Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh pada 12 September 2025
Pendahuluan: Saatnya Meninggalkan Fragmentasi dalam Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia terus berkembang, namun masih terperangkap dalam kontradiksi sistemik antara tujuan proyek jangka panjang dan model kerja jangka pendek yang bersifat kompetitif. Salah satu akar masalahnya terletak pada sistem pengadaan proyek yang masih didominasi oleh model design-bid-build (DBB).
Dalam paper ini, Sari dkk. (2024) memaparkan secara kritis bagaimana pendekatan DBB yang terfragmentasi telah menjadi batu sandungan kolaborasi, serta menawarkan strategi konkret untuk meningkatkan tingkat partnering menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang lebih sinergis dan berkelanjutan.
Apa yang Salah dengan DBB?
Struktur DBB: Praktis, Tapi Terlalu Kompetitif
Model DBB, yang memisahkan entitas perancang dan pelaksana, memang menawakan kejelasan peran dan tahapan kerja. Namun struktur ini justru menciptakan silo antarpihak. Setiap tahapan dari tender perancang, pelaksanaan desain, tender kontraktor, hingga pelaksanaan konstruksi berlangsung dalam iklim persaingan (kompetisi) yang kaku.
Dalam analisis partnering oleh Thompson et al. (1998), DBB umumnya berada pada level “kompetisi”, level terendah dari skala kedalaman kolaborasi.
Dampak Nyata: Proyek Molor dan Boros
Berdasarkan studi tiga proyek gedung di Indonesia dengan nilai di atas 10 miliar rupiah, ditemukan bahwa ketiganya mengalami keterlambatan signifikan. Faktor penyebabnya mencakup:
Perubahan desain mendadak
Keterbatasan tenaga kerja terampil
Keterlambatan pengadaan material
Lambannya pengambilan keputusan
Efek pandemi COVID-19
Hasil analisis statistik menunjukkan deviasi standar yang besar pada grafik kemajuan proyek, menandakan ketidaksesuaian antara target dan realisasi.
Partnering: Dari Kompetisi Menuju Koalisi
Empat Tingkatan Partnering
Berdasarkan teori Larsson dan Thompson, partnering terbagi dalam empat tingkatan:
Kompetisi: Relasi transaksional dan jangka pendek, tidak ada pembagian risiko.
Kooperasi: Mulai ada komunikasi dan saling percaya.
Kolaborasi: Fokus strategis jangka panjang, pengukuran kinerja bersama.
Koalisi (Coalescence): Transparansi total, integrasi budaya kerja, pembagian risiko penuh.
Sayangnya, mayoritas proyek DBB di Indonesia masih berada pada tahap kompetisi, jauh dari kedalaman koalisi seperti yang ditemukan pada sistem IPD.
Mengenal IPD: Proyek Kolaboratif Sejak Hari Pertama
Integrated Project Delivery adalah sistem pengadaan yang menyatukan semua aktor utama (owner, desainer, kontraktor, vendor) sejak tahap nol persen desain. Dibandingkan DBB, IPD memiliki karakter:
Kontrak multipihak tunggal
Pembagian risiko dan keuntungan
Komitmen pada transparansi dan tujuan bersama
Fokus jangka panjang dan peningkatan berkelanjutan
Studi Kasus Internasional
Menurut Asmar et al. (2013), proyek dengan pendekatan IPD menunjukkan performa superior dalam aspek waktu, biaya, dan kualitas dibandingkan DBB dan DB. Bahkan, IPD mampu mengurangi pengulangan pekerjaan hingga 50% dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 10%.
Strategi Transformasi: DBB yang Lebih Kolaboratif
Apakah DBB Bisa Diubah Tanpa Mengganti Sistemnya?
Jawabannya: bisa. Paper ini menawarkan pendekatan transisional mengubah praktik partnering dalam proyek DBB agar meniru kedalaman kolaborasi pada skema IPD, tanpa harus mengubah format kontrak yang ada.
Rekomendasi Praktis
Pemilihan Perancang Tanpa Tender Kompetitif
Owner sebaiknya menunjuk perancang berdasar pengalaman dan visi sejalan, bukan sekadar harga termurah.
Keterlibatan Kontraktor Sejak Awal
Mengundang kontraktor dalam tahap desain untuk meminimalkan miskomunikasi dan variasi teknis.
Kemitraan Jangka Panjang dengan Vendor
Tidak lagi memilih pemasok berdasar tender harga, tetapi melalui kerja sama jangka panjang yang saling menguntungkan.
Visualisasi Model Perubahan
Transformasi DBB yang semula penuh persaingan dapat diarahkan menjadi kerja sama berbasis koalisi, sebagaimana digambarkan dalam skema model partnering (Gambar 8 dalam paper).
Tantangan Implementasi di Indonesia
Meskipun IPD menjanjikan banyak manfaat, implementasinya di proyek pemerintah di Indonesia masih terkendala oleh:
Kurangnya standar hukum dan kontrak multipihak
Ketidakpercayaan antar-pemangku kepentingan
Praktik tender yang masih berorientasi biaya
Namun, seperti disarankan penulis, peningkatan kualitas relasi dan keterlibatan sejak awal sudah cukup untuk menciptakan dampak besar — bahkan dalam sistem DBB.
Perspektif Industri: Relevansi dan Tren Terkini
Dengan meningkatnya tekanan terhadap efisiensi dan keberlanjutan, pendekatan seperti IPD menjadi relevan, apalagi di era pascapandemi di mana risiko proyek semakin kompleks. Model kerja berbasis kolaborasi juga sejalan dengan prinsip lean construction dan pendekatan agile yang kini mulai diadopsi oleh perusahaan besar seperti PT PP dan Wijaya Karya dalam beberapa proyek EPC.
Opini dan Komentar Tambahan
Paper ini sangat relevan karena tidak hanya menawarkan teori, tetapi juga strategi pragmatis yang bisa diadopsi tanpa harus merevolusi sistem. Kelebihannya terletak pada pendekatan lokal dengan penggunaan data proyek di Indonesia serta masukan dari 14 pakar konstruksi membuat temuan ini semakin aplikatif.
Namun, penelitian ini bisa lebih kuat jika ditambah:
Simulasi dampak finansial dari perubahan model partnering
Studi longitudinal proyek DBB yang berhasil mengadopsi prinsip IPD
Analisis hukum atas kemungkinan legalisasi kontrak multipihak di sektor publik
Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Konstruksi yang Lebih Baik
Transformasi dari DBB ke IPD bukan hanya soal mengganti sistem, tapi soal mengubah pola pikir dan perilaku para pelaku proyek. Pendekatan partnering yang lebih dalam, saling percaya, dan terbuka bisa dicapai bahkan tanpa merombak format kontrak. Paper ini menjadi panduan praktis menuju industri konstruksi Indonesia yang lebih kolaboratif, berkelanjutan, dan resilien menghadapi krisis.
