di tempat kerja. Isu ini menduduki peringkat pertama dengan skor rata-rata 4.8 dari skala 5, menunjukkan bahwa para responden menganggapnya sebagai hambatan paling serius di lapangan.1 Temuan ini mengejutkan karena secara intuitif, kita sering mengasosiasikan masalah konstruksi dengan kegagalan teknis—seperti fondasi yang retak atau atap yang bocor. Namun, penelitian ini secara tegas menunjukkan bahwa konflik interpersonal dan ketidakmampuan mengelola emosi adalah faktor utama yang mengganggu kelancaran proyek. Secara naratif, ini berarti bahwa perselisihan antarpekerja atau antara atasan dan bawahan dapat menghentikan pekerjaan secara total, menyebabkan stagnasi yang lebih parah daripada kurangnya alat atau bahan.

Keterkaitan masalah ini semakin jelas ketika melihat temuan di peringkat kedua: keterlambatan pengiriman proyek bangunan. Masalah ini memperoleh skor rata-rata 4.4, langsung mengikuti masalah manajemen amarah.1 Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan kausal yang kuat antara krisis emosi di tempat kerja dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan proyek tepat waktu. Konflik yang tidak terselesaikan bisa merusak kolaborasi, menurunkan semangat kerja, dan pada akhirnya, menunda penyelesaian proyek.

Temuan penting lainnya yang berada di peringkat atas adalah kurangnya keterampilan Kesehatan, Keselamatan & Kerapian (peringkat 3, skor rata-rata 4.2) dan kurangnya keterampilan komunikasi (peringkat 4, skor rata-rata 4.1).1 Bersama-sama, masalah-masalah ini membentuk sebuah narasi yang konsisten: industri konstruksi di wilayah ini menghadapi krisis profesionalisme yang mendalam. Keterampilan-keterampilan ini, meskipun sering dianggap "lunak," adalah fondasi yang mutlak diperlukan untuk memastikan lingkungan kerja yang aman, teratur, dan efisien.

Yang paling kontradiktif dari semua temuan ini adalah bahwa masalah yang secara umum diasumsikan sebagai "kekurangan keterampilan," yaitu "kurangnya artisan yang memadai untuk memenuhi permintaan", justru berada di peringkat paling bawah, yaitu peringkat ke-25 dengan skor rata-rata hanya 2.3.1 Paradoks ini adalah inti dari temuan penelitian. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah tidak adanya jumlah pekerja, melainkan kualitas profesionalisme dari tenaga kerja yang sudah ada. Krisis ini adalah krisis kualitatif, bukan kuantitatif. Para artisan yang ada mungkin memiliki pengetahuan dasar untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi mereka kekurangan etos kerja, disiplin, dan kemampuan interpersonal yang krusial untuk beroperasi secara efektif dalam lingkungan tim yang kompleks dan seringkali penuh tekanan.

 

Di Balik Angka: Kisah Para Veteran dan Kredibilitas Pengalaman

Kredibilitas temuan ini semakin diperkuat oleh profil demografi responden. Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas peserta survei (85.6%) adalah laki-laki, dan yang paling menarik, sebagian besar dari mereka (59%) memiliki pengalaman kerja yang sangat panjang, yaitu 16-20 tahun di industri konstruksi.1 Proporsi terbesar dari responden (62.9%) juga berusia 40 tahun ke atas.1

Profil ini sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa temuan mengenai kurangnya keterampilan "lunak" ini bukan berasal dari pengamatan sekilas oleh pendatang baru, melainkan merupakan pengakuan dari para veteran paling berpengalaman di industri. Pandangan mereka mencerminkan realitas yang telah mereka saksikan selama bertahun-tahun di lapangan. Pandangan para praktisi yang paling matang dan berpengetahuan luas inilah yang memberikan otoritas tak terbantahkan pada temuan penelitian.

Namun, data demografi ini juga mengungkapkan sebuah krisis yang lebih dalam dan potensial untuk memburuk. Meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa masalah terbesar bukanlah "kekurangan" tenaga kerja, salah satu faktor yang berada di peringkat bawah (peringkat ke-22, skor rata-rata 3.0) adalah "non-replacement of aged trained artisans of the industry".1 Ini menciptakan sebuah lingkaran setan yang berbahaya. Jika tenaga kerja yang ada—yang sebagian besar berusia di atas 40 tahun—tidak digantikan oleh generasi baru, masalah keterampilan, baik teknis maupun non-teknis, akan semakin akut. Hal ini diperparah oleh rendahnya daya tarik industri bagi kaum muda, yang enggan masuk ke sektor yang dipersepsikan memiliki kondisi kerja buruk dan upah rendah. Tanpa regenerasi, industri konstruksi Nigeria berisiko mengalami kemunduran yang signifikan dalam dekade-dekade mendatang.

 

Jalan Keluar dari Krisis: Solusi Menuju Sektor Konstruksi yang Berkelanjutan

Studi ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan rekomendasi strategis untuk mengatasi krisis. Berdasarkan analisis, solusi yang dianggap paling penting oleh para responden adalah penyediaan pelatih berbasis kompetensi yang memadai.1 Hal ini menyoroti bahwa investasi pada kualitas pengajaran adalah kunci untuk menanamkan keterampilan yang benar, bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara profesional.

Sejalan dengan temuan utama, para peneliti merekomendasikan pelatihan wajib dalam manajemen amarah, kesehatan, keselamatan, dan kerapian.1 Program-program ini harus terstruktur dan ditujukan untuk semua artisan, tidak hanya untuk mengatasi masalah di tempat kerja saat ini, tetapi juga untuk membangun budaya kerja yang lebih positif dan profesional di masa depan.

Lebih jauh lagi, laporan ini menekankan perlunya pelembagaan Kerangka Kualifikasi Keterampilan Nasional (NSQ) sebagai kerangka kerja regulasi yang kuat.1 Saat ini, kurangnya sistem evaluasi yang terstandarisasi, efisien, dan objektif—yang seringkali mengandalkan metode berbasis kertas yang memakan waktu dan subjektif—memperburuk masalah.1 Pelembagaan NSQ akan menciptakan sebuah sistem di mana kompetensi dapat dievaluasi, disertifikasi, dan diakui secara nasional. Ini bukan hanya tentang melatih individu, tetapi tentang membangun ekosistem yang berkelanjutan di mana keterampilan dihargai dan dipertahankan.

Secara spesifik, studi ini juga menyinggung potensi penggunaan platform e-assessment untuk meningkatkan proses penilaian keterampilan.1 Meskipun adopsi teknologi ini berada di peringkat yang lebih rendah dalam survei, temuan ini menunjukkan bahwa solusi digital adalah bagian integral dari modernisasi industri. Platform e-assessment dapat menawarkan sistem yang lebih transparan, efisien, dan objektif untuk mengukur kompetensi, mengatasi keterbatasan metode penilaian tradisional.

