Inovasi Teknologi

Inovasi Penelitian Ini Menguak Rahasia di Balik dan Inilah Dampak Nyatanya bagi Dunia!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025


Bayangkan sebuah dunia di mana ilmu pengetahuan tidak lagi hanya mengendap di ruang kelas atau laboratorium, tetapi benar-benar hadir untuk menjawab tantangan paling mendesak di sekitar kita. Penelitian yang menjadi fokus kali ini hadir dari dorongan yang sama: bagaimana menjembatani teori dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa studi ini berangkat dari keresahan, sebuah kesadaran bahwa persoalan yang kita hadapi saat ini menuntut solusi baru yang lebih konkret, aplikatif, dan berani.

Selama puluhan tahun, wacana penelitian seringkali dianggap “terlalu akademis”—terlalu jauh dari dunia nyata. Banyak laporan berakhir hanya di perpustakaan universitas, tidak sempat menyentuh tangan pengambil keputusan, apalagi masyarakat luas. Hal inilah yang coba dibongkar oleh penelitian terbaru ini. Alih-alih berhenti pada tataran teori, para peneliti mencoba meramu pengetahuan menjadi sebuah panduan, alat, dan strategi nyata yang bisa diakses, dipakai, dan diuji secara langsung.

Latar belakang penelitian ini juga sangat relevan dengan konteks zaman. Kita hidup di era yang penuh ketidakpastian—mulai dari krisis iklim, ketimpangan sosial, hingga gejolak ekonomi global. Semua itu menuntut pemikiran ulang terhadap cara kita membangun sistem, mengatur sumber daya, dan mengambil keputusan. Penelitian ini, dengan segala inovasinya, memberikan tawaran solusi yang berpijak pada data, tetapi juga berbicara dengan bahasa yang dimengerti praktisi.

Yang menarik, penelitian ini tidak berhenti pada pencarian jawaban “apa” dan “mengapa”, tetapi melangkah lebih jauh ke ranah “bagaimana”. Bagaimana pengetahuan bisa dikemas ulang agar tidak lagi eksklusif untuk kalangan akademik? Bagaimana temuan bisa diuji bersama para pelaku lapangan, sehingga hasilnya benar-benar teruji, bisa diadaptasi, dan diterapkan dalam skala lebih luas? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci dalam memahami semangat riset yang tengah dibahas.

Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa penelitian ini sebenarnya tidak hanya bicara soal teknis, data, atau metode ilmiah. Ia mengandung pesan yang lebih besar: bahwa ilmu harus kembali ke masyarakat. Bahwa riset hanya akan bermakna bila mampu menjawab persoalan nyata, bukan sekadar memperkaya diskursus akademik. Pesan inilah yang membuat studi ini terasa segar, kontekstual, sekaligus penting.

Fokus penelitian tidak berhenti pada pencarian masalah, tetapi juga uji solusi. Peneliti mencoba menyusun toolkit atau panduan yang bisa dipakai praktisi. Isinya bukan teori rumit, melainkan langkah-langkah praktis, contoh kasus, dan model yang bisa dijadikan referensi. Toolkit ini lalu diuji di hadapan pengguna, direvisi sesuai masukan, lalu diuji kembali. Siklus berulang inilah yang membuat hasil penelitian lebih membumi.

Singkatnya, dengan latar belakang tersebut, penelitian ini mengajukan model baru: riset yang tidak berhenti pada publikasi jurnal, tetapi menjelma menjadi “produk pengetahuan” yang bisa diakses dan dipakai. Artikel ini akan mengupas bagaimana penelitian dalam dokumen ini dirancang, apa temuan utamanya, mengapa hal itu penting untuk dunia saat ini, serta sejauh mana dampaknya bisa mengubah praktik nyata di masa depan. Semua akan disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami, agar esensi besar dari riset ini bisa sampai ke pembaca awam sekalipun.

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia

Pertanyaan besar yang harus kita jawab adalah: mengapa penelitian ini penting hari ini? Jawabannya sederhana: karena ia menyentuh kebutuhan yang nyata di tengah perubahan zaman.

Bayangkan kita sedang menghadapi masalah global yang semakin kompleks—mulai dari krisis energi, perubahan iklim, hingga tantangan urbanisasi. Banyak solusi ditawarkan, tetapi sering terjebak di ruang seminar. Penelitian ini menawarkan jalan lain: bagaimana sebuah ide bisa dijadikan panduan praktis sehingga langsung dapat dipakai. Inilah pergeseran besar yang bisa mengubah dunia: ilmu tidak lagi jauh dari masyarakat, melainkan hadir di ruang kerja para profesional, di meja rapat pengambil keputusan, bahkan di rumah kita sendiri.

Temuan penelitian ini mengungkap bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari teknologi baru yang canggih. Kadang, yang paling dibutuhkan adalah cara baru menyampaikan pengetahuan. Misalnya, banyak arsitek atau kontraktor sebenarnya sudah tahu pentingnya desain berkelanjutan. Namun, tanpa panduan praktis, mereka sulit meyakinkan klien atau mengubah pola kerja. Dengan adanya toolkit yang mudah diakses, hambatan itu bisa diatasi.

Dampaknya jelas terasa di tiga level:

  • Masyarakat umum akan mendapat bangunan, layanan, atau kebijakan yang lebih ramah lingkungan dan efisien.
  • Industri akan terbantu dengan standar praktis yang bisa mempercepat inovasi tanpa mengorbankan biaya berlebihan.
  • Pemerintah akan memiliki basis bukti yang lebih kuat untuk merumuskan regulasi dan insentif.

Yang mengejutkan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa resistensi sering bukan soal teknologi, melainkan soal persepsi risiko dan biaya. Banyak praktisi khawatir mencoba hal baru karena takut salah atau dianggap mahal. Padahal, dengan contoh nyata dan perhitungan siklus hidup yang jelas, solusi inovatif justru bisa lebih menguntungkan dalam jangka panjang.

Dari sini kita bisa melihat bahwa penelitian ini memberi pelajaran penting: untuk mengubah dunia, tidak cukup dengan menciptakan sesuatu yang baru. Yang lebih penting adalah membuat orang percaya bahwa hal baru itu bisa dipakai, aman, dan menguntungkan. Inilah kekuatan penelitian ini, dan mengapa temuan yang tampak sederhana justru bisa berdampak besar di masa depan.

Temuan Utama, Kritik, dan Rekomendasi

Temuan penelitian ini cukup berlapis. Dari sisi konten, toolkit yang dikembangkan terbukti membantu praktisi memahami konsep baru dengan lebih mudah. Para responden mengaku bahwa formatnya familiar, isinya aplikatif, dan contoh kasusnya meyakinkan. Fakta ini menegaskan bahwa bahasa sederhana dan desain praktis sering lebih efektif daripada laporan akademik tebal.

Beberapa fakta menarik yang muncul antara lain:

  • Satu sesi diskusi awal sudah mampu menghasilkan mayoritas tema penting, menandakan konsistensi opini di antara peserta.
  • Hambatan terbesar justru muncul pada tahap implementasi, misalnya soal kontrak, pembiayaan, dan keterampilan teknis.
  • Sebagian peserta menekankan pentingnya value for money agar klien bersedia mencoba solusi baru.

Namun, penelitian ini juga punya keterbatasan. Pertama, lingkup geografisnya masih terbatas. Sebagian besar responden berasal dari satu wilayah, sehingga generalisasi ke tingkat nasional masih harus diuji. Kedua, toolkit belum benar-benar diuji di proyek nyata. Tanpa uji lapangan, risiko kegagalan instalasi atau kesalahan implementasi masih bisa terjadi. Ketiga, aspek ekonomi masih perlu diperdalam. Walau sudah ada pembahasan tentang biaya awal dan biaya operasional, perbandingan kuantitatif yang lebih rinci akan membuat argumen lebih kuat.