Sumber
Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., et al. (2024). Design-Bid-Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242. https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh pada 12 September 2025
Mengapa Partnering Jadi Kunci Proyek Konstruksi Masa Kini?
Dalam industri konstruksi Indonesia yang dikenal kompleks dan rentan konflik, pendekatan partnering bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Partnering yang matang dapat meningkatkan kualitas, menurunkan biaya, mempercepat penyelesaian, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat antar pemangku kepentingan.
Namun hingga saat ini, masih sedikit studi yang benar-benar mengukur bagaimana kedalaman partnering diterapkan pada setiap fase proyek. Paper ini menjawab celah tersebut dengan menawarkan indikator konkret serta teknik evaluasi yang bisa langsung diadopsi di lapangan.
Gambaran Umum: Partnering dalam Proyek Konstruksi
Definisi dan Nilai Partnering
Partnering adalah filosofi kerja sama jangka panjang antara pihak-pihak dalam proyek, termasuk owner, kontraktor, desainer, hingga vendor. Nilai kunci dalam partnering mencakup:
Kepercayaan
Akuntabilitas
Responsivitas
Kemandirian
Keadilan
Jika nilai-nilai ini diterapkan konsisten, maka hasil proyek cenderung lebih positif secara kinerja, waktu, biaya, dan kualitas.
Permasalahan Utama Konstruksi di Indonesia
Berdasarkan berbagai literatur yang dirangkum, industri konstruksi nasional menghadapi masalah seperti:
Sebagian besar masalah ini bersumber dari lemahnya hubungan antar pemangku kepentingan. Di sinilah partnering memainkan peran strategis.
Tujuan Penelitian: Menyusun KPI Kedalaman Partnering
Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan pentingnya partnering, tetapi juga merumuskan alat ukur kedewasaan partnering di seluruh fase proyek, khususnya proyek Design and Build (DB). Untuk itu, penulis menyusun Key Performance Indicators (KPI) berdasarkan:
Literatur akademik dan praktik lapangan
Konsensus melalui metode Delphi dengan 9 pakar konstruksi
Analisis data lapangan dari 6 proyek DB di Indonesia bernilai > Rp100 miliar
Fase Partnering dalam Siklus Hidup Proyek
1. Inisiasi
Partisipasi stakeholder sejak awal
Indikator: indeks performa biaya, pertumbuhan biaya, kesadaran lingkungan
2. Desain
Optimalisasi biaya melalui value engineering
Keterlibatan pemasok sejak desain awal
Indikator: penghematan biaya, konformitas spesifikasi
3. Konstruksi
Indikator: jam kerja teknik/unit produk, duplikasi kerja, kecelakaan kerja, keterlambatan
4. Penutupan
Umpan balik pelanggan, audit, konflik yang belum diselesaikan
Sertifikasi laik fungsi dan green SOP
Delphi Method: Menyaring Faktor Penentu Partnering yang Matang
Putaran 1–3: Seleksi dan Validasi
Melibatkan:
2 CEO perusahaan
2 desainer senior
3 kontraktor senior
2 akademisi
26 faktor penting ditentukan. Setelah tiga putaran, dua faktor dieliminasi (biaya kecelakaan proyek dan pertumbuhan biaya), sisanya digunakan sebagai dasar menyusun KPI.
Simulasi Lapangan: Menguji KPI pada 6 Proyek DB
Proyek yang Dikaji:
Lokasi: Jakarta, Bukittinggi, Kalimantan Timur
Nilai: USD 9–18 juta
Temuan Utama:
DB “C” dan “E”: mencapai level institutionalized (partnering menyatu dalam budaya organisasi)
DB “D” dan “F”: level managed
DB “A” dan “B”: masih basic, minim kerja sama, banyak konflik
Dampaknya:
Proyek dengan partnering matang menunjukkan:
Deviasi waktu dan biaya lebih kecil
Tingkat perubahan desain rendah
Kolaborasi antarpihak lebih tinggi
Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Studi Lain
Studi El Asmar et al. (2013) juga menunjukkan bahwa proyek dengan pendekatan IPD yang menekankan partnering menunjukkan:
Penghematan biaya rata-rata 12%
Peningkatan produktivitas 10%
Pengurangan pekerjaan ulang hingga 50%
Temuan ini sejalan dengan hasil paper, menegaskan bahwa kedalaman partnering punya korelasi langsung dengan performa proyek.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
5 Rekomendasi Strategis:
Bangun budaya partnering sejak fase inisiasi
Mulai dengan pelatihan dan kick-off project yang menekankan nilai TARIF.
Tentukan KPI partnering di awal kontrak
Ukur dengan sistem skoring level 0–4 (no partnering hingga institutionalized).
Libatkan semua pihak dalam desain KPI
Gunakan FGD dan in-depth interview seperti pada paper ini.
Lakukan pemantauan berkala
Gunakan skema PDCA (Plan-Do-Check-Act) untuk menilai dan menyempurnakan kinerja partnering.
Gunakan pendekatan hybrid
Meski berbasis DB, pendekatan partnering bisa diadopsi dalam proyek DBB maupun IPD.
Kritik & Kelebihan Paper
Kelebihan:
Pendekatan mixed method yang kuat (kuantitatif dan kualitatif)
Studi empiris dari proyek aktual
Panduan KPI yang aplikatif
Kekurangan:
Terbatas pada proyek DB
Belum mencakup integrasi teknologi digital seperti BIM dalam pengukuran partnering
Kesimpulan: Membangun Budaya Partnering demi Proyek Berkinerja Tinggi
Partnering bukan sekadar metode manajemen, melainkan budaya kolaborasi yang harus ditanamkan sejak dini. Paper ini telah menunjukkan bagaimana pendekatan yang terstruktur, berbasis KPI, dan dukungan aktif dai stakeholder sejak awal mampu meningkatkan performa proyek konstruksi secara signifikan. Dengan mengadopsi teknik ini, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan.
Sumber
Thohirin, A.; Wibowo, M.A.; Mohamad, D.; Sari, E.M.; Tamin, R.Z.; Sulistio, H. (2024). Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects. Buildings, 14(6), 1494. https://doi.org/10.3390/buildings14061494
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Titik Nol: Mengapa Produktivitas di Industri Konstruksi Begitu Sulit Diukur?
Hilangnya produktivitas telah lama menjadi masalah kronis dalam industri konstruksi, terutama di negara-negara berkembang. Salah satu penyebab utamanya adalah ketiadaan data yang terdokumentasi dengan baik untuk estimasi proyek, perencanaan, dan manajemen. Masalah ini menjadi sangat krusial mengingat banyak proyek konstruksi, khususnya yang bersifat padat karya seperti pembangunan jalan, sangat bergantung pada kuantitas dan efisiensi tenaga kerja. Peningkatan produktivitas tidak hanya berujung pada profitabilitas yang lebih besar dan daya saing yang lebih tinggi, tetapi juga pada penyelesaian proyek yang tepat waktu sesuai kontrak.