 

Kritik Realistis dan Opini Ringan: Menakar Batasan Studi dan Tantangan Implementasi

Meskipun temuan dari penelitian ini sangat kuat, penting untuk menyoroti keterbatasannya. Studi ini secara eksplisit terbatas pada tujuh negara bagian di Nigeria Utara-Barat.1 Meskipun hasilnya memberikan wawasan yang sangat berharga, realitas di wilayah lain di Nigeria mungkin berbeda, dipengaruhi oleh dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang unik. Oleh karena itu, temuan ini tidak dapat sepenuhnya digeneralisasi untuk seluruh industri konstruksi di Nigeria tanpa penelitian lebih lanjut.

Selain itu, penting untuk menambahkan kritik realistis terhadap tantangan implementasi rekomendasi yang ada. Penelitian ini menyoroti masalah pembangunan sosial dan ekonomi yang buruk di Nigeria, yang, meskipun berada di peringkat terendah dalam survei (peringkat ke-24, skor rata-rata 2.6), merupakan fondasi yang memengaruhi segalanya.1 Masalah makro seperti korupsi, infrastruktur yang tidak memadai, dan ketidakstabilan politik yang dilaporkan oleh berbagai studi lain 1 menciptakan lingkungan yang sangat menantang untuk menerapkan reformasi mikro. Tanpa reformasi yang lebih luas, seperti tata kelola yang baik dan investasi dalam infrastruktur sosial, upaya untuk meningkatkan profesionalisme di industri konstruksi bisa jadi terhambat. Artinya, perbaikan industri ini tidak bisa lepas dari perbaikan di tingkat nasional.

 

Implikasi Jangka Panjang: Mengubah Perekonomian dan Kualitas Hidup

Temuan ini membawa implikasi jangka panjang yang mendalam. Jika krisis profesionalisme—terutama dalam manajemen amarah, komunikasi, dan keselamatan kerja—dapat diatasi melalui program pelatihan yang ditargetkan dan pelembagaan NSQ, industri konstruksi Nigeria berpotensi mengalami lonjakan efisiensi dan kualitas yang dramatis.

Bayangkan proyek-proyek yang tidak lagi molor karena konflik di tempat kerja, atau kecelakaan yang berkurang drastis karena standar keselamatan yang ditegakkan. Dampak nyata dari perbaikan ini akan terasa di seluruh rantai nilai. Proyek dapat diselesaikan lebih cepat dan dengan biaya yang lebih rendah, meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Selain itu, kondisi kerja yang lebih aman dan profesional akan membuat industri ini lebih menarik bagi generasi muda, menciptakan pasokan tenaga kerja yang berkelanjutan di masa depan. Ini adalah langkah krusial untuk membangun masa depan yang lebih kokoh dan stabil. Dengan mengatasi masalah yang tersembunyi di balik data, Nigeria dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang emas untuk membangun perekonomian yang lebih kuat, satu bata pada satu waktu.

Saran Gambar:

Pekerja konstruksi sedang berdiskusi atau bekerja sama di lokasi proyek, atau gambar crane di lokasi konstruksi dengan latar belakang kota.

Sumber Artikel:

SADIQ, I. A., MOHAMMED, I., NURUDDEN, U., & KUNYA, U. (2025). ASSESSMENT OF THE SEVERITY OF THE SKILL SHORTAGES AMONG ARTISANS IN THE NIGERIAN BUILDING SECTOR. Journal of Biodiversity and Environmental Research.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Proyek Bangunan yang Selalu Molor di Nigeria – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Ekonomi dan Bisnis

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025


Mengurai Benang Kusut: Mengapa Manajemen Kontrak Tak Selalu Cukup Dikuasai

Suka atau tidak, dinamika pembangunan di Indonesia akan selalu diwarnai oleh satu isu krusial: permasalahan kontraktual. Sebagai landasan hukum dalam setiap proyek konstruksi, kontrak adalah jantung yang menentukan keberhasilan, dan sayangnya, kerap menjadi sumber kegagalan. Sebuah karya praktis, "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" yang ditulis oleh Seng Hansen, akademisi sekaligus praktisi, berupaya membedah isu-isu ini dari akarnya. Temuan yang paling mengejutkan dari buku ini adalah pemahaman yang belum matang tentang Manajemen Kontrak Konstruksi (MKK) sebagai sebuah disiplin ilmu di Indonesia.1

MKK sendiri bukanlah Manajemen Konstruksi (MK) yang lebih umum dikenal. Jika MK adalah pengelolaan proyek secara menyeluruh yang mencakup perencanaan, koordinasi, dan pengendalian aspek kualitas, biaya, dan waktu, MKK adalah sub-bidang spesifik yang berfokus pada pengelolaan kontrak.1 MKK adalah pedoman dan alat pengendali yang memastikan hubungan hukum, distribusi risiko, serta hak dan kewajiban setiap pihak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiadaan pemahaman yang mendalam terhadap disiplin ilmu ini terbukti menjadi benang kusut di balik banyaknya sengketa yang terjadi.1

Buku ini mengungkap tiga faktor utama yang menyebabkan MKK belum berkembang pesat di Indonesia. Pertama, praktik MKK di lapangan seringkali mengadopsi standar internasional namun dimodifikasi terlalu bebas tanpa fondasi keilmuan yang kuat. Kedua, tidak adanya pendidikan formal atau sertifikasi profesi yang berfokus pada MKK. Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, di mana MKK sudah menjadi program Magister, di Indonesia MKK seringkali hanya menjadi topik selayang pandang dalam mata kuliah Manajemen Konstruksi di tingkat Sarjana.1 Ketiga, belum adanya pedoman atau peraturan baku yang menjadi rujukan standar praktik MKK nasional.1

Kondisi ini menciptakan sebuah siklus yang problematis. Kurangnya pendidikan formal menyebabkan para praktisi belajar secara otodidak atau menerapkan praktik seadanya, yang pada akhirnya memicu lebih banyak masalah kontraktual. Pada gilirannya, banyaknya permasalahan ini menuntut adanya jawaban praktis, yang justru menjadi motivasi penulisan buku ini. Lahirnya Komunitas Manajemen Kontrak Konstruksi Indonesia (KMKKI) yang beranggotakan para akademisi dan praktisi merupakan sebuah langkah proaktif untuk mengisi kekosongan tersebut, mendorong kemajuan dan diseminasi ilmu MKK yang berlandaskan standar internasional namun tetap menjunjung kebijaksanaan lokal.1

 

Di Balik Tanda Tangan: Mengapa Perjanjian Tak Selalu Selesai di Meja Negosiasi

Proses penyusunan kontrak kerap dianggap sebagai formalitas, padahal di sinilah risiko terbesar bersembunyi. Buku ini menekankan bahwa kontrak yang baik haruslah hitam di atas putih dan mudah dipahami, disusun dengan prinsip-prinsip yang logis, terorganisir, dan menghindari ambiguitas.1 Namun, di balik serangkaian klausul, terdapat dinamika kekuasaan yang seringkali mengikis prinsip kesetaraan.