Dari kritik ini, lahirlah rekomendasi yang jelas. Penelitian selanjutnya perlu menguji toolkit di beberapa proyek nyata dengan skala dan jenis bangunan berbeda. Selain itu, perlu ada modul bisnis yang menjelaskan kalkulasi biaya siklus hidup, model pembiayaan, hingga potensi insentif pemerintah. Terakhir, dibutuhkan pelatihan lintas-profesi, agar kontraktor, manajer fasilitas, dan regulator juga memahami konsep ini.

Singkatnya, penelitian ini sudah memberi landasan kuat, tetapi masih butuh beberapa langkah lanjutan untuk benar-benar mapan.

Dampak Nyata: Apa Artinya Bagi Kita?

Jika hasil penelitian ini benar-benar diterapkan, kita bisa membayangkan perubahan yang cukup drastis dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Bangunan baru akan lebih efisien, ramah lingkungan, dan fleksibel dalam penggunaan energi. Hal ini berarti tagihan listrik lebih rendah bagi penghuni, beban jaringan listrik berkurang, dan jejak karbon kota bisa ditekan.

Bagi industri, adanya panduan praktis akan mempercepat inovasi. Kontraktor tidak lagi ragu mengambil proyek dengan konsep baru, karena ada standar jelas yang bisa diikuti. Klien juga akan lebih percaya diri berinvestasi, karena bisa melihat perbandingan biaya jangka panjang dengan lebih transparan.

Bagi pemerintah, penelitian ini menawarkan amunisi kuat untuk kebijakan energi dan lingkungan. Dengan bukti yang ada, regulasi baru bisa dibuat, insentif bisa disalurkan lebih tepat, dan target net-zero carbon lebih realistis untuk dicapai.

Namun yang paling penting, dampaknya akan terasa langsung oleh masyarakat luas. Kita akan hidup di lingkungan yang lebih nyaman, dengan bangunan yang bukan hanya berdiri, tetapi juga bekerja untuk kita: menghemat energi, menjaga suhu ruangan, bahkan membantu jaringan listrik nasional. Dalam lima tahun, jika roadmap penelitian ini diikuti, kita bisa melihat penghematan biaya energi yang signifikan sekaligus kontribusi nyata terhadap mitigasi perubahan iklim.

Kesimpulannya, penelitian ini bukan hanya soal teori baru, tetapi soal cara baru memandang ilmu pengetahuan: sebagai alat praktis untuk mengubah dunia nyata. Dan jika diterapkan secara konsisten, manfaatnya bisa kita rasakan lebih cepat dari yang kita kira.

Sumber Artikel:

Albalawi, R. K., Goodrum, P. M., & Taylor, T. R. (2023). Applying the Tier II construction management strategy to measure the competency level among single and multiskilled craft professionals. Buildings13(5), 1175.

Selengkapnya
Inovasi Penelitian Ini Menguak Rahasia di Balik dan Inilah Dampak Nyatanya bagi Dunia!

Konstruksi

Revolusi Konstruksi: Model Pengambilan Keputusan untuk Implementasi AI

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Karya Ahmed Farouk Kineber dkk. yang berjudul, "Revolutionizing Construction: A Cutting-edge Decision-making Model for Artificial Intelligence Implementation in Sustainable Building Projects," menyoroti sebuah paradoks sentral dalam industri arsitektur, rekayasa, konstruksi, dan operasi (AECO). Di satu sisi, sektor ini merupakan pilar fundamental ekonomi global; di sisi lain, ia juga menjadi kontributor signifikan terhadap konsumsi energi dan emisi gas rumah kaca, sambil berjuang melawan stagnasi produktivitas yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Penelitian ini secara tajam mengidentifikasi lambatnya adopsi teknologi baru, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), sebagai salah satu akar masalah, terutama di negara-negara berkembang seperti Nigeria, di mana metode konstruksi tradisional masih mendominasi.  

Kerangka teoretis yang dibangun oleh penulis memposisikan AI bukan sebagai ancaman terhadap tenaga kerja, melainkan sebagai teknologi komplementer yang strategis. AI dipandang mampu mentransformasi industri dengan meningkatkan efisiensi proyek, mengurangi pemborosan, mengoptimalkan alokasi sumber daya, dan secara signifikan meningkatkan standar kesehatan serta keselamatan kerja. Dengan latar belakang ini, studi ini merumuskan dua pertanyaan penelitian yang esensial: (1) Sejauh mana AI dapat membantu sektor konstruksi modern di Nigeria? dan (2) Apa saja kondisi dan pendorong krusial untuk integrasi AI yang efektif di industri konstruksi? Hipotesis utama yang diajukan adalah bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor-faktor pendorong implementasi AI dengan tingkat adopsi AI itu sendiri di dalam industri.  

Metodologi dan Kebaruan

Untuk menguji hipotesisnya, penelitian ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang canggih dan berlapis. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei terstruktur yang disebarkan kepada 150 pemangku kepentingan yang relevan di sektor konstruksi bangunan di Lagos, Nigeria, dengan tingkat respons yang valid mencapai 66,96%. Responden, yang terdiri dari arsitek,  

quantity surveyor, pembangun, dan insinyur, memberikan penilaian mereka terhadap berbagai pendorong dan manfaat adopsi AI menggunakan skala Likert lima poin.  

Analisis data dilakukan dalam dua tahap utama. Pertama, Exploratory Factor Analysis (EFA) digunakan untuk mereduksi sejumlah besar variabel pendorong dan manfaat menjadi beberapa konstruk laten yang lebih ringkas dan bermakna secara teoretis. Kedua, model hubungan antar konstruk ini diuji menggunakan  

Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), sebuah teknik statistik yang kuat untuk menganalisis hubungan sebab-akibat yang kompleks antar variabel, bahkan dengan ukuran sampel yang relatif kecil.  

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan penggunaan metodologi yang canggih. Alih-alih hanya melakukan tinjauan literatur atau analisis regresi sederhana, studi ini membangun dan memvalidasi sebuah model pengambilan keputusan empiris dalam konteks negara berkembang. Dengan demikian, karya ini memberikan sebuah kerangka kerja yang dapat diukur dan direplikasi untuk memahami dinamika adopsi teknologi di lingkungan yang penuh tantangan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang memberikan wawasan mendalam.

Pertama, melalui EFA, 15 variabel pendorong adopsi AI berhasil dikelompokkan menjadi tiga konstruk utama yang secara kolektif menjelaskan 52,86% dari total varians. Ketiga pendorong ini adalah:

  1. Teknologi (Technology): Mencakup aspek-aspek seperti ketersediaan perangkat dan keamanan siber.

  2. Kemajuan (Advancement): Terkait dengan kemajuan pesat teknologi dan investasi dari para pemain besar di industri.

  3. Pengetahuan (Knowledge): Meliputi peran AI dalam mengatasi tantangan informasi dan meningkatkan pengalaman klien.  

Selanjutnya, 16 variabel manfaat adopsi AI juga berhasil dikelompokkan menjadi dua faktor utama yang menjelaskan 50,37% dari total varians: (1) Percepatan Penyelesaian Proyek dan (2) Peningkatan Kesehatan dan Keselamatan.  

Puncak dari temuan ini adalah hasil dari model PLS-SEM, yang secara definitif mengonfirmasi hipotesis penelitian. Ditemukan bahwa ketiga konstruk pendorong (Teknologi, Kemajuan, dan Pengetahuan) secara kolektif memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap implementasi AI di industri konstruksi. Secara deskriptif, penelitian menunjukkan bahwa ketiga pendorong ini berkontribusi sekitar 15% terhadap variasi dalam adopsi AI yang teramati. Di antara ketiganya, faktor "Teknologi" terbukti menjadi komponen dengan pengaruh terbesar. Temuan ini mengontekstualisasikan bahwa, meskipun pengetahuan dan kemajuan industri penting, ketersediaan dan keamanan perangkat teknologi itu sendiri merupakan prasyarat paling fundamental untuk mendorong adopsi AI di lapangan.  