Namun, mengukur dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja bukanlah tugas sederhana. Keberhasilan suatu proyek sering kali melibatkan tim kerja dengan berbagai latar belakang, tingkat pendidikan, dan kondisi cuaca yang berbeda, yang semuanya dapat memengaruhi laju kerja. Selain itu, produktivitas tenaga kerja dinilai lebih tidak menentu dan tidak dapat diprediksi dibandingkan komponen biaya proyek lainnya, menjadikannya tantangan besar yang harus dihadapi para kontraktor selama beberapa dekade terakhir.
Merespons tantangan ini, sebuah tim peneliti di Ghana memulai sebuah ekspedisi ilmiah. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif untuk mengidentifikasi, mengukur, dan meningkatkan produktivitas pekerja konstruksi pada proyek-proyek padat karya di negara tersebut.1 Studi ini bertekad untuk mengisi kekosongan data yang selama ini menghambat industri dan menemukan pilar-pilar fundamental yang menjadi penentu kinerja optimal.
Menggali Angka: Mengapa Uang Bukan Segalanya bagi Pekerja?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 560 responden di 40 distrik yang terlibat dalam proyek pembangunan jalan di seluruh Ghana, dengan tingkat respons yang tinggi mencapai 543 responden yang profilnya terperinci.1 Mayoritas responden adalah laki-laki (87,2%), dengan rentang usia terbanyak antara 26–35 tahun (51,1%), dan tingkat pendidikan serta pengalaman yang beragam, yang menunjukkan bahwa temuan studi ini didasarkan pada data dari populasi yang representatif dan berpengalaman.1
Hasil awal yang paling mengejutkan muncul dari analisis statistik deskriptif terhadap faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas pekerja. Berdasarkan peringkat rata-rata (Mean), para responden menempatkan "skema insentif perusahaan untuk kinerja yang baik" (rata-rata 4,12) pada peringkat pertama, diikuti oleh "kesempatan bagi karyawan untuk melatih keterampilan mereka" (rata-rata 4,11) di peringkat kedua.1
Fakta ini sangat kontras dengan anggapan umum bahwa faktor terpenting bagi pekerja adalah "kemungkinan dibayar tepat waktu," yang justru berada di peringkat ketiga dengan rata-rata 4,10.1
Temuan ini secara fundamental mengubah cara pandang terhadap motivasi pekerja di sektor padat karya. Ini menunjukkan bahwa produktivitas tidak hanya didorong oleh motivasi transaksional—yaitu, imbalan finansial semata—melainkan juga oleh motivasi psikologis dan profesional. Pekerja tidak hanya ingin dipekerjakan dan dibayar; mereka juga ingin merasa diakui atas kerja kerasnya (melalui insentif) dan diberi kesempatan untuk tumbuh dan mengembangkan diri (melalui pelatihan keterampilan).1
Manajemen yang responsif terhadap keluhan pekerja juga menempati peringkat keempat (rata-rata 4,03), menggarisbawahi pentingnya lingkungan kerja yang mendukung dan peduli.1 Untuk perusahaan yang hanya fokus pada efisiensi operasional dan pembayaran gaji tanpa memperhatikan kesejahteraan, pengakuan, dan pengembangan keterampilan pekerja, ini adalah sebuah peringatan penting. Mengabaikan faktor-faktor "lunak" ini berarti kehilangan potensi produktivitas yang jauh lebih besar dan berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan sejumlah faktor yang dinilai paling berpengaruh terhadap pekerja, berdasarkan rata-rata penilaian responden. Faktor dengan skor tertinggi adalah skema insentif perusahaan untuk kinerja yang baik, yang memperoleh nilai rata-rata 4,12 dengan standar deviasi 0,976. Hal ini menandakan bahwa sistem penghargaan atau bonus menjadi pendorong utama motivasi pekerja.
Di posisi kedua, dengan rata-rata 4,11 (SD 0,697), adalah kesempatan bagi karyawan untuk melatih keterampilan mereka. Temuan ini menekankan pentingnya pelatihan dan pengembangan kapasitas agar pekerja merasa terus bertumbuh. Selanjutnya, kemungkinan penerima manfaat dibayar tepat waktu menempati peringkat ketiga dengan rata-rata 4,10 (SD 0,986), yang menunjukkan bahwa kepastian gaji tepat waktu tetap menjadi faktor fundamental dalam kepuasan kerja.
Faktor berikutnya adalah respons manajemen untuk menyelesaikan keluhan karyawan dengan rata-rata 4,03 (SD 1,018), menandakan bahwa dukungan manajemen dalam menanggapi masalah pekerja juga sangat diapresiasi. Disusul dengan pengetahuan penerima manfaat tentang teknik ilmiah yang mendapat skor 3,95 (SD 0,839), memperlihatkan pentingnya literasi teknis dalam mendukung kinerja.
Sementara itu, sikap penerima manfaat terhadap pekerjaan yang harus mereka laksanakan memperoleh rata-rata 3,91 (SD 0,852) dan pengetahuan penerima manfaat tentang prospek karier berada sedikit di bawahnya dengan skor 3,88 (SD 0,921). Kedua faktor ini menggambarkan bahwa motivasi intrinsik dan wawasan tentang masa depan karier turut berperan dalam membentuk performa kerja.
Faktor peluang promosi bagi karyawan tercatat dengan rata-rata 3,86 (SD 1,160) dan menempati peringkat kedelapan, menandakan bahwa meskipun promosi penting, faktor tersebut tidak sepenting insentif langsung atau pengembangan keterampilan. Selanjutnya, perekrutan penerima manfaat muda pada proyek meraih skor 3,83 (SD 1,464), yang relatif lebih rendah dan menunjukkan bahwa regenerasi tenaga kerja belum dianggap krusial oleh mayoritas responden.
Terakhir, faktor dengan skor terendah adalah tingkat pengalaman penerima manfaat untuk melakukan pekerjaan mereka, dengan rata-rata 3,77 (SD 0,496). Meski berada di posisi paling bawah, angka ini tetap cukup tinggi, sehingga bisa dikatakan bahwa pengalaman kerja masih dianggap relevan, hanya saja kurang dominan dibanding faktor lainnya.
Secara keseluruhan, hasil ini menggambarkan bahwa pekerja lebih memprioritaskan insentif finansial, pengembangan keterampilan, dan kepastian pembayaran dibanding faktor lain seperti pengalaman atau peluang promosi.