Menurut studi yang dikutip dalam buku, permasalahan kesetaraan kontrak di Indonesia masih jauh dari predikat adil. Hal ini terlihat dari sanksi yang timpang: kelalaian penyedia jasa (kontraktor) dapat dikenai sanksi berat, sementara kelalaian pengguna jasa (pemilik proyek) seringkali hanya berujung pada sanksi ringan atau bahkan tanpa sanksi sama sekali. Ketidaksetaraan ini menciptakan lingkungan di mana satu pihak dapat memaksakan pemahaman kontrak di luar koridor yang seharusnya, menjadikan hubungan kontraktual tidak seimbang.1

Ketimpangan ini juga tecermin dalam hierarki dokumen kontrak yang seringkali tidak jelas. Proyek konstruksi melibatkan banyak dokumen teknis seperti Rencana Anggaran Biaya (RAB), gambar rencana (DED), dan spesifikasi teknis. Tanpa hierarki yang jelas, perbedaan data di antara dokumen-dokumen ini dapat memicu konflik. Buku ini dengan lugas memaparkan contoh hierarki yang umum, di mana adendum, surat perjanjian, dan syarat-syarat khusus kontrak memiliki prioritas lebih tinggi dibanding dokumen lain.1 Penjelasan ini sangat penting, karena tanpa hierarki yang jelas, klaim sebesar apa pun bisa kandas di tengah jalan hanya karena perbedaan interpretasi dokumen.

Fenomena ini adalah cerminan dari kurangnya pemahaman MKK yang meluas, di mana kontrak dibuat dengan modifikasi seadanya tanpa mempertimbangkan dampaknya. Solusi yang dianjurkan adalah penggunaan Format Standar Kontrak Konstruksi (FSKK) yang dibuat oleh pihak netral, seperti FIDIC (Fédération Internationale Des Ingénieurs-Conseils). FSKK yang baik, seperti FIDIC Red Book, memiliki Golden Principles yang menjamin alokasi risiko yang adil dan seimbang, serta penyelesaian sengketa yang lebih teratur.1 Keberadaan buku ini dan FSKK menjadi sebuah kritik realistis: bahwa permasalahan yang sering kita lihat bukan hanya tentang niat buruk, melainkan juga tentang ketidakmampuan profesional untuk membuat kontrak yang adil.

 

Kisah Lumpsum dan Desain-Bangun: Mitos dan Fakta di Mata Auditor dan Pelaksana Proyek

Dalam dunia kontrak, jenis lumpsum dan Design and Build (DB) seringkali menjadi sumber kebingungan. Kontrak lumpsum adalah perjanjian dengan harga pasti yang tidak akan berubah, di mana semua risiko ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.1 Sementara itu, kontrak DB adalah jenis di mana kontraktor bertanggung jawab penuh atas desain dan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, memberikan kesempatan untuk inovasi dan efisiensi.1

Namun, di sini terletak paradoks terbesar yang diungkap buku ini: banyak auditor, terutama dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerap mengevaluasi proyek lumpsum dengan kacamata kontrak unit-price (harga satuan). Mereka berpendapat bahwa jika volume pekerjaan yang terealisasi lebih sedikit dari yang tercantum di RAB, maka hal itu adalah kerugian negara dan kontraktor wajib mengembalikan kelebihan pembayaran.1 Padahal, esensi kontrak lumpsum adalah kepastian biaya bagi pemilik proyek dan transfer risiko yang lebih besar kepada kontraktor. Jika seorang kontraktor berhasil menciptakan efisiensi yang signifikan, misalnya mengurangi volume material melalui rekayasa nilai, seharusnya hal itu menjadi keuntungan mereka.

Namun, cara pandang auditor ini menciptakan model risiko yang tidak adil: kontraktor menanggung risiko kerugian jika ada pekerjaan tambahan, tetapi tidak diizinkan menikmati keuntungan dari efisiensi yang diciptakan. Ini dapat mengecilkan dampak inovasi dan mengurangi semangat kompetitif dalam industri. Dalam beberapa kasus, perbedaan interpretasi ini bahkan berujung ke pengadilan, mencerminkan adanya ketidaktepatan pengambilan keputusan di tingkat auditor.1

Perlu diketahui bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No. 16/2018 telah menghilangkan ketentuan sebelumnya yang melarang pekerjaan tambah/kurang pada kontrak lumpsum, menegaskan bahwa perubahan nilai kontrak dimungkinkan jika terjadi perubahan lingkup pekerjaan atau spesifikasi.1 Dengan demikian, permasalahan ini bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari tantangan sistemis dalam pengelolaan keuangan negara dan pemahaman yang masih tumpang tindih mengenai alokasi risiko yang wajar.

 

Saat Bencana dan Konflik Datang: Mengapa Keadaan Kahar Bukan Sekadar Klausa Kertas

Proyek konstruksi tidak pernah berjalan dalam ruang hampa. Ada kalanya, di tengah perjalanan, ia dihadapkan pada situasi yang tidak terduga, seperti bencana alam atau konflik sosial. Dalam dunia hukum, kondisi ini dikenal dengan istilah Keadaan Kahar atau force majeure, yang merupakan doktrin dari sistem Hukum Sipil.1 Buku ini menjelaskan bahwa suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar jika memenuhi lima karakteristik: tidak terduga, tidak terhindarkan, tidak dapat dikendalikan, menghambat pemenuhan kewajiban, dan di luar tanggung jawab para pihak.1

Pandemi COVID-19 yang terjadi baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah exceptional event bisa menguji ketahanan sebuah kontrak. Sebuah studi yang dipaparkan dalam buku ini mengungkapkan bahwa dampak pandemi sungguh luar biasa. Lebih dari separuh proyek (56,78%) mengalami perlambatan, dan sebagian besar (84,92%) mengalami perubahan besar, baik dalam target, struktur organisasi, maupun budaya kerja.1 Angka-angka ini menunjukkan bahwa Keadaan Kahar bukan sekadar klausa teoretis, melainkan realitas yang dapat menghantam proyek dengan dampak seperti menaikkan biaya dari Rp 20 juta menjadi Rp 70 juta.1