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara jujur mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Ruang lingkup penelitian yang terbatas pada Lagos State, Nigeria, membuat generalisasi temuan ke wilayah lain harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, studi ini tidak memasukkan pengaruh faktor budaya dalam industri konstruksi, yang sering kali menjadi penghalang signifikan terhadap adopsi teknologi baru.  

Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa meskipun model yang diajukan signifikan secara statistik, kemampuannya untuk menjelaskan variasi adopsi AI (R² = 15%) menunjukkan bahwa 85% dari faktor yang mempengaruhi adopsi AI berasal dari variabel lain yang tidak diteliti dalam model ini. Faktor-faktor seperti biaya implementasi, ketersediaan tenaga kerja terampil, resistensi terhadap perubahan, dan kebijakan pemerintah kemungkinan besar memainkan peran yang jauh lebih besar. Dengan demikian, model ini lebih tepat dilihat sebagai langkah awal yang penting, bukan sebagai penjelasan yang komprehensif.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Terlepas dari keterbatasannya, implikasi praktis dari temuan ini sangat luas. Bagi para pembuat kebijakan, penelitian ini memberikan dasar empiris untuk merancang strategi dan insentif yang mendorong adopsi AI yang etis dan efektif. Bagi para insinyur dan pemangku kepentingan proyek, model ini menawarkan wawasan berharga untuk menyusun argumen bisnis yang kuat dalam memanfaatkan potensi AI untuk meningkatkan keberlanjutan, efisiensi, dan keselamatan proyek.  

Penelitian di masa depan harus diarahkan untuk memperluas model ini dengan memasukkan variabel-variabel penghambat (seperti biaya dan resistensi budaya) untuk menciptakan kerangka pengambilan keputusan yang lebih holistik. Melakukan studi komparatif di negara-negara berkembang lainnya juga akan sangat berharga untuk menguji validitas model ini di berbagai konteks. Sebagai refleksi akhir, karya Kineber dkk. ini memberikan kontribusi penting dengan menggeser diskusi tentang AI di bidang konstruksi dari ranah konseptual ke validasi empiris, sebuah langkah yang sangat dibutuhkan untuk mendorong transformasi nyata di salah satu industri terpenting di dunia.

Sumber

Kineber, A. F., Elshaboury, N., Oke, A. E., Aliu, J., Abunada, Z., & Alhusban, M. (2024). Revolutionizing construction: A cutting-edge decision-making model for artificial intelligence implementation in sustainable building projects. Heliyon, 10(2024), e37078. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e37078

Selengkapnya
Revolusi Konstruksi: Model Pengambilan Keputusan untuk Implementasi AI

Teknologi dan Energi Berkelanjutan

Penelitian Ini Mengungkap Cara Bangunan “Aktif” Bisa Mempercepat Target Net-Zero Inggris — Inilah yang Perlu Diketahui Desainer & Pembuat Kebijakan!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025


Bayangkan sebuah kota di mana setiap bangunan tidak lagi sekadar menjadi konsumen listrik, tetapi juga ikut menyetir arah aliran energi: mengisi daya baterai saat matahari bersinar terik, menyuplai kembali energi ke jaringan ketika permintaan memuncak, bahkan mengatur pemakaian sesuai kebutuhan rumah tangga atau kantor secara otomatis. Konsep ini bukan lagi mimpi futuristik dalam film sains, melainkan sebuah gagasan nyata yang kini sedang dikejar di Inggris melalui riset bertajuk Active Building.

Di tengah krisis iklim dan lonjakan harga energi global, gedung menjadi aktor penting yang sering diabaikan. Padahal, data menunjukkan sektor bangunan menyumbang sekitar 40% dari total konsumsi energi dunia. Itu artinya, hampir separuh “tagihan energi global” ada di dinding, atap, dan jendela tempat kita bekerja dan tinggal sehari-hari. Tidak heran, jika strategi menuju net-zero carbon tidak bisa hanya bertumpu pada pembangkit listrik skala besar atau mobil listrik; cara kita membangun rumah, kantor, sekolah, dan rumah sakit akan menentukan arah masa depan energi.

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan besar: bagaimana caranya membuat bangunan tidak hanya hemat energi, tetapi juga “aktif” — ikut mengendalikan pasokan, penyimpanan, dan distribusi listrik? Di sinilah lahir gagasan Active Building Protocol dan Active Building Toolkit, yang dirancang sebagai panduan praktis untuk arsitek dan desainer. Bukan hanya kumpulan teori teknis, toolkit ini hadir sebagai jembatan antara ilmu laboratorium dengan kebutuhan dunia nyata: dokumen yang bisa dibuka arsitek saat mendesain, atau dipakai kontraktor saat menyusun spesifikasi teknis.

Lebih jauh, penelitian ini bukan sekadar eksperimen akademis. Ia membawa pesan praktis: jika arsitek dan insinyur bisa dilibatkan sejak dini dengan bahasa yang mereka pahami — bukan jargon teknis berlapis — maka konsep Active Building bisa menembus batas universitas dan masuk ke proyek komersial. Inilah alasan kenapa tim peneliti memilih uji coba yang tidak biasa: mereka mengadakan focus groups yang diformat seperti sesi pelatihan Continuous Professional Development (CPD). Jadi, selain mendapatkan data, peneliti juga memberikan manfaat langsung: peserta pulang tidak hanya mengisi kuesioner, tapi juga membawa ilmu baru yang bisa mereka gunakan besok di meja kerja.

Pendekatan ini menjawab tantangan klasik dunia konstruksi: inovasi sering berhenti di laboratorium karena bahasa teknis terlalu rumit, biaya dianggap mahal, atau bukti nyata belum cukup. Dengan menempatkan toolkit sebagai titik awal, penelitian ini menyodorkan jalan tengah: “Mari kita mulai dari panduan praktis, tambahkan studi kasus, lalu kembangkan model bisnis, standar, dan sertifikasi.” Perlahan, sebuah roadmap dibentuk — dari 2021 hingga 2050 — dengan ambisi menjadikan Active Building bukan sekadar prototipe, tapi standar baru dalam industri konstruksi Inggris.

Penelitian ini menyajikan sebuah proyek riset untuk membantu industri konstruksi Inggris mengadopsi konsep Active Building (AB). AB bukan sekadar bangunan hemat energi, tetapi bangunan yang aktif dalam menstabilkan jaringan energi dengan cara mengintegrasikan pembangkit terbarukan, penyimpanan energi, sistem kontrol pintar, hingga kendaraan listrik.

Tujuan praktis penelitian adalah menyusun dan menguji AB Protocol serta AB Toolkit (termasuk Active Building Design Guide atau ABDG). Keduanya dirancang sebagai basis pengetahuan dan panduan praktis agar arsitek bisa merancang bangunan beroperasi net-zero. Untuk menguji efektivitasnya, peneliti menggunakan serangkaian focus groups (FG) yang diformat sebagai sesi Continuous Professional Development (CPD), sehingga peserta mendapatkan ilmu sekaligus menjadi sumber data penelitian.

Singkatnya, pendahuluan ini mengajak kita melihat bangunan bukan lagi sebagai beban energi, melainkan sebagai pemain aktif. Dan jika ide ini bisa berjalan, maka kota-kota Inggris — bahkan dunia — mungkin akan menyaksikan revolusi senyap: bangunan yang tidak hanya berdiri, tapi juga bekerja untuk kita dan untuk planet ini.

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Praktik Desain Bangunan?

Kontribusi utama penelitian ini bukan hanya soal teknologi panel surya, baterai, atau sistem pintar, melainkan cara menyampaikan pengetahuan kepada para pelaku proyek. Dengan toolkit yang mudah dipahami, konsep AB dapat diterapkan langsung di proyek nyata.