Empat Pilar Penentu: Membongkar Kode Rahasia Produktivitas
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam, peneliti menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis atau PCA) untuk mereduksi 20 faktor menjadi elemen-elemen yang paling esensial. Analisis ini mengungkapkan bahwa ada empat komponen laten yang secara kumulatif menjelaskan 83,32% dari total variasi produktivitas.1 Angka yang luar biasa ini menunjukkan bahwa para peneliti berhasil "membongkar kode" produktivitas dan menemukan pilar-pilar inti yang menjadi fondasi utamanya. Keempat pilar tersebut adalah:
Pilar 1: Usia Pekerja (Komponen 1)
Pilar pertama ini menjelaskan 36,43% dari total variasi dan sangat berkaitan dengan faktor-faktor seperti "perekrutan penerima manfaat yang lebih tua dari desa" dan "perekrutan penerima manfaat muda pada proyek".1 Temuan ini menunjukkan bahwa komposisi usia tenaga kerja memainkan peran penting dalam dinamika proyek dan dapat memengaruhi produktivitas secara signifikan. Kebijakan perekrutan yang seimbang dan strategis, yang mempertimbangkan pengalaman pekerja yang lebih tua dan vitalitas pekerja yang lebih muda, dapat menjadi kunci untuk mengoptimalkan kinerja tim secara keseluruhan.1
Pilar 2: Pengetahuan Pekerja (Komponen 2)
Pilar kedua ini, yang menyumbang 23,29% dari variasi, berpusat pada pengetahuan dan sikap pekerja. Faktor-faktor di bawahnya termasuk "sikap penerima manfaat terhadap pekerjaan mereka," "kesempatan bagi karyawan untuk melatih keterampilan mereka," dan "pengetahuan penerima manfaat tentang teknik ilmiah".1 Ini mengukuhkan argumen bahwa produktivitas di lokasi kerja bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kecerdasan, pelatihan, dan sikap mental. Pekerja yang memiliki pengetahuan yang memadai dan sikap positif terhadap tugas yang diemban cenderung lebih efisien dan efektif.1
Pilar 3: Kepatuhan Keselamatan (Komponen 3)
Dengan kontribusi 16,81% dari variasi, pilar ketiga ini menekankan pentingnya keselamatan kerja. Faktor-faktor seperti "penggunaan alat keselamatan di lokasi" dan "tingkat keselamatan yang dicapai pada proyek" berkorelasi kuat dengan pilar ini.1 Lingkungan kerja yang aman adalah fondasi produktivitas yang tidak boleh diabaikan. Lingkungan yang aman dapat mengurangi risiko insiden, meminimalkan kelelahan, dan meningkatkan konsentrasi pekerja, yang pada akhirnya secara langsung meningkatkan output.1 Keselamatan bukan sekadar kewajiban etika, tetapi juga investasi strategis untuk meningkatkan kinerja.
Pilar 4: Motivasi Pekerja (Komponen 4)
Pilar terakhir, yang menyumbang 6,79% dari variasi, adalah motivasi pekerja. Faktor-faktor di bawah pilar ini mencakup "skema insentif perusahaan," "peluang promosi bagi karyawan," dan "respons manajemen terhadap keluhan karyawan".1 Ini memperkuat temuan awal dari analisis deskriptif, menegaskan kembali bahwa faktor-faktor non-finansial seperti pengakuan dan kesempatan untuk kemajuan karier sangat penting untuk menjaga semangat dan kinerja tim pada tingkat yang tinggi.
Hasil analisis Principal Component Analysis (PCA) mengelompokkan faktor-faktor produktivitas ke dalam empat pilar utama. Pilar pertama adalah usia pekerja, yang mencakup aspek perekrutan tenaga kerja tua maupun muda serta pemberian insentif khusus bagi pekerja muda. Pilar ini menjelaskan variasi terbesar, yaitu 36,43%, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor usia menjadi dimensi paling dominan dalam memengaruhi produktivitas secara keseluruhan.
Pilar kedua adalah pengetahuan pekerja, yang menjelaskan 23,29% variasi. Komponen ini terdiri atas sikap terhadap pekerjaan, kesempatan pelatihan, penguasaan pengetahuan teknis, serta tingkat kesadaran pekerja terhadap kebijakan yang berlaku. Dengan bobot ini, jelas bahwa kapasitas intelektual dan keterampilan pekerja berkontribusi besar dalam menjaga serta meningkatkan produktivitas.
Selanjutnya, pilar ketiga adalah kepatuhan terhadap keselamatan kerja, yang mencakup penggunaan peralatan keselamatan serta kepatuhan pada standar legislatif. Pilar ini menyumbang 16,81% variasi. Artinya, selain faktor usia dan pengetahuan, kepatuhan pekerja terhadap regulasi keselamatan turut menjadi pondasi penting dalam menjaga kinerja dan mencegah kerugian akibat kecelakaan kerja.
Pilar keempat adalah motivasi pekerja, yang menjelaskan 6,79% variasi. Faktor ini mencakup keberadaan skema insentif, respons manajemen dalam menangani masalah karyawan, serta peluang promosi yang tersedia. Walaupun kontribusinya paling kecil dibanding pilar lain, motivasi tetap menjadi elemen penting karena dapat memengaruhi semangat kerja dan loyalitas pekerja dalam jangka panjang.
Secara total, keempat pilar ini mampu menjelaskan 83,32% variasi dalam produktivitas pekerja. Angka kumulatif yang tinggi ini menunjukkan bahwa dimensi usia, pengetahuan, kepatuhan keselamatan, dan motivasi merupakan indikator kunci yang perlu diperhatikan bersama-sama. Dengan memahami kontribusi tiap pilar, manajemen dapat menyusun strategi peningkatan produktivitas yang lebih terarah, misalnya dengan mengombinasikan program pelatihan, kebijakan keselamatan, dan skema penghargaan bagi tenaga kerja lintas usia.
Potensi Transformasi: Kerangka Kerja Menuju Masa Depan yang Efisien
Berdasarkan temuan-temuan ini, para peneliti telah berhasil merancang sebuah kerangka kerja yang solid untuk mengukur produktivitas pekerja.1 Kerangka ini (Gambar 2 dalam dokumen asli) memposisikan empat pilar utama—usia, pengetahuan, kepatuhan keselamatan, dan motivasi—sebagai variabel eksogen yang secara signifikan memengaruhi produktivitas tenaga kerja.1
Kerangka kerja ini dapat menjadi alat perencanaan yang sangat berguna bagi para ahli industri konstruksi. Dengan mengukur dan mengelola empat pilar ini secara proaktif, kontraktor dapat memprediksi dan meningkatkan produktivitas, mengubah manajemen proyek dari reaktif menjadi proaktif.1 Hasilnya, biaya proyek dapat ditekan dan tenggat waktu penyelesaian bisa tercapai.1
Selain itu, temuan ini juga memiliki implikasi kebijakan yang lebih luas. Studi ini secara khusus menyoroti dilema yang dihadapi pemerintah dalam menggunakan proyek padat karya sebagai sarana pengentasan kemiskinan. Makalah tersebut mencatat bahwa "peningkatan basis penerima manfaat proyek dapat dikaitkan dengan penurunan produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan (karena kepadatan pekerja)".1 Ini adalah paradoks penting: meskipun tujuannya mulia untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin, jika manajemen tenaga kerja tidak dipertimbangkan, investasi sosial tersebut bisa menjadi kurang efektif. Oleh karena itu, kerangka ini dapat membantu pembuat kebijakan untuk merancang strategi yang lebih terpadu, di mana kebijakan rekrutmen massal dipadukan dengan manajemen proyek yang cermat untuk menyeimbangkan tujuan sosial dan ekonomi.
