Project Management
Dipublikasikan oleh pada 15 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian Mahmoud et al. (2020) berangkat dari persoalan mendasar bahwa industri konstruksi, khususnya di sektor pengembangan bangunan, masih menghadapi tingkat kecelakaan kerja yang tinggi meskipun berbagai kebijakan keselamatan telah diperkenalkan. Makalah ini berupaya menjawab pertanyaan bagaimana indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPIs) dapat digunakan secara efektif untuk menilai sekaligus meningkatkan performa keselamatan para pengembang bangunan.
Secara metodologis, penelitian ini memanfaatkan survei kuesioner yang melibatkan sejumlah besar responden profesional konstruksi. Data dianalisis menggunakan Relative Importance Index (RII) untuk menentukan prioritas dan tingkat kepentingan masing-masing indikator. Temuan kunci menunjukkan bahwa terdapat 15 KPI utama yang secara signifikan mencerminkan dan memengaruhi kinerja keselamatan pengembang bangunan.
Secara kuantitatif, hasil analisis memperlihatkan beberapa indikator yang sangat menonjol:
- Penyediaan perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) memiliki nilai RII hampir sempurna (RII = 0,98).
- Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan pemerintah memperoleh nilai RII = 1,00.
- Komitmen manajemen terhadap keselamatan juga mencatat nilai tinggi (RII = 0,97).
Selain itu, indikator lain seperti pelatihan rutin keselamatan, pelaporan kecelakaan, serta audit keselamatan internal, seluruhnya berada pada rentang RII tinggi (0,85–0,95).
Kontribusi utama makalah ini adalah menyusun kerangka KPI yang terstruktur untuk industri konstruksi, dengan fokus pada pengembang bangunan. Artikel ini mengisi celah dalam literatur dengan menghadirkan instrumen pengukuran yang dapat digunakan secara praktis oleh manajer proyek, kontraktor, maupun pembuat kebijakan.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Walaupun menawarkan kontribusi penting, penelitian ini tetap memiliki sejumlah keterbatasan yang membuka ruang bagi riset lanjutan.
Pertama, dari sisi metodologi, penelitian ini hanya menggunakan questionnaire survey dengan analisis RII. Meskipun RII efektif untuk memberikan gambaran prioritas, metode ini cenderung deskriptif dan belum mampu menangkap hubungan kausalitas antar variabel.
Kedua, keterbatasan muncul pada konteks geografis penelitian. Studi ini difokuskan pada sektor konstruksi dengan representasi responden tertentu, sehingga hasilnya mungkin tidak sepenuhnya dapat digeneralisasikan.
Ketiga, penelitian ini menitikberatkan pada perspektif manajemen dan pengembang, sementara suara pekerja lapangan kurang dieksplorasi.
Keempat, penelitian ini mengasumsikan bahwa semua KPI memiliki bobot kepentingan yang relatif stabil, padahal dinamika proyek dapat memengaruhi relevansi KPI.
Terakhir, belum adanya model integratif yang menghubungkan KPI dengan indikator performa organisasi lainnya (biaya, waktu, mutu) meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana keseimbangan antara keselamatan dan target bisnis dikelola.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
1. Pengembangan Model Kuantitatif untuk Menguji Kausalitas Antar-KPI
Penelitian lanjutan dapat menggunakan metode structural equation modeling (SEM) untuk menguji model kausal antara KPI utama dan outcome keselamatan nyata.
2. Studi Longitudinal tentang Dinamika Relevansi KPI di Berbagai Fase Proyek
Peneliti dapat melacak proyek konstruksi dari tahap awal hingga akhir, lalu mengukur perubahan tingkat kepentingan KPI di tiap fase.
3. Integrasi Perspektif Pekerja Lapangan dalam Validasi KPI
Riset lanjutan perlu mengintegrasikan suara pekerja lapangan dengan pendekatan mixed-method, untuk membandingkan hasil antara manajemen dan pekerja.
4. Perbandingan Lintas Sektor Konstruksi dan Lintas Negara
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan di sektor lain dan berbagai negara dengan regulasi berbeda.
5. Pengembangan Model Integratif antara KPI Keselamatan dan Kinerja Proyek
Penelitian lanjutan dapat membangun balanced scorecard khusus konstruksi yang memasukkan keselamatan sebagai salah satu pilar utama.