Lebih lanjut, buku ini menyoroti bahwa di Indonesia, Keadaan Kahar tidak hanya terbatas pada bencana alam. Konteks lokal yang unik, seperti keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), juga dapat dikategorikan sebagai peristiwa Keadaan Kahar yang dapat menghambat pelaksanaan proyek.1 Hal ini memberikan sebuah pelajaran penting: klausul-klausul dalam kontrak konstruksi tidak bisa bersifat generik, tetapi harus secara eksplisit memasukkan elemen-elemen risiko yang relevan dengan kondisi geografis dan sosial di Indonesia. Tanpa klausul yang jelas, kontraktor yang proyeknya terhambat karena masalah keamanan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan klaim perpanjangan waktu atau biaya tambahan.1

 

Titik Didih: Meredakan Konflik dan Menyelesaikan Klaim Tanpa Harus ke Meja Hijau

Meski kontrak telah disusun seadil mungkin, konflik tetap akan muncul. Buku ini secara realistis mengakui bahwa setiap kegiatan kontrak konstruksi berpotensi terjadi sengketa.1 Namun, yang menjadi ironi di Indonesia adalah pengajuan klaim konstruksi kerap dianggap tabu, terutama ketika berurusan dengan pihak pemerintah.1 Kontraktor seringkali enggan mengajukan klaim karena takut dicap sebagai rewel atau bahkan khawatir akan masuk daftar hitam.

Padahal, klaim bukanlah sesuatu yang harus dihindari; melainkan sebuah hak kontraktual yang sah. MKK yang baik mengajarkan bahwa manajemen klaim adalah proses yang harus dikuasai, mulai dari identifikasi, notifikasi, dokumentasi, hingga negosiasi.1 Tanpa dokumentasi yang akurat, klaim yang sebetulnya valid dapat dengan mudah ditolak, seperti kasus seorang kontraktor yang ditolak klaimnya karena tidak menyajikan data lengkap saat pemeriksaan prestasi pekerjaan.1

Untuk meredakan titik didih konflik, buku ini menyarankan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai langkah pertama sebelum membawa masalah ke meja hijau. Prosesnya dimulai dari negosiasi langsung, berlanjut ke mediasi, dan kemudian ke ajudikasi. Buku ini memperkenalkan model Dewan Pencegahan dan Ajudikasi Sengketa (DAAB) yang direkomendasikan oleh FIDIC. DAAB adalah dewan yang terdiri dari satu atau tiga ahli yang ditunjuk oleh kedua pihak untuk menengahi dan memutuskan sengketa. Keputusan DAAB bersifat mengikat, cepat, dan tidak menghentikan progres pekerjaan di lapangan.1

Keunggulan ADR dibandingkan litigasi (jalur pengadilan) adalah kecepatannya, biayanya yang lebih efisien, serta kemampuannya untuk menjaga hubungan baik antara para pihak. Ketergantungan pada proses hukum formal seringkali memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang besar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Dengan mempromosikan ADR dan manajemen klaim yang profesional, buku ini tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga mendorong perubahan budaya dari yang konfrontatif menjadi kolaboratif.

 

Sebuah Peta Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Adil dan Akuntabel

Buku "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" bukanlah sekadar kumpulan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teknis. Karya ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan tantangan fundamental yang dihadapi industri konstruksi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa banyak masalah, dari proyek yang mangkrak hingga sengketa di pengadilan, berakar dari satu hal: ketidakmatangan Manajemen Kontrak Konstruksi sebagai sebuah disiplin ilmu dan praktik.

Temuan ini membawa kita pada kesimpulan mendalam. Pertama, ketidakjelasan dalam kontrak dan pemahaman yang tumpang tindih tentang jenis-jenis kontrak bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil dari kurangnya edukasi formal dan standar baku. Kedua, pendekatan auditor yang keliru terhadap kontrak lumpsum menciptakan lingkungan di mana efisiensi dan inovasi dihukum, padahal seharusnya diberi insentif. Ketiga, realitas geografis dan sosial Indonesia menuntut kontrak yang lebih spesifik dan detail, terutama dalam mengelola Keadaan Kahar seperti pandemi atau konflik. Terakhir, budaya yang menganggap klaim sebagai tabu menunjukkan ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap sistem penyelesaian sengketa, mendorong perlunya adopsi mekanisme ADR yang lebih cepat dan efisien.

Secara keseluruhan, jika diterapkan, temuan dari buku ini berpotensi untuk membawa transformasi nyata. Pemahaman yang lebih baik tentang MKK akan menciptakan kontrak yang lebih adil dan transparan. Lingkungan yang menghargai efisiensi akan mendorong inovasi. Dan sistem penyelesaian sengketa yang lebih profesional akan mengurangi biaya hukum yang tidak perlu dan mempercepat penyelesaian proyek. Dalam waktu lima tahun, adopsi prinsip-prinsip ini dapat mengurangi biaya proyek hingga 10-15% dan memangkas waktu penyelesaian yang disebabkan oleh sengketa, mewujudkan mimpi infrastruktur Indonesia yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih akuntabel.

Sumber Artikel:

Hansen, S. 100 Tanya-Jawab P.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Bisnis dan Ekonomi

Penelitian Ini Mengungkapkan Kesenjangan Kompetensi Krusial Lulusan Teknik: Menyingkap Alasan Mengapa Juru Ukur Kuantitas Terus Menjadi Profesi Vital di Era Digital

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025


Dalam lanskap industri konstruksi yang terus berevolusi, peran seorang juru ukur kuantitas (quantity surveyor) telah mengalami transformasi fundamental. Jika di masa lalu mereka dikenal sebagai "penghitung" yang berfokus pada pengukuran dan penaksiran biaya, kini peran mereka telah meluas secara signifikan. Di era modern, mereka tidak hanya mengelola biaya, tetapi juga menjadi konsultan ekonomi bangunan yang esensial, terlibat dalam manajemen keuangan dan kontrak di seluruh tahapan proyek. Pentingnya peran ini semakin terasa di tengah tantangan ekonomi global, di mana margin keuntungan yang tipis menuntut setiap detail biaya dioptimalkan secara maksimal.1

Namun, di balik peran yang krusial ini, muncul tantangan serius terkait kesiapan tenaga kerja di masa depan. Sebuah penelitian mendalam yang diterbitkan dalam jurnal Sustainability pada April 2024, berjudul "Investigating the Gaps between Engineering Graduates and Quantity Surveyors of Construction Enterprises," menyoroti adanya kesenjangan signifikan antara kompetensi yang dimiliki lulusan teknik dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh para juru ukur kuantitas berpengalaman.1 Laporan ini bukan sekadar menyajikan data statistik, melainkan menguak cerita di balik angka-angka tersebut: apa yang mengejutkan para peneliti, siapa yang paling terdampak, dan mengapa temuan ini menjadi panggilan kritis bagi dunia pendidikan dan industri saat ini.