Kritik Realistis dan Jalan di Depan
Meskipun temuan studi ini sangat signifikan, penting untuk mencermati beberapa keterbatasannya. Penelitian ini hanya berfokus pada proyek pembangunan jalan padat karya di 40 distrik di Ghana, sehingga temuan ini mungkin tidak secara langsung berlaku untuk proyek konstruksi jenis lain, seperti pembangunan gedung atau bendungan, atau di wilayah geografis lain.
Selain itu, studi ini menggunakan analisis faktor eksplorasi (EFA) dan hanya mengandalkan satu instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data. Meskipun uji reliabilitas internal (alpha Cronbach sebesar 0,876) menunjukkan konsistensi yang tinggi, beberapa konstruk menunjukkan nilai korelasi yang tinggi.1 Ini adalah pengakuan transparan yang menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk penelitian lebih lanjut. Keterbatasan ini bukanlah kelemahan, melainkan garis batas studi yang spesifik, dan menjadi undangan terbuka untuk penelitian di masa depan yang dapat memperluas kerangka ini ke wilayah, negara, dan jenis konstruksi lain untuk memvalidasi dan memperkaya temuan yang ada.1
Kesimpulan: Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Produktif
Pada akhirnya, studi ini menegaskan bahwa produktivitas di industri konstruksi padat karya Ghana tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh interaksi dinamis dari empat pilar utama: usia pekerja, pengetahuan pekerja, kepatuhan keselamatan, dan motivasi pekerja.1 Temuan ini memberikan dasar empiris yang kuat bagi para pemangku kepentingan, dari kontraktor hingga pembuat kebijakan, untuk merancang strategi yang lebih efektif dan terarah.
Jika kerangka kerja ini diterapkan secara sistematis, temuan ini berpotensi meningkatkan efisiensi proyek secara signifikan. Peningkatan efisiensi yang didukung oleh manajemen proaktif pada keempat pilar ini dapat diibaratkan seperti menaikkan daya baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian—sebuah lompatan luar biasa yang akan mengurangi biaya operasional dan mempercepat penyelesaian proyek dalam kurun waktu lima tahun ke depan.1
Studi ini adalah langkah penting menuju pemahaman yang lebih baik tentang industri konstruksi di negara berkembang dan menyediakan peta jalan yang jelas untuk membangun masa depan yang lebih produktif dan berkelanjutan bagi semua pihak.
Sumber Artikel:
Bamfo-Agyei, E., Thwala, D. W., & Aigbavboa, C. (2022). Performance improvement of construction workers to achieve better productivity for labour-intensive works. Buildings, 12(10), 1593.
Inovasi Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Bayangkan sebuah dunia di mana ilmu pengetahuan tidak lagi hanya mengendap di ruang kelas atau laboratorium, tetapi benar-benar hadir untuk menjawab tantangan paling mendesak di sekitar kita. Penelitian yang menjadi fokus kali ini hadir dari dorongan yang sama: bagaimana menjembatani teori dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa studi ini berangkat dari keresahan, sebuah kesadaran bahwa persoalan yang kita hadapi saat ini menuntut solusi baru yang lebih konkret, aplikatif, dan berani.
Selama puluhan tahun, wacana penelitian seringkali dianggap “terlalu akademis”—terlalu jauh dari dunia nyata. Banyak laporan berakhir hanya di perpustakaan universitas, tidak sempat menyentuh tangan pengambil keputusan, apalagi masyarakat luas. Hal inilah yang coba dibongkar oleh penelitian terbaru ini. Alih-alih berhenti pada tataran teori, para peneliti mencoba meramu pengetahuan menjadi sebuah panduan, alat, dan strategi nyata yang bisa diakses, dipakai, dan diuji secara langsung.
Latar belakang penelitian ini juga sangat relevan dengan konteks zaman. Kita hidup di era yang penuh ketidakpastian—mulai dari krisis iklim, ketimpangan sosial, hingga gejolak ekonomi global. Semua itu menuntut pemikiran ulang terhadap cara kita membangun sistem, mengatur sumber daya, dan mengambil keputusan. Penelitian ini, dengan segala inovasinya, memberikan tawaran solusi yang berpijak pada data, tetapi juga berbicara dengan bahasa yang dimengerti praktisi.
Yang menarik, penelitian ini tidak berhenti pada pencarian jawaban “apa” dan “mengapa”, tetapi melangkah lebih jauh ke ranah “bagaimana”. Bagaimana pengetahuan bisa dikemas ulang agar tidak lagi eksklusif untuk kalangan akademik? Bagaimana temuan bisa diuji bersama para pelaku lapangan, sehingga hasilnya benar-benar teruji, bisa diadaptasi, dan diterapkan dalam skala lebih luas? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci dalam memahami semangat riset yang tengah dibahas.
Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa penelitian ini sebenarnya tidak hanya bicara soal teknis, data, atau metode ilmiah. Ia mengandung pesan yang lebih besar: bahwa ilmu harus kembali ke masyarakat. Bahwa riset hanya akan bermakna bila mampu menjawab persoalan nyata, bukan sekadar memperkaya diskursus akademik. Pesan inilah yang membuat studi ini terasa segar, kontekstual, sekaligus penting.
Fokus penelitian tidak berhenti pada pencarian masalah, tetapi juga uji solusi. Peneliti mencoba menyusun toolkit atau panduan yang bisa dipakai praktisi. Isinya bukan teori rumit, melainkan langkah-langkah praktis, contoh kasus, dan model yang bisa dijadikan referensi. Toolkit ini lalu diuji di hadapan pengguna, direvisi sesuai masukan, lalu diuji kembali. Siklus berulang inilah yang membuat hasil penelitian lebih membumi.
Singkatnya, dengan latar belakang tersebut, penelitian ini mengajukan model baru: riset yang tidak berhenti pada publikasi jurnal, tetapi menjelma menjadi “produk pengetahuan” yang bisa diakses dan dipakai. Artikel ini akan mengupas bagaimana penelitian dalam dokumen ini dirancang, apa temuan utamanya, mengapa hal itu penting untuk dunia saat ini, serta sejauh mana dampaknya bisa mengubah praktik nyata di masa depan. Semua akan disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami, agar esensi besar dari riset ini bisa sampai ke pembaca awam sekalipun.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia
Pertanyaan besar yang harus kita jawab adalah: mengapa penelitian ini penting hari ini? Jawabannya sederhana: karena ia menyentuh kebutuhan yang nyata di tengah perubahan zaman.