Dalam konteks global, gedung menyumbang hampir 40% konsumsi energi dunia. Artinya, mengubah cara arsitek merancang bisa memicu efek berantai terhadap keputusan klien, kontraktor, dan bahkan regulator.

Paper ini menyoroti bahwa:

  • AB kini bergerak dari sekadar konsep energy-positive menuju energy-flexibility, yaitu kemampuan bangunan membantu menstabilkan jaringan listrik dan merespons permintaan (demand-response).
  • Tanpa paket pengetahuan yang jelas berupa toolkit, studi kasus, dan panduan, penyebaran AB akan terhambat. Klien akan ragu, kontraktor enggan mengambil risiko, dan pembuat kebijakan tidak memiliki bukti kuat untuk menetapkan standar.

Metode: Bagaimana Data Dikumpulkan, dan Mengapa Relevan

Peneliti menguji draf ABDG melalui pendekatan campuran: focus groups yang dipadukan dengan kuesioner semi-struktur dan skala Likert.

Keunggulan metode ini ada dua:

  1. Memberikan data kualitatif tentang cara arsitek memahami dan menggunakan panduan.
  2. Menyampaikan pengetahuan AB sebagai materi CPD, sehingga peserta mendapat manfaat praktis langsung.

Format FG dirancang sistematis: dimulai dengan presentasi 30 menit, dilanjutkan satu jam untuk meninjau ABDG, lalu diskusi kelompok. Kuesioner terdiri dari 30 pertanyaan (17 skala Likert dan 13 kualitatif).

Pendekatan ini bersifat abduktif — peneliti membangun solusi berupa toolkit dan roadmap, lalu mengujinya secara iteratif berdasarkan masukan pengguna akhir.

Temuan Utama: Apa yang Berhasil dan Apa yang Masih Kurang

Analisis tematik dari FG menghasilkan beberapa temuan kunci:

  • AB Toolkit sudah memenuhi kebutuhan awal. Berisi panduan desain, studi kasus (dua bangunan demonstrator AB), serta format yang akrab bagi arsitek karena menyerupai Approved Documents. Toolkit ini dipandang sebagai pondasi untuk mengembangkan enabler lain seperti pelatihan, model bisnis, standar, dan sertifikasi.
  • Saturasi data tercapai cepat. Dari empat FG yang dilakukan, tema baru hampir tidak muncul lagi setelah pertemuan keempat. Bahkan FG pertama dengan empat peserta sudah menghasilkan 62% tema yang teridentifikasi. Hal ini menunjukkan konsistensi opini di antara arsitek meskipun jumlah sampel relatif kecil.
  • Kendala utama masih berpusat pada isu non-teknis: sistem pengadaan (procurement) yang menekankan biaya awal dibanding nilai jangka panjang; kurangnya modal dan insentif untuk menguji teknologi baru; keterbatasan kapasitas rantai pasok; serta kesenjangan keterampilan, khususnya di bidang konstruksi dan mekanikal-elektrikal. Selain itu, muncul pula isu budaya, persepsi risiko, dan kekhawatiran soal kepemilikan serta privasi data performa bangunan.

Fakta Menarik

  • AB didasarkan pada 6 prinsip utama: pengurangan (melalui efisiensi fabric & sistem), optimasi (pembangkit on-site & penyimpanan), dan kontrol (integrasi EV & manajemen interaksi dengan grid).
  • Toolkit mencakup dua studi kasus nyata: Active Classroom dan Active Office dari proyek demonstrator SPECIFIC.
  • Model FG bersifat ganda: pengumpulan data sekaligus penyebaran ilmu (CPD), sebuah pendekatan metodologis inovatif.
  • Roadmap enabler telah disusun hingga tahun 2050: dimulai dengan Toolkit (2021–2022), kemudian spesifikasi performa, model bisnis, hingga standar dan sertifikasi (2030–2050).

Interpretasi Data yang Lebih Hidup

Penelitian ini menunjukkan bahwa satu FG awal sudah menghasilkan mayoritas tema utama. Ibarat mengisi baterai penelitian hingga 60% dalam sekali pertemuan, dua hingga tiga pertemuan berikutnya melengkapi sisanya hingga penuh. Dengan kata lain, hanya butuh tiga sampai empat sesi untuk menangkap mayoritas gagasan arsitek secara efisien.

Kritik dan Keterbatasan

Meski kontribusinya signifikan, penelitian ini memiliki keterbatasan:

  • Cakupan geografis terbatas. Peserta FG hanya dari Wales, sehingga generalisasi ke seluruh UK masih terbatas. Pandangan kontraktor, developer, regulator nasional, atau manajer fasilitas juga belum banyak terwakili.
  • Toolkit belum diuji di proyek nyata. Uji lapangan langsung masih diperlukan untuk melihat tantangan instalasi, commissioning, dan integrasi di proyek sungguhan.
  • Aspek ekonomi belum mendalam. Peserta menekankan perlunya perbandingan capex vs opex serta bukti value for money. Toolkit sebaiknya dilengkapi kalkulator biaya siklus hidup agar lebih meyakinkan klien.

Rekomendasi Praktis

  • Menguji Toolkit pada 2–4 proyek komersial yang beragam (perumahan, kantor, sekolah) untuk memperkaya studi kasus.
  • Menambahkan modul bisnis: template business case, perhitungan lifecycle, serta opsi pembiayaan dan insentif pemerintah.
  • Membangun pelatihan lintas-profesi (kontraktor, M&E, facility managers) untuk menutup gap keterampilan.
  • Mengembangkan sistem monitoring anonim untuk menjawab isu privasi data sekaligus menyediakan bukti performa yang kredibel.

Dampak Nyata

Jika AB Toolkit dan roadmap ini diterapkan secara bertahap — mulai dari uji coba proyek nyata, perkuatan argumen bisnis, hingga sertifikasi resmi — maka penyebaran strategi bangunan aktif dapat dipercepat.

Dampak realistis yang bisa dicapai:

  • Penurunan biaya operasional energi,
  • Pengurangan beban puncak pada jaringan listrik,
  • Tersedianya bukti kuat untuk memicu insentif dan standar nasional.

Dengan kolaborasi akademisi, developer, dan regulator, manfaat ekonomi dan energi dapat mulai terasa dalam lima tahun pertama implementasi berkelanjutan.

Sumber Artikel:

Clarke, J., Littlewood, J. R., & Karani, G. (2023). Developing tools to enable the UK construction industry to adopt the active building concept for net zero carbon buildings. Buildings13(2), 304.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Cara Bangunan “Aktif” Bisa Mempercepat Target Net-Zero Inggris — Inilah yang Perlu Diketahui Desainer & Pembuat Kebijakan!

Infrastruktur

Analisis Kritis Manajemen Pemeliharaan dan Perawatan di Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, UNJ

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Tulisan karya Fajar Widianto, Lenggogeni, dan Henita Rahmayanti (2020) mengangkat sebuah anomali yang signifikan dalam konteks manajemen aset: degradasi dini pada infrastruktur yang relatif baru. Latar belakang masalah berpusat pada Gedung K. H. Hasjim Asj'arie di Kampus A Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang mulai beroperasi pada Februari 2017. Meskipun usianya baru beberapa tahun, observasi awal menemukan serangkaian kerusakan yang mencakup komponen arsitektural, mekanikal, dan elektrikal. Kerusakan spesifik yang diidentifikasi antara lain plafon yang rusak akibat rembesan air, pompa booster yang tidak berfungsi otomatis, kaca jendela pecah, lampu mati, pintu kamar mandi rusak, hingga panel fasad (Alumunium Composite Panel) yang terlepas.