Studi ini dirancang dengan metodologi yang kredibel, melibatkan 262 responden dari dua kelompok berbeda di Tiongkok: 165 juru ukur kuantitas senior yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun, dan 97 lulusan teknik yang baru lulus atau memiliki pengalaman kurang dari dua tahun.1 Melalui tinjauan literatur, wawancara, dan survei kuesioner, para peneliti menganalisis lima dimensi kompetensi utama: kompetensi berkelanjutan (sustainable competency), kompetensi anggaran (budget competency), kompetensi manajemen lapangan (site management competency), etika rekayasa (engineering ethics), dan kompetensi penyelesaian proyek (settlement competency). Hasilnya memberikan gambaran yang jelas mengenai disparitas keahlian yang ada di pasar kerja.1

 

Mengapa Temuan Ini Menjadi Panggilan Kritis bagi Dunia Pendidikan?

Secara keseluruhan, temuan dari penelitian ini menunjukkan kesenjangan yang tidak bisa diabaikan. Rata-rata nilai untuk semua kompetensi pribadi yang diukur, tanpa terkecuali, jauh lebih tinggi pada kelompok juru ukur kuantitas yang berpengalaman dibandingkan dengan lulusan teknik.1 Perbedaan rata-rata totalnya mencapai 6,03%. Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam skala industri konstruksi, di mana setiap persen efisiensi dapat berdampak pada jutaan dolar, perbedaan ini setara dengan kerugian operasional yang substansial. Ini adalah tantangan nyata yang dihadapi oleh perusahaan konstruksi setiap kali mereka merekrut talenta baru yang memerlukan investasi besar untuk pelatihan ulang.1

Hasil ini secara terang-terangan membuktikan bahwa sistem pendidikan tinggi saat ini tidak sepenuhnya selaras dengan dinamika dan kebutuhan riil di lapangan. Kurikulum yang ada seringkali masih berfokus pada teori, kurang memberikan eksposur yang cukup pada praktik dan tantangan yang kompleks di dunia profesional. Fenomena ini menciptakan 'jurang' keahlian yang harus dijembatani oleh para profesional sendiri setelah mereka memasuki dunia kerja.

Di balik kesenjangan kompetensi praktis ini, terdapat satu temuan yang paling menarik dan bahkan berpotensi mengkhawatirkan. Ketika menganalisis dimensi etika rekayasa, para peneliti menemukan sebuah hasil yang kontra-intuitif. Lulusan teknik justru menunjukkan kesadaran dan skor yang lebih tinggi dalam aspek integritas, kepatuhan hukum, dan etika profesional dibandingkan dengan para juru ukur kuantitas yang lebih senior.1 Temuan ini, meskipun perbedaan pada beberapa item tidak signifikan secara statistik, memberikan sinyal yang kuat tentang isu yang jauh lebih kompleks dan akan dikupas lebih dalam di bagian selanjutnya.1

 

Mengupas Kesenjangan Kunci: Cerita di Balik Angka-angka Penelitian

Untuk memahami secara lebih dalam, analisis data per dimensi mengungkapkan empat area kompetensi yang memiliki kesenjangan paling signifikan.1

Kompetensi Anggaran: Titik Kesenjangan Terbesar

Kesenjangan terbesar ditemukan pada dimensi kompetensi anggaran, dengan perbedaan mencapai 7,20%. Dimensi ini mencakup kemampuan esensial seorang juru ukur kuantitas, seperti menyiapkan anggaran konstruksi, meninjau anggaran, membuat dokumen tender, dan menghitung volume pekerjaan (quantity takeoffs).1

Untuk membuat angka ini lebih hidup, bayangkan Anda mengisi daya baterai ponsel. Jika seorang juru ukur kuantitas berpengalaman dapat mengisi baterai hingga 70% dalam satu kali pengisian, seorang lulusan teknik mungkin hanya dapat mengisi hingga 20% dalam waktu yang sama. Kesenjangan ini setara dengan lompatan efisiensi sebesar 43% dari 20% ke 70% dalam satu kali proses. Perbedaan dramatis ini menggarisbawahi kegagalan sistem pendidikan dalam melatih keterampilan inti yang paling dibutuhkan di pasar. Perusahaan-perusahaan konstruksi terpaksa harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk melatih kembali talenta baru agar mereka dapat mencapai tingkat keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan sehari-hari.1

Kompetensi Penyelesaian Proyek: Titik Buta yang Vital

Meskipun kesenjangan pada dimensi kompetensi penyelesaian proyek cukup besar (7,04%), ada satu temuan yang lebih mengejutkan: nilai rata-rata kompetensi ini merupakan yang terendah di antara semua dimensi untuk kedua kelompok responden, baik lulusan maupun juru ukur kuantitas berpengalaman. Ini menunjukkan adanya "titik buta" kolektif dalam profesi ini.1

Laporan ini mengindikasikan bahwa para profesional, baik yang senior maupun yang junior, cenderung meremehkan pentingnya tahap akhir proyek ini. Padahal, paper ini secara eksplisit menjelaskan bahwa kompetensi ini sangat vital untuk mencegah sengketa hukum, melakukan audit, dan memastikan biaya akhir proyek tidak membengkak secara tak terkendali.1 Keterbatasan pemahaman dan minimnya penekanan pada kompetensi ini adalah sebuah peluang yang terlewatkan untuk menambah nilai signifikan pada proyek dan mengamankan profitabilitas. Ini merupakan kritik realistis terhadap persepsi yang masih ada dalam profesi, yang menganggap penyelesaian sebagai pekerjaan "rutin" ketimbang sebagai area strategis untuk optimasi.

Kompetensi Manajemen Lapangan: Bergeser dari Teknisi ke Manajer

Dimensi manajemen lapangan menunjukkan kesenjangan yang juga signifikan (6,67%). Kompetensi ini mencakup kemampuan mengelola perubahan, biaya, dan jadwal di lokasi proyek, serta memproses klaim dan merespons situasi di lapangan.1 Studi ini secara khusus mencatat perbedaan mencolok pada item "kemampuan memproses klaim" (13,45%) dan "kemampuan manajemen perubahan" (11,03%).