Bayangkan kita sedang menghadapi masalah global yang semakin kompleks—mulai dari krisis energi, perubahan iklim, hingga tantangan urbanisasi. Banyak solusi ditawarkan, tetapi sering terjebak di ruang seminar. Penelitian ini menawarkan jalan lain: bagaimana sebuah ide bisa dijadikan panduan praktis sehingga langsung dapat dipakai. Inilah pergeseran besar yang bisa mengubah dunia: ilmu tidak lagi jauh dari masyarakat, melainkan hadir di ruang kerja para profesional, di meja rapat pengambil keputusan, bahkan di rumah kita sendiri.
Temuan penelitian ini mengungkap bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari teknologi baru yang canggih. Kadang, yang paling dibutuhkan adalah cara baru menyampaikan pengetahuan. Misalnya, banyak arsitek atau kontraktor sebenarnya sudah tahu pentingnya desain berkelanjutan. Namun, tanpa panduan praktis, mereka sulit meyakinkan klien atau mengubah pola kerja. Dengan adanya toolkit yang mudah diakses, hambatan itu bisa diatasi.
Dampaknya jelas terasa di tiga level:
Yang mengejutkan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa resistensi sering bukan soal teknologi, melainkan soal persepsi risiko dan biaya. Banyak praktisi khawatir mencoba hal baru karena takut salah atau dianggap mahal. Padahal, dengan contoh nyata dan perhitungan siklus hidup yang jelas, solusi inovatif justru bisa lebih menguntungkan dalam jangka panjang.
Dari sini kita bisa melihat bahwa penelitian ini memberi pelajaran penting: untuk mengubah dunia, tidak cukup dengan menciptakan sesuatu yang baru. Yang lebih penting adalah membuat orang percaya bahwa hal baru itu bisa dipakai, aman, dan menguntungkan. Inilah kekuatan penelitian ini, dan mengapa temuan yang tampak sederhana justru bisa berdampak besar di masa depan.
Temuan Utama, Kritik, dan Rekomendasi
Temuan penelitian ini cukup berlapis. Dari sisi konten, toolkit yang dikembangkan terbukti membantu praktisi memahami konsep baru dengan lebih mudah. Para responden mengaku bahwa formatnya familiar, isinya aplikatif, dan contoh kasusnya meyakinkan. Fakta ini menegaskan bahwa bahasa sederhana dan desain praktis sering lebih efektif daripada laporan akademik tebal.
Beberapa fakta menarik yang muncul antara lain:
Namun, penelitian ini juga punya keterbatasan. Pertama, lingkup geografisnya masih terbatas. Sebagian besar responden berasal dari satu wilayah, sehingga generalisasi ke tingkat nasional masih harus diuji. Kedua, toolkit belum benar-benar diuji di proyek nyata. Tanpa uji lapangan, risiko kegagalan instalasi atau kesalahan implementasi masih bisa terjadi. Ketiga, aspek ekonomi masih perlu diperdalam. Walau sudah ada pembahasan tentang biaya awal dan biaya operasional, perbandingan kuantitatif yang lebih rinci akan membuat argumen lebih kuat.
Dari kritik ini, lahirlah rekomendasi yang jelas. Penelitian selanjutnya perlu menguji toolkit di beberapa proyek nyata dengan skala dan jenis bangunan berbeda. Selain itu, perlu ada modul bisnis yang menjelaskan kalkulasi biaya siklus hidup, model pembiayaan, hingga potensi insentif pemerintah. Terakhir, dibutuhkan pelatihan lintas-profesi, agar kontraktor, manajer fasilitas, dan regulator juga memahami konsep ini.
Singkatnya, penelitian ini sudah memberi landasan kuat, tetapi masih butuh beberapa langkah lanjutan untuk benar-benar mapan.
Dampak Nyata: Apa Artinya Bagi Kita?
Jika hasil penelitian ini benar-benar diterapkan, kita bisa membayangkan perubahan yang cukup drastis dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Bangunan baru akan lebih efisien, ramah lingkungan, dan fleksibel dalam penggunaan energi. Hal ini berarti tagihan listrik lebih rendah bagi penghuni, beban jaringan listrik berkurang, dan jejak karbon kota bisa ditekan.
Bagi industri, adanya panduan praktis akan mempercepat inovasi. Kontraktor tidak lagi ragu mengambil proyek dengan konsep baru, karena ada standar jelas yang bisa diikuti. Klien juga akan lebih percaya diri berinvestasi, karena bisa melihat perbandingan biaya jangka panjang dengan lebih transparan.
Bagi pemerintah, penelitian ini menawarkan amunisi kuat untuk kebijakan energi dan lingkungan. Dengan bukti yang ada, regulasi baru bisa dibuat, insentif bisa disalurkan lebih tepat, dan target net-zero carbon lebih realistis untuk dicapai.
Namun yang paling penting, dampaknya akan terasa langsung oleh masyarakat luas. Kita akan hidup di lingkungan yang lebih nyaman, dengan bangunan yang bukan hanya berdiri, tetapi juga bekerja untuk kita: menghemat energi, menjaga suhu ruangan, bahkan membantu jaringan listrik nasional. Dalam lima tahun, jika roadmap penelitian ini diikuti, kita bisa melihat penghematan biaya energi yang signifikan sekaligus kontribusi nyata terhadap mitigasi perubahan iklim.
Kesimpulannya, penelitian ini bukan hanya soal teori baru, tetapi soal cara baru memandang ilmu pengetahuan: sebagai alat praktis untuk mengubah dunia nyata. Dan jika diterapkan secara konsisten, manfaatnya bisa kita rasakan lebih cepat dari yang kita kira.
Sumber Artikel:
Albalawi, R. K., Goodrum, P. M., & Taylor, T. R. (2023). Applying the Tier II construction management strategy to measure the competency level among single and multiskilled craft professionals. Buildings, 13(5), 1175.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Karya Ahmed Farouk Kineber dkk. yang berjudul, "Revolutionizing Construction: A Cutting-edge Decision-making Model for Artificial Intelligence Implementation in Sustainable Building Projects," menyoroti sebuah paradoks sentral dalam industri arsitektur, rekayasa, konstruksi, dan operasi (AECO). Di satu sisi, sektor ini merupakan pilar fundamental ekonomi global; di sisi lain, ia juga menjadi kontributor signifikan terhadap konsumsi energi dan emisi gas rumah kaca, sambil berjuang melawan stagnasi produktivitas yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Penelitian ini secara tajam mengidentifikasi lambatnya adopsi teknologi baru, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), sebagai salah satu akar masalah, terutama di negara-negara berkembang seperti Nigeria, di mana metode konstruksi tradisional masih mendominasi.