Kondisi ini menjadi problematis karena bertentangan dengan ekspektasi laik fungsi sebuah bangunan modern. Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas perbandingan antara kondisi faktual (Das Sein) dengan dua kerangka normatif (Das Sollen): (1) Standar Operasional Prosedur (SOP) internal yang dimiliki oleh pihak pengelola, PT. Tondi Gemilang Cahaya Timur (TGCT), dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 24/PRT/M/2008 sebagai standar nasional. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa telah terjadi kesenjangan antara praktik pemeliharaan di lapangan dengan prosedur yang seharusnya, baik menurut standar internal maupun regulasi pemerintah. Dengan demikian, tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi secara sistematis tingkat kesesuaian pelaksanaan pemeliharaan dan perawatan gedung tersebut terhadap kedua kerangka acuan tersebut.

Metodologi dan Kebaruan. Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif asosiatif, sebuah pendekatan yang dirancang untuk menjelaskan dan mengukur kesenjangan antara fakta dan standar ideal. Metodologi ini diperkuat dengan studi literatur dan survei lapangan. Pengumpulan data dilakukan secara triangulasi melalui tiga teknik: (1) Observasi, untuk mengamati secara langsung kondisi fisik bangunan dan kegiatan pemeliharaan; (2) Dokumentasi, untuk merekam bukti visual kerusakan melalui fotografi; dan (3) Wawancara terstruktur, yang dilakukan dengan pihak-pihak kunci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pengelolaan gedung, termasuk Building Manager, teknisi, serta perwakilan dari UNJ.

Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan mendalam pada sebuah studi kasus tunggal. Sementara banyak studi membahas manajemen pemeliharaan secara umum, karya ini memberikan audit mikro yang mendetail terhadap sebuah fasilitas pendidikan tinggi milik negara. Teknik analisis data yang digunakan adalah perbandingan sistematis menggunakan tabel checklist. Peneliti membandingkan SOP milik pengelola dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008, serta membandingkan SOP tersebut dengan implementasi aktual di lapangan. Tingkat kesesuaian kemudian dikuantifikasi dalam bentuk persentase, memberikan sebuah ukuran objektif atas kinerja manajemen pemeliharaan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi. Hasil penelitian menyajikan sebuah gambaran yang kompleks. Di satu sisi, wawancara mengonfirmasi adanya sistem manajemen formal: UNJ memiliki kontrak berdurasi satu tahun dengan PT. TGCT, yang memiliki struktur staf (termasuk Building Manager, teknisi, dan housekeeping), program kerja terjadwal (harian, mingguan, bulanan, tahunan), dan SOP tertulis. Pihak pengelola juga menyatakan mengetahui keberadaan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.

Namun, di sisi lain, data observasi dan dokumentasi menunjukkan kegagalan sistemik. Bukti kerusakan fisik yang terdokumentasi—mulai dari plafon bocor hingga pompa yang harus dioperasikan manual—secara langsung membantah efektivitas sistem yang ada. Temuan kunci dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan berlapis:

  1. Kesenjangan antara SOP dan Regulasi: Ditemukan bahwa SOP yang dimiliki pengelola tidak sepenuhnya sesuai dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.

  2. Kesenjangan antara Praktik dan SOP: Ditemukan pula bahwa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di lapangan tidak sepenuhnya mematuhi SOP internal perusahaan itu sendiri.

Secara interpretatif, pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan disimpulkan "masih sangat minimal" dan hanya mencakup "hal-hal sederhana". Menariknya, pihak manajemen memberikan justifikasi bahwa perbedaan antara SOP mereka dan Permen PU sengaja dilakukan karena regulasi tersebut dianggap "kurang detail", sehingga SOP mereka dimaksudkan untuk "melengkapi". Kontekstualisasi ini sangat penting, karena ia mengubah narasi dari sekadar kelalaian menjadi potensi adanya perbedaan interpretasi standar antara regulator dan operator lapangan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis. Keterbatasan utama yang diakui secara eksplisit oleh penulis adalah pengecualian analisis komponen struktural. Evaluasi struktur tidak dilakukan karena keterbatasan biaya, waktu, dan sifat pengujian yang sebagian besar merusak (destructive), serta tidak tercakup dalam kontrak kerja pengelola. Hal ini menyisakan sebuah area buta yang signifikan dalam penilaian keandalan gedung secara keseluruhan.

Secara kritis, meskipun penelitian ini berhasil mengidentifikasi adanya kesenjangan, analisis mengenai akar penyebabnya (root cause) dapat diperdalam. Paper ini menyimpulkan bahwa pemeliharaan kurang maksimal, namun tidak mengeksplorasi lebih jauh faktor-faktor penyebabnya, seperti apakah keterbatasan anggaran dari pihak UNJ, kurangnya SDM terampil di pihak kontraktor, atau kelemahan dalam klausul kontrak dan mekanisme pengawasan menjadi pemicu utama. Asumsi bahwa SOP pengelola yang "melengkapi" Permen PU adalah sebuah klaim yang perlu diuji secara kritis: apakah ini merupakan bentuk inovasi prosedural yang valid atau sebuah dalih untuk menyederhanakan pekerjaan?

Implikasi Ilmiah di Masa Depan. Temuan dari studi ini memiliki implikasi penting bagi praktik manajemen fasilitas di sektor publik dan arah penelitian di masa depan. Secara praktis, hasil ini memberikan argumen kuat bagi pemilik aset seperti universitas negeri untuk memperketat mekanisme pengawasan terhadap kontraktor pemeliharaan dan memastikan bahwa kontrak kerja secara eksplisit menuntut kepatuhan terhadap standar nasional.

Untuk penelitian selanjutnya, studi ini membuka beberapa jalur. Pertama, penelitian lanjutan dapat berfokus pada analisis biaya-manfaat dari model pemeliharaan yang berbeda (misalnya, in-house vs. outsourced) di lingkungan institusi pendidikan. Kedua, studi longitudinal yang melacak kondisi gedung dan biaya pemeliharaan selama beberapa siklus kontrak akan memberikan data yang lebih kaya tentang efektivitas jangka panjang. Terakhir, penelitian yang secara spesifik menganalisis isi dan kualitas SOP dari berbagai penyedia jasa pemeliharaan dapat menghasilkan wawasan tentang bagaimana standar nasional diterjemahkan—atau salah diterjemahkan—ke dalam praktik operasional. Sebagai refleksi akhir, karya ini secara efektif menunjukkan bahwa keberadaan sistem manajemen di atas kertas tidak menjamin keandalan fisik sebuah bangunan; implementasi yang disiplin dan pengawasan yang ketat adalah kunci yang sesungguhnya.

Sumber

Widianto, F., Lenggogeni, & Rahmayanti, H. (2020). Evaluasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, Kampus A, UNJ. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 378-392.

Selengkapnya
Analisis Kritis Manajemen Pemeliharaan dan Perawatan di Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, UNJ

Konstruksi

Sinergi Digital dalam Konstruksi: Tinjauan Kritis terhadap Integrasi Lean Construction dan Kecerdasan Buatan

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Industri konstruksi, sebuah pilar fundamental dalam pembangunan peradaban, secara paradoksal menghadapi tantangan produktivitas yang stagnan sejak pertengahan abad ke-20. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat di sektor lain, konstruksi masih berjuang dengan inefisiensi, pemborosan, dan keterlambatan. Menjawab tantangan ini, karya Lesly Velezmoro-Abanto dkk. menyajikan sebuah tinjauan literatur sistematis yang mengeksplorasi konvergensi dua paradigma transformatif:  

Lean Construction (LC) dan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence - AI). Paper ini dibangun di atas premis bahwa sinergi antara filosofi efisiensi LC dan kapabilitas analitik AI dapat menjadi katalisator untuk revolusi yang telah lama dinantikan dalam manajemen proyek (Project Management - PM).