Kesenjangan ini adalah bukti nyata pergeseran peran dari juru ukur kuantitas. Mereka tidak lagi hanya bekerja di belakang meja, tetapi harus mampu menjadi manajer teknis yang menguasai dinamika kompleks di lapangan, berinteraksi dengan berbagai pihak, dan mengambil keputusan cepat untuk mengendalikan biaya. Lulusan teknik yang terbiasa dengan lingkungan akademis seringkali tidak siap menghadapi tuntutan manajerial dan real-time ini.1

Kompetensi Berkelanjutan: Soft Skill Era Digital

Kesenjangan pada dimensi kompetensi berkelanjutan (6,33%) menyoroti pentingnya soft skill di era digital. Dimensi ini mencakup kemampuan non-teknis seperti manajemen tim, komunikasi, inovasi, dan pemecahan masalah.1 Meskipun lulusan teknik dikenal memiliki ketangkasan dalam adaptasi teknologi, kesenjangan terbesar dalam dimensi ini justru ada pada item "kompetensi inovasi" dengan perbedaan mencapai 15,19%.

Temuan ini sangatlah penting. Industri konstruksi saat ini giat mengadopsi teknologi digital canggih seperti Building Information Modeling (BIM), Big Data (BD), dan Artificial Intelligence (AI) untuk meningkatkan produktivitas.1 Namun, data ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada ketersediaan teknologi, tetapi pada ketidaksiapan talenta untuk berpikir secara inovatif dan kolaboratif guna memaksimalkan potensi teknologi tersebut. Untuk menjadi juru ukur kuantitas di masa depan, seorang profesional tidak cukup hanya tahu cara mengoperasikan perangkat lunak, tetapi harus mampu menggunakan teknologi tersebut sebagai alat untuk memecahkan masalah yang kompleks dan mendorong efisiensi proyek.1

 

Kritis dan Kontra-Intuitif: Mengapa Lulusan Lebih Beretika?

Temuan bahwa lulusan teknik memiliki skor etika dan kepatuhan hukum yang lebih tinggi dari para juru ukur kuantitas berpengalaman adalah poin yang paling menarik dan kritis dari seluruh laporan ini.1 Mengapa hal ini terjadi? Penelitian menyiratkan adanya korelasi antara penurunan standar etika dan tekanan berlebihan di tempat kerja.1

Di tengah industri yang rawan korupsi, tuntutan untuk mencapai target keuntungan, dan lingkungan yang kompetitif dapat secara bertahap mengikis idealisme yang dimiliki oleh para lulusan yang baru memasuki dunia kerja. Kondisi ini menciptakan dilema moral di mana seorang profesional mungkin dihadapkan pada pilihan sulit antara mematuhi kode etik atau memenuhi ekspektasi manajemen untuk memberikan hasil finansial yang menguntungkan. Temuan ini merupakan cerminan dari masalah sistemik yang mengkhawatirkan dalam budaya industri, di mana tekanan pekerjaan dapat menggerus nilai-nilai integritas dan kejujuran yang vital. Ini adalah kritik realistis terhadap kondisi industri itu sendiri, yang harus mampu menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya menuntut kompetensi, tetapi juga menjunjung tinggi etika dan integritas.1

 

Jalan ke Depan: Kolaborasi Kampus dan Industri sebagai Solusi

Kesenjangan kompetensi yang telah teridentifikasi, baik pada aspek praktis maupun etika, berakar pada model pendidikan tradisional yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan pasar yang terus berubah.1 Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan sebuah solusi transformasional yang berpusat pada kolaborasi erat antara institusi pendidikan dan industri.

Salah satu rekomendasi utama adalah memperkenalkan mekanisme berorientasi pasar dan membangun model bakat teknik yang dinamis melalui kemitraan sekolah-perusahaan.1 Alih-alih hanya mengandalkan pembelajaran di kelas, universitas harus secara aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan konstruksi. Model ini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, seperti mendelegasikan sebagian pekerjaan riil kepada departemen bisnis di kampus, atau mengirim mahasiswa terbaik untuk magang di perusahaan.1

Selain itu, pembelajaran aktif melalui proyek-proyek nyata dan kompetisi profesional sangat ditekankan. Menggunakan proyek rekayasa praktis sebagai media pembelajaran, mahasiswa tidak hanya akan menguasai keterampilan teknis tetapi juga terbiasa dengan dinamika manajemen proyek dan tantangan yang tak terduga di lapangan. Kompetisi profesional, seperti kompetisi biaya konstruksi atau kewirausahaan, juga dapat menanamkan pola pikir bisnis dan mendorong mahasiswa untuk mencari solusi inovatif terhadap masalah industri. Pendekatan ini akan mempercepat adaptasi lulusan, mengurangi masa transisi kerja, dan meningkatkan daya saing mereka secara signifikan.1

 

Penutup: Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang

Secara keseluruhan, penelitian ini secara tegas mengonfirmasi adanya kesenjangan kompetensi yang signifikan antara lulusan teknik dan juru ukur kuantitas berpengalaman, terutama dalam hal keterampilan praktis dan manajerial. Namun, temuan ini juga membuka peluang besar bagi transformasi.

Jika rekomendasi untuk memperkuat kolaborasi antara kampus dan industri diterapkan secara luas, dampaknya akan sangat nyata. Lulusan teknik yang dihasilkan tidak hanya akan memiliki pengetahuan teknis yang mumpuni, tetapi juga keterampilan praktis yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Hal ini berpotensi mengurangi biaya rekrutmen dan pelatihan bagi perusahaan, serta meningkatkan efisiensi operasional proyek. Diperkirakan, jika model ini menjadi cetak biru pendidikan teknik di masa depan, industri konstruksi dapat mengurangi biaya proyek dan mengefisienkan proses hingga 7% dalam waktu lima tahun, sambil menghasilkan talenta yang tidak hanya ahli tetapi juga memiliki integritas tinggi.1

Ini adalah seruan bagi semua pemangku kepentingan—pendidik, pemimpin industri, dan mahasiswa—untuk bekerja sama menciptakan sinergi yang berkelanjutan, di mana pendidikan dan industri tidak lagi berjalan di jalur yang terpisah, melainkan bersatu untuk membangun masa depan konstruksi yang lebih inovatif, efisien, dan berintegritas tinggi.