Kerangka teoretis yang dibangun oleh penulis memposisikan AI bukan sebagai ancaman terhadap tenaga kerja, melainkan sebagai teknologi komplementer yang strategis. AI dipandang mampu mentransformasi industri dengan meningkatkan efisiensi proyek, mengurangi pemborosan, mengoptimalkan alokasi sumber daya, dan secara signifikan meningkatkan standar kesehatan serta keselamatan kerja. Dengan latar belakang ini, studi ini merumuskan dua pertanyaan penelitian yang esensial: (1) Sejauh mana AI dapat membantu sektor konstruksi modern di Nigeria? dan (2) Apa saja kondisi dan pendorong krusial untuk integrasi AI yang efektif di industri konstruksi? Hipotesis utama yang diajukan adalah bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor-faktor pendorong implementasi AI dengan tingkat adopsi AI itu sendiri di dalam industri.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menguji hipotesisnya, penelitian ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang canggih dan berlapis. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei terstruktur yang disebarkan kepada 150 pemangku kepentingan yang relevan di sektor konstruksi bangunan di Lagos, Nigeria, dengan tingkat respons yang valid mencapai 66,96%. Responden, yang terdiri dari arsitek,
quantity surveyor, pembangun, dan insinyur, memberikan penilaian mereka terhadap berbagai pendorong dan manfaat adopsi AI menggunakan skala Likert lima poin.
Analisis data dilakukan dalam dua tahap utama. Pertama, Exploratory Factor Analysis (EFA) digunakan untuk mereduksi sejumlah besar variabel pendorong dan manfaat menjadi beberapa konstruk laten yang lebih ringkas dan bermakna secara teoretis. Kedua, model hubungan antar konstruk ini diuji menggunakan
Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), sebuah teknik statistik yang kuat untuk menganalisis hubungan sebab-akibat yang kompleks antar variabel, bahkan dengan ukuran sampel yang relatif kecil.
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan penggunaan metodologi yang canggih. Alih-alih hanya melakukan tinjauan literatur atau analisis regresi sederhana, studi ini membangun dan memvalidasi sebuah model pengambilan keputusan empiris dalam konteks negara berkembang. Dengan demikian, karya ini memberikan sebuah kerangka kerja yang dapat diukur dan direplikasi untuk memahami dinamika adopsi teknologi di lingkungan yang penuh tantangan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang memberikan wawasan mendalam.
Pertama, melalui EFA, 15 variabel pendorong adopsi AI berhasil dikelompokkan menjadi tiga konstruk utama yang secara kolektif menjelaskan 52,86% dari total varians. Ketiga pendorong ini adalah:
Teknologi (Technology): Mencakup aspek-aspek seperti ketersediaan perangkat dan keamanan siber.
Kemajuan (Advancement): Terkait dengan kemajuan pesat teknologi dan investasi dari para pemain besar di industri.
Pengetahuan (Knowledge): Meliputi peran AI dalam mengatasi tantangan informasi dan meningkatkan pengalaman klien.
Selanjutnya, 16 variabel manfaat adopsi AI juga berhasil dikelompokkan menjadi dua faktor utama yang menjelaskan 50,37% dari total varians: (1) Percepatan Penyelesaian Proyek dan (2) Peningkatan Kesehatan dan Keselamatan.
Puncak dari temuan ini adalah hasil dari model PLS-SEM, yang secara definitif mengonfirmasi hipotesis penelitian. Ditemukan bahwa ketiga konstruk pendorong (Teknologi, Kemajuan, dan Pengetahuan) secara kolektif memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap implementasi AI di industri konstruksi. Secara deskriptif, penelitian menunjukkan bahwa ketiga pendorong ini berkontribusi sekitar 15% terhadap variasi dalam adopsi AI yang teramati. Di antara ketiganya, faktor "Teknologi" terbukti menjadi komponen dengan pengaruh terbesar. Temuan ini mengontekstualisasikan bahwa, meskipun pengetahuan dan kemajuan industri penting, ketersediaan dan keamanan perangkat teknologi itu sendiri merupakan prasyarat paling fundamental untuk mendorong adopsi AI di lapangan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara jujur mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Ruang lingkup penelitian yang terbatas pada Lagos State, Nigeria, membuat generalisasi temuan ke wilayah lain harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, studi ini tidak memasukkan pengaruh faktor budaya dalam industri konstruksi, yang sering kali menjadi penghalang signifikan terhadap adopsi teknologi baru.
Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa meskipun model yang diajukan signifikan secara statistik, kemampuannya untuk menjelaskan variasi adopsi AI (R² = 15%) menunjukkan bahwa 85% dari faktor yang mempengaruhi adopsi AI berasal dari variabel lain yang tidak diteliti dalam model ini. Faktor-faktor seperti biaya implementasi, ketersediaan tenaga kerja terampil, resistensi terhadap perubahan, dan kebijakan pemerintah kemungkinan besar memainkan peran yang jauh lebih besar. Dengan demikian, model ini lebih tepat dilihat sebagai langkah awal yang penting, bukan sebagai penjelasan yang komprehensif.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Terlepas dari keterbatasannya, implikasi praktis dari temuan ini sangat luas. Bagi para pembuat kebijakan, penelitian ini memberikan dasar empiris untuk merancang strategi dan insentif yang mendorong adopsi AI yang etis dan efektif. Bagi para insinyur dan pemangku kepentingan proyek, model ini menawarkan wawasan berharga untuk menyusun argumen bisnis yang kuat dalam memanfaatkan potensi AI untuk meningkatkan keberlanjutan, efisiensi, dan keselamatan proyek.
Penelitian di masa depan harus diarahkan untuk memperluas model ini dengan memasukkan variabel-variabel penghambat (seperti biaya dan resistensi budaya) untuk menciptakan kerangka pengambilan keputusan yang lebih holistik. Melakukan studi komparatif di negara-negara berkembang lainnya juga akan sangat berharga untuk menguji validitas model ini di berbagai konteks. Sebagai refleksi akhir, karya Kineber dkk. ini memberikan kontribusi penting dengan menggeser diskusi tentang AI di bidang konstruksi dari ranah konseptual ke validasi empiris, sebuah langkah yang sangat dibutuhkan untuk mendorong transformasi nyata di salah satu industri terpenting di dunia.
Sumber
Kineber, A. F., Elshaboury, N., Oke, A. E., Aliu, J., Abunada, Z., & Alhusban, M. (2024). Revolutionizing construction: A cutting-edge decision-making model for artificial intelligence implementation in sustainable building projects. Heliyon, 10(2024), e37078. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e37078
Teknologi dan Energi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Bayangkan sebuah kota di mana setiap bangunan tidak lagi sekadar menjadi konsumen listrik, tetapi juga ikut menyetir arah aliran energi: mengisi daya baterai saat matahari bersinar terik, menyuplai kembali energi ke jaringan ketika permintaan memuncak, bahkan mengatur pemakaian sesuai kebutuhan rumah tangga atau kantor secara otomatis. Konsep ini bukan lagi mimpi futuristik dalam film sains, melainkan sebuah gagasan nyata yang kini sedang dikejar di Inggris melalui riset bertajuk Active Building.