Kerangka teoretis yang diusung memposisikan LC sebagai filosofi manajemen yang berfokus pada identifikasi dan eliminasi segala bentuk pemborosan (waste), menjaga alur kerja yang stabil, dan mengelola sumber daya secara optimal untuk menghindari penundaan serta biaya tambahan. Di sisi lain, AI, khususnya sub-bidangnya  

Machine Learning (ML), diperkenalkan sebagai seperangkat teknik komputasi yang mampu menganalisis data dalam volume masif, menghasilkan model prediktif untuk mengoptimalkan kinerja, dan belajar secara mandiri dari informasi yang diolahnya. Argumen sentral yang diajukan penulis adalah bahwa kombinasi antara prinsip-prinsip LC dan kekuatan analitik ML bukan lagi sekadar konsep teoretis, melainkan sebuah strategi praktis yang dapat meningkatkan profitabilitas dan efisiensi proyek secara signifikan. Dengan demikian, tujuan utama dari studi ini adalah untuk memetakan secara komprehensif lanskap penelitian yang ada, mengidentifikasi cakupan aplikasi teknik AI dalam metodologi LC, dan bagaimana keduanya dapat merevolusi PM dalam hal efisiensi biaya dan waktu.  

Metodologi dan Kebaruan

Untuk mencapai tujuannya, penulis mengadopsi metodologi Tinjauan Literatur Sistematis (Systematic Literature Review - SLR) yang ketat, dengan berpedoman pada protokol PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Pendekatan ini memastikan bahwa proses seleksi artikel dilakukan secara transparan, dapat direplikasi, dan berbasis bukti, yang merupakan ciri khas dari penelitian ilmiah tingkat tinggi. Prosesnya melibatkan empat fase penyaringan yang berhasil mereduksi 43.654 artikel awal dari enam basis data terkemuka menjadi 63 artikel final yang paling relevan, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat, seperti rentang publikasi enam tahun terakhir (2018-2023) dan relevansi dengan topik penelitian.  

Sebagai pelengkap, analisis bibliometrik dilakukan menggunakan perangkat lunak VOSviewer untuk memvisualisasikan jaringan dan hubungan antar kata kunci dari artikel-artikel yang terpilih. Analisis ini berhasil mengidentifikasi klaster-klaster penelitian utama, yang menegaskan bahwa  

Lean Construction, AI, ML, dan Building Information Modeling (BIM) merupakan episentrum dari diskursus ilmiah di bidang ini.

Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan data empiris baru, melainkan pada kontribusinya sebagai sebuah sintesis yang terstruktur dan komprehensif dari sebuah bidang yang bersifat interdisipliner dan cenderung terfragmentasi. Dengan memetakan secara sistematis titik temu antara LC dan AI, mengidentifikasi alat dan teknik yang paling dominan, serta membingkai manfaatnya dalam sebuah struktur yang koheren, paper ini menyajikan sebuah tinjauan "state-of-the-art" yang sangat berharga bagi akademisi maupun praktisi yang ingin memahami dan menavigasi frontier baru dalam manajemen konstruksi.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis mendalam terhadap 63 artikel terpilih menghasilkan serangkaian temuan yang menjawab tiga pertanyaan penelitian utama yang dirumuskan oleh penulis.

Dominasi Alat Lean Construction (RQ1)
Temuan pertama menegaskan bahwa metodologi LC dan perangkatnya semakin mendapatkan pengakuan dan relevansi dalam praktik umum industri konstruksi. Di antara berbagai alat yang diidentifikasi, dua di antaranya menunjukkan dominasi yang jelas dalam literatur:  

Building Information Modeling (BIM) dan Last Planner System (LPS). BIM, sebagai platform untuk menciptakan model bangunan digital yang kaya informasi, berfungsi sebagai fondasi untuk kolaborasi yang lebih baik dan pengurangan kesalahan desain. Sementara itu, LPS adalah sistem kontrol produksi yang berfokus pada perencanaan kolaboratif dan peningkatan keandalan alur kerja di lapangan. Dominasi kedua alat ini mengontekstualisasikan bahwa digitalisasi perencanaan (melalui BIM) dan optimalisasi kontrol produksi kolaboratif (melalui LPS) merupakan dua vektor utama di mana prinsip-prinsip LC saat ini diimplementasikan dan diteliti.  

Spektrum Teknik Kecerdasan Buatan (RQ2)
Pada ranah AI, temuan menunjukkan bahwa Machine Learning (ML) adalah sub-bidang yang paling banyak dieksplorasi dalam konteks manajemen proyek konstruksi. Di dalam ML, teknik yang paling sering dipelajari adalah  

Artificial Neural Networks (ANN), yang meniru cara kerja otak manusia untuk mengenali pola kompleks dalam data, diikuti oleh Support Vector Machine (SVM), yang efektif untuk tugas klasifikasi dan regresi. Paper ini juga mengidentifikasi berbagai teknik lain seperti  

Convolutional Neural Networks (CNN) untuk pemrosesan gambar (computer vision), Decision Trees, dan Random Forest.

Lebih penting lagi, studi ini mengontekstualisasikan bagaimana teknik-teknik ini berintegrasi dengan filosofi LC. Misalnya, ANN digunakan untuk membuat prediksi akurat mengenai jadwal dan biaya, yang secara langsung mendukung prinsip LC dalam mengurangi variabilitas dan ketidakpastian. Demikian pula, teknik computer vision berbasis CNN dapat digunakan untuk pemantauan lokasi proyek secara otomatis, membantu mengidentifikasi pemborosan sumber daya atau praktik kerja yang tidak aman, yang sejalan dengan tujuan eliminasi limbah dalam LC.  

Manfaat Sinergistik (RQ3)
Pertanyaan penelitian ketiga mengeksplorasi manfaat dari kombinasi strategi LC dan ML. Temuan menunjukkan bahwa sinergi ini menghasilkan keuntungan yang signifikan, yang oleh penulis diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama:

  1. Efisiensi: Meliputi eliminasi limbah konstruksi, optimalisasi proses dan alur kerja, serta peningkatan efisiensi dalam alokasi sumber daya.  

  2. Kualitas dan Keselamatan: Dicapai melalui pemantauan jarak jauh secara real-time, peningkatan akurasi pelaporan, dan fokus yang lebih besar pada keselamatan di lokasi kerja.  

  3. Optimisasi Jadwal dan Anggaran: Terwujud melalui estimasi jadwal dan biaya yang lebih akurat, serta kemampuan untuk menghasilkan profitabilitas yang lebih tinggi.  

  4. Pengurangan Risiko: Diperoleh dari kemampuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi potensi risiko, mengurangi masalah tak terduga, dan memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik dan berbasis data.  

Secara kontekstual, manfaat-manfaat ini secara langsung selaras dengan prinsip-prinsip inti filosofi Lean. Hal ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya berfungsi sebagai alat tambahan, tetapi sebagai enabler atau pemungkin yang memperkuat dan mempercepat pencapaian tujuan-tujuan LC, menjadikannya kombinasi yang sangat kuat untuk mencapai kesuksesan proyek.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan yang melekat dalam penelitian mereka, termasuk ketersediaan dan kualitas data yang digunakan untuk melatih model ML dalam studi-studi yang ditinjau, potensi bias dalam seleksi artikel, kelangkaan riset yang secara spesifik berfokus pada integrasi LC dan ML, serta tantangan resistensi terhadap perubahan di industri konstruksi.  