Penutup Kolaboratif
Secara keseluruhan, penelitian Mahmoud et al. (2020) memberikan kontribusi signifikan dalam memformulasikan KPI yang relevan dan terukur untuk meningkatkan kinerja keselamatan pengembang bangunan. Namun, keterbatasan metodologis, kontekstual, dan perspektif aktor menunjukkan perlunya riset lanjutan yang lebih mendalam, lintas konteks, dan integratif. Arah riset ke depan harus melibatkan kolaborasi multi-pihak agar hasil penelitian tidak hanya berhenti pada ranah akademik, tetapi juga terimplementasi dalam praktik industri. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti universitas teknik terkemuka, asosiasi kontraktor nasional, dan lembaga pengawas keselamatan kerja untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Baca Selengkapnya disini: https://www.jiem.org/index.php/jiem/article/view/3099
Pendidikan Teknik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025
Mengapa Isu Ini Penting untuk Kebijakan
Profesionalisme dalam bidang teknik adalah kunci untuk menjaga keselamatan publik, integritas industri, dan kepercayaan masyarakat. Aturan umum yang ditetapkan oleh Department of Licensing and Regulatory Affairs (LARA) di Michigan menggarisbawahi hal ini melalui regulasi ketat terhadap lisensi, relisensi, pendidikan berkelanjutan, serta kode etik insinyur profesional.
Peraturan semacam ini relevan secara global, termasuk di Indonesia, karena menyajikan contoh bagaimana standar internasional dapat diterapkan untuk memastikan bahwa insinyur tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial. Inisiatif serupa tentang peningkatan kompetensi dapat ditemukan dalam artikel DiklatKerja tentang Training Dasar K3 Pertambangan, yang menekankan pentingnya profesionalitas dan tanggung jawab publik dalam industri berisiko tinggi.
Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Aturan ini memberikan dampak positif yang besar. Pertama, adanya lisensi memastikan hanya individu yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang dapat menggunakan gelar insinyur profesional. Kedua, kewajiban pendidikan berkelanjutan (minimum 30 jam setiap periode) menjamin insinyur tetap mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan regulasi. Ketiga, pengaturan terkait kode etik memperkuat perlindungan terhadap masyarakat dari praktik curang atau tidak etis.
Namun, hambatan juga muncul. Sistem lisensi dan continuing education membutuhkan biaya dan akses sumber daya yang tidak merata. Di negara berkembang, seperti Indonesia, hambatan serupa dapat menyebabkan kesenjangan antara insinyur yang bekerja di kota besar dan mereka yang berada di daerah terpencil. Meskipun begitu, peluang reformasi terbuka luas. Penguatan sistem lisensi, integrasi kursus daring, serta pengawasan ketat atas penerapan kode etik bisa diadopsi untuk memperkuat regulasi nasional.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Pertama, Indonesia perlu merumuskan aturan nasional yang mewajibkan lisensi bagi insinyur profesional dengan standar evaluasi kredensial yang transparan dan selaras dengan praktik internasional.
Kedua, continuing education wajib dilembagakan, minimal dengan jumlah jam tertentu per periode, yang dapat dipenuhi melalui kursus online, seminar, publikasi, maupun praktik profesional.
Ketiga, regulasi mengenai kode etik perlu diperkuat dengan penegakan hukum yang jelas, termasuk sanksi administratif maupun pencabutan lisensi bagi pelanggar.
Keempat, pemerintah perlu memberikan insentif agar asosiasi profesi menyediakan program pendidikan berkelanjutan yang mudah diakses, termasuk bagi insinyur di daerah terpencil.
Kelima, sistem pengawasan independen harus dibangun agar lisensi dan stempel profesional benar-benar menjadi simbol kompetensi, bukan sekadar formalitas administratif.
Kritik dan Potensi Kegagalan
Kebijakan seperti ini berisiko gagal jika tidak disertai pengawasan independen yang kuat. Jika continuing education hanya menjadi formalitas administratif, maka tujuan peningkatan kompetensi tidak akan tercapai. Selain itu, jika lisensi bisa diperoleh dengan jalur pintas atau melalui praktik kolusi, sistem akan kehilangan kredibilitasnya. Perlu keseimbangan antara regulasi yang ketat dengan akses yang inklusif agar kebijakan tidak diskriminatif terhadap insinyur di wilayah dengan akses terbatas.
Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan
Aturan umum insinyur profesional dari LARA memberikan contoh penting bagaimana kebijakan dapat memperkuat profesionalisme teknik melalui lisensi, pendidikan berkelanjutan, dan kode etik. Indonesia dapat mengambil inspirasi dari model ini dengan mengadopsi sistem lisensi nasional, continuing education wajib, dan penegakan kode etik yang kuat. Peta jalan kebijakan ke depan harus mencakup regulasi yang tegas, pengawasan independen, serta akses inklusif agar semua insinyur mampu berkembang sesuai standar global.
Sumber
LARA. (2021). Professional Engineers – General Rules. Department of Licensing and Regulatory Affairs, Michigan, USA.
Sertifikasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025
Mengapa Isu Ini Penting untuk Kebijakan
Standar pelaporan pertambangan internasional seperti JORC Code lahir untuk menjawab kebutuhan transparansi dan akuntabilitas dalam industri yang sarat risiko, terutama terkait eksplorasi, sumber daya, dan cadangan mineral. Di balik angka dan laporan teknis yang dipublikasikan, terdapat sosok kunci: Competent Person (CP), yakni profesional bersertifikasi yang bertanggung jawab atas akurasi data dan interpretasi teknis.
Pentingnya peran CP terletak pada perlindungan publik dan investor. Tanpa mekanisme ini, laporan pertambangan rawan dimanipulasi atau dipublikasikan secara prematur, sehingga dapat menyesatkan pasar. Oleh karena itu, CP bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga instrumen kebijakan publik. Hal ini selaras dengan semangat membangun tata kelola yang bersih sebagaimana banyak dibahas dalam kursus dan artikel di DiklatKerja, misalnya pada Training Dasar K3 Pertambangan yang menekankan integritas, kompetensi, dan standar keselamatan kerja dalam industri tambang.
Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Keberadaan CP menciptakan dampak besar dalam tata kelola industri pertambangan. Pertama, ia memberikan legitimasi publik terhadap laporan hasil eksplorasi. Kedua, CP meningkatkan kepercayaan investor global terhadap perusahaan tambang. Ketiga, CP berfungsi sebagai “filter” profesional yang mengurangi risiko laporan tidak valid.
Namun, hambatan masih banyak dijumpai. Di beberapa negara, jumlah CP yang tersertifikasi terbatas, sehingga menimbulkan ketergantungan pada segelintir individu atau bahkan “rent-seeking” dalam proses penunjukan. Hambatan lainnya adalah ketidaksinkronan regulasi nasional dengan standar global, yang membuat laporan tambang sulit diakui lintas yurisdiksi.
Meski demikian, peluang reformasi terbuka luas. Harmonisasi standar pelaporan global, kerja sama antar asosiasi profesi, serta integrasi CP dalam kerangka hukum nasional dapat menjadi langkah maju. Di Indonesia, misalnya, integrasi standar JORC dengan regulasi nasional bisa disertai skema pendidikan berkelanjutan melalui platform pembelajaran seperti Kategori Pertambangan & Perminyakan di DiklatKerja yang relevan untuk memperkuat profesionalitas SDM pertambangan.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Pertama, pemerintah perlu memasukkan kewajiban CP dalam seluruh regulasi pelaporan publik industri pertambangan. Hal ini akan memastikan bahwa semua laporan teknis yang dipublikasikan sudah diverifikasi oleh profesional independen.
Kedua, dibutuhkan sistem sertifikasi nasional yang diakui secara internasional, sehingga CP asal Indonesia dapat bekerja di tingkat global dan laporan mereka memiliki legitimasi di bursa dunia.
Ketiga, kebijakan harmonisasi dengan standar CRIRSCO perlu diakselerasi agar industri tambang Indonesia lebih kompetitif secara global.
Keempat, program pendidikan berkelanjutan untuk CP harus dilembagakan, termasuk pembaruan kompetensi tentang teknologi eksplorasi, metodologi estimasi, dan tata kelola.
Kelima, pemerintah harus memperkuat mekanisme sanksi bagi CP yang terbukti lalai atau tidak etis, untuk menjaga kredibilitas profesi dan melindungi kepentingan publik.