Sumber Artikel:

Zhang, P., Ma, S. G., Sun, Y., & Zhao, Y. N. (2024). Investigating the gaps between engineering graduates and quantity surveyors of construction enterprises. Sustainability16(7), 2984.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkapkan Kesenjangan Kompetensi Krusial Lulusan Teknik: Menyingkap Alasan Mengapa Juru Ukur Kuantitas Terus Menjadi Profesi Vital di Era Digital

Kebijakan Publik

Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Sertifikat Profesi Seringkali 'Kertas Formalitas' – dan Bagaimana Ini Bisa Mengubah Masa Depan Dunia Kerja Kita

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025


Di Balik Selembar Kertas Sertifikat: Menguak Jati Diri Profesi yang Sesungguhnya

Di tengah pusaran globalisasi dan inovasi yang tak pernah berhenti, kompetensi profesional telah menjadi aset terpenting bagi setiap organisasi dan pendorong utama daya saing. Keberhasilan sebuah perusahaan modern tidak lagi hanya bergantung pada modal atau teknologi, melainkan pada kecakapan dan keandalan individu yang menggerakkan roda bisnis. Namun, ada ironi besar yang tersembunyi di balik sistem yang seharusnya menjamin kualitas ini: seringkali, selembar sertifikat profesi yang diagung-agungkan hanyalah 'kertas formalitas', sebuah dokumen yang tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan sesungguhnya seseorang di lapangan.

Penelitian ini berangkat dari sebuah kegelisahan yang sama-sama dirasakan oleh banyak pihak. Para institusi yang bertugas menilai kompetensi mulai menyadari bahwa metode penilaian yang ada saat ini tidak sepenuhnya memenuhi harapan para pemangku kepentingan, terutama dalam hal kemampuan seorang profesional untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperolehnya dalam situasi kerja nyata.1 Kesenjangan ini bukan sekadar masalah teknis atau administratif, melainkan sebuah isu krusial yang berdampak langsung pada efisiensi organisasi, inovasi, dan, yang paling penting, pencegahan biaya besar akibat tata kelola yang tidak efektif.1

Atas dasar itulah, sebuah penelitian sistematis yang dilakukan oleh para ahli di Latvia bertujuan untuk menggali lebih dalam akar permasalahan ini. Tujuan utamanya adalah untuk menganalisis secara menyeluruh aspek-aspek penilaian kompetensi yang terkait dengan sertifikasi profesi dan, dari temuan tersebut, mengembangkan sebuah pendekatan berkelanjutan baru yang dapat menjamin kualitas dan keandalan proses sertifikasi di masa depan.1

 

Saat Data Berbicara: Kesenjangan Antara Persepsi dan Realitas

Mengapa Sertifikasi Penting? Sebuah Analisis Mendalam

Dalam upaya memahami makna sertifikasi profesi secara akademis, para peneliti melakukan analisis konten kualitatif terhadap 25 makalah ilmiah terkait. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam literatur, makna sertifikasi yang paling dominan adalah "konfirmasi kompetensi profesional", yang muncul sebanyak 26% dari total referensi, diikuti oleh "kepatuhan terhadap persyaratan profesional" dengan frekuensi 22%.1 Data ini memperkuat ideal bahwa sertifikasi seharusnya berfungsi sebagai penjamin bahwa seseorang tidak hanya memenuhi standar, tetapi juga memiliki keahlian yang terverifikasi.

Namun, ada sebuah kontradiksi yang mencolok. Makna "attestation of conformity" (verifikasi formal), yang merujuk pada sertifikasi sebagai bukti kepatuhan belaka, hanya muncul sebanyak 7%.1 Lebih mengejutkan lagi, "opportunity for professional improvement" (peluang untuk pengembangan diri) bahkan lebih jarang disinggung, hanya sebesar 5%.1 Perbedaan mencolok antara cita-cita akademis dan realitas di lapangan ini menjadi inti dari permasalahan yang hendak dipecahkan oleh penelitian. Ini menyiratkan bahwa meskipun secara teoretis sertifikasi dipandang sebagai alat untuk mengkonfirmasi kompetensi dan mendorong pengembangan, praktiknya di lapangan seringkali tereduksi menjadi sebuah prosedur formalitas belaka, yang gagal mengeksplorasi potensi dan kualitas profesional yang sesungguhnya.

Menyingkap Elemen-elemen Kompetensi

Lebih jauh, penelitian ini juga menganalisis 41 makalah untuk mengidentifikasi elemen-elemen fundamental yang membentuk konsep kompetensi profesional. Dari analisis tersebut, teridentifikasi sepuluh elemen dasar, dengan tiga di antaranya mendominasi: "Pengetahuan" (23%), "Kemampuan" (23%), dan "Keterampilan" (21%).1 Hal ini menegaskan bahwa kompetensi, dalam pandangan akademis, adalah sebuah konstruksi holistik yang menggabungkan apa yang diketahui seseorang, apa yang bisa ia lakukan, dan bagaimana ia melakukannya.

Namun, ada satu temuan yang menyentil: elemen "Motivasi" dan "Etika" menempati peringkat terendah, masing-masing hanya muncul sebanyak 1%.1 Rendahnya frekuensi ini bukan berarti kedua elemen tersebut tidak penting. Sebaliknya, hal ini menyoroti adanya 'titik buta' dalam sistem penilaian dan literatur yang ada. Elemen-elemen seperti etika dan motivasi, yang sangat krusial dalam dunia kerja, sangat sulit untuk dikuantifikasi dan diukur secara objektif dalam sebuah tes atau prosedur formal. Contohnya, seorang insinyur konstruksi yang lalai karena kurang motivasi atau melakukan korupsi karena tidak beretika, dapat menimbulkan kerugian besar hingga mengancam keselamatan publik.1 Sistem sertifikasi yang hanya berfokus pada Pengetahuan dan Keterampilan, namun mengabaikan elemen-elemen "lunak" yang esensial ini, akan gagal secara fundamental dalam mencegah risiko nyata yang disebabkan oleh individu yang tidak profesional.

 

Ketika Usia Mengubah Perspektif: Kisah di Balik Data Survei

Potret Lapangan: Studi Kasus Spesialis Konstruksi Latvia

Untuk menguji validitas temuannya di lapangan, para peneliti mensurvei 673 spesialis konstruksi bersertifikat di Latvia, dengan mayoritas responden berusia antara 50 hingga 65 tahun (35,1%).1 Hampir delapan dari setiap sepuluh responden (76,7%) memiliki pendidikan tinggi profesional, yang mengindikasikan bahwa penelitian ini tidak berinteraksi dengan para pemula, melainkan dengan pilar-pilar berpengalaman di industri.1

Data lapangan memvalidasi hipotesis awal: proses sertifikasi di Latvia, seperti yang diungkapkan oleh responden, hanyalah sebuah "prosedur penilaian kesesuaian yang bersifat formal".1 Proses ini gagal memastikan kepatuhan terhadap kompetensi profesional yang sesungguhnya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan di lapangan. Temuan ini mengkonfirmasi bahwa kesenjangan antara teori dan praktik, yang ditemukan dalam analisis literatur, benar-benar terjadi di dunia nyata.

Wawasan Kunci yang Mengejutkan: Jurang Generasi dalam Nilai Kompetensi

Namun, cerita paling menarik dari penelitian ini terungkap dari hasil analisis korespondensi, yang menyingkap hubungan erat antara usia, pendidikan, dan jenis kompetensi yang dianggap paling penting.