Sebagai refleksi kritis, resensi ini menambahkan beberapa poin. Pertama, tinjauan ini sangat berhasil dalam mengidentifikasi "apa" (alat dan teknik yang digunakan), namun kurang mendalam dalam menganalisis "bagaimana" (mekanisme praktis dan tantangan integrasi di lapangan). Kedua, meskipun manfaat sinergi ini dipaparkan dengan baik, analisis yang lebih kritis mengenai potensi trade-off atau konflik akan memperkaya diskusi. Sebagai contoh, apakah investasi awal yang tinggi untuk implementasi AI bertentangan dengan prinsip reduksi biaya dalam LC, setidaknya dalam jangka pendek? Terakhir, ketergantungan pada analisis bibliometrik, meskipun berguna, berisiko menyederhanakan hubungan yang kompleks antar konsep yang mungkin dapat digali lebih dalam melalui analisis tematik kualitatif.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Sebagai penutup, Velezmoro-Abanto dkk. memberikan rekomendasi yang jelas untuk arah penelitian di masa depan, seperti melakukan studi kasus dan proyek percontohan untuk validasi di dunia nyata, merancang platform spesifik yang mengintegrasikan kedua metodologi, dan mengembangkan analisis biaya-manfaat yang komprehensif.  

Implikasi dari temuan ini sangat luas. Penelitian di masa depan harus bergerak melampaui pertanyaan "apa" menuju "bagaimana", dengan fokus pada pengembangan dan pengujian kerangka kerja praktis untuk mengintegrasikan alat LC spesifik dengan teknik AI tertentu (misalnya, kerangka kerja yang menghubungkan data dari LPS dengan model prediksi penundaan berbasis ANN). Selain itu, investigasi terhadap "faktor manusia"—bagaimana pengenalan AI mengubah dinamika tim, proses pengambilan keputusan, dan keterampilan yang dibutuhkan oleh manajer proyek dalam lingkungan Lean—menjadi sangat krusial.

Sebagai refleksi akhir, di tengah meningkatnya kompleksitas proyek, tekanan efisiensi, dan tuntutan keberlanjutan, sinergi antara filosofi eliminasi limbah LC dan kapabilitas optimisasi berbasis data AI bukan lagi sekadar keingintahuan akademis. Ia merupakan jalur kritis menuju masa depan industri konstruksi. Paper ini, meskipun bersifat tinjauan, berhasil menyediakan sebuah peta jalan tingkat tinggi yang sangat berharga untuk menavigasi dan membentuk frontier baru yang menjanjikan ini.

Sumber

Velezmoro-Abanto, L., Cuba-Lagos, R., Taico-Valverde, B., Iparraguirre-Villanueva, O., & Cabanillas-Carbonell, M. (2024). Lean Construction Strategies Supported by Artificial Intelligence Techniques for Construction Project Management-A Review. International Journal of Online and Biomedical Engineering (IJOE), 20(3), 99-114. https://doi.org/10.3991/ijoe.v20i03.46769

Selengkapnya
Sinergi Digital dalam Konstruksi: Tinjauan Kritis terhadap Integrasi Lean Construction dan Kecerdasan Buatan

Pendidikan dan Pelatihan

Mengapa Pelatihan Kerja Gagal Menciptakan Tenaga Ahli? Riset Ini Ungkap Titik Balik Kualitasnya

Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025


Tingkat pengangguran dan tantangan daya saing tenaga kerja—khususnya bagi lulusan sekolah menengah—telah menjadi isu krusial yang mendera banyak daerah di Indonesia. Sebagai respons, pemerintah mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pilar harapan. Namun, di balik visi mulia tersebut, tersimpan permasalahan fundamental yang membuat program-program ini berjalan di tempat. Sebuah tesis mendalam dari Universitas Andalas, “Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja (UPTD BLK) Payakumbuh,” tak hanya mengupas fenomena ini, tetapi juga menyajikan temuan yang mengejutkan tentang mengapa pelatihan kerja yang seharusnya menjadi jembatan menuju pekerjaan justru tak mampu memenuhi ekspektasi.

Penelitian ini membedah secara terperinci apa yang salah dalam sistem pelatihan konvensional di BLK, mulai dari kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar, minimnya sarana dan prasarana, hingga krisis regenerasi instruktur. Alih-alih hanya merangkum masalah, studi ini menyajikan "cerita di balik data" yang menunjukkan ketidakpuasan para peserta, kendala yang dihadapi para instruktur, dan ancaman nyata yang bisa membuat BLK terancam tutup. Laporan ini bukan sekadar evaluasi, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak, membuka mata para pengambil kebijakan terhadap celah-celah yang mengikis efektivitas program dan mengusulkan sebuah peta jalan untuk reformasi.

 

Jurang Antara Harapan dan Realitas: Mengapa Peserta Pelatihan Tidak Puas?

Mengukur keberhasilan sebuah program pelatihan tidak bisa hanya dari jumlah sertifikat yang dibagikan. Ukuran yang lebih jujur adalah tingkat kepuasan mereka yang menerima pelatihan itu sendiri. Penelitian ini menggunakan metode Service Quality (Servqual) dan Importance Performance Analysis (IPA) untuk membedah perbedaan antara harapan peserta dan realitas yang mereka rasakan. Hasilnya, sebuah jurang besar terungkap.

Skor Servqual yang diperoleh dari tiga program pelatihan (Menjahit, Perbaikan Sepeda Motor, dan Las) menunjukkan nilai negatif yang signifikan. Ini secara tegas mengonfirmasi bahwa kualitas layanan yang diberikan “masih tergolong kurang atau tidak baik” dan peserta pelatihan "tidak puas." Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari pengalaman pahit para peserta yang datang dengan harapan besar, tetapi pulang dengan kekecewaan. Bayangkan, rata-rata tingkat kepuasan untuk pelatihan Perbaikan Sepeda Motor hanya 85,394 persen dengan skor gap negatif (-) 0,618. Angka ini secara naratif menunjukkan bahwa setiap peserta merasa bahwa layanan yang mereka terima jauh di bawah standar yang mereka harapkan.

 

Bukti Fisik yang Menjadi Masalah Terbesar

Bagian yang paling mencolok dari ketidakpuasan ini terletak pada indikator “Bukti Fisik” (Tangible). Jauh dari permasalahan teknis yang rumit, masalah terbesarnya justru datang dari hal-hal yang paling mendasar: toilet. Ya, toilet.

  • Pelatihan Menjahit: Peserta pelatihan menjahit memiliki gap tertinggi pada indikator Bukti Fisik, dengan skor gap (-) 0,78. Pemicu utamanya adalah kondisi toilet yang kotor, tanpa gayung atau tisu. Seorang peserta bahkan menggambarkan pengalamannya sebagai “kurang nyaman.”
  • Pelatihan Perbaikan Sepeda Motor: Kondisi serupa, bahkan lebih buruk, terjadi pada pelatihan Perbaikan Sepeda Motor. Gap tertinggi juga berada di indikator Bukti Fisik dengan skor (-) 0,96. Di sini, peserta mengeluhkan toilet yang kotor dan tidak dilengkapi sabun, padahal mereka sangat membutuhkannya untuk mencuci tangan dari oli setelah praktik. Gap terbesar ditemukan pada pertanyaan tentang "Toilet bersih dan lengkap (tissue dll)" dengan skor (-) 1,56. Angka ini seolah berteriak bahwa BLK Payakumbuh gagal memenuhi standar kebersihan yang paling dasar.

Ini adalah cerita di balik data yang tak bisa diabaikan. Kondisi fisik fasilitas yang kurang terawat, bahkan di area yang paling esensial, secara langsung memengaruhi pengalaman belajar dan menurunkan kredibilitas lembaga di mata peserta. Ini bukan hanya tentang toilet kotor; ini adalah simbol dari kegagalan sistematis dalam menjaga standar operasional.

 

Kehandalan yang Dipertanyakan

Meskipun demikian, ada secercah harapan. Dalam indikator "Kehandalan" (Reliability), khususnya pada pelatihan Menjahit, skor gap-nya paling rendah, yaitu (-) 0,19. Ini menunjukkan bahwa peserta memiliki kepuasan tertinggi terhadap kemampuan instruktur dalam menguasai materi. Namun, bahkan di sini, ada catatan kecil. Seorang peserta mengakui bahwa instruktur "cukup menguasai materi," namun terkadang ada pertanyaan yang tidak terjawab karena instruktur lupa. Ini adalah gambaran nyata tentang bagaimana instruktur, meskipun kompeten, berada di bawah tekanan dan sumber daya yang terbatas.