Kritik dan Potensi Kegagalan
Meski konsep CP menjanjikan, implementasi kebijakan berisiko gagal jika tidak ada pengawasan efektif. CP dapat terjebak dalam konflik kepentingan ketika bekerja langsung di bawah tekanan perusahaan yang membutuhkan hasil tertentu. Tanpa badan independen yang mengawasi, sertifikasi bisa kehilangan makna. Selain itu, jika sertifikasi CP hanya formalitas administratif tanpa pembaruan kompetensi, peran CP akan tereduksi menjadi sekadar tanda tangan di dokumen.
Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan
Reformasi tata kelola pertambangan membutuhkan kerangka yang kuat dan berlapis. CP adalah instrumen penting, tetapi efektivitasnya bergantung pada kebijakan yang mengatur sertifikasi, pendidikan berkelanjutan, harmonisasi standar global, dan mekanisme pengawasan independen. Jika diterapkan dengan konsisten, sistem CP dapat meningkatkan transparansi, memperkuat kepercayaan investor, dan melindungi publik dari risiko laporan pertambangan yang menyesatkan.
Sumber
JORC. (2021). Competent Person – A Baseline Review in a Global Context. Joint Ore Reserves Committee.
Pendidikan Tinggi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025
Mengapa Artikel Ini Penting untuk Kebijakan
Menyoroti bahwa pembentukan kompetensi insinyur tidak hanya dipengaruhi oleh kurikulum formal, melainkan juga oleh pengalaman tak terduga atau accidental competencies. Melalui pendekatan interpretif, penelitian ini menegaskan bahwa kompetensi profesional berkembang dari interaksi sosial, pengalaman proyek, tekanan ujian, hingga dinamika budaya akademik. Fakta ini menantang pandangan tradisional bahwa cukup dengan rancangan kurikulum formal seorang mahasiswa akan keluar sebagai insinyur yang “lengkap.”
Implikasinya bagi kebijakan publik sangat besar: pemerintah, badan akreditasi, dan institusi pendidikan teknik perlu mendesain ulang kebijakan agar mampu mengakui dan mendukung terbentuknya kompetensi yang bersifat sosial, afektif, dan kontekstual. Sebagai gambaran kontekstual, upaya serupa pernah ditunjukkan dalam kebijakan pendidikan tinggi Indonesia yang menekankan penguatan kompetensi non-akademik. Artikel DiklatKerja mengenai Langkah Signifikan UMN Bersama LLDIKTI Wilayah III dalam Menciptakan Lingkungan Akademik yang Aman menunjukkan bagaimana dimensi sosial dan kultural turut diangkat dalam kerangka kebijakan pendidikan tinggi.
Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak penelitian ini adalah kesadaran bahwa insinyur yang sukses tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga tangguh secara emosional, adaptif secara sosial, dan berdaya refleksi. Hambatannya, kurikulum dan sistem evaluasi masih terjebak dalam paradigma teknokratis yang mengukur keberhasilan hanya dari capaian akademik formal. Akibatnya, kompetensi tersembunyi yang terbentuk di luar kelas justru tidak terakomodasi dan berisiko hilang.
Namun, peluang besar terbuka jika kebijakan mengakui pentingnya pengalaman kontekstual. Misalnya, memasukkan proyek lintas disiplin, kegiatan komunitas, atau program mentoring ke dalam standar kurikulum. DiklatKerja melalui artikel Apa itu Insinyur Pertanian dan Mengapa Mereka Penting? memberikan contoh bagaimana pendidikan teknik bisa diperluas dengan perspektif praktis yang sering terabaikan dalam jalur akademik formal.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Pertama, kebijakan nasional harus mengintegrasikan experiential learning ke dalam standar pendidikan teknik. Pemerintah dapat mewajibkan minimal satu semester program berbasis proyek yang terkait langsung dengan komunitas atau industri.
Kedua, skema akreditasi perlu diperbarui dengan indikator “kompetensi reflektif dan sosial.” Hal ini bisa berupa asesmen portofolio, jurnal refleksi, atau rekam pengalaman lintas disiplin.
Ketiga, dukungan kebijakan pendanaan untuk inisiatif mahasiswa dalam organisasi, proyek sosial, atau riset interdisipliner harus diperluas, karena di sanalah banyak accidental competencies terbentuk.
Keempat, institusi perlu diberi insentif untuk memperluas program mentoring dan pembimbingan karier, sehingga mahasiswa mendapatkan akses ke pembelajaran yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga pengembangan diri.
Kelima, regulasi kerja sama kampus–industri harus memasukkan unsur pembinaan kompetensi profesional (misalnya manajemen tim, etika, komunikasi), bukan sekadar keterampilan teknis.