Di tengah krisis iklim dan lonjakan harga energi global, gedung menjadi aktor penting yang sering diabaikan. Padahal, data menunjukkan sektor bangunan menyumbang sekitar 40% dari total konsumsi energi dunia. Itu artinya, hampir separuh “tagihan energi global” ada di dinding, atap, dan jendela tempat kita bekerja dan tinggal sehari-hari. Tidak heran, jika strategi menuju net-zero carbon tidak bisa hanya bertumpu pada pembangkit listrik skala besar atau mobil listrik; cara kita membangun rumah, kantor, sekolah, dan rumah sakit akan menentukan arah masa depan energi.
Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan besar: bagaimana caranya membuat bangunan tidak hanya hemat energi, tetapi juga “aktif” — ikut mengendalikan pasokan, penyimpanan, dan distribusi listrik? Di sinilah lahir gagasan Active Building Protocol dan Active Building Toolkit, yang dirancang sebagai panduan praktis untuk arsitek dan desainer. Bukan hanya kumpulan teori teknis, toolkit ini hadir sebagai jembatan antara ilmu laboratorium dengan kebutuhan dunia nyata: dokumen yang bisa dibuka arsitek saat mendesain, atau dipakai kontraktor saat menyusun spesifikasi teknis.
Lebih jauh, penelitian ini bukan sekadar eksperimen akademis. Ia membawa pesan praktis: jika arsitek dan insinyur bisa dilibatkan sejak dini dengan bahasa yang mereka pahami — bukan jargon teknis berlapis — maka konsep Active Building bisa menembus batas universitas dan masuk ke proyek komersial. Inilah alasan kenapa tim peneliti memilih uji coba yang tidak biasa: mereka mengadakan focus groups yang diformat seperti sesi pelatihan Continuous Professional Development (CPD). Jadi, selain mendapatkan data, peneliti juga memberikan manfaat langsung: peserta pulang tidak hanya mengisi kuesioner, tapi juga membawa ilmu baru yang bisa mereka gunakan besok di meja kerja.
Pendekatan ini menjawab tantangan klasik dunia konstruksi: inovasi sering berhenti di laboratorium karena bahasa teknis terlalu rumit, biaya dianggap mahal, atau bukti nyata belum cukup. Dengan menempatkan toolkit sebagai titik awal, penelitian ini menyodorkan jalan tengah: “Mari kita mulai dari panduan praktis, tambahkan studi kasus, lalu kembangkan model bisnis, standar, dan sertifikasi.” Perlahan, sebuah roadmap dibentuk — dari 2021 hingga 2050 — dengan ambisi menjadikan Active Building bukan sekadar prototipe, tapi standar baru dalam industri konstruksi Inggris.
Penelitian ini menyajikan sebuah proyek riset untuk membantu industri konstruksi Inggris mengadopsi konsep Active Building (AB). AB bukan sekadar bangunan hemat energi, tetapi bangunan yang aktif dalam menstabilkan jaringan energi dengan cara mengintegrasikan pembangkit terbarukan, penyimpanan energi, sistem kontrol pintar, hingga kendaraan listrik.
Tujuan praktis penelitian adalah menyusun dan menguji AB Protocol serta AB Toolkit (termasuk Active Building Design Guide atau ABDG). Keduanya dirancang sebagai basis pengetahuan dan panduan praktis agar arsitek bisa merancang bangunan beroperasi net-zero. Untuk menguji efektivitasnya, peneliti menggunakan serangkaian focus groups (FG) yang diformat sebagai sesi Continuous Professional Development (CPD), sehingga peserta mendapatkan ilmu sekaligus menjadi sumber data penelitian.
Singkatnya, pendahuluan ini mengajak kita melihat bangunan bukan lagi sebagai beban energi, melainkan sebagai pemain aktif. Dan jika ide ini bisa berjalan, maka kota-kota Inggris — bahkan dunia — mungkin akan menyaksikan revolusi senyap: bangunan yang tidak hanya berdiri, tapi juga bekerja untuk kita dan untuk planet ini.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Praktik Desain Bangunan?
Kontribusi utama penelitian ini bukan hanya soal teknologi panel surya, baterai, atau sistem pintar, melainkan cara menyampaikan pengetahuan kepada para pelaku proyek. Dengan toolkit yang mudah dipahami, konsep AB dapat diterapkan langsung di proyek nyata.
Dalam konteks global, gedung menyumbang hampir 40% konsumsi energi dunia. Artinya, mengubah cara arsitek merancang bisa memicu efek berantai terhadap keputusan klien, kontraktor, dan bahkan regulator.
Paper ini menyoroti bahwa:
Metode: Bagaimana Data Dikumpulkan, dan Mengapa Relevan
Peneliti menguji draf ABDG melalui pendekatan campuran: focus groups yang dipadukan dengan kuesioner semi-struktur dan skala Likert.
Keunggulan metode ini ada dua:
Format FG dirancang sistematis: dimulai dengan presentasi 30 menit, dilanjutkan satu jam untuk meninjau ABDG, lalu diskusi kelompok. Kuesioner terdiri dari 30 pertanyaan (17 skala Likert dan 13 kualitatif).
Pendekatan ini bersifat abduktif — peneliti membangun solusi berupa toolkit dan roadmap, lalu mengujinya secara iteratif berdasarkan masukan pengguna akhir.
Temuan Utama: Apa yang Berhasil dan Apa yang Masih Kurang
Analisis tematik dari FG menghasilkan beberapa temuan kunci:
Fakta Menarik
Interpretasi Data yang Lebih Hidup
Penelitian ini menunjukkan bahwa satu FG awal sudah menghasilkan mayoritas tema utama. Ibarat mengisi baterai penelitian hingga 60% dalam sekali pertemuan, dua hingga tiga pertemuan berikutnya melengkapi sisanya hingga penuh. Dengan kata lain, hanya butuh tiga sampai empat sesi untuk menangkap mayoritas gagasan arsitek secara efisien.
Kritik dan Keterbatasan
Meski kontribusinya signifikan, penelitian ini memiliki keterbatasan:
Rekomendasi Praktis
Dampak Nyata
Jika AB Toolkit dan roadmap ini diterapkan secara bertahap — mulai dari uji coba proyek nyata, perkuatan argumen bisnis, hingga sertifikasi resmi — maka penyebaran strategi bangunan aktif dapat dipercepat.
Dampak realistis yang bisa dicapai:
Dengan kolaborasi akademisi, developer, dan regulator, manfaat ekonomi dan energi dapat mulai terasa dalam lima tahun pertama implementasi berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Clarke, J., Littlewood, J. R., & Karani, G. (2023). Developing tools to enable the UK construction industry to adopt the active building concept for net zero carbon buildings. Buildings, 13(2), 304.