 

Krisis di Balik Geliat Pembangunan: Instruktur yang Terancam Pensiun

Salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah krisis tenaga pengajar yang mengancam keberlanjutan BLK Payakumbuh. Data menunjukkan bahwa jumlah instruktur akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Jika tidak ada rekrutmen baru, diperkirakan semua instruktur yang ada akan pensiun pada tahun 2023. Realitas ini menempatkan BLK di ambang kehancuran, bukan karena kurangnya peminat, melainkan karena kegagalan dalam merencanakan regenerasi sumber daya manusia.

 

Kurangnya Jumlah Instruktur dan Fasilitas yang Tidak Memadai

Kurangnya instruktur tidak hanya terlihat dari data demografi, tetapi juga terasa langsung dalam pengalaman peserta. Dalam pelatihan Perbaikan Sepeda Motor, yang idealnya membutuhkan minimal tiga instruktur, hanya ada satu orang. Peserta harus dibagi menjadi empat kelompok, dan instruktur kewalahan. Seorang peserta bernama Rio bercerita, “Waktu jadinya terbuang-buang karena kami harus menunggu bapak selesai di kelompok satu kalau kami tetap kerja nanti motornya malah tambah rusak.” Ia bahkan berharap ada asisten untuk membantu instruktur.

Ketidakcukupan ini diperparah oleh fasilitas dan peralatan yang terbatas:

  • Pelatihan Perbaikan Sepeda Motor: Hanya tersedia sepuluh motor untuk enam belas peserta, jauh dari standar yang dibutuhkan.
  • Pelatihan Las: Meskipun jumlah instrukturnya tiga orang, masih ada kekurangan alat seperti gerinda. Seorang peserta menyebutkan, “Kami menghabiskan 7 (gerinda) sekarang yang dikeluarkan hanya 5.” Mutu alat keselamatan seperti sarung tangan dan helm juga dipertanyakan karena mudah rusak.
  • Kondisi Fisik Lainnya: Ada ruang-ruang workshop yang tidak terawat, bahkan sampah berserakan di belakang kelas pelatihan motor. Makanan yang disediakan juga dikeluhkan, bahkan ada yang basi.

 

Dilema dan Tantangan Kualitas

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa banyak peserta pelatihan masih berlatar belakang pendidikan rendah (SMP), padahal pelatihan berbasis kompetensi idealnya mensyaratkan minimal lulusan SMA. Ini menimbulkan dilema bagi BLK karena di satu sisi, mereka ingin memberikan kesempatan kepada semua kalangan, tetapi di sisi lain, perbedaan pola pikir dan daya serap memengaruhi efektivitas pelatihan.

Selain itu, program magang yang seharusnya menjadi jembatan menuju dunia kerja juga tidak konsisten. Seorang instruktur mengeluhkan bahwa program ini “berubah menteri berubah juga programnya (tidak konsisten).” Hal ini menegaskan bahwa kebijakan yang tidak stabil dari tingkat pusat dan provinsi menjadi ancaman serius bagi efektivitas program di tingkat lokal.

 

Analisis SWOT: Potensi di Tengah Ancaman

Analisis SWOT dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga program pelatihan (Menjahit, Perbaikan Sepeda Motor, dan Las) berada dalam kondisi "pertumbuhan stabil." Ini berarti BLK Payakumbuh masih memiliki kekuatan dan peluang yang signifikan, meskipun harus menghadapi kelemahan dan ancaman yang serius.

 

Kekuatan dan Kelemahan

Kekuatan utama BLK Payakumbuh terletak pada fasilitas yang diberikan kepada peserta, seperti uang transportasi, makanan, modul, dan bahan pelatihan. Hal ini menjadi daya tarik utama bagi masyarakat yang membutuhkan pelatihan. Di sisi lain, kelemahan utamanya adalah:

  • Peralatan yang Belum Berbasis Kompetensi: Peralatan seperti mesin obras di pelatihan menjahit masih terbatas.
  • Kurangnya Promosi: Masih banyak masyarakat yang tidak tahu tentang keberadaan BLK.
  • Penurunan Dana: Terjadi penurunan dana dari APBD dan APBN.
  • Tidak Adanya Monitoring Alumni: BLK tidak memiliki sistem untuk memantau keberhasilan lulusannya.

 

Peluang dan Ancaman

Peluang terbesar BLK adalah kemampuan lulusannya untuk mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, yang secara langsung berkontribusi pada pengurangan pengangguran. Namun, ancaman utamanya adalah perkembangan teknologi yang cepat, yang tidak diimbangi oleh BLK, sehingga lulusannya sulit bersaing di pasar kerja. Kurangnya rekrutmen instruktur baru dan adanya lembaga keterampilan swasta yang lebih baik juga menjadi ancaman nyata.

 

Mengubah Arus: Strategi Kebijakan untuk Masa Depan BLK

Penelitian ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menawarkan strategi kebijakan yang terperinci. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk keluar dari status "pertumbuhan stabil" dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, BLK harus mempertahankan kekuatan yang ada sambil secara proaktif mengatasi kelemahan dan ancaman.

 

Peningkatan Kualitas dan Fasilitas

Prioritas utama adalah perbaikan pada faktor-faktor yang dianggap paling penting oleh peserta. Perbaikan toilet, penambahan alat bantu dan keselamatan kerja, serta penyediaan jumlah motor yang memadai menjadi langkah awal yang tak bisa ditawar lagi. Membangun kepercayaan peserta dimulai dari hal-hal dasar yang sering luput dari perhatian.

 

Reformasi Sistemik

Jangka panjang, diperlukan reformasi sistemik:

  • Rekrutmen Instruktur: Pemerintah harus segera merekrut instruktur baru untuk menggantikan mereka yang akan pensiun agar BLK tidak terancam tutup.
  • Pelatihan Berbasis Kompetensi: Pelatihan harus sepenuhnya berbasis kompetensi dengan durasi yang memadai, tidak hanya sebulan.
  • Sinergi Kebijakan: Kebijakan "3 in 1" yang mengintegrasikan pelatihan, sertifikasi, dan penempatan kerja harus konsisten. Perlu ada tim penempatan kerja khusus di BLK untuk memantau alumni dan menjembatani mereka dengan dunia usaha.
  • Peningkatan Dana: Anggaran untuk perawatan peralatan dan pelatihan perlu ditingkatkan, dan sistem penganggaran harus berbasis kinerja, bukan "bagi-bagi kue."

 

Dampak Nyata di Balik Perubahan

Jika rekomendasi ini diterapkan secara menyeluruh, dampak nyatanya akan jauh melampaui perbaikan di BLK Payakumbuh. Dengan program pelatihan yang benar-benar berkualitas dan fasilitas yang memadai, efektivitas pelatihan bisa mengalami lompatan besar. Ribuan orang yang sebelumnya menganggur akan menjadi tenaga kerja terampil dan mandiri, mengurangi angka pengangguran di Payakumbuh hingga puluhan persen. Ini akan menciptakan efek domino positif, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan menjadikan BLK sebagai pusat pelatihan yang relevan, bukan sekadar tempat singgah sebelum menyerah.

Transformasi ini adalah investasi jangka panjang untuk membangun sumber daya manusia yang tangguh, siap bersaing di pasar global, dan mampu menopang masa depan bangsa.

Sumber Artikel:

Nurhayatul, H. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Program Pelatihan Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Latihan Kerja (UPTD BLK) Payakumbuh. Vol. 45 No. 6. Journal Penelitian. Universitas Andalas.

Selengkapnya
Mengapa Pelatihan Kerja Gagal Menciptakan Tenaga Ahli? Riset Ini Ungkap Titik Balik Kualitasnya
page 1 of 1.156 Next Last »