Kebijakan publik yang mendukung lima langkah ini akan memastikan kompetensi insinyur tidak hanya “tersurat” dalam kurikulum, tetapi juga “tersirat” dalam praktik nyata yang lebih kontekstual.
Kritik dan Potensi Kegagalan
Kebijakan yang hanya menambahkan beban administratif tanpa memperbaiki budaya akademik akan gagal. Misalnya, jika portofolio atau jurnal refleksi hanya dijadikan syarat administratif tanpa ruang umpan balik yang serius, maka tujuan pengembangan kompetensi sosial akan hilang. Demikian pula, jika skema kerja sama industri hanya formalitas untuk memenuhi standar akreditasi, peluang pembentukan kompetensi profesional nyata akan terabaikan. Risiko lainnya adalah ketimpangan antar institusi: universitas besar mungkin mampu menyediakan program mentoring atau proyek komunitas, tetapi politeknik kecil bisa kesulitan tanpa dukungan dana tambahan.
Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan
Menegaskan bahwa kompetensi insinyur sejati terbentuk dari kombinasi kurikulum formal dan pengalaman kontekstual yang tidak selalu dirancang. Kebijakan publik harus mampu menjembatani keduanya dengan kerangka yang inklusif, terukur, dan berorientasi jangka panjang. Dengan mengintegrasikan experiential learning, memperbarui sistem akreditasi, memberikan insentif pada aktivitas ekstra-kurikuler bermakna, serta memperkuat kerja sama kampus–industri, pemerintah dapat memastikan bahwa insinyur Indonesia siap menghadapi tantangan teknis sekaligus sosial.
Sumber
Walther, J., Kellam, N., Sochacka, N., & Radcliffe, D. (2011). Engineering Competence? An Interpretive Investigation of Engineering Students’ Professional Formation. Journal of Engineering Education, 100(4), 703–740. https://doi.org/10.1002/j.2168-9830.2011.tb00033.x
Pendidikan Tinggi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025
Pendahuluan
Menyajikan kompendium internasional tentang perkembangan, arah, dan tantangan riset pendidikan teknik. Buku ini mengumpulkan perspektif teoretis dan praktis dari lebih dari 100 penulis lintas negara dan disiplin, mengangkat tema yang sangat relevan bagi perumusan kebijakan: kebutuhan mendesak untuk memasukkan aspek sosial, etika, keadilan, dan teknologi pembelajaran ke dalam kurikulum teknik; pentingnya merit-based but contextualized assessment; serta urgensi memperluas akses dan keberagaman melalui pendekatan yang sistemik. Bagi pembuat kebijakan, IHEER bukan sekadar tinjauan akademik — ia adalah peta jalan yang menunjukkan titik intervensi kebijakan mulai dari pendidikan dasar sampai profesional, dan menegaskan bahwa perubahan budaya institusional dan praktik pengajaran adalah pra-syarat keberhasilan transformasi sektor teknik.
Isi Inti dan Implikasi Kebijakan
Menyorot bahwa perubahan yang dibutuhkan dalam pendidikan teknik bersifat multi-lapis: di tingkat kurikulum, diperlukan integrasi etika, keadilan sosial, dan keterampilan non-teknis ke dalam pembelajaran teknis; di tingkat pengajaran, kapasitas dosen dan metode pembelajaran (mis. PBL, kolaborasi interdisipliner, pembelajaran daring dan lab virtual) harus disesuaikan untuk menghasilkan “whole engineer”; di tingkat sistem, akreditasi, insentif dana riset, dan mekanisme pengukuran kompetensi perlu dirancang ulang agar menghargai kompetensi sosial dan profesional, bukan hanya output teknis kuantitatif. Buku ini juga menekankan dimensi global: kebijakan lokal harus mempertimbangkan konteks budaya dan institusional negara masing-masing, sambil belajar dari praktik terbaik internasional. Untuk negara seperti Indonesia, implikasinya mencakup perancangan kurikulum yang memadukan konteks lokal (mis. keberlanjutan, keselamatan bangunan, etika publik) dengan standar internasional, serta memperkuat kapasitas pengajar melalui pelatihan berkelanjutan yang dapat dipasangkan dengan platform pelatihan online bermutu seperti yang disediakan oleh penyelenggara kursus profesional; contohnya halaman kursus-online DiklatKerja yang dapat difungsikan sebagai mitra pelatihan berkelanjutan bagi tenaga pendidik dan praktisi teknis.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang Kebijakan