Bagi spesialis konstruksi yang lebih muda, khususnya mereka yang berusia antara 30 hingga 40 tahun dengan pendidikan tinggi profesional, "pengetahuan teknis" dan "pengalaman" adalah kompetensi yang paling vital.1 Pada tahap awal karier, fokus utama memang pada akumulasi pengetahuan fundamental dan membangun rekam jejak kerja yang kuat, dan sertifikat seringkali menjadi bukti dari penguasaan ini.

Namun, sebuah perbedaan perspektif yang dramatis muncul dari kelompok usia senior. Bagi para profesional yang berusia antara 40 hingga 65 tahun, yang juga memiliki kualifikasi pendidikan tinggi profesional, hal yang paling krusial bukanlah lagi sekadar pengetahuan mentah, melainkan "kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam situasi terkait kegiatan profesional" dan "kemampuan untuk membuat keputusan".1

Temuan ini menunjukkan adanya pergeseran nilai yang signifikan seiring dengan kematangan profesional. Kompetensi yang dianggap penting bergeser dari "apa yang Anda ketahui" menjadi "apa yang bisa Anda lakukan dengan apa yang Anda ketahui." Sistem sertifikasi yang hanya berfokus pada aspek formal—seperti pengetahuan dan pengalaman tertulis—dan gagal mengukur kemampuan praktis ini akan kehilangan relevansinya bagi para profesional paling berpengalaman di industri. Inilah "cerita tersembunyi" di balik data, yang memperlihatkan adanya jurang antara apa yang diukur oleh sistem sertifikasi dan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan.

 

Menuju Era Baru Sertifikasi: Sebuah Pendekatan yang Berkelanjutan

Peta Jalan Menuju Kualitas

Menghadapi tantangan ini, para peneliti mengusulkan sebuah pendekatan berkelanjutan baru untuk proses sertifikasi profesi. Pendekatan ini mengubah sertifikasi dari sekadar prosedur penilaian kepatuhan menjadi sebuah ekosistem manajemen kompetensi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Model ini didasarkan pada kerja sama mutualistik dengan seluruh pemangku kepentingan dan berlandaskan pada prinsip-prinsip manajemen proses tertentu.1

Terdapat empat pilar utama dalam pendekatan ini:

  1. Identifikasi Kebutuhan Pemangku Kepentingan: Sistem tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dibangun berdasarkan masukan dari semua pihak yang terdampak, termasuk konsumen, kontraktor, dan badan sertifikasi, untuk memastikan relevansinya.1
  2. Definisi Kompetensi yang Jelas: Elemen-elemen kompetensi yang dinilai harus diperjelas, tidak hanya berfokus pada pengetahuan, tetapi juga pada kemampuan, keterampilan, dan, secara ideal, elemen lain seperti etika dan sikap.1
  3. Standarisasi Penilaian: Diperlukan alat penilaian yang objektif dan terstandar untuk mengukur kompetensi, bukan hanya pengetahuan. Penilaian harus mencerminkan situasi kerja nyata.1
  4. Pemantauan Berkelanjutan: Sertifikasi tidak berhenti saat sertifikat diberikan. Kompetensi harus terus dipantau dan dikembangkan secara berkelanjutan untuk memastikan relevansinya di tengah perubahan industri.1

 

Mengapa Ini Penting Hari Ini?

Pendekatan ini bukan sekadar inovasi prosedural, melainkan sebuah strategi fundamental untuk mengurangi risiko dan meningkatkan keberlanjutan. Dalam konteks industri konstruksi, misalnya, ketidakmampuan profesional dapat menimbulkan risiko besar terhadap keselamatan publik, lingkungan, dan efisiensi sumber daya.1 Sebuah insinyur yang tidak kompeten dapat menyebabkan kesalahan struktural, pemborosan bahan, atau bahkan kecelakaan fatal.

Dengan mengedepankan pendekatan yang andal dan berfokus pada kompetensi sesungguhnya, sistem sertifikasi dapat berfungsi sebagai mekanisme mitigasi risiko yang proaktif. Pendekatan baru ini memastikan bahwa para pemegang sertifikat adalah individu yang kompeten, bukan hanya yang patuh secara formal. Ini adalah langkah kunci untuk membangun industri yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.

 

Keterbatasan Studi dan Implikasi Lebih Luas

Sebagai sebuah laporan ilmiah, penelitian ini mengakui adanya beberapa batasan logis. Studi empirisnya secara spesifik terfokus pada industri konstruksi di Latvia.1 Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji validitas model yang diusulkan di negara dan industri lain.

Namun, keterbatasan ini justru memberikan kekuatan. Data yang dikumpulkan dari kasus Latvia berfungsi sebagai "cermin" yang relevan bagi banyak industri dan negara lain di seluruh dunia. Masalah yang ditemukan—kesenjangan antara sertifikasi dan kompetensi, pergeseran nilai kompetensi seiring usia, dan kebutuhan untuk pendekatan yang lebih holistik—bukanlah fenomena yang unik di Latvia. Tantangan ini dihadapi oleh setiap sektor, dari IT hingga manajemen, yang berjuang untuk memastikan bahwa tenaga kerjanya tidak hanya memiliki gelar, tetapi juga kemampuan nyata untuk menghasilkan karya berkualitas.

 

Masa Depan Tenaga Kerja: Bukan Sekadar Gelar, Tetapi Kemampuan Nyata

Pada akhirnya, temuan penelitian ini menegaskan bahwa masa depan dunia kerja tidak lagi dapat bergantung pada sertifikasi yang hanya bersifat formal. Sertifikasi di masa depan harus berorientasi pada kompetensi sejati dan dibangun di atas fondasi yang berkelanjutan. Jika diterapkan, pendekatan ini dapat mengubah sertifikasi dari sekadar stempel birokrasi menjadi sebuah ekosistem dinamis yang mendorong pengembangan profesional yang berkelanjutan dan meningkatkan kualitas serta keandalan di setiap sektor. Dampak nyatanya mungkin terlihat dalam waktu lima tahun, dengan berkurangnya biaya akibat kesalahan profesional dan meningkatnya kepercayaan publik terhadap layanan yang diberikan.

Sumber Artikel:

Kavosa, M., Lapina, I., & Kozlovskis, K. (2022). Sustainable approach to certification of persons: Ensuring reliability and quality. Sustainability14(3), 1137

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Sertifikat Profesi Seringkali 'Kertas Formalitas' – dan Bagaimana Ini Bisa Mengubah Masa Depan Dunia Kerja Kita
page 1 of 1.172 Next Last »