Dampak kebijakan yang direorientasikan pada pendidikan teknik berakar pada dua hasil pokok: pertama, peningkatan relevansi kompetensi insinyur terhadap tantangan sosial-ekologis sehingga output pendidikan lebih berguna untuk pembangunan; kedua, peningkatan inklusivitas yang menurunkan hambatan masuk dan bertahan bagi kelompok kurang terwakili. Hambatan utama dalam implementasi kebijakan tersebut ada pada kapasitas institusi — mulai dari dosen yang belum familiar pedagogi baru hingga birokrasi institusi dan model pendanaan yang melihat pendidikan tinggi sebagai komoditas. Namun peluang besar terbuka jika pemerintah dan badan akreditasi bekerja sama: pemerintah dapat menyusun kebijakan insentif (hibah kurikulum, dukungan pelatihan dosen), sementara asosiasi profesi dan penyedia pelatihan lokal seperti DiklatKerja dapat menjadi kanal untuk program short-course yang mengisi gap kompetensi praktis, misalnya modul etika profesi teknik atau modul inklusivitas budaya kerja yang bisa langsung diterapkan di industri. (contoh sumber mitra pelatihan: topik pendidikan & lingkungan akademik yang aman).
Lima Rekomendasi Kebijakan Publik (naratif lengkap dengan mekanisme pelaksanaan)
Berdasarkan sintesis, lima arah kebijakan berikut layak diprioritaskan. Pertama, penyusunan kebijakan kurikulum nasional yang mengintegrasikan “socially responsive engineering” (etika, keberlanjutan, dan keadilan) sebagai kompetensi wajib pada semua program sarjana teknik. Mekanismenya dapat berupa revisi standar nasional pendidikan tinggi teknik oleh Kementerian terkait dan LAM/PT, disertai paket pendanaan untuk institusi yang pilot-implementasikan materi baru. Kedua, program nasional pengembangan kapasitas dosen (faculty development) yang menitikberatkan pedagogi aktif, asesmen autentik, dan literasi digital pembelajaran (mis. lab virtual dan XR). Program ini harus menawarkan sertifikasi kompetensi pengajaran yang diakui oleh badan akreditasi; pelaksanaannya dapat bermitra dengan platform pelatihan profesional (mis. DiklatKerja) untuk menyediakan modul modular dan blended learning. Ketiga, reformasi akreditasi yang memasukkan indikator keberagaman, inklusivitas, dan outcome sosial — bukan hanya rasio lulusan atau perolehan SKS — sebagai bagian dari penilaian mutu prodi teknik; langkah ini mendorong institusi untuk mengejar perubahan struktural ketimbang sekadar memenuhi target administratif. Keempat, inisiatif “work-integrated learning” yang diwajibkan bagi program teknik, termasuk magang terstruktur, co-op, dan proyek berbasis komunitas, sehingga transfer pengetahuan antara industri, masyarakat, dan perguruan tinggi menjadi resmi dan diukur; skema insentif fiskal untuk mitra industri dapat mempercepat partisipasi sektor swasta. Kelima, kebijakan dukungan akses dan retensi bagi kelompok kurang terwakili—mis. beasiswa target perempuan dan program mentoring nasional—yang digabungkan dengan monitoring longitudinal untuk mengukur dampak retensi dan karier. Untuk memaksimalkan implementasi, rekomendasi kebijakan di atas harus dilengkapi pedoman monitoring, target kuantitatif jangka menengah, dan mekanisme pertanggungjawaban publik.
Kritik Potensial dan Risiko Kegagalan Kebijakan
Mengingatkan bahwa transformasi sistemik mudah menjadi agenda formalitas jika tidak disertai perubahan kapasitas dan insentif yang layak. Kebijakan kurikulum yang dipaksakan tanpa dukungan pelatihan dosen yang memadai kemungkinan hanya menghasilkan materi “kosmetik” yang tidak mengubah praktik belajar-mengajar. Demikian pula, memasukkan indikator sosial ke akreditasi tanpa metodologi evaluasi yang valid dapat memicu manipulasi data. Risiko lainnya adalah fragmentasi: kebijakan yang berjalan parsial di beberapa universitas besar tetapi tidak menyentuh institusi vokasi atau politeknik akan memperlebar kesenjangan. Oleh karena itu, mitigasi mesti melibatkan paket kebijakan terpadu yang mengkombinasikan regulasi, pendanaan, kapasitas, dan kolaborasi multi-aktor.
Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan
IHEER menggarisbawahi bahwa masa depan pendidikan teknik menuntut paradigma yang lebih luas dari sekadar transmisi pengetahuan teknis: pendidik, institusi, dan pembuat kebijakan perlu membentuk ekosistem di mana kompetensi teknis, etika, inklusivitas, dan kemampuan sosial terukur secara setara. Peta jalan kebijakan harus memadukan revisi kurikulum nasional, program pengembangan dosen berskala nasional, reformasi akreditasi, penguatan kerjasama kampus–industri melalui work-integrated learning, serta dukungan retensi kelompok kurang terwakili. Implementasi terkoordinasi antara Kementerian Pendidikan, Kementerian/instansi pengatur profesi, badan akreditasi, asosiasi profesi, dan penyedia pelatihan profesional akan menjadi kunci keberhasilan jangka panjang.
Sumber
Johri, A. (Ed.). (2023). International Handbook of Engineering Education Research. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003287483
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025
Pendahuluan – Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Disertasi Ann-Louise Howard (2022), “I Didn’t Know it was a Thing Either: Women Engineers’ Experience of Suffering in the Workplace”, menyingkap realitas pahit yang dialami perempuan insinyur di berbagai konteks kerja. Suffering bukanlah peristiwa tunggal, melainkan akumulasi dari pengalaman diskriminatif, mikroagresi sehari-hari, dan tekanan struktural yang menjadikan profesi teknik terasa asing bagi perempuan. Fenomena ini berdampak pada berkurangnya jumlah perempuan dalam jalur pendidikan dan profesi teknik, yang dikenal sebagai “leaky pipeline.”
Persoalan ini bukan sekadar isu individu, tetapi merupakan masalah kebijakan publik. Kehilangan potensi perempuan dalam dunia teknik berarti kehilangan kontribusi signifikan bagi pembangunan infrastruktur dan industri nasional. Oleh sebab itu, riset Howard harus dipandang sebagai landasan strategis untuk mendorong reformasi kebijakan yang lebih inklusif. Untuk memahami konteks sosial-gender yang lebih luas, pembaca dapat menelusuri artikel Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial (Studi Antargenerasi di dalam Masyarakat Pedesaan Bali) yang membahas perubahan norma gender dari generasi ke generasi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Temuan penelitian menunjukkan bahwa dampak sosial dari suffering sangat besar, terutama pada aspek kesehatan mental, kesejahteraan, dan partisipasi perempuan dalam profesi teknik. Banyak perempuan insinyur yang akhirnya meninggalkan dunia kerja karena merasa terisolasi, mengalami burnout, atau kehilangan motivasi akibat diskriminasi yang berulang. Hal ini memicu kurangnya representasi perempuan dalam jabatan tinggi dan mengurangi hadirnya figur panutan bagi generasi muda.
Hambatan struktural menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ini. Budaya kerja yang didominasi maskulinitas mengukuhkan standar bahwa “engineer sejati adalah laki-laki,” sehingga membuat perempuan sulit diterima setara. Mekanisme pelaporan diskriminasi yang ada seringkali tidak efektif dan justru menghadirkan risiko balasan bagi korban.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar untuk perubahan. Penerapan kebijakan gender mainstreaming dapat menjadi jembatan untuk mengubah budaya organisasi. Integrasi perspektif kesetaraan dalam asosiasi profesi serta penguatan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan menjadi ruang yang bisa dioptimalkan. DiklatKerja, melalui artikel seperti “Langkah Signifikan UMN Bersama Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III dalam Menciptakan Lingkungan Akademik yang Aman di Perguruan Tinggi”, menunjukkan bagaimana pembekalan tentang kesetaraan gender dan pelibatan pelajar dalam peran aktif bisa menjadi contoh nyata perubahan budaya akademik.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Regulasi Anti-Mikroagresi di Dunia Teknik
Howard menekankan bahwa penderitaan perempuan insinyur sering kali terjadi melalui mekanisme mikroagresi, seperti komentar merendahkan atau pengabaian kontribusi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun pedoman nasional anti-mikroagresi yang berlaku bagi seluruh perusahaan teknik. Regulasi ini tidak hanya berbentuk aturan tertulis, tetapi juga diwujudkan melalui pelatihan wajib dan survei evaluasi anonim yang mengukur kondisi nyata di lapangan.
Program Mentoring Nasional bagi Perempuan Engineer
Riset menunjukkan bahwa banyak perempuan insinyur merasa berjuang sendirian tanpa dukungan profesional yang memadai. Kebijakan yang dapat ditempuh adalah membentuk program mentoring nasional yang menghubungkan perempuan muda dengan insinyur senior. Kolaborasi dengan universitas dan asosiasi profesi akan memperkuat keberlanjutan program ini. Sebagai pembanding dan inspirasi, artikel Apa itu Insinyur Pertanian dan Mengapa Mereka Penting? menyinggung bahwa masih ada ruang untuk pertumbuhan karier perempuan teknik, yang bisa didorong lewat dukungan akademik dan pelatihan .
Audit Budaya Organisasi
Budaya kerja yang eksklusif telah lama menjadi hambatan. Oleh karena itu, kebijakan audit budaya organisasi perlu diterapkan. Audit ini bersifat independen, dilakukan secara berkala, dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka. Melalui audit, perusahaan akan diminta untuk mempertanggungjawabkan kondisi internal terkait representasi gender, pengalaman diskriminasi, hingga akses promosi. Transparansi menjadi kunci agar publik dapat menilai keseriusan organisasi dalam mewujudkan tempat kerja inklusif.
Skema Dukungan Psikososial di Industri Teknik
Penderitaan yang dialami perempuan insinyur tidak hanya berwujud diskriminasi, tetapi juga berdampak pada kondisi psikologis. Untuk itu, kebijakan publik harus mendorong setiap perusahaan menyediakan layanan konseling internal atau bekerja sama dengan penyedia layanan eksternal. Pemerintah dapat memberikan insentif, misalnya pengurangan pajak, bagi perusahaan yang memenuhi standar “Tempat Kerja Inklusif.” Dengan begitu, kesehatan mental pekerja teknik dapat lebih terjamin.
Reformasi Pendidikan Teknik untuk Kesetaraan Gender
Howard juga menekankan bahwa budaya maskulin terbentuk sejak di bangku kuliah. Oleh karena itu, kurikulum teknik harus direformasi agar memuat modul mengenai gender, etika, dan profesi. Universitas tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk kesadaran tentang kesetaraan. Kolaborasi dengan platform pembelajaran seperti DiklatKerja dapat memperluas akses mahasiswa terhadap materi inklusif yang relevan.
Kritik dan Potensi Kegagalan
Kebijakan yang hanya bersifat simbolik tanpa mekanisme implementasi nyata akan gagal mencapai tujuan. Misalnya, pelatihan anti-diskriminasi yang sekadar formalitas tanpa evaluasi mendalam hanya akan menjadi seremonial. Program mentoring yang tidak didukung dengan pendanaan berkelanjutan berisiko berhenti di tengah jalan. Audit organisasi yang bersifat tertutup juga akan kehilangan nilai transparansi. Tanpa indikator yang jelas dan terukur, seperti persentase perempuan insinyur yang bertahan dalam profesi setelah lima tahun, sulit mengukur apakah kebijakan benar-benar berhasil.
Kesimpulan: Peta Jalan Kebijakan
Riset Ann-Louise Howard menegaskan bahwa penderitaan perempuan insinyur adalah masalah struktural yang membutuhkan intervensi kebijakan. Pemerintah harus mampu mengubah hasil riset ini menjadi peta jalan nasional, sementara asosiasi profesi wajib mengintegrasikan temuan ke dalam kode etik dan standar sertifikasi. Pendidikan tinggi juga harus mengambil peran utama dalam membentuk budaya teknik yang lebih inklusif. Dengan langkah-langkah kebijakan ini dijalankan — regulasi anti-mikroagresi; program mentoring; audit budaya organisasi; dukungan psikososial; dan reformasi pendidikan teknik — profesi teknik akan menjadi ruang yang lebih adil, produktif, dan berkelanjutan.
Sumber
Howard, A. L. (2022). I Didn’t Know it was a Thing Either: Women Engineers’ Experience of Suffering in the Workplace. Doctoral Dissertation, The University of Waikato. https://hdl.handle.net/10289